Sabtu, 28 April 2012

Kontingen Indonesia Dapat Penilaian Terbaik di Kongo

Jurnas.com | SATGAS Kompi Zeni TNI Kontingen Garuda XX-I/MONUSCO atau Indonesian Engineering Company yang tengah melaksanakan tugas di Republik Demokratik Kongo dalam misi perdamaian, menerima kunjungan Force Engineer MONUSCO, Letnan Kolonel Zhang Dong Seng (China) bersama asistennya Mayor Mohammad Zahid (Bangladesh).

Kedatangan mereka disambut Dansatgas Zeni TNI Letnan Kolonel Czi Sapto Widhi Nugroho di Bumi Nusantara Camp Dungu-Kongo, Sabtu pagi (28/4/2012) waktu Kongo.

Perwira Penerangan Konga XX-I/Monusco, Lettu Cku Sulikan melalui siaran persnya menyebutkan, kunjungan Force Engineer MONUSCO tersebut dalam rangka melihat secara langsung hasil pekerjaan Kontingen Indonesia. Diantaranya pembangunan jalan antara Dungu-Duru, pemeliharaan jalan dan jembatan antara Dungu-Faradje serta pembangunan kantor Force Armed Republic Demokratic of Congo (FARDC) yang sedang dikerjakan oleh Prajurit TNI.

Force Engineer MONUSCO sempat meninjau beberapa lokasi yang sedang dikerjakan oleh Kontingen Indonesia. Saat meninjau Force Engineer dan asistennya didampingi oleh Dansatgas Letkol Czi Sapto, Pasiops Kapten Czi Rahadian Firnandy dan Pa SO Eng Letnan Kharisma Aditya.

Turut serta dalam rombongan tersebut, Dansatgas Nepal Engineering Company Mayor Gurung Manoj dan Pasiops Kapten Pandey yang ingin melihat langsung kondisi pasukan Indonesia dalam melaksanakan pekerjaan di lapangan.

Force Engineer MONUSCO, Letkol Zhang Dong memberikan apresiasi kepada Indonesian Engineering Company, karena dinilai sangat bagus dan profesional dalam melaksanakan pekerjaan di lapangan. Karena itu, ia menilai, sudah sewajarnya jika Kontingen Indonesia selalu menjadi kontingen yang terbaik di antara seluruh Kompi Zeni yang sedang melaksanakan misi di bawah MONUSCO.

Mabes TNI Gelar Rakornis Puskodal Jajaran TNI

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Pusat Pengendalian Operasi (Kapusdalops) Brigjen TNI Edhy Ryanto membuka acara Rapat Koordinasi Teknis Pusat Komando Pengendalian (Rakornis Puskodal) Jajaran TNI, di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (27/4/2012).

Rakornis Puskodal dengan mengambil tema “Dengan Rakornis Puskodal Jajaran TNI TA 2012, kita optimalkan fungsi Puskodalops jajaran TNI guna tercapainya Kodal TNI secara cepat, tepat, dan aman dalam rangka mendukung Tugas Pokok TNI”, diikuti 83 peserta.

Masing-masing dari Mabes TNI 6 orang, TNI AD 46 orang, TNI AL 8 orang, TNI AU 6 orang, undangan 6 orang, penceramah 5 orang, dan penyelenggara 6 orang.

Dalam keterangan pers yang diterima Tribunnews.com, Kapusdalpos TNI mengatakan bahwa pada tahun 2011-2012 Pusdalops TNI telah melanjutkan optimalisasi sistem informasi dengan menggelar jaringan WAN (Wide Area Network) Pusdalops TNI di beberapa Kotamaops TNI, yang pelaksanaannya lebih dahulu di prioritaskan terhadap Kotamaops TNI yang berbatasan langsung dengan negara tetangga.

Termasuk juga pemasangan maupun pemindahan Unit CCTV untuk pemantauan daerah perbatasan. Sampai saat ini, jaringan WAN Pusdalops TNI yang dilengkapi dengan Encryption System sudah terintegrasi hampir di seluruh Kotamaops TNI, dimaksudkan untuk mempercepat sistem pelaporan yang mengarah kepada real time.

Sebelum mengakhiri sambutannya, Brigjen TNI Edhy Ryanto memberikan beberapa penekanan kepada Kapuskodal Jajaran TNI, diantaranya, pertama, lakukan koordinasi dan interaksi secara terus menerus antara sesama Puskodal Jajaran TNI dan instansi terkait lainnya (Komando Wilayah, Dinas Penerangan Kotamaops TNI dan Instansi Sipil).

Kedua, tingkatkan kepedulian dan kepekaan terhadap perkembangan situasi yang terjadi akhir-akhir ini di berbagai wilayah terutama kejadian akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi dan angin puting beliung).

Ketiga, tingkatkan profesionalisme dengan memahami, mentaati dan mempedomani piranti lunak berupa Bujuklak tentang Hubungan Kerja Pusdalops TNI dan Puskodal Angkatan serta Puskodal Kotamaops TNI, serta protap satuan dalam setiap pelaksanaan tugas.

Keempat, optimalkan pemberdayaan sarana komunikasi dan informasi yang ada dengan sebaik-baiknya untuk kegiatan Kodal, monitoring, koordinasi dan penyampaian laporan kepada Panglima TNI dan Pusdalops TNI, tanpa melihat dari mana asalnya Alpal komunikasi tersebut, baik dari satuan pembina kekuatan maupun satuan pengguna kekuatan.
- tribunnews -

Pindad 'Go International'

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG---Pindad yakin dapat menjadi perusahaan kelas dunia dengan memanfaatkan momentum HUT Ke-29 pada 29 April 2012. "Pada usia Pindad yang genap 29 tahun, peluang semakin banyak dan optimis untuk menuju perusahaan kelas dunia," kata Direktur Utama PT Pindad (Persero) Adik Aviantono Sudarsono, Sabtu (28/4).

Selain telah mampu memperluas pasar produk alutsista ke ASEAN, Afrika dan Timur Tengah, Pindad juga telah mendapat kepercayaan dunia dengan pesanan 32 panser dari Malaysia yang saat ini sudah dalam proses penyelesaian administrasi di Negeri Jiran itu.

Langkah untuk mempercepat langkah menuju perusahaan kelas dunia, menurut Adik dilakukan melalui peningkatan kinerja perusahaan dengan dukungan karyawan yang lebih baik lagi dan mendorong suatu perubahan drastis yang dilandasi dengan etos kerja yang semakin meningkat. "Permasalahan dan kendala pasti ada, namun semuanya bisa teratasi dengan etos kerja tinggi hambatan akan teratasi," kata Adik.

Selain itu juga pihaknya terus membuat kaidah-kaidah kerja optimal akan terwujud, meningkatkan daya saing dan memuaskan pelanggan kita. "Dengan demikian akan menjadi suatu industri mandiri khususnya memenuhi alutsista," katanya.

Orang nomor satu di BUMN strategis itu menyebutkan, peningkatan peluang pasar produk alutsista di dalam dan di luar negeri semakin banyak yang menuntut Pindad untuk lebih siap dan berdaya saing.

Ia mengakui dalam empat tahun, selain peluang lebih banyak juga masih ada kendala, salah satunya terkait keterlambatan dalam penyelesaian produk masih harus dientaskan di samping terus meningkatkan kualitas. "Kerja keras jelas makin diperlukan ke depan, mengerahkan kemampuan terbaik dan kontribusi positif," katanya.

Salah satu optimisme PT Pindad adalah ekspor produk amunisi industri strategis itu merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. "Saat ini produk kita terbesar di ASEAN, meski dari sisi persaingan harga belum nomor satu. Kita akan berusaha terus menjadi semakin baik," kata Adik Aviantono.

PT Pindad (Persero) merupakan salah satu dari tiga BUMN strategis yang berkantor pusat di Bandung selain PTDI dan PT Len Industri.

Pindad merupakan industri persenjataan dengan produk andalan Senapan Serbu (SS), senjata genggam (pistol), panser, amunisi serta sejumlah komponen spare part panser, otomotif serta suku cadang alat berat.

★ Perkembangan UAV di Indonesia

Hingga kini perkembangan pesawat tanpa awak (Unmanned Aerial Vehicle/UAV) di Indonesia masih jauh dari yang yang di harapkan. Meskipun telah banyak prototipe yang di hasilkan oleh instansi pemerintah (BUMN) dan swasta, namun belum ada satupun yang berhasil di komersialisasi.


Pemanfaatan UAV di Indonesia pertama kali dirasakan manfaatnya saat melacak keberadaan sandera di pedalaman hutan Papua. saat itu operasi militer satuan khusus TNI AD, Kopassus, ditugasi melakukan operasi penyelamatan para peneliti Ekspedisi Lorentz'95 yang disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Karena luasnya medan operasi di hutan Mapenduma, Jayawijaya, Kopassus meminta bantuan pesawat pengintai (UAV) dari negara lain, untuk mendeteksi keberadaan OPM. Pengintaian dilakukan untuk mengatur strategi penggelaran operasi militer.

Pemanfaatan UAV ternyata berhasil dengan baik, dalam pengejaran dan penyelamatan yang sukses dilakukan Kopassus. Keberhasilan penggunaan UAV ini adalah awal bangkitnya pengenalan pesawat intai portabel di TNI untuk dapat mengatur strategi pasukan di lapangan. Dan menjadi awal pemikiran akan teknologi pesawat intai portabel yang bisa digunakan untuk operasi militer. TNI menyadari selain menggunakan pesawat intai dan radar, ada gap yang belum tercover dan hanya bisa ditutupi oleh UAV.
 ★ Kemelut Pengadaan UAV

Pertengahan 2006, sejumlah perwira menengah (Pamen) TNI dikabarkan berkunjung ke produsen pesawat UAV, Israel Aircraft Industry (IAI) di Haifa, Israel. Pada 22 Oktober 2006 media Israel, Jerusalam Post, mengabarkan bahwa militer Indonesia tertarik untuk membeli salah satu produk UAV buatan IAI. Keputusan ini diambil setelah Pamen TNI mengamati kemampuan dan kehandalan beberapa UAV buatan IAI yang mampu beroperasi siang hingga malam. Setelah melakukan penilaian dan diskusi panjang dengan pihak produsen, akhirnya TNI memilih UAV jenis Searcher MK II untuk Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Pemilihan UAV jenis Searcher MK II oleh TNI berdasarkan pada keunggulan teknologi yang dimilikinya dan sudah terbukti tangguh (battle proven) dibandingkan dengan UAV sejenis dari negara lain.

Pembelian UAV sempat disamarkan dengan memanipulasi pembelian sarana pendukung alutsista TNI dari perusahaan Filipina, padahal barang tersebut berupa UAV berasal dari Israel.

Manipulasi pembelian UAV pun terdengar dan ditolak parlemen di Senayan. Menhan Juwono Sudarsono saat itu mengungkapkan bahwa pengadaan UAV berasal dari Israel adalah langkah realistik, mengingat kebutuhan BAIS yang memerlukan teknologi canggih yang handal.

Rencana ini marak diberitakan pers di Indonesia, sehingga masyarakat terutama kaum muslim di tanah air banyak yang menolak pembelian alutsista dari Israel, dengan melakukan demo di depan kedubes AS. Karena Israel dikenal negara penjajah yang menindas dan melanggar HAM di Palestina.

Lembaga riset militer intenasional, SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute) dalam laporannya yang menyebutkan pembelian UAV ini dengan status uncertain (tidak pasti). Namun jadi atau tidak pembelian UAV ini, Informasi yang beredar TNI sedang menyiapkan satu skuadron UAV.

Meskipun rencana tersebut tidak jelas, UAV ditanah air akan menjadi tanggung jawab TNI AU dalam pengoperasian maupun pemeliharaan. Sedangkan tanggung jawab dalam penggunaannya berada dibawah Badan Intelijen TNI (BAIS).

Untuk pengoperasian wahana intelijen di Indonesia, Mabes TNI telah menyiapkan dana tambahan 16 juta dollar untuk membangun sarana dan prasarananya di Jakarta. Salah satunya adalah pusat komando dengan berbagai fitur pengintai canggih yang terhubung ke beberapa jaringan server. Sistem ini dikenal sebagai 'I3C' (Integrated Intelligence and Information center).

Jika proyek ini terealisasi semua perwakilan TNI diluar negeri (Atase Pertahanan) dapat terhubung jalur komunikasi secara realtime - online, jalur ini juga dilengkapi sistem pengacak signal (encrypto) pada sistem telekomunikasinya. Konsep ini diharapkan dapat memperkuat sistem keamanan jalur komunikasi sehingga sangat sulit disadap.

Selain itu pusat komando juga diproyeksikan mampu menggerakkan pasukan kemanapun diseluruh pelosok tanah air baik dipedalaman hutan maupun ditengah lautan. Bukan hanya jaringan komunikasi saja yang terpantau, lalu-lintas email, internet, data-link bahkan situs jejaring sosial semacam facebook dan lainnya dapat dimonitor secara online. Semua ditempuh demi keamanan dan keselamatan negara, salah satu pejabat TNI menyebut perangkat ini sebagai total-defence.
 ★ UAV Nasional

Penelitian dan pengembangan (litbang) UAV di Indonesia telah lama dilakukan. Pertama kali yang merintis teknologi ini adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tahun 1999. Almarhum Prof Dr Said D Jenie merupakan salah seorang penggerak hadirnya UAV di Indonesia. Beliau yang pertama kali mencanangkan peta jalan bagaimana Indonesia mengembangkan pesawat tanpa awak (UAV).

Awal-awal pengembangan UAV oleh BPPT dimulai dengan pembuatan target drone untuk sasaran tembak TNI. Seiring dengan itu dibuat juga wahana tanpa awak bernama Rutav single boom dan double boom berkerjasama dengan PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Namun karena memburuknya kinerja PT DI saat itu mengakibatkan proyek ini tertunda.

Lalu BPPT melakukan riset sendiri dengan membuat beberapa prototipe PUNA (Pesawat Udara Nir Awak). Hingga kini BPPT sudah memproduksi 10 unit, generasi pertama tercipta PUNA degan tiga varian, yaitu Wulung (2006), Pelatuk dan Gagak (2007). BPPT lalu mengembangkan PUNA generasi kedua, dengan nama Alap-alap dan Sriti.

Untuk mewujudkan berbagai macam prototipe PUNA, BPPT berkerjasama dengan pihak swasta, PT Aviator Teknologi Indonesia dan UKM Djubair OD yang mempunyai bengkel pesawat di kawasan Pondok Cabe, Tanggerang.


Prototipe pertama UAV nasional diperkenalkan ke umum pada pameran Indo-defence 2004 di PRJ Kemayoran, Jakarta. Saat itu Industri Pertahanan Indonesia (IPI) menampilkan UAV berbobot 35 kilogram dengan panjang 2,5 meter dan rentang sayap mencapai 5 meter. UAV tersebut belum diberi nama, hanya terdapat tulisan 'Departemen Pertahanan'.

Badan UAV berbentuk seperti ujung pensil dan panjang. Sedangkan di bagian belakang terdapat mesin piston mini, lengkap dengan propeler yang menjadi tenaga penggerak utama. Untuk kepentingan pengintian, dibawah pesawat dipasang kamera mini. Sedangkan untuk mengirim hasil pengintaian digunakan antena yang terhubung dengan satelit melalui sinyal GPS.

Soal kemampuan, UAV mampu mengudara selama 3 jam tanpa mengisi bahan bakar. Selain itu, mampu terbang hingga ketinggian 3.000 kaki atau sekitar 1.000 meter. Sedangkan untuk jarak terbang, UAV dikontrol melalui Ground Control Station pada jarak 20 kilometer.

Menurut Direktur Teknologi dan Industri Dirjen Sarana dan Pertahanan (Ranahan) Dephan Suwendro, UAV merupakan salah satu hasil pengembangan teknologi paling mutakhir Indonesia. Suwendro menjelaskan, UAV baru rampung dikembangkan akhir 2003 lalu.

Ia juga menjelaskan, research and development untuk membangun UAV tersebut membutuhkan waktu 3 tahun. "Saat ini UAV siap diujicobakan untuk melaksanakan tugas-tugas pengintaian," kata perwira berbintang satu ini. Soal dana, Suwendro menjelaskan, proyek UAV menelan dana Rp 7 miliar. "Saat ini kita memiliki 5 pesawat intai tanpa awak," terangnya.

Suwendro juga mengakui, pembuatan pesawat tanpa awak ini diilhami dari pesawat sejenis buatan Amerika Serikat. Namun UAV ini dilakukan penyesuaian, khusus dengan kepentingan tugas di Indonesia. Menurut Suwendro, UAV dirancang khusus untuk menunjang tugas-tugas tempur Komando Strategis TNI AD (Kostrad). "Karena itu, mereka yang dibidik sebagai pasar bagi UAV ini," terangnya.

Masih dalam rangka uji coba prototipe, pada Mei 2006 Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menyerahkan 5 unit UAV kepada Panglima TNI yang merupakan hasil pengembangan bersama Litbang Dephan, PT DI, PT Pacific Teknology, PT Pindad dan PT LEN. Pembuatan dan Pengembangan UAV Indonesia ini dibiayai oleh Kredit Ekspor.

Dari sini Dislitbang TNI coba menggali dan mengembangkan potensi serta kebutuhan teknis yang diinginkan untuk penyempurnaan UAV dalam negeri, seperti penggunaan jenis sensor, elektronik, mesin pesawat dan lain sebagainya.

"Kita masih perlu waktu dan dana besar untuk bisa mengembangkan pesawat tanpa awak bagi kepentingan militer sekaligus komersial. Untuk meng-up grade prototipe yang sudah ada saja, kita masih perlu kajian lagi dan itu perlu waktu dan dana besar," kata Juwono.

Dalam pengembangan UAV Balitbang Dephan berkerjasama dengan PT Uavindo Nusantara sempat merancang prototipe UAV khusus untuk kepentingan militer dengan nama Close Range Surveilance (CR-10). CR-10 ini dirancang untuk keperluan misi pemantauan dan pengintaian, dan tergolong kelas Low Altitude, Short range UAV. CR-10 menggunakan dua sistem pengendalian yakni unit udara dan unit stasiun darat. Meski telah menjalani beberapa ujicoba, CR-10 dengan avionik buatan dalam negeri ini gagal dikembangkan.
 ★ PUNA

Banyak kemajuan pesat yang dilakukan BPPT, salah satunya kendali terbang terintergrasi (auto-pilot) dimana sistem kontrol berupa heading, bearing, altitude dan lainnya mampu di input-by-system kedalam 'otak' PUNA.

Pengoperasian PUNA BPPT dilakukan dari sebuah stasiun pengontrol yang secara realtime menerima hasil pengamatan untuk selanjutnya dikirimkan ke posko komando kemudian mengirimkan datalink via satelit yang mampu diterima langsung di Jakarta. Selain itu unit Ground Control Station (GCS) PUNA mampu mengendalikannya secara manual melewati garis batas horizon (40-60 km). Rencananya tahun 2009 jarak jangkau PUNA akan ditingkatkan hingga mencapai 120 km dengan ketinggian operasional hingga 2.300 meter.

Berkat kemampuan PUNA ini, dikatakan cocok untuk misi pengintaian, pemotretan atau kegiatan militer lainnya. PUNA ditenagai mesin 'Limbach' buatan Jerman berbahan bakar oktan tinggi (Pertamax Plus), dengan kapasitas tangki hingga 40 liter. Dalam ujicobanya PUNA memerlukan konsumsi bahan bakar sekitar 9 liter untuk 1 jam penerbangan.

Berikut spesifikasi generasi pertama PUNA yang dibuat BPPT :

✈ Gagak


Gagak mengadopsi desain sayap rendah dan desain ekor berbentuk 'V'. UAV ini sangat cocok untuk operasi high altitude.
Panjang : 4,32 m
Rentang Sayap : 6,36 m
MTOW : 120 kg
Material : Fiberglass
Daya Mesin : 24 HP
Kec Jelajah : 120 km/jam
Beban : 20 kg (max)
Ketinggian Terbang : 2 km (max)
Jarak Operasi : 30 km selama 1 jam
✈ Wulung


Wulung mengadopsi desain sayap tinggi berbentuk empat persegi dan desain ekor berbentuk 'T'.
Panjang : 4,38 m
Rentang Sayap : 6,92 m
MTOW : 125 kg
Material : Komposit & Fiberglass
Daya Mesin : 24 HP
Kec Jelajah : 120 km/jam
Beban : 20 kg (max)
Ketinggian Terbang : 7000 kaki (max)
✈ Pelatuk


Pelatuk mengadopsi desain sayap tinggi dengan bentuk ekor 'V' terbalik.
Panjang : 4,38 m
Rentang Sayap : 6,92 m
MTOW : 125 kg
Material : Komposit & Fiberglass
Daya Mesin : 24 HP
Kec Jelajah : 120 km/jam
Beban : 20 kg (max)
Ketinggian Terbang : 7000 kaki (max)
 ★ Pengembangan UAV Swasta Nasional

Selain UAV yang dihasilkan lembaga Litbang BUMN, ada pula produk UAV buatan perusahaan swasta di Indonesia, salah satunya PT ATI eks mitra BPPT. Produk UAV PT ATI fokus memenuhi kebutuhan militer, karena lebih spesifik sebagai sarana untuk intelegence, surveilance, recconaissance, target acquisition, artilery support dan lainnya. Salah satu andalannya adalah Tactical UAV Smart Eagle II (SE II).

Smart Eagle pertama kali diperkenalkan ke publik pada pameran Indo-Defence 2006. Selain Smart Eagle ada beberapa prototipe UAV swasta lain yang juga diperkenalkan umum diantaranya Wallet dan RAI buatan PT Mandiri Mitra Muhibbah. Walet merupakan UAV portabel dengan panjang 95 cm dan rentang sayap 140 cm. UAV ini mampu terbang selama 30 menit dengan payload seberat 500 gram, jarak operasinya mencapai 3-5 km. Sedangkan RAI (Robo Aero Indonesia) mempunyai bentuk beragam, salah satunya bahkan berbentuk pesawat aeromodeling dengan posisi mesin didepan dan roda pendarat lengkap dengan penutup.


RAI mempunyai tiga jenis varian UAV, yakni short range, medium range dan long range, sebagai berikut :

✈ RAI Short range


Berbentuk sekilas sepertti Helikopter. sayap ditopang dengan sebilah sayap tunggal.
Rentang Sayap : 150 cm
Material : Komposit plastik & Fiberglass
Daya Mesin : 30 cc
Kec Jelajah : 40 km/jam
Beban : 3 kg (max)
Ketinggian Terbang : 200 - 1000 m (max)
Jarak Operasi : 20 km selama 3 jam
✈ RAI Medium range

Mempunyai bentuk seperti UAV, bentuk sayap persegi yang memungkinkan mencapai ketinggian dengan cepat.
Rentang Sayap : 250 cm
Material : Komposit plastik & Fiberglass
Daya Mesin : 50 cc
Kec Jelajah : 60 km/jam
Beban : 5 kg (max)
Ketinggian Terbang : 200 - 1000 m (max)
Jarak Operasi : 50 km selama 3 jam
✈ RAI Long range

Bentuknya mirip aeromodeling dengan posisi baling-baling didepan pesawat.
Rentang Sayap : 400 cm
Material : Komposit plastik & Fiberglass
Daya Mesin : 50 cc
Kec Jelajah : 100 km/jam
Beban : 7,5 kg (max)
Ketinggian Terbang : 1.000 - 2.000 m (max)
Jarak Operasi : 100 km selama 4 jam
Kembali ke UAV swasta Smart Eagle II produk PT ATI, UAV SE II ini dilengkapi kamera TV berwarna dengan kapabilitas pembesaran gambar yang lebih baik dan jelas. UAV SE II juga mampu beroperasi dimalam hari dengan menggunakan Thermal Imaging System (TIS) Camera untuk opsi penginderaannya.

SE II dapat dimodifikasi agar mampu membawa muatan yang disimpan ditengah pesawat. Muatan dapat berupa kamera pengamat berstabilisator giro (gyro stabilized device) dan sarana tayang hasil pengamatan.

Skala optik mampu mencapai hingga 25 kali pembesaran. Jika perlu arah bidik kamera dapat dilengkapi alat penjejak sasaran yang di pandu sinar laser (laser beam range finder) berjangkauan 10 kilometer. Atau bisa juga berupa seperangkat kamera pengamat berstabilisator giro dan sensor citra termal (thermal image sensor) yang juga dibantu alat penjejak sasaran yang berpanduan sinar laser.

Berkat keduanya SE II mampu mendeteksi satu obyek berukuran empat persegi dalam jarak 3 kilometer. Segala gerak SE II dikendalikan oleh dua operator di stasiun pengendali. Operator pertama mengatur olah terbang dan operator kedua mengoperasikan perangkat pengamat.

Komunikasi umum antara SE II dengan stasiun pengendali dilakukan lewat alat komunikasi tanpa kabel (wireless comunication device) yang berkerja pada frekuensi 2,4 Giga Hertz. Untuk mengirim sinyal perintah operasi kepada SE II dipakai perangkat komunikasi yang berkerja pada gelombang elektromagnetik berfrekuensi UHF (Ultra High Frequency). Sementara untuk menerima data hasil pengamatan dipakai perangkat komunikasi yang berkerja elektromagnetik tipe S (S band).

Sistem kendali penerbangan SE II memanfaatkan sisten fly by wire dan untuk keperluan navigasi mengandalkan perangkat penentu lokasi Global Positioning System (GPS). Agar data hasil pengamatan dapat disaksikan pihak di luar stasiun pengendali pada saat yang bersamaan, maka disertakan unit penerima data mobil (mobile receiver unit).

Guna menjalankan seluruh kegiatan operasional dibutuhkan listrik sebesar 5 kilowatt yang dipasok dua unit pembangkit tenaga listrik bergerak skala kecil (mobile genset). Seluruh sistem operasional SE II dapat disiagakan dengan delapan orang dalam waktu 2 jam.

Varian Smart Eagle :

✈ Smart Eagle I (SE I)


Bentuk desain menyerupai bentuk Smart Eagle II namun berdimensi lebih kecil.
Panjang : 180 cm
Rentang Sayap : 240 cm
MTOW : 12 kg
Material : Fiberglass
Kapasitas Bahan Bakar : 2 liter
Kec Jelajah : 60 - 100 km/jam
Beban : 20 kg (max)
Ketinggian Terbang : 150 -1000 mi (max)
Jarak Operasi : 25 km selama 2 jam
✈ Smart Eagle II (SE II)


Dimensi maupun kemampuannya dua kali dari Smart Eagle I.
Panjang : 360 cm
Rentang Sayap : 480 cm
MTOW : 100 kg
Material : Fiberglass
Kapasitas Bahan Bakar : 20 liter
Kec Jelajah : 120 - 150 km/jam
Beban : 20 kg (max)
Ketinggian Terbang : 3000 m (max)
Jarak Operasi : 150 km selama 6 jam
Uji coba terbang pernah dilakukan di salah satu tempat di pantai selatan Jawa Barat, dan berhasil cukup baik. Kemudian dilanjutkan uji kemampuan manuver, low speed performance, low altitude capability, dan recovery dari posko pengendali. Hingga ujicoba sistem kendali berupa monitoring dan data link (telemetry video). Lalu dilanjutkan ujicoba tahap kendali dan pengamatan di luar jangkauan (beyond visual range).

Melihat kerugian yang diakibatkan illegal logging, eksploitasi alam, trafficking, pencurian ikan dan lainnya yang berpotensi kerugian sebesar 90 trilyun rupiah tiap tahun, maka jumlah US $ 6 juta untuk pengadaan 6 unit Searcher Mk II atau beberapa milyar untuk pengembangan UAV Nasional jelas tidak sebanding.

Bahkan untuk melengkapi menjadi satu skuadron, dana yang dibutuhkan tidak lebih dari harga sebuah pesawat patroli buatan PT DI. Memang ada beberapa kekurangan dan keunggulan antara pengadaan kapal patroli dengan UAV. Tapi jika keduanya dapat disinergikan kedalam sebuah sistem pengintai yang terintegrasi, bukan tidak mungkin potensi-potensi kerugian negara yang ada selama ini dapat di kurangi.

- sumber Dsofandi, Majalah Defender 2010 -

BO-105 HS-7112

NBO-105 Penerbad

 Cuaca Ekstrim

Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Agustadi Sasongko Purnomo menyatakan jatuhnya helikopter TNI AD Bolkoq BO-105 HS 7112 di Cianjur Selatan merupakan murni kecelakaan akibat buruknya cuaca saat kejadian. Menurutnya kesimpulan sementara dari peristiwa naas tu akibat cuaca ekstrem saat terbang.

Dalam kecelakaan tersebut, tiga orang meninggal, yaitu co-pilot Lettu Yuli Sasongko, Komandan Pusat pendidikan Kopassus Kolonel Ricky Samuel, Kasi Operasi Pendidikan Operasi Kopassus Kapten Inf Agung Gunanto. sedangkan dua anggota lainnya luka yaitu Lettu Hadi Isnarto yang dirawat di RSPAD Gatot Subroto dan Letda Agus Sudarsono dirawat di RS Hasan Sadikin, Bandung.

Helikopter TNI AD yang jatuh di Kampung Rawabeber, kabupaten Cianjur. Senin 8 Juni 2009 memang sedang dioperasikan untuk mendukung latihan pasukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Kecelakaan heli jenis Bolco-105 bernomor HS7112 menurut informasi berangkat Senin pagi dari lapangan Kopassus di Batujajar, Bandung, karena pasukan Kopassus sedang melakukan latihan di kawasan Pagelaran Cianjur.

Ketiga jenazah korban kecelakaan helikopter TNI AD ini disemayamkan di Markas Komando (Mako) Kopasus Cijantung, Jakarta. Jenazah diterima langsung oleh Komandan Jenderal Kopassus Brigjen Pranomo Edhie Wibowo. Pada hari Selasa 9 Juni 2009 semua korban meninggal dimakamkan secara militer.
 Mabes TNI : BO-105 HS7112 Masih Layak

Mabes TNI Angkatan Darat menyatakan, kondisi helikopter TNI AD jenis Bolkow BO-105 bernomor HS7112 yang jatuh di Kampung Cibuni, Rawa Beber, Pagelaran, Cianjur, Senin (8/6) petang, masih laik terbang. "Sangat laik terbang, pesawat adalah buatan 1988. Jadi, memang ini karena cuaca buruk," kata Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen TNI Christian Zebua di Jakarta.

Ia menambahkan, saat melakukan misi mendukung latihan dari Batujajar ke Cianjur, helikopter menghadapi hujan lebat disertai angin. "Jadi memang karena cuaca buruk," kata Christian menegaskan.
 Spesifikasi NBO-105 CB

* Awak: 1 atau 2 pilot
* Kapasitas: 4 penumpang
* Panjang: 11.86 m
* Diameter Rotor: 9.84 m
* Tinggi: 3.00 m
* Luas Baling-Baling: 76.05 m2
* Berat kosong: 1.276 kg
* Berat take off maksimum: 2.500 kg
* Mesin: 2 Allison 250-C20B turboshaft, masing-masing 313 kW (420 shp)

Kemampuan

* Kecepatan maksimum: 242 km/h (131 knots, 150 mph)
* Kecepatan jelajah: 204 km/h (110 knots, 127 mph)
* Jangkauan: 575 km (310 NM, 357 mi)
* Ketinggian terbang: 5.180 m (17,000 ft)
* Kecepatan menanjak: 8 m/s (1,575 ft/min)

- Kompas -

Panglima GAM Ishak Daud Tewas Bersama Istri


Ishak Daud
LHOKSEUMAWE -- Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Peureulak, Aceh Timur, Ishak Daud tewas bersama istri keduanya, Rostinah, dalam baku tembak dengan pasukan Batalion Infanteri 500 Raiders di Babah Krueng, Rabu (8/9). "Ibunya, Nuriyah, memastikan yang tewas itu Ishak. Dia mengenali dari luka pada lengan kanan dan kumisnya," kata juru bicara Komando Operasi Pemulihan Keamanan TNI Letkol Asep Sapari kepada Tempo tadi malam.

Dia menuturkan, 12 anggota TNI yang dipimpin Sersan Kepala Herlambang memergoki sekelompok anggota GAM tengah mandi di sungai wilayah itu. Kontak senjata pun terjadi selama lima menit. Hasilnya, dua anggota GAM, lelaki-perempuan, tewas, sementara enam sisanya berhasil melarikan diri.

Semula, kata Asep, anggota TNI telah mencurigai bahwa yang tewas itu adalah Ishak dan istrinya. Karena harus melakukan pengejaran, kedua mayat itu dititipkan ke penduduk setempat. Baru pada pukul 15.30 kemarin, ibunya dan dua tahanan GAM diminta untuk mengkonfirmasi kedua mayat tersebut. "Mereka membenarkan, bahwa itu Ishak Daud dan istrinya," kata Asep.

Dari pertempuran lanjutan, total pasukan GAM yang tewas mencapai 13 orang. Juga, disita antara lain 230 butir amunisi kaliber 7,6 mm, 3 magasin, 6 AK-47, teropong, 23 tenda plastik, dan 2 bendera GAM. "Kami sangat kehilangan. Dia adalah sumber inspirasi kami, tapi kami akan melanjutkan perjuangannya," kata Kafrawi.

Kabar tewasnya Ishak memang semula datang dari pasukan TNI. Mereka sudah sejak 5 September melakukan pengepungan di Desa Alue Dua. Pengepungan dilakukan karena mereka mendeteksi keberadaan salah seorang yang paling dicari TNI itu. Pada Rabu (8/9) siang, muncul kabar pasukan TNI berhasil menewaskan setidaknya empat orang yang diduga anggota GAM. Namun, kabar soal tewasnya Ishak masih simpang-siur.

Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Endang Suwarya kemarin mengunjungi markas Kotis Satgaspur I Desa Alue Bate, Kecamatan Peureulak Timur, Aceh Timur. Namun, hingga siang hari, dia belum dapat memastikan Ishak telah tewas karena belum ditemukan bukti konkret. Dia hanya memastikan pengepungan terhadap markas GAM pimpinan Ishak Daud terus dilakukan sampai GAM benar-benar terjepit.

Ishak lahir di Desa Blang Geulumpang Idi Rayeuk, Aceh Timur, 1960. Debutnya mulai terdengar pada Maret 1990. Saat itu, ia nekat menyerang pos ABRI Masuk Desa di Buloh Blang Ara, Aceh Utara. Dia merebut 21 pucuk senjata berikut 4.000 butir peluru, serta terlibat baku tembak dengan tentara yang menewaskan dua anggota ABRI dan seorang siswa SMP. Peristiwa itu mengharuskannya mendekam di sel Diborongborong, Tapanuli Utara, selama 20 tahun. Namun, amnesti dari Presiden B.J. Habibie membebaskan suami dari Siti Zubaidah dan Cut Rostinah ini pada 1999.

Kebebasan sempat membawa langkahnya ke Ibu Kota pada tahun berikutnya, meski tak lama. Di awal 2001, Ishak sudah bergerilya kembali di pelosok Aceh Timur. Pembawaannya yang ramah membuat dia dekat dengan kalangan pers. Dengan telepon satelit di genggamannya, dia mudah dihubungi wartawan kapan saja.

Lelaki tampan tamatan sekolah menengah pertama itu lihai merancang strategi perang. Maklum, dia sempat tiga tahun mengikuti pendidikan militer di Libya. Di sebuah kamp pelatihan di sana, ia belajar bergerilya dan perang dalam berbagai medan.

Ishak juga dikenal gemar menyandera warga sipil. Mereka yang diculik kerap dituduhnya sebagai cuak alias mata-mata TNI. Anggota DPRD Aceh Timur Ghazali dan atlet Aceh Singkil pernah diculiknya. Dari kalangan wartawan, tiga teknisi Televisi Republik Indonesia Banda Aceh pernah diculiknya. Juga, almarhum wartawan RCTI Ersa Siregar dan juru kamera Ferry Santoro. Ersa tewas pada 29 Desember 2003; Ferry dibebaskan pada Mei lalu.

Gubernur Aceh Abdullah Puteh dan Bupati Aceh Timur Azman Usmanuddin pernah berjanji akan menghadiahkan Rp 150 juta kepada siapa pun yang dapat menangkap Ishak, hidup atau mati. "Ah, kalau soal itu kami tak memikirkannya. Kami cukup bangga kerja keras prajurit membuahkan hasil," kata Asep.(sudrajat/imran ma/afp/sri wahyuni-pdat)



[sumber infoanda]
 Tembak Mati Ishak Daud, 14 Anggota TNI Naik Pangkat


BANDA ACEH - 14 prajurit TNI yang menembak mati Panglima Operasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Peureulak Ishak Daud akan mendapat kenaikan pangkat luar biasa sebanyak satu tingkat. Ke-14 prajurit itu masing-masing, 12 orang berasal dari pasukan Yonif Raider 500 dan dua anggota Kopassus.

"Mereka naik pangkat satu tingkat dari pangkat sebelumnya," kata Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Endang Suwarya usai acara pemulangan pasukan Yonif 527 di Pelabuhan Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, Rabu (22/9/2004).

Rencananya, Endang sendiri yang akan melakukan penyematan kenaikan pangkat pada Kamis mendatang, mewakili Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto, yang berhalangan hadir.

Meski salah satu pentolan GAM sudah tewas, diakui Endang, TNI masih punya banyak pekerjaan rumah. Pasalnya, masih banyak pentolan GAM lainnya yang sampai saat ini belum berhasil dilumpuhkan seperti Panglima Tertinggi GAM Muzakkir Manaf, Panglima GAM wilayah Jeunib Darwis Jeunib, Panglima GAM wilayah Pasee Sofyan Dawood, Abrar Muda Panglima GAM Wilayah Aceh Selatan dan sejumlah nama lainnya.

"Jika semua komponen dapat bekerja sama, dalam satu tahun kedepan situasi Aceh dapat segera pulih," katanya. Peristiwa yang menewaskan Ishak Daud, terjadi Rabu (8/9/2004) lalu, di Desa Babah Krueng, Kecamatan Peureulak Timur, Aceh Timur. Selain Ishak, istrinya Cut Rostina dan 11 orang anak buahnya juga tewas.

Ishak adalah salah seorang tokoh GAM yang paling ditakuti di wilayah timur Aceh. Pasalnya, pria yang kerap keluar masuk penjara ini, suka menculik warga sipil tanpa alasan yang jelas. Termasuk reporter dan juru kamera RCTI, Ersa Siregar dan Ferry Santoro. Ersa akhirnya tewas dalam penyanderaan tersebut karena baku tembak yang terjadi antara GAM dan TNI.

Yonif 527/BY Pulang ke Kesatuannya Sementara itu, 647 personel Batalyon Infanteri 527/Baladibya Yudha, Kodam V Brawijaya, dipulangkan ke kesatuannya, Rabu (22/9/2004).

Mereka pulang melalui Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya, Aceh Besar. Tiga orang tewas selama bertugas di Aceh, dari pasukan ini. Ketika diberangkatkan, mereka berjumlah 650 personel. Selama bertugas di Aceh, pasukan ini telah menembak mati 240 anggota GAM dan menyita 34 pucuk senjata berbagai jenis.(ton/)


[sumber Nur Raihan - detikNews, Rabu, 22/09/2004]

Jumat, 27 April 2012

Surat Dari Geudong Panglima, Cuak dan RBT

Gerakan Aceh Merdeka terlibat dalam tragedi peperangan
Oleh Chik Rini

SAYA berkunjung ke Lhokseumawe empat hari sebelum malam Tahun Baru 2002. Tapi dengan cepat saya merasa bosan di situ dan memutuskan berkunjung ke Geudong, sebuah kota kecil 16 km sebelah timur Lhokseumawe. Saya tinggal di Geudong sampai 22 Januari 2002 atau bertepatan hari kematian Teungku Abdullah Syafi'ie, pemimpin gerilya Gerakan Aceh Merdeka atau biasa disebut GAM.

Di Geudong saya numpang tinggal di satu rumah seorang pegawai Departemen Pekerjaan Umum. Istrinya masih kerabat dekat keluarga saya di Banda Aceh. Mereka orang asli Geudong. Orangtua mereka tuan tanah tempo dulu di daerah itu. Saudaranya banyak dan tersebar hampir di tiap kampung.

Keluarga itu punya tujuh anak. Dua anak gadisnya dipindahkan ke Banda Aceh sejak kondisi keamanan Geudong memburuk. Keluarga itu khawatir anak gadisnya terlalu sering bertemu dan bicara dengan tentara Indonesia yang markasnya dekat rumah mereka. Banyak kejadian, siapa yang dekat dengan militer Indonesia, dicurigai oleh GAM. GAM tak senang dan menganggap mereka cuak (mata-mata). Orang pun bisa dituduh macam-macam, walau sebenarnya cuma berbasa-basi, santun pergaulan, karena tak mungkin juga membawa sikap permusuhan dengan aparat Indonesia.

Dua tahun lalu, keluarga itu pernah punya pembantu perempuan keturunan Jawa. Atik namanya. Umurnya berkisar 27 tahun. Dia janda cerai beranak satu. Anaknya dititipkan pada kakaknya di Lhokseumawe. Atik berasal dari Medan. Dia hanya bisa berbahasa Aceh sepatah dua kata. Atik telah ikut keluarga itu selama dua tahun. Dia membantu mereka berjualan mi Aceh—mi kuning yang digoreng dengan racikan rempah-rempah dan rasanya pedas.

Atik agak teledor kalau ngomong. Atik suka memakai baju ketat. Dia sering ke markas Brigade Mobil—pasukan elit kepolisian Indonesia. Kabarnya Atik pacaran dengan salah satu anggota Brimob di sana. Entah apa, suatu hari Atik dibawa pergi seseorang yang dicurigai punya hubungan dengan GAM. Banyak orang melihat Atik dibawa pergi oleh tukang RBT.

RBT singkatan dari rakyat banting tulang—istilah yang agak dramatis buat tukang ojek di Aceh. Oleh si tukang RBT, Atik kabarnya dibawa naik “ke atas”—sebutan lokal untuk markas gerilyawan GAM di gunung. Atik tak ada kabarnya, sampai beberapa minggu kemudian seorang pengemudi RBT lain buka mulut.

Si tukang RBT ini juga turut dibawa ke atas. Dia punya salah karena sering terlihat ke tempat Brimob. Padahal dia ke situ mengantar belanjaan saja. Selama beberapa hari matanya ditutup kain hitam. Dia hanya tahu siang dan malam dari panas matahari yang jatuh di atas kepalanya. Si tukang RBT yang masih muda itu diikat di sebuah batang pohon. Dia menangis mohon ampun.

Suatu malam kain matanya dibuka. Saat itulah dia melihat Atik, yang dia kenal karena sering bertemu di pasar. Atik, si perempuan malang, diikat tangannya, hanya bisa merintih. Tangisnya sudah habis. Di hadapan si tukang RBT itu Atik dieksekusi. Mayat Atik ditanam dalam sebuah lubang.

Si tukang RBT beruntung. Dia dilepaskan karena seorang gerilyawan ada yang kenal baik dengannya karena masih sekampung. Dia pun diampunkan. Tapi melihat eksekusi Atik, dia sempat sakit tiga bulan. Stres. Setelah sembuh dia menjual sepeda motornya kemudian pergi ke Pulau Batam. Tak pulang lagi.

Tak ada yang menuntut atas peristiwa itu. Tak ada juga yang membuat aduan. Penyebab hilangnya Atik masih simpang siur. Orang-orang di Geudong hanya menduga-duga. Orang-orang yang kenal dekat dengannya memilih tutup mulut. Cerita tersebar dari mulut ke mulut. Ada yang bilang Atik dipotong lehernya, ada yang bilang dia ditembak kepalanya. Yang jelas sampai sekarang Atik tak ada kabar beritanya.

Selang beberapa bulan setelah Atik menghilang, keuchik (lurah) di kampung tempat saya tinggal, juga hilang. Dia hilang tak tentu rimbanya. Beberapa orang memberitahu saya keuchik Amir diambil orang GAM dan “dibawa ke atas.”

Apa kesalahan Keuchik Amir?

Rasa penasaran mendorong saya mendatangi rumahnya yang bersebelahan dengan markas Komando Rayon Militer (Koramil) Geudong. Istrinya, ketika tahu tujuan saya, menolak bicara. Istri Keuchik Amir takut. Peristiwa hilang suaminya sudah lama berlalu. Dia tak berani membangkitkan cerita itu lagi. Takut pihak penculik marah.

Saya hanya dapat keterangan dari orang-orang sekitar rumahnya. Keuchik Amir diambil ketika pulang dari kenduri selamatan orang naik haji di kampung tetangga. Tak jelas siapa yang mengambilnya. Tapi Keuchik Amir terlihat pergi dengan seseorang yang memanggilnya di jalan. Sejak itu dia tak pulang lagi.

Seminggu hilang, istri dan keenam anak yang masih kecil-kecil, hanya pasrah. Keluarga itu melaksanakan kenduri selamatan dan tahlil kematian untuk Keuchik Amir. Dari mulut ke mulut orang di Geudong beredar cerita, Keuchik Amir juga telah dipotong lehernya. Ada juga yang bilang Keuchik Amir dituduh cuak. Keuchik Amir dibicarakan sering nongkrong di markas Koramil. Kemungkinan lain ada seseorang yang dendam secara pribadi dengan Keuchik Amir. Sakit hati, orang itu melapor ke GAM, mengadu keburukan Keuchik Amir.

Di Aceh, orang bisa dengan sangat mudah menghabisi orang yang tidak disenanginya. Cukup dia memfitnah musuhnya kepada salah satu pihak, aparat Indonesia atau Aceh Merdeka. Tuduhannya ya sebagai mata-mata.

Atik dan Keuchik Amir hanya dua dari cukup banyak cerita yang saya dengar selama bekerja beberapa tahun di Aceh. Beberapa cerita tragis serupa saya dengar dari mulut orang-orang Geudong. Tapi ketika saya menjumpai keluarga korban, tak satu pun yang mau memberi pernyataan. Mereka menolak bicara karena saya wartawan. Mereka takut.

Kepada siapa? Tak jelas takut pada siapa. Tapi secara jelas saya melihat rasa takut di mata orang-orang di sana. Mereka takut salah omong. Lucunya mereka mau bicara kalau saya janji tak mengutip pernyataan mereka. Anak-anak muda yang mengobrol dengan saya selalu memastikan dulu bahwa saya tak menulis apa yang mereka ceritakan. Terkadang sambil bercanda mereka memeriksa apakah saya mengantungi tape recorder.

Sulit bagi saya untuk percaya atau tidak percaya apakah cerita tentang Atik dan Keuchik Amir benar adanya. Tapi ada pengalaman lain yang menarik. Suatu hari menjelang kepulangan saya, tetangga di belakang rumah tumpangan saya panik. Adiknya yang bekerja sebagai wakil camat di Kecamatan Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur diculik GAM wilayah Peureulak. GAM minta tebusan Rp 200 juta. Saya mendengar langsung dia bercerita hal itu kepada keluarga tempat saya tinggal.

Saya kasihan dan merasa sedih. Saya menawarkan jasa untuk mencari tahu kabar si adik. Saya berniat menghubungi juru bicara GAM Peureulak Ishak Daud yang sering berkomunikasi dengan wartawan. Paling tidak saya ingin memastikan si adik baik-baik saja.

Dengan ketakutan, keluarga itu minta saya tak ikut campur. Apalagi mereka tahu saya wartawan. Mereka minta saya tak melaporkannya di koran. Mereka takut, karena sudah diancam pihak penculik. Jika peristiwa itu diketahui orang lain, apalagi sampai dipublikasikan, si adik akan dihabisi. Karena itulah keluarga tak mau ambil risiko.

Saya hanya bisa prihatin. Beberapa minggu sesudahnya, saya mengetahui kalau keluarga itu hanya bisa membaca yasin, doa keselamatan yang biasa ditujukan untuk orang mati. Tak ada lagi kabar tentang nasib si adik. Tapi mereka masih menyimpan harapan si adik masih hidup.
DI GEUDONG saya menghadapi orang-orang yang takut bicara. Susah meyakinkan mereka bahwa bercerita yang benar adalah hal baik. Tapi ketika mereka bicara tentang keselamatan jiwa, saya juga tak bisa berbuat apa-apa. Terlalu banyak kematian yang mereka lihat. Tak tahu siapa musuh siapa kawan. Nyawa tak ada harganya di Aceh. Anak-anak di rumah suka bercerita kepada saya bagaimana mereka melihat mayat dibuang di sembarangan tempat. Ada yang lehernya dipotong. Ada yang kepalanya ditembak atau tubuhnya lebam-lebam akibat penganiayaan. Anak-anak itu pernah menemukan mayat laki-laki setengah telanjang yang dibuang di sawah depan rumah mereka.

Apakah benar GAM melakukan kekerasan?

Seorang anak muda yang punya usaha dagang di pasar Geudong bercerita. Setahun lalu dia hampir masuk ke GAM. Tapi melihat kelakuan kawan-kawannya dia urungkan niat itu. Dia melihat kawan-kawannya yang masuk GAM bukan lagi murni berjuang untuk kemerdekaan Aceh. Kawan-kawannya itu berubah jadi pemeras dan tukang culik orang. Mereka melarang orang berbuat dosa. Tapi dengan jelas dia melihat mereka bercimeng (isap ganja). Bagi anak muda itu tak heran jika GAM bisa berbuat kejam.

Perang di mana pun juga selalu membuat lapisan terburuk dalam masyarakat ikut peperangan. Banyak orang mengatakan mereka yang gabung ke GAM maling ayam, tukang mabuk di Geudong. Kebanyakan anak muda yang mau bergabung anak-anak kampung pedalaman. Mereka ini disebut-sebut sebagai GAM cantoy. Mereka pengangguran dan tidak sekolah. Tugasnya sebagai mata-mata. Memberi informasi kalau ada tentara lewat atau orang sipil yang berseberangan dengan GAM. Anak-anak itu juga jadi penagih uang yang disebut uang perjuangan dari orang-orang kaya. Pemuda cantoy tidak punya senjata. Tapi mereka punya pelindung yang punya senjata. Mereka berani dan nekat, walau senjata mereka rakitan.

Anak muda itu menyuruh saya pergi masuk ke kampung-kampung pedalaman. Di sana banyak cantoy. Umurnya masih muda-muda. Di pasar Geudong juga ada, tapi keberadaannya tak kentara. Tapi orang-orang di sana banyak yang tahu mana para cantoy. Orang-orang tak peduli, karena mereka tidak juga mengganggu.

Bagaimana mengenali mereka? Dulu mereka punya sandi-sandi. Suatu ketika mereka berpakaian rapi. Tapi kemudian mengubah penampilannya dengan pakai peci. Lalu berubah tanda dengan membawa sisir dan silet bermerek tertentu dalam dompet.

Banyak kasus orang diculik GAM. Biasanya kalau sudah dibawa naik ke atas, jarang ada yang pulang. Ini beda dengan orang yang diculik aparat Indonesia. Kalau mati, mayatnya dicampakkan di sembarang tempat.

Cuma yang jadi persoalan sekarang, dalam situasi keamanan yang tak menentu ini, banyak orang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kalau ada musuh, gampang menghabisinya, dengan fitnah. Meski itu masalah pribadi, tapi bisa disangkutkan dengan GAM. Orang bisa diambil kapan dan di mana saja, Bahkan di keramaian pasar.
PASAR Geudong tempat menarik. Di sana ada warung kopi Barona yang menjual makanan favorit saya: martabak durian. Yang jualan dua orang kakek yang sangat kompak kalau memasak. Yang satu membuat adonan, yang satu lagi memanggangnya di atas pemanggang besi lebar. Rasanya sungguh lezat. Saya bisa menghabiskan dua porsi sekali duduk. Harga per porsi Rp 2.500.

Martabak durian di situ sangat terkenal dan jadi semacam hak paten kedua kakek itu. Mulanya mereka hanya bereksperimen sekitar tiga tahun lalu. Martabak telur diganti martabak durian. Karena laris, pedagang lain ikut-ikutan. Tapi rasa dan lembutannya tak bisa menyaingi martabak barona.

Warung kopi Barona juga selalu ramai pengunjung. Selain jual martabak, ada juga sate kambing dan mi Aceh. Kebanyakan yang duduk di situ orang laki. Mereka datang untuk minum secangkir kopi dan bisa menghabiskan waktu sejam mengobrol dengan kenalan.

Biasanya di tiap warung kopi ada televisi yang memutar film VCD dan menyediakan suratkabar. Tapi di warung Barona tak ada televisi. Suratkabarnya hanya harian Serambi Indonesia yang sudah lecek karena berpindah dari tangan ke tangan.

Kalau sudah sore pasar Geudong itu jadi ramai. Di sana tak sedikit orang laki yang pergi belanja. Mereka mengayuh sepeda tua dari kampung-kampung yang jauh. Mereka membeli ikan. Jarang sayur. Orang di sana tak begitu penting makan sayur. Jalan depan pasar merupakan lintasan transportasi darat menuju Medan. Bus besar dan truk barang banyak yang berhenti di Geudong.

Di atas atap kios pedagang buah yang berderet di pinggir jalan, ada bendera-bendera merah putih kecil yang telah memudar warnanya. Pedagang kaki lima, warung rokok berserak di pinggiran jalan pasar. Kambing-kambing berkeliaran cari makan dari sampah-sampah yang dibuang pedagang. Beragam penampilan orang. Ibu-ibu berbaju kurung, kakek-kakek pakai sarung. Anak-anak muda bersepatu kets. Anak-anak gadis bercelana jins dan baju ketat tapi berjilbab. Kontras dengan beberapa anak muda berkopiah taliban yang duduk di beberapa warung kopi. Pasar itulah pusat keramaian di Geudong.

Di tengah keramaian pasar itulah Sersan Tarji Surbakti, pada Juli 2001, ditembak mati. Pada sore yang ramai, polisi yang berpakaian sipil itu, membawa kedua anaknya, satu kelas dua SD dan satu lagi baru berumur empat tahun, pangkas rambut. Di depan kios pangkas yang baru sesaat ditinggalkannya, saat hendak menghidupkan sepeda motor untuk pulang, seorang pemuda mendekat. Moncong pistol rakitan diarahkan tepat di kepala. Tembakan pertama kena sasaran. Sersan Taji masih bisa bereaksi merogoh pistol di pinggangnya. Tapi dengan cepat senjatanya dirampas si penembak. Dengan senjata rampasan itu Sersan Taji mendapat tembakan tambahan di perutnya. Sersan Taji tewas di tempat disaksikan anak-anaknya yang menjerit-jerit histeris, minta tolong. Tapi tak satu orang pun bergeming. Orang-orang justru banyak yang lari ketakutan, menjauh.

Peristiwa itu bagai menambah cerita orang-orang yang ditembak di keramaian pasar. Tahun sebelumnya seorang Komandan Koramil Geudong berpangkat Letnan dan seorang warga negara biasa mati ditembak disaksikan oleh banyak orang. Pelakunya melarikan diri dengan mudah.

Pasar Geudong memang ramai. Tapi keramaian itu lenyap begitu Magrib tiba. Tak ada satu toko dan warung pun yang buka. Tak ada orang yang berkeliaran di sana. Orang-orang kampung sudah pulang ke rumahnya.

Malam Jumat, 10 Januari 2002, saya mendengar suara rentetan senjata tepat ketika azan Magrib sedang berkumandang di mesjid-mesjid. Rentetan senjata susulan meletus bertubi-tubi. Tentara Indonesia di Markas Koramil dekat rumah ikut melepaskan tembakan. Entah ke mana arah pelurunya, suara letusannya sangat kuat. Setengah jam suara tembak-tembakan itu terdengar. Kami tiarap dalam rumah takut peluru nyasar. Ketika keadaan kembali aman, saya dapat kabar Markas Polisi di pasar diserang GAM. Tak ada korban jiwa. Yang seperti itu sering terjadi.
DUA kali saya keliling masuk ke kampung-kampung di Geudong. Ada teman yang mau mengantar dengan sepeda motornya. Saya suka pemandangan desa yang saya lalui. Jika ke arah pedalaman saya jumpai hamparan sawah hijau membentang luas. Jika ke arah pesisir pantai saya jumpai deretan tambak-tambak udang.

Alangkah senangnya kalau Aceh aman. Suasana pedesaan sangat kental. Banyak rumah panggung. Ada pesantren dan balai pengajian. Anak-anak bermain di saluran irigasi dan perempuan-perempuan bekerja menanam padi di sawah.

Pemandangan menyedihkan saya tangkap saat mengunjungi situs peninggalan kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Letaknya tiga kilometer dari pasar Geudong. Komplek makam Malikul Saleh, sang raja, yang berukir kaligrafi indah, sunyi tanpa pengunjung. Dulu waktu Aceh masih aman, banyak turis dan anak sekolah berkunjung. Kini di situ hanya ada kawanan sapi milik orang kampung yang merumput.

Setiap saya melalui warung kopi atau gardu ronda, yang ramai orangnya, orang-orang memandang saya dengan tatapan aneh. Di satu kampung saya melalui pos penjagaan Marinir. Jalan di depan pos dibarikade secara zig-zag. Pos itu rumah orang kampung yang ditinggal pergi pemiliknya. Pasukan Marinir membangun benteng dari karung diisi pasir di depan pos. Dua moncong senjata besar mencuat dari balik benteng. Tiga prajurit marinir tertawa ketika kami menyapa tanda permisi. Mereka mengangkat piring kaleng yang mereka pegang. Mereka sedang makan siang.

Pemandangan sedih lain saya lihat di dua kampung. Bangunan sekolah di sana hangus dibakar. Satu sekolah terbakar tak bersisa. Satu sekolah lagi masih ada kelas yang terselamatkan.

Agustus tahun lalu, memang terjadi aksi pembakaran sekolah secara serempak di Aceh Utara. Siapa yang melakukannya, tak jelas. Yang satu menuduh pasukan Indonesia. Yang lain mengatakan GAM. Wallahualam. Hanya Allah yang tahu.

Saya berpikir, apakah GAM sudah berubah jadi bandit sosial di Aceh? Yusuf Ismail Pase dari Lembaga Pembelaan Lingkungan Hidup dan Hak Azasi Manusia di Lhokseumawe menjawab pertanyaan saya itu dengan hati-hati. Dia mengatakan saat ini ada kelompok yang memanfaatkan konflik Aceh untuk cari keuntungan dengan memeras. Kelompok itu bekerja layaknya mafia. Mereka kriminal. “Saya tidak tahu apakah mereka GAM benaran atau hanya nyantel nama GAM. Tapi mereka selalu menyebut dirinya GAM.”

Saya menjumpai Yusuf di kantornya di kawasan Cunda Lhokseumawe. Dari lantai dua kantor yang berupa toko itu, saya bisa memandang jelas pos polisi lalu lintas di seberang jalan. Saat itu ada sebuah truk penuh barang dari arah Medan berhenti depan pos. Kernetnya turun dan berlari-lari ke arah pos. Di balik pagar dua polisi lalu lintas menunggu. Si kernet menyerahkan sesuatu lalu pergi. Sudah semacam tradisi, semua kendaraan, yang melintas di sana menyetor uang untuk polisi-polisi itu.

Yusuf menyebutkan, orang-orang yang menyatakan GAM itu mendatangi orang-orang kaya minta sumbangan uang perjuangan. Jumlahnya bisa jutaan, tergantung kekayaan si penyumbang.

Kalau masyarakat takut bicara itu tidak heran lagi. Yang dihadapi mereka teror. Banyak orang memilih tutup mulut karena takut salah bicara atau takut ada pihak yang terpojokkan. “Di sini nyawa tak ada harganya. Saya bisa hilang kapan dan di mana saja. Syukur kalau mayatnya ketemu. Terkadang ada yang hilang tak tentu rimbanya. Intel Aparat dan GAM ada di mana-mana. Di depan kantor saya juga ada mereka.”

Yusuf termasuk aktivis yang berani bersuara. Tapi belum lama ini Yusuf sempat lari ke Jakarta karena diteror Aparat Indonesia dan GAM.
TEUNGKU Ishak Daud adalah juru bicara GAM wilayah Peureulak. Kelompok mereka terkenal sering menculik orang-orang sipil. Mulai dari orang yang bekerja di pemerintah Indonesia sampai wartawan-wartawan lokal. Bahkan sejak Januari lalu, kelompok GAM Peureulak menahan tujuh siswi SMU dan seorang siswa SMP di markasnya. Anak-anak yang masih di bawah umur itu dianggap cuak karena sering terlihat dekat dengan tentara-tentara Indonesia.

Ishak Daud ketawa keras ketika saya menuding mereka dengan sebutan kelompok kriminal yang suka menculik orang sipil. Saya mengobrol dengannya, satu malam awal Februari lalu, di sebuah rumah gubuk yang hanya berpenerang beberapa batang lilin di pedalaman Peureulak Kabupaten Aceh Timur.

Daud bercerita kepada saya, tentang dirinya dan GAM. Daud bersikap baik dengan wartawan. Tapi Daud pernah menahan wartawan harian Serambi, Waspada, dan TVRI, hanya karena wartawan-wartawan itu tak adil dalam membuat berita tentang GAM.

Daud tersenyum malu ketika saya bilang bahwa aksi kelompoknya menculik orang-orang sipil sebagai bagian promosi untuk menarik perhatian dunia. Tapi gara-gara itu juga, Daud mengatakan, dia beberapa kali kena tegur GAM Swedia tempat Muhammad Hasan di Tiro, wali negara Aceh Merdeka, bermukim.

GAM Peureulak saya anggap kelompok paling nekat. Mereka pernah menduduki Kota Idie Rayeuk selama 48 jam pada Januari 2001. Mereka juga berani melakukan sweeping di jalan Banda Aceh-Medan pada siang bolong.

Kata Daud, GAM mengambil orang-orang sipil karena mereka punya kesalahan terhadap GAM. Kesalahannya beragam. Terberat jika seseorang dianggap sebagai cuak oleh GAM. Cuak sangat berbahaya bagi perjuangan mereka. GAM tak memberi ampun kepada orang-orang yang kedapatan jadi informan militer Indonesia, apalagi jika sampai menghilangkan nyawa orang GAM.

“Misi perjuangan kami adalah menyelamatkan bangsa Aceh. Tapi kami tidak menyelamatkan seorang pengkhianat bangsa,” kata Daud.

Siapa pun bisa dianggap cuak, jika kedapatan dekat dengan militer Indonesia. GAM tidak peduli siapa mereka. Nyatanya, GAM menahan tujuh siswi SMU gara-gara berpacaran dengan orang-orang TNI. Buntutnya para pelajar itu dianggap cuak. Seorang tahanan lainnya, seorang anak laki berumur 14 tahun. Saya tak habis pikir, anak sekecil itu bisa jadi mata-mata, yang menunjuk keberadaan tiga anggota GAM sehingga ditembak mati oleh TNI.

Tapi saya agak lega, ketika Ishak Daud memberitahu saya anak-anak itu akan dilepaskan. Saya hanya merasa kasihan. Anak-anak itu masih menjalani hukuman di markas GAM. Saya tidak tahu apa mereka dipenjara seperti di penjara umum. Tapi kepada saya, anak-anak itu mengatakan selama ditahan mereka belajar mengaji di markas GAM.

GAM punya hukum peradilan sendiri. Orang-orang yang bermasalah itu harus menjalani peradilan di markas GAM di gunung. GAM punya khadi yang bertindak sebagai hakim yang memutuskan sebuah perkara. “Tapi mereka bukan dihukum dengan sembarang tuduhan. Harus ada saksi, apakah benar dia bersalah,” kata Daud.

Hukuman terberat dibunuh. Paling ringan biasanya hanya ditahan. Selama ditahan, katanya, GAM membimbing orang-orang yang bermasalah itu. Mereka diajarkan ilmu agama. Penjaranya sering pindah-pindah, mengikuti markas GAM. “Kalau ada orang dibunuh GAM, pasti dia punya salah berat. Ada juga yang dipotong lehernya, tapi biasanya dia ditembak terlebih dahulu.”

Daud tak menafikan bahwa tak sedikit orang jahat dalam tubuh GAM. Siapa pun boleh masuk GAM. Tidak ada seleksi untuk itu. “Tapi kami berjuang bukan untuk pangkat dan harta. Kalau boleh saya bilang, saya sendiri sebenarnya orang jahat. Indonesialah yang membuat kami seperti ini. Di sini kami berpendidikan rendah, orang hidup dalam kemiskinan, makan tak cukup. Itu membuat orang mudah terjerumus ke perbuatan buruk. Tapi di dalam GAM kami diubah menjadi lebih baik. Di sini kami punya hukum sendiri. Kalau ada yang kedapatan menyakiti rakyat, dia kita hukum. Biasanya kita rendam di kubangan semalam suntuk. Jadi tidak benar kalau dibilang kami jahat,” jelas Ishak Daud.

Daud sendiri hanya sekolah sampai SMP. Dia sudah kenyang kehidupan penjara. Mulai dari kamp pendatang haram di Malaysia, lalu hidup berpindah-pindah di penjara Aceh dan Sumatrra Utara. Entah benar atau tidak, Daud bercerita, saat kelas tiga SD dia pernah menimpuk ibu gurunya dengan batu, gara-gara si guru mengharuskan dia bicara bahasa Indonesia di sekolah.

Apakah hidup Daud lumayan enak atau tidak sebagai gerilyawan GAM? Dari ceritanya, dia terbiasa hidup berpindah-pindah seperti pelarian. Pakaiannya cuma kemeja biasa, kecuali sepatunya, bot kulit warna coklat muda, walau tak banyak yang tahu, berharga Rp 2 juta. Kemewahan yang paling kentara cuma terlihat pada alat-alat komunikasi yang dipakainya. Telepon satelitnya butuh uang paling sedikit Rp 16 juta tiap bulan. Dia juga memakai laptop untuk internet.

“Semua ini dibayar dengan uang rakyat Aceh. Ini demi perjuangan kemerdekaan Aceh. Kami belum punya negara yang memiliki anggaran dan biaya yang kami gunakan adalah uang masyarakat. Mulai untuk membeli senjata, baju tentara hingga uang makan prajurit,” katanya.

GAM mengutip uang dari orang-orang kaya dan perusahaan-perusahaan. GAM tak memeras rakyat miskin. Tapi mereka minta uang perusahaan-perusahaan itu. “Kalau untuk PT-PT ada sanksi jika mereka tidak memberi. Mereka tinggal di Aceh dan mengelola pabrik-pabrik di Aceh. Ini negara orang Aceh, mereka harus memberikan sekian persen keuntungan mereka untuk bangsa Aceh. Kalau tidak mau kasih silakan keluar dari sini.”

Saya teringat tentang adik tetangga tempat saya tinggal di Geudong. Saya bertanya tentang kebenaran kasus penculikan wakil camat Idie Rayeuk oleh GAM. Ishak Daud mengatakan dia tak tahu. “Mungkin dia diambil sama GAM daerah Idie Rayeuk.” Tapi Daud menambahkan bahwa dia mendengar wakil camat itu sedang kritis karena sempat dipukuli tentara Indonesia ketika terjadi penyisiran di Idie Rayeuk.

Selama sehari semalam saya bersama GAM Peureulak awal Februari lalu, saya melihat betapa dekat hubungan mereka dengan warga di kampung-kampung. Orang-orang kampung terbiasa melihat pasukan GAM bersenjata berkeliaran di jalan-jalan kampung, atau duduk di warung-warung kopi. Mereka ada di mana-mana. Ideologi Aceh Merdeka ada dalam diri masyarakat kampung itu. Saya menjadi mahfum, jika terkadang militer sulit menemukan mereka. Mereka berlapis-lapis. Intelnya ada di mana-mana. Di tiap simpang jalan dan warung. Masih banyak orang yang melindungi mereka.

Saya berpikir, salah satu kunci kekuatan GAM adalah dukungan masyarakat terhadap mereka. Tapi jika banyak orang-orang sipil mereka sakiti, masih adakah dukungan untuk mereka?
DALAM perjalanan pulang ke Banda Aceh, 23 Januari 2002 siang, saya mendapat kabar kematian Teungku Abdullah Syafi’ie. Saat itu mobil umum yang saya tumpangi melintasi Kota Sigli, 112 kilometer dari Banda Aceh.

Ada banyak orang di depan Rumah Sakit Umum Sigli. Tentara juga berjaga-jaga. Dari seorang sopir labi-labi (angkutan kota), kami di mobil mendapat cerita bahwa ada banyak mayat dievakuasi ke rumah sakit. Orang-orang datang mau melihatnya.

“Salah saboh mayat nyan, na yang peugah Teungku Lah (Katanya salah satu mayat adalah Teungku Lah),” kata pria itu dalam bahasa Aceh. Tapi orang-orang tak bisa melihatnya. Mereka tak diizinkan masuk ke kamar mayat. Di situ ada aparat keamanan berjaga-jaga.

Berita itu mengejutkan. Tapi banyak orang yang tak percaya. Setahun sebelumnya, panglima Syafi’ie pernah dinyatakan tewas oleh Tentara Nasional Indonesia. Tapi nyatanya dia masih hidup.

Berita kematian Syafi’ie, dalam usia 52 tahun, sebenarnya hari itu telah muncul di beberapa koran luar Aceh. Tapi banyak yang meragukan, sampai akhirnya abang kandung Syafi’ie sendiri memastikan salah satu dari tujuh mayat yang ada di kamar jenazah rumah sakit itu adiknya.

Syafi’ie tewas dalam sebuah pengepungan oleh 20 orang tentara Indonesia di pedalaman hutan Jiem-jiem, Kecamatan Bandar Baru, Pidie, pada 22 Januari siang. Turut tewas bersama Syafi’ie, istrinya Cut Fatimah, perempuan berusia hampir 50 tahun yang sedang mengandung enam bulan, serta lima pengawal Syafi’ie. Pasangan ini memang agak susah mendapatkan anak.

Syafi’ie sudah bertahan di situ sejak sembilan bulan lalu. Fatimah setia menemaninya. Militer Indonesia mengintip mereka selama beberapa hari. Mulanya terjadi kontak senjata selama beberapa menit. Kekuatan mereka tak berimbang karena ada 10 tentara yang mengepung gubuk tinggal Syafi’ie.

Warga kampung Cubo, sebuah perkampungan antara Jiem-jiem dan Paru, terakhir kali melihat Syafi’ie di Cubo dengan mengendarai sepeda motor pada 17 Agustus 2001. Kota kecil Paru terletak 143 kilometer dari Banda Aceh. Saat itu, belasan gerilyawan GAM menembaki bendera Merah Putih yang dikibarkan warga Cubo karena perintah tentara Indonesia untuk menghormati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Syafi’ie marah melihat kelakuan prajuritnya membuat onar di kampung. Syafi’ie khawatir, militer Indonesia marah karena peristiwa itu. Bisa-bisa orang kampung disakiti. Warga Cubo menyaksikan sendiri bagaimana Syafi’ie menggiring belasan gerilyawan GAM masuk ke hutan Jiem-jiem.

Cubo kampung terdekat dengan markas Syafi’ie di Jiem-jiem. Cubo berjarak delapan kilometer dari Desa Paru, yang terletak di lintasan Medan-Banda Aceh. Untuk masuk ke Cubo, dari Paru orang harus melewati dua jembatan, satu di antaranya jembatan gantung yang rusak parah. Di kampung itu hanya ada satu sekolah dasar dan pesantren tradisional, Darussa’adah.

Warganya relatif miskin dan curiga terhadap orang-orang asing yang datang ke kampung mereka. Mereka sudah mengalami begitu banyak kekerasan. Hampir tiap minggu, pada malam hari, tentara-tentara Indonesia masuk ke kampung itu mencari Syafi’ie.

Rumah Syafi’ie sasaran tentara. Rumah Syafi’ie itu sendiri lebih mirip gudang karena sering jadi sasaran kemarahan tentara bila Syafi’ie gagal mereka temukan. Mereka mengobrak-abrik barang di rumah tanpa penghuni itu. Dalam rumah hanya ada dua ruangan yang berisikan tempat tidur, meja, dan lemari tua.

Rumah itu cermin kesederhanaan Abdullah Syafi’ie. Bahkan sebenarnya Syafi’ie bukan pemilik rumah. Itu rumah Cut Fatimah yang pernah dibakar militer Indonesia pada masa Daerah Operasi Militer 1990. Syafi’ie lebih sering berada di hutan-hutan, berpindah-pindah, dan bertahan tinggal di gubuk darurat. Dia lebih sering makan mi instan daripada ikan.

Bagi warga Cubo, Syafi’ie pahlawan. Mereka berebutan mencium tangan Syafi’ie, jika dia turun ke kampung-kampung. Bukan karena dia sebagai panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka orang menghormatinya. Tapi tingkah laku Syafi’ie mencerminkan sikap seorang pemimpin yang cinta sama rakyatnya. Di sana bahkan Syafi’ie lebih populer dibanding wali negara Aceh Merdeka Muhammad Hasan di Tiro yang kini bermukim di Stockholm, Swedia.

Syafi’ie seorang panglima perang tertinggi dalam AGAM, sayap militer GAM. Tapi Syafi’ie tak memanfaatkan jabatan itu untuk cari keuntungan pribadi. Dia orang sederhana, taat beragama, cerdas, dan moderat.

Saya pikir Syafi’ie berbeda jauh dengan kebanyakan orang GAM yang memanfaatkan organisasi untuk cari keuntungan pribadi. Syafi’ie tak meninggalkan apa pun, bahkan untuk istri keduanya, Mala, yang kini tinggal di Matang Geulumpang Dua, Bireun.

Syafi’ie dimakamkan bersama istri dan dua pengawalnya dalam satu liang di belakang rumah Cut Fatimah, di tengah malam buta, hanya berpenerang lampu petromak, tanpa upacara selayaknya pemakaman seorang jenderal sebuah negara. Tidak ada nisan yang bagus, hanya batang pohon jarak sebagai tanda. Syafi’ie mungkin seorang pemberontak. Tapi dia segelintir GAM yang berjuang dengan hati ikhlas untuk membebaskan negaranya dari penjajahan.•

e-mail: chikrini72@yahoo.co.id
Publish by Pantau, Maret 2002