Sabtu, 01 Februari 2014

TNI Siaga Bukan karena Australia

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgC-ZNozXiU_FuxqjXgGvbcJxX7mNRV6ZHr3czfIeXdg24HQOv-xG36dNwu0Urnqci9CnyhZA7ccEa0COpWJH9Kua18vgfnJuPE88rxkpzRSkfF2NCavBNpEFWRkQ0KsGf2d3cD_IV_d8M/s1600/20100418raaf8526964_0051.jpg
Ilustrasi
TNI-AL akhirnya mengeluarkan sikap terkait dengan pengerahan sejumlah kapal perang ke kawasan perbatasan laut di Indonesia Timur belakangan ini.

Pihak TNI-AL menegaskan, penambahan kapal perang itu tidak memiliki alasan khusus karena menyesuaikan dengan kebutuhan di wilayah yang memang sangat luas.

Kadispenal Laksamana Pertama Untung Suropati saat dikonfirmasi membenarkan bahwa pihaknya menambah sejumlah kapal perang ke wilayah perbatasan dengan Australia. Meski begitu, Untung menolak jika penambahan tersebut dikhususkan untuk merespons kasus pelanggaran batas wilayah yang dilakukan Angkatan Laut Australia.

Menurut Untung, pihaknya tidak pernah membuat skala prioritas dalam pengerahan armada. Pengerahan armada dilakukan setelah ada analisis mengenai situasi di lapangan. Jika memang diperlukan adanya tambahan, armada akan ditambah. “Intensitas patroli memang kami tingkatkan, namun itu hal biasa untuk menjaga wilayah perbatasan kita,” ujar Untung kemarin (31/1).

Alumnus US Naval War College 2009 itu mengibaratkan menjaga perbatasan negara seperti menjaga rumah sendiri. “Kalau ketua RT mengingatkan kampung kita rawan kejahatan, otomatis kita juga akan meningkatkan kewaspadaan,” lanjutnya. Untung juga tidak menyebutkan berapa jumlah armada yang dikerahkan ke kawasan yang langsung berbatasan dengan perairan Australia itu.

Menyikapi pelanggaran yang dilakukan AL Australia, Untung memilih berhati-hati. Pihaknya mengikuti langkah yang diambil pemerintah Indonesia, dalam hal ini presiden dan panglima TNI.

“Umumnya di berbagai negara, sepanjang (pelanggaran) tidak provokatif, tidak mendramatisasi, saya rasa masih oke,” tambahnya. Terlebih, secara khusus Australia sudah meminta maaf kepada pemerintah Indonesia.

Sebelumnya muncul informasi bahwa TNI-AL merespons pelanggaran AL Australia dengan mengerahkan sejumlah kapal perang ke Laut Timor dan Arafuru. Kapal yang dikirim, antara lain, fregat, kapal cepat torpedo (KCT), kapal cepat rudal, (KCR), dan korvet. Juga, pesawat patroli perairan.

PASURUAN KANDANG TANK

Masih dari kawasan timur, TNI-AD melakukan sejumlah persiapan untuk menyambut tambahan alutsista kelas berat main battle tank (MBT) Leopard tahun ini. Persiapan itu adalah garasi beserta SDM yang akan mengoperasikannya. Salah satu lokasi garasi leopard tersebut ada di Pasuruan, Jatim.

Rencananya, tank bikinan Jerman seberat 62 ton itu akan bermarkas di Batalyon Kavaleri 8 (Yonkav 8) Divisi 2 Kostrad Pasuruan. “Tank Leopard yang akan ditempatkan di Satuan Yonkav 8 ini sekitar 40 unit,” ujar Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro.

Menurut Menhan, garasi beserta sarana pendukung di Yonkav 8 sudah tersedia, sehingga Leopard bisa langsung masuk. Sedikitnya ada 33 garasi khusus di Yonkav 8 yang telah siap 100 persen. Masing-masing garasi dapat menahan beban sekitar 70 ton.

Untuk dukungan SDM, Yonkav 8 telah menyiapkan sejumlah personel terlatih. Di antaranya, 60 komandan kendaraan, 60 pengemudi, 41 penembak, dan 41 loader. Mereka akan didukung 24 orang teknisi. Terdiri dari teknisi mesin 8 org, teknisi alat komunikasi 8 orang, dan teknisi senjata 8 orang.

Sebelumnya, KSAD Jenderal Budiman mengumumkan kesatuannya memborong banyak alutsista tahun ini. Di antaranya, 52 unit MBT Leopard 2A4 Revolution baru. Kemudian, tahun depan masih ada 71 MBT lagi yang didatangkan.

Selain itu, TNI AD juga membeli 81 rudal anti-serangan udara, serta meriam Caesar 155 mm dan multi-launcher rocket system (MLRS) masing-masing dua batalyon. Aksi borong berlanjut dengan pembelian sejumlah helikopter, seperti Eurocopter Fennec 12 unit dan Bell Helicopter 16 unit. “Apache juga akan didatangkan, tapi tahun 2017,” ujar KSAD.

  Katimpost  

Pasuruan Siap Jadi Markas Leopard

Pasuruan TNI AD melakukan sejumlah persiapan untuk menyambut tambahan alutsista kelas berat main battle tank (MBT) Leopard yang akan didatangkan tahun ini.

Persiapan itu adalah garasi beserta SDM yang akan mengoperasikannya. Salah satu lokasi garasi leopard tersebut ada di Pasuruan, Jatim.

Rencananya, tank bikinan Jerman seberat 62 ton itu akan bermarkas di Batalyon Kavaleri 8 (Yonkav 8) Divisi 2 Kostrad Pasuruan.

"Tank Leopard yang akan ditempatkan di Satuan Yonkav 8 ini sekitar 40 unit," ujar Menteri pertahanan Purnomo Yusgiantoro dalam siaran pers yang diterima Jawa Pos.

Menurut Menhan, garasi beserta sarana pendukung di Yonkav 8 sudah tersedia sehingga Leopard bisa langsung masuk. Sedikitnya ada 33 garasi khusus di Yonkav 8 yang telah siap 100 persen. Masing-masing garasi dapat menahan beban sekitar 70 ton.

Untuk dukungan SDM, Yonkav 8 telah menyiapkan sejumlah personel terlatih. Di antaranya, 60 komandan kendaraan, 60 pengemudi, 41 penembak, dan 41 loader. Mereka akan didukung 24 orang teknisi. Terdiri dari teknisi mesin 8 orang, teknisi alat komunikasi 8 orang, dan teknisi senjata 8 orang.

Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengatakan jika pihaknya saat ini sedang menyiapkan lahan untuk latihan leopard tersebut. terutama, untuk latihan manuver dan menembak. Lahan untuk latihan itu tentunya berbeda dengan lokasi latihan militer umumnya karena akan dilewati kendaraan tempur kelas berat.

"Itu yang sedang kami pikirkan. Kalau tidak (representatif) nanti bisa mengganggu lalu lintas atau lingkungan sekitarnya," ujarnya.

Meski begitu, secara umum Yonkav 8 dinilai sudah siap untuk menampung tank Leopard yang dijadwalkan tiba sebelum Agustus tahun ini.

Sebelumnya, KSAD Jenderal Budiman mengumumkan jika kesatuannya akan memborong alutsista tahun ini. Di antaranya adalah 52 unit main battle tank (MBT) Leopard 2A4 Revolution baru. Kemudian, tahun depan masih ada 71 MBT lagi yang didatangkan.

Selain itu, TNI AD juga membeli 81 rudal anti serangan udara, serta meriam Caesar 155 mm dan Multi Launcher Rocket System (MLRS) masing-masing dua batalyon. Aksi borong berlanjut dengan pembelian sejumlah helikopter, seperti Eurocopter Fennec 12 unit dan Bell Helicopter 16 unit. "Apache juga akan didatangkan tapi tahun 2017," lanjutnya.

  JPNN  

Lapan Surveillance Aircraft Mampu Pantau Wilayah Indonesia

Tangerang Kini, Indonesia memiliki Pesawat Pengamat Wilayah. Lapan bekerja sama dengan Universitas Berlin, Jerman, berhasil mengembangkan pesawat pengamat yakni Lapan Surveillance Aircraft (PK-LSA01). Pesawat ini menjadi bagian pemanfaatan untuk kepentingan memotret wilayah di Indonesia. Selasa (28/1), Kepala Lapan, Bambang S. Tejasukmana meresmikan Pesawat LSA di Balai Besar Kalibrasi Fasilitas Penerbangan (BBKFP) Ditjen Perhubungan Udara, Curug, Tangerang.

Pilot melakukan uji terbang perdana pesawat LSA di lapangan terbang BBKFP Ditjen Perhubungan Udara.

Program pesawat LSA ini merupakan bagian dari program utama Pusat Teknologi Penerbangan (Pustekbang) Lapan. Selain LSA, Pustekbang juga memiliki program pengembangan pesawat tanpa awak (Lapan Surveillance UAV – LSU) dan program pengembangan pesawat transport nasional (N-219).

Pesawat LSA memiliki beberapa misi yakni akurasi citra satelit, verifikasi dan validasi citra satelit, monitoring produksi pertanian, aerial photogrammetry, pemantauan, pemetaan banjir, deteksi kebakaran, search and rescue (SAR), pemantauan perbatasan dan kehutanan, serta pemetaan tata kota.

Misi pesawat LSA ini dapat memperkuat sistem pemantauan nasional. Indonesia yang berpulau ini sangat memerlukan sistem pemantauan wilayah. Selain menggunakan teknologi satelit, diperlukan pula sistem pemantauan yang lebih impresif dengan menggunakan pesawat terbang. LSA tersebut sekaligus memperkuat penguasaan teknologi terbaru pesawat terbang.

Kepala Lapan memecahkan kendi sebagai simbol peresmian pesawat LSA-01

Pesawat LSA ini juga mampu mengakurasikan data dari foto citra satelit dengan resolusi tinggi yang telah digabung dengan satelit-satelit lain, dan mampu konfirmasi ulang langsung di lapangan secara acak. Dengan kemampuan terbang non-stop selama 6-8 jam, jangkauan tempuh 1.300 kilometer, dan dapat membawa muatan hingga 160 kg, LSA ini berpotensi untuk melakukan patroli sistem kelautan di Indonesia.

Dalam peresmian LSA, Kepala Lapan menargetkan selama lima tahun ke depan, pesawat ini dapat memiliki fungsi autonomous. Menurut ia, keuntungan sistem autonomous selain dapat bermanuver secara otomatis, kualitas dalam menjalankan misi surveillance dapat lebih presisi, efisien, dan efektif. “Dalam skema prosesnya, awalnya pesawat ini masih dikendalikan oleh pilot untuk lepas landas dan mendarat. Dan setelah mengudara, sistem autonomous ini akan aktif sehingga tidak memerlukan kendali dari pilot. Namun, jika ada hal yang tingkat urgensitasnya tinggi, pilot dapat mengintervensi,” ujarnya.

Saat ini pesawat telah siap dan sudah melakukan tes penerbangan perdana (flight test), ia berharap pesawat ini dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kebutuhan surveillance di Indonesia.

  Lapan  

☆ John Lie, kapten kapal heroik penembus blokade Belanda

Tentara Belanda dan polisi Inggris menyebutnya penyelundup. Sementara Pemerintah Indonesia menggelarinya pahlawan. Dia diburu patroli Belanda, tapi seluruh rakyat Indonesia mengelu-elukannya.

Itulah sosok John Lie, salah satu kapten kapal paling berani dalam sejarah TNI Angkatan Laut.

John Lie terlahir dari keluarga pengusaha di Manado tanggal 19 Maret 1911. Minatnya sangat besar pada dunia pelayaran. Lie kemudian bekerja di Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), maskapai pelayaran Belanda.

Saat Indonesia merdeka tahun 1945, Lie keluar dari KPM. Dia bergabung dalam Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).

Tahun 1947 dan 1948 Belanda menggelar agresi militer. Sebagian besar wilayah Indonesia kembali dikuasai Belanda. Republik Indonesia hanya meliputi Yogyakarta, dan sebagian Sumatera.

Belanda memblokade wilayah laut dan udara RI. Mereka berharap jika terus ditekan dan tak mengadakan kontak dengan pihak luar, Republik Indonesia akan mati pelan-pelan.

John Lie berjasa besar kala itu. Dia berani menembus blokade Belanda dengan kapal yang diberi nama The Outlaw. Dia dan sejumlah anak buahnya melintasi Selat Malaka dengan membawa karet, teh atau hasil bumi lainnya. Barang-barang dibawa ke Singapura untuk ditukar senjata dan kebutuhan republik lainnya.

John Lie mengemudikan kapalnya tengah malam. Tanpa penerangan sedikit pun agar tak ketahuan Belanda dan Inggris. Dia jadi legenda penyelundup. Radio BBC Inggris menjulukinya The Black Speed Boat.

John Lie juga seorang kristen taat. Dia selalu membawa alkitab di kapalnya. Majalah Life melukiskan sosoknya dengan with one hand a bible and the other a gun. Tapi perjuangan tak membedakan agama. John Lie pun memasok senjata untuk para pejuang di Aceh dan Sumatera yang Muslim.

Kapal The Outlaw berukuran 34 meter dan tak dilengkapi persenjataan. Jika mereka berpapasan dengan patroli Belanda dengan mudah pasti dikaramkan.

Untungnya nasib baik selalu menyertai John Lie. Dia pernah dihentikan dan ditodong senjata, tapi dilepas. Pernah juga ditangkap dan diadili tapi dibebaskan.

Aksi John Lie tak cuma menyelamatkan ekonomi Indonesia. Dia juga membuka mata internasional kapal milik ALRI masih eksis dan mampu menembus blokade Belanda. Ini hal penting dalam diplomasi internasional.

Tahun 1947 sampai 1949, John Lie paling tidak melakukan penyelundupan 15 kali. Dia dan awak kapal The Outlaw sama sekali tak dibayar. Mereka melakukannya karena semangat patriotisme.

Tapi rupanya Wakil Presiden Mohammad Hatta terkesan dengan keberanian John Lie dan awak kapal The Outlaw. Suatu hari Hatta mengirimkan kurir untuk membawa hadiah dan menyampaikan pesan.

"Senjata dan peluru yang dibawa The Outlaw sudah diterima dengan baik," tulis Hatta.

Surat itu membawa kegembiraan bagi seluruh awak Kapal Outlaw. Pekerjaan yang mereka lakukan dipuji oleh seorang wakil presiden.

Setelah Indonesia merdeka. John Lie memimpin kapal perang ALRI untuk menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan maupun PRRI/Permesta.

Tahun 1966 dia pensiun dari ALRI dengan pangkat terakhir Laksamana Muda. Setelah itu Lie membaktikan hidupnya untuk agama dan orang-orang miskin sampai meninggal tahun 1988.

Tahun 2009, 21 tahun setelah kematian John Lie , Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar pahlawan nasional untuk sang pelaut pemberani ini.

Inilah gelar pahlawan nasional pertama bagi keturunan Tionghoa.

  Merdeka  

Jumat, 31 Januari 2014

Memperkuat Daya Tawar Indonesia

Bung Tomo Class (Kenyot10)
Jakarta TNI Angkatan Laut (AL) tengah menghitung hari menyambut datangnya KRI Bung Tomo 357. Rabu kemarin, tim TNI AL yang bertugas menjemput sudah melakukan ”ritual” sebelum terbang ke Jerman untuk membawa korvet ke Tanah Air yang diretrofit di galangan kapal Lusern.

KRI Bung Tomo sendiri adalah metamorfosa korvet milik Brunai Darussalam, KDB Nakhoda Ragam Class, yang dijual ke Indonesia dengan harga sangat murah, yakni USD 300 juta untuk tiga kapal sejenis, belum termasuk biaya retrofit. Dua kapal lainnya, KDB Bendahara Sakam KDB Jerambak yang akan menyusul kemudian, konon juga akan dinamai pejuang pembela kemerdekaan, yakni KRI Usman-Harun dan KRI John Lie. Terlepas dari pro-kontra kenapa Brunai tidak jadi menggunakan kapal tersebut, Indonesia memandang kapal tersebut sangat layak.

Bahkan, sistem persenjataan dan komunikasinya lebih canggih dibandingkan korvet sigma yang dibeli dari Belanda. Untuk sistem senjata, misalnya, KRI Bung Tomo dicanteli Oto Melara, VLS Mica, Exo Block II, dan torpedo Stinger. Kedatangan kapal dengan senjata canggih dan lengkap tentu akan memacu kepercayaan diri prajurit untuk mengawal kedaulatan NKRI. Kekuatan korvet ragam kelas yang disandingkan dengan kelas Sigma, kelas Van Speijk, KCR, kapal selam, dan aneka jenis kapal perang lainnya yang telah dimiliki bangsa ini, sudah barang tentu juga akan melambungkan daya tangkal Indonesia di lautan.

Namun sering luput dari pengamatan publik, kedatangan KRI Bung Tomo mengindikasikan meningkatnya daya tawar diplomasi bangsa ini di fora internasional. Mengapa demikian? Pembelian kapal tipe F2000 Corvette buatan BAE System Maritime-Naval Ships Inggris bisa disebut sebagai bukti konkret terbukanya kembali kerja sama militer Indonesia dengan negerinya Ratu Elizabeth tersebut, cara pandang baru mereka terhadap negeri ini.

Seperti diketahui, sebelumnya Inggris pernah mengembargo penjualan senjata terkait tuduhan Indonesia menggunakan pesawat Hawk untuk mengebom sipil saat konflik Timor Timur. Selain menyetujui penjualan ragam kelas, Inggris telah menjual rudal Startreak dan beberapa alutsista lain. Tidak dapat dimungkiri, keputusan Inggris kembali menjual alutsista ke Indonesia tidak terlepas dari pragmatisme ekonomi. Inggris yang tengah mengalami kelesuan ekonomi tentu ingin menikmati dana segar dari Indonesia yang sedang gencar-gencarnya meningkatkan kapabilitas persenjataannya.

Namun tak dapat dimungkiri pula, sikap baru Inggris itu mencerminkan pengakuan terhadap kekuatan diplomasi Indonesia negara bebas aktif yang mempunyai peran signifikan dalam membangun perdamaian dunia. Hal ini secara tidak langsung juga merupakan bentuk pengakuan bahwa Indonesia bukanlah negara pelanggar HAM dan berpotensi menjadi agresor.

Hal ini bukanlah isapan jempol. Lihatlah peran Indonesia meredam konflik Laut China Selatan (LCS), konflik Suriah, dan lainnya. Pasukan TNI juga seolah sudah menjadi tulang punggung PBB dalam setiap misi peace keeping operation di beberapa konflik di berbagai belahan dunia.

Perspektif yang demikian sangat mungkin ada di benak Amerika Serikat. Negeri Paman Sam itu pelan namun pasti mulai mengobral senjatanya untuk Indonesia, dari hibah pesawat F-16, pembelian peluncur rudal antitank (ATGM) Javelin, helikopter Apache, hingga rencana pembelian Black Hawk. Jika negara-negara yang pernah menjaga jarak dengan Indonesia sudah demikian, apalagi negara-negara yang secara konsisten membangun hubungan baik dengan Rusia, China, Jerman, Prancis, dan lainnya sudah pasti akan ringan tangan memberikan alutsista terbaiknya karena sudah paham pembelian senjata bukan sekadar untuk alat pertahanan, melainkan juga memperkuat daya tawar Indonesia untuk mendorong terwujudnya perdamaian dunia.

  Sindo  

KASAU Terima Kunjungan Dubes Rusia

Selain itu Kasau juga menyampaikan ucapan selamat atas jabatan sebagai Duta Besar Rusia di Indonesia

KASAU Terima Kunjungan Dubes RusiaJakarta KEPALA Staf Angkatan Udara (KASAU) Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia menerima kunjungan kehormatan Duta Besar Rusia untuk Indonesia Mr. M. Galuzin di Mabesau Cilangkap pada Kamis (30/1/2014).

Kunjungan tersebut dalam rangka diskusi tentang perkembangan situasi pada saat ini dan kemungkinan kerjasama militer antara Indonesia dan Rusia kedepan. Selanjutnya Kasau mengharapkan kerjasama yang sudah dirintis dengan baik selama ini dapat terus ditingkatkan.

Selain itu Kasau juga menyampaikan ucapan selamat atas jabatan sebagai Duta Besar Rusia di Indonesia.

Pada kesempatan tersebut Kasau didampingi Aspam Kasau Marsda TNI Zulhasymi, Aspers Kasau Marsda TNI Herry Wibowo Eslah, Aslog Kasau Marsda TNI Ida Bagus Anom, Waasrena Kasau Marsma TNI Azman Yunus, Waasops Kasau Marsma TNI Abdul Muis, Kadispenau Marsma TNI Hadi Tjahjanto, sedangkan Dubes Rusia didampingi oleh Athan Rusia di Jakarta COL V. Afanasenkov dan Mr. V. Varaksin.

  POL  

Modernisasi Alutsista TNI AU Terus Berlanjut

Oleh karenanya prioritas pembinaan yang harus diutamakan adalah tercapainya kemampuan profesionalisme para penerbang 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixIq6uh_sD0vM1l7rr8x9yQzDmB753kxcqHjRO6Dk3OIKGMDKoQ9GID1uSom86P62iDZfGVL2mbeVtY98k8yLBaXRSgS8E7Kn-XpU7ZZ4r1efTTMtw8WRVJKvNoNY4d9FTMukmaw756S9j/s640/6f532cd3a59e043c7a2fce6a9a9a735b_largesuromenggolo.jpgJakarta SAAT ini TNI AU sedang dalam proses pembangunan kekuatan dan kemampuan guna meningkatkan postur TNI yang tangguh serta profesional, dimana tahun 2014 ini menjadi puncak kedatangan alutsista baru bagi TNI Angkatan Udara.

Sesuai Renstra pembangunan TNI AU tahun 2010-2014 TNI AU akan menerima kedatangan beberapa jenis pesawat dan alutsista lainnya. Untuk itu, para personel yang mengawaki harus bisa mengatur kembali skala prioritas terkait alokasi jam latihan dan jam terbang sehingga semua sasaran operasi dapat tercapai, tanpa mengabaikan faktor Lambangja.

Demikian sambutan Kasau pada acara Rapat Koordinasi Operasi Angkatan Udara yang dibacakan Wakasau Marsdya TNI Sunaryo di Mabesau, Cilangkap (30/1/2014).

Hadir pada acara tersebut Koorsahli Kasau Marsda TNI Sru Astjahyo Andreas, Irjenau Marsda TNI JFP. Sitompul, Asrena Kasau Marsda TNI Mawardi, Asops Kasau Marsda TNI Bagus Puruhito, Aspers Kasau Marsda TNI Herry Wibowo Eslah, Aslog Kasau Marsda TNI Ida Bagus Anom, Danseskoau Marsda TNI Sudipo Handoyo, Gubernur AAU Marsda TNI Tabri Santoso, serta pejabat TNI AU lainnya.

Dikatakan, perumusan dan penjabaran kegiatan operasi beserta sasarannya secara jelas dan tajam akan sangat berguna sebagai acuan bagi kegiatan bidang lainya, mengingat jajaran operasi merupakan garda terdepan dari seluruh kegiatan yang dilaksanakan oleh TNI Angkatan Udara.

Kegiatan pemutakhiran doktrin Angkatan Udara dalam rangka penyelarasan dan penyesuaian pelaksanaan doktrin operasi Angkatan Udara diharapkan dapat mengakomodir prinsip-prinsip interoperabilitas dan sinergisitas antar matra, baik penggunaan dalam masa damai maupun masa perang.

Profesionalisme prajurit TNI ditunjukkan dengan kemahiran menggunakan peralatan militer, mampu melaksanakan tugas secara terukur dan memenuhi nilai-nilai akuntabilitas, baik perorangan maupun satuan.

Oleh karenanya prioritas pembinaan yang harus diutamakan adalah tercapainya kemampuan profesionalisme para penerbang, para pendukung penerbangan dan pasukan khas TNI AU melalui manajemen latihan dan operasi yang baik, sehingga disamping siklus latihan perorangan maupun satuan tetap berjalan, juga tugas operasional lainnya tetap dapat terlaksana dengan baik.

"Kegiatan bidang operasi penerbangan kita ketahui untuk kesiapan alutsista TNI AU tahun anggaran 2014, kebutuhan jam terbang adalah sebanyak 67.541 jam dengan sasaran kesiapan pesawat sebanyak 166 pesawat atau 59,7 % dari kekuatan riil 278 pesawat, yang akan digunakan untuk mendukung kegiatan operasi, kegiatan latihan, pendidikan dan pembinaan khusus. Saya mengharapkan Rakor ini juga membahas tentang bagaimana strategi terbaik mengoptimalkan jam latihan personel yang mengawaki skadron udara dan pendukung operasi penerbangan.

Tentunya kita juga harus membahas optimalisasi latihan bagi personel Lanud-Lanud dan Paskhas agar tercapai keseimbangan kemampuan operasional, sehingga menghasilkan konsep terbaik guna mencapai keseimbangan antara jam latihan dan operasi serta pengaturan personel agar profesionalisme personel merata", tegas Kasau.

Terkait dengan pelaksanaan Pemilu, diperlukan perhatian khusus mengenai penggunaan jam terbang pesawat angkut, agar jangan menimbulkan potensi melebihi alokasi jam terbang, pihak yang bertanggungjawab harus mewaspadai keadaan tersebut karena tugas pengamanan Pemilu akan banyak menggunakan jam terbang pesawat angkut, khususnya C-130 Hercules dan CN-295 serta Helikopter.

Untuk itu kepada para Komandan Satuan yang bertanggung jawab terhadap operasional pesawat angkut dan helikopter untuk selalu melakukan check dan re-check terhadap seluruh operasional Alutsista yang menjadi tanggung jawabnya.

Untuk itu, perlu diperhatikan agar keterbatasan jam terbang tidak menjadi alasan gagalnya pelaksanaan tugas dengan melakukan koordinasi secara cermat dengan satuan atas maupun samping.

Tantangan dapat diatasi dengan semangat dan pengabdian yang tinggi agar TNI Angkatan Udara dapat mendukung, mengamankan dan menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2014 mendatang, khususnya prajurit Angkatan Udara yang terlibat dalam pendistribusian surat suara untuk selalu memegang komitmen netralitas dan meningkatkan kewaspadaan, sehingga TNI AU tidak masuk dalam wilayah kegiatan politik praktis.

  POL  

KASPASMAR-2 Cek Kesiapan Personel & Material Yonif-10 Marinir



Dispen Kormar (Jakarta). Kepala Staf Pasmar-2 (Kaspasmar-2) Kolonel Marinir Yuniar Lutfi mengecek kesiapan personel dan material Batalyon Infanteri 10 Marinir (Yonif-10 Mar) di Stadion Mini Pasmar-2, Kesatriam Marinir Hartono, Cilandak, Jakarta Selatan, Kamis (30/01/2014).


Dalam sambutannya Kaspasmar-2 menekankan kepada seluruh prajurit yang akan menempati Yonif-10 Marinir di Pulau Setoko, Barelang Batam, agar mulai sekarang sudah membangun rasa kebersamaan, serta menjaga sikap dan perilaku ditempat yang baru agar tercipta suasana yang kondusif dan harmonis dengan masyarakat setempat.


Yonif-10 Mar yang dibangun di atas lahan 37 hektar itu, letaknya secara geografis didominasi oleh laut yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Sehingga keberadaannya sangat penting dan strategis dalam menjaga keamanan laut Indonesia khususnya Kepri dari berbagai gangguan yang berasal dari laut.

Hadir pada acara ini Para asisten Kaspasmar-2, Paban Harpal dan Paban Bek Slog Kormar.

  Marinir  

The inadvertent Abbott Government’s Indonesian crisis

So, you think relations with Indonesia couldn’t get any worse under the new Government? Well, buckle your seat belts, says Alan Austin, things may be about to get even more rocky.

(Image by John Graham / johngraham.alphalink.com.au)
IT IS NOW UNDENIABLE.

Nothing the Australian Government or military say about border protection can be believed.

So, now add international relations to the many areas where lies are routine — debt, the deficit, climate change, education reforms, broadband and

“… accountable and transparent government.”

This week, on Wednesday, minister for immigration Scott Morrison told a press conference that Australia

“… respects Indonesia’s territorial sovereignty.”

He then admitted on Friday that breaches have occurred — and were happening at the same time, it seems, that he was denying the possibility.

Scott Morrison said:

“Border Protection Command assets had, in the conduct of maritime operations associated with Operation Sovereign Borders, inadvertently entered Indonesian territorial waters on several occasions, in breach of Australian Government policy.”

If this admission of incompetence and illegality was not bad enough, the minister and his hapless chief of military operations against refugees then attempted to insist that the incursions by Australia’s navy were “inadvertent”:


“I should stress that this occurred unintentionally and without knowledge or sanction by the Australian Government.”

The commander of the operation Lieutenant General Angus Campbell lamely tried to explain that “positional errors in the movements of our vessels” was the cause.

That is, frankly, not credible.

Positional errors were totally eliminated from air and sea navigation decades ago for the smallest craft with satellite positioning. Even the smallest tinnie, these days, has perfectly precise GPS positioning.

What do they expect us to believe? That every vessel in the flotilla had a simultaneous sudden GPS malfunction and none of the duty navigators on any of the boats noticed?

The concept is ridiculous. The Australian media’s supine ‒ bovine ‒ acceptance of such nonsense is risible and shameful.


If the government and the military are lying to the Australian and Indonesian people about this — then what else are they lying about?

What else have they got to hide?

Are assurances that no asylum seekers have landed for four weeks also lies? How many leaky boats have been turned back to Indonesia. How many boat have sunk before they got there? How many people have died? How many times has the Australian Navy fired across the bows of boats carrying terrified women and children.

The seriousness of these latest offences remains to be seen.

The head of Australia’s Navy, Vice Admiral Ray Griggs, phoned his Indonesian counterpart on Thursday to advise and explain. Foreign minister Julie Bishop tried

“…to speak to her Indonesian counterpart, foreign minister (Marty) Natalegawa last night, to advise him of this conversation and to offer an unqualified apology on behalf of the Australian Government.”

But Natalegawa refused to take her call, snubbing her with the excuse he was “travelling”.

An official grovelling apology was delivered to the Indonesian Government on Friday. Their initial response was controlled outrage.

The ministry for security affairs said Indonesia

“… deplores and rejects the violation of its sovereignty and territorial integrity by the Australian vessels. The Government of Indonesia underlines that any such violation of whatever basis constitutes a serious matter in bilateral relations of the two countries.”

The statement demanded that violations do not recur.

But it then went further and insisted on an end to the current border protection strategy:

“Indonesia demands that such operation conducted by the Australian Government that led to these incidents be suspended until formal clarification is received and assurances of no recurrence … has been provided.”

That does not merely request that unlawful incursions cease — it demands a cessation also to operations “that lead to these incidents” — the current tow-back and lifeboat policy.
To show their seriousness the Indonesian navy has dispatched three warships to the region. Another frigate is due later.


One mystery here is why a senior military officer would agree to tell such a glaring whopper about the “inadvertent” incursions, rather than the minister for whom this is routine. What respect can anyone serving in Australia’s military now have for the lieutenant-general?

The other urgent questions to which citizens of Australia and Indonesia are entitled to answers include these:

First, what were the boats doing that required a violation of international law? What was purpose of these border incursions?

According to a Fairfax commentator:

‘… it is suspected they were either towing asylum seeker boats back to Indonesia or patrolling the ocean for asylum boats.’

But there are, of course, other possibilities.

Who actually authorised the breach of maritime law? Who did the commander of the operation telephone at the time of the illegal incursion for sign-off? Morrison, Abbott, Campbell or someone else?

Or, if it was a rogue commander, has he or she been relieved of command?

How could this disaster be allowed to happen so soon after Abbott’s disastrous bungling in November of the apology to Indonesia for the 2009 spying scandal?

The most urgent question now, of course, is just how close to open hostilities are the two countries now?

Indonesia has already withdrawn its ambassador. Australia’s foreign minister has no access to her counterpart. Warships from both countries are in the area. Reports have been made that Australia has already fired shots. Morrison has. Of course, denied those claims — but then he also denied that border incursions would occur. He is simply no longer credible.

What is credible is evidence that, on at least two occasions, Australian military personnel forcibly removed refugees from their boats near Australia’s coast and took them, in violation of UN Security Council conventions and other laws, to an Indonesian island.

It is becoming increasingly apparent that Australian voters were inadvertently duped by a lying media into believing that the Coalition had the competence to govern.

A regime was then inadvertently elected with none of the experience, skills, character or moral authority required to lead a great nation.

This week’s events strengthen the case for an intervention to remove this inept and mendacious government before the damage it is wreaking ‒ and will continue to befall us all ‒ leads this nation inadvertently to war.

Inggris Tegaskan Dukungan Terhadap Kedaulatan RI di Papua

Jakarta Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague, menegaskan kembali dukungan negaranya terhadap keutuhan wilayah RI, khususnya setelah Organisasi Papua Merdeka (OPM) membuka kantor perwakilan di Oxford pada April 2013 lalu.

Hague menyebut kendati pemberitaan itu sempat menjadi perdebatan, tetapi hal itu tidak akan mengubah kebijakan dari Pemerintah Inggris yang mendukung penuh NKRI.

Hal tersebut diungkap Hague dalam jumpa pers yang digelar usai pertemuan bilateral dengan Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Rabu, 29 Januari 2014. Ini merupakan kunjungan kali pertama Hague ke Indonesia, setelah terakhir menyambangi Jakarta pada 2005.

"Inggris sepenuhnya mendukung integritas Indonesia. Tidak ada keraguan posisi mengenai isu terkait hal itu (Papua dan Papua Barat). Kebijakan kami juga sama mengenai demokrasi. Kami jelas mendukung keutuhan negeri ini," kata Hague.

Sebelumnya, aksi pembukaan kantor perwakilan OPM oleh Benny Wenda pada akhir April 2013 lalu sempat membuat geram Pemerintah Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto sampai harus memanggil Dubes Inggris untuk Indonesia, Mark Canning.

Dia menjelaskan pembukaan kantor perwakilan di kota Oxford itu turut dihadiri oleh wali kota dan anggota DPR setempat. Padahal, selama ini Pemerintah Inggris dan oposisi di parlemen tidak pernah mendukung kegiatan tersebut.

Djoko menyebut secara formal Inggris mengakui kedaulatan NKRI atas Papua.

Pernyataan serupa juga pernah dilontarkan oleh Menlu Marty. Dia mengatakan kendati OPM berhasil membuka kantor perwakilan di Oxford, bukan berarti negeri yang dipimpin Ratu Elizabeth II itu mendukung gerakan separatisme di Papua. Sebaliknya mereka sudah berulang kali menegaskan bahwa sikap pemerintah kota tidak mencerminkan kebijakan luar negeri Inggris.

Marty malah meminta agar isu mengenai pembukaan kantor itu tidak dibesar-besarkan, karena justru malah akan dijadikan forum bagi Benny dalam menyuarakan perjuangannya.

  Vivanews  

Presiden SBY Peringatkan Negara Tetangga Tak Masuki Wilayah RI

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi59-3WAQNICV9v0vOG0sFvOTsdaNDNs7S1ckdoFQ8_b-4hNQ_X1PCB0Zl1aZnBspB6U8p7rmlXdE_RmGf0eAnZabgds6M7ynRm4vMUFovWmSLoucTKtyzmJ6YRbXRWuSF6BOnXwSG91wo/s1600/sby.jpgJakarta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperingatkan negara-negara tetangga untuk tidak memasuki wilayah kedaulatan RI.

Menurutnya, kedaulatan NKRI bukan perkara main-main, sehingga tidak bisa dilanggar seenaknya. Pernyataan itu disampaikan saat menerima peserta rakornas Kementerian Kelautan dan Perikanan dan sidang anggota dewan kelautan Indonesia di Istana Negara, Kamis (30/1).

"Ada aspek kedaulatan kelautan kita yang bisa dilanggar setiap saat oleh negara-negara lain. Kita pastikan dulu bahwa wilayah lautan kita ini aman. Aman dari ancaman lawan yang mengganggu kedaulatan dan teritori kita," kata Presiden SBY.

Ia menyadari wilayah Indonesia yang tiga per empat adalah laut harus dipastikan keamanannya sampai zona ekonomi ekslusif. Indonesia, lanjutnya, harus bisa mempertahankan tanah air demi kedaulatan.

Presiden SBY menegaskan, ancaman terhadap keamanan Indonesia, terutama di lautan, semakin bervariasi. Bukan hanya negara lain yang memasuki teritori Indonesia, tetapi kejahatan lainnya seperti perompakan, pencurian ikan, hingga pencurian kayu yang diselundupkan lewat laut.

"Faktor keamanan menjadi sangat penting," katanya.

Kapal Angkatan Laut Australia sempat melanggar wilayah Indonesia. Negara Kanguru tersebut berupaya mengembalikan pencari suaka yang sudah masuk ke wilayah negaranya ke Indonesia. Pemerintah pun sempat bereaksi keras atas peristiwa tersebut.

  Republika  

Kamis, 30 Januari 2014

DPR dan Wamenhan bahas pengadaan satelit pertahanan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1jLYoma8W8IFeQoa3KakL6w-l0ame4je6tBGw6GI8XYpCktBcQ2Jo1Ohh2F2o39D1SaEC6ntsrPeoi98dPbCgNf7IK0FVjoSaxdp80YlHpvd1X65vsCrTRg6coeK14KgbueYFsw09fgg/s1600/62083_162651197078480_100000008034354_543638_928315_n.jpgJakarta ♼ Komisi I DPR melakukan pertemuan dengan Wakil Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin dengan agenda rapat dengar pendapat (RDP).

Sjafrie mengatakan, Komisi bidang pertahanan dan keamanan memberi dukungan penuh untuk melakukan pengadaan satelit pertahanan.

"DPR berikan satu dukungan satu sisi dari sistem pertahanan ini memang layaknya suatu institusi itu tidak terganggu. Baik secara administrasi maupun teknis," ujar Sjafrie di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/1).

Lebih lanjut, Sjafrie menegaskan, penting adanya satelit untuk memperkuat pertahanan negara sebesar Indonesia. "Memang perlu. Tinggal sekarang bagaimana kemampuan anggaran bisa mendukung kebutuhan dari sistem pertahanan yang sudah didukung oleh politik anggaran," jelas Sjafrie.

Sedangkan kerjasama pertahanan yang melibatkan tiga kementerian di antaranya Kemenhan, Kominfo dan Sekneg, jelas Sjafrie adalah mengenai kerjasama Cyber. Namun, ketika ditanya berapa anggaran untuk semua proyek tersebut, Sjafrie mengaku lupa.

"Kalau kita bicara cyber, ini jadi domain secara nasional di Kominfo. Kita kan ambil network-nya yaitu cyber defense atau cyber nasional. Ada cyber defense, cyber crime. Tapi kan kalau untuk satu satelit hanya dipakai cyber defense kan sayang ya. Maka mungkin kita kaitkan dengan cyber nasional," jelas Sjafrie.

"Saya enggak tahu berapa harga satelit. Saya kira Indonesia perlu memiliki satelit untuk pertahanan dan penting. Kemampuan pertahanan harus didukung oleh berbagai komponen termasuk satelit," tandasnya.

  Merdeka  

Lapan Lakukan Uji Terbang UAV LSU 03


Lapan berhasil melaksanakan uji terbang pesawat Lapan Surveillance UAV (LSU) 03 di Balai Produksi dan Pengujian Roket Lapan Pameungpeuk, Jawa Barat, Sabtu (25/1). Kegiatan ini bertujuan untuk menguji kestabilan pesawat. Pesawat LSU 03 diterbangkan pada pukul 07.19 WIB dan berhasil mendarat di lapangan uji Pameungpeuk pada pukul 7.30 WIB.

LSU 03 merupakan pesawat tanpa awak yang berkemampuan mengangkut beban 10 kilogram untuk keperluan Airborne Remote Sensing. Kepala Lapan, Bambang S. Tejasukmana, mengatakan bahwa keberhasilan ini merupakan bukti meningkatnya kemampuan sumber daya Lapan. Ia berharap, di masa depan Lapan terus memperkuat aplikasi pendukung untuk berbagai penggunaan.

UAV tipe LSU-03

Sehari sebelumnya, yaitu pada hari jumat tanggal 24 januari 2014, teknisi Lapan juga melakukan uji terbang terhadap pesawat LSU 02. Sistem autonomous pesawat tersebut telah diperbaiki sehingga dapat terbang lurus sesuai dengan koordinat yang ditetapkan. Uji terbang LSU 03 tersebut dihadiri oleh para pejabat struktural eselon I Lapan.

  Lapan