Sabtu, 25 Oktober 2014

Yonkav-13 Satya Lembuswana Diresmikan

Denkav-1/Mtc yang berkedudukan di Jl Soekarno-Hatta Km 28 Kabupaten Kutai Kartanegara mulai Kamis (23/10) berubah status menjadi Batalyon Kaveleri-13 Satya Lembuswana yang diresmikan oleh Pangdam VI Mulawarman Mayjen TNI Benny Indra Pujihastono, S.IP.

Acara ditandai dengan penyerahan Lambang Satuan, Tongkat Komando dan Tunggul Satuan oleh Pangdam VI/Mlw kepada Danyon Kaveleri-13 Satya Lembuswana, Mayor Kav Aria S.Saleh. Dengan digelarnya Batalyon Kavaleri-13/Satya Lembuswana di wilayah Kalimantan Timur, merupakan jawaban atas kesungguhan TNI AD dalam menyikapi dan menyiasati kecenderungan ancaman ke depan yang semakin berat dan kompleks.

Kehadiran Batalyon Kavaleri-13/Satya Lembuswana ini, diharapkan dapat menambah kemampuan jajaran Kodam VI Mulawarman dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai komando operasional dan komando pembinaan. Demikian penegasan Pangdam VI/Mlw Mayjen TNI Benny Indra Pujihastono, S.IP. saat meresmikan Yonkav-13/SL.

“Saya berharap masyarakat di wilayah Kalimantan Timur khususnya Kabupaten Kutai Kartanegara dapat menerima kehadiran Batalyon Kavaleri-13/Satya Lembuswana dengan tangan terbuka dan menaruh harapan penuh sehingga pelaksanaan tugas pokoknya dapat berhasil dengan baik,” kata Pangdam dalam sambutannya.

   balikpapanpos  

Mimpi Visi Maritim Jokowi

Visi Maritim JokowiJokowi harus mendorong nelayan pantai menjadi nelayan lepas pantai. sehingga dapat mencegah pencurian ikan oleh kapal asing.

Dalam pidato perdananya usai dilantik menjadi presiden, Joko Widodo (Jokowi) menyatakan akan mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai Negara Maritim.

“Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya.” Demikian, sebagian kutipan pidato Jokowi.

Sejumlah kalangan menyambut baik tekad dan janji Jokowi tersebut. Rohmin Dahuri misalnya. Menurut dia, komitmen Jokowi tersebut merupakan sesuatu yang dahsyat. Sebab, selama ini pembangunan Indonesia lebih fokus ke darat. Padahal 3/4 wilayah Indonesia adalah laut.

Rohmin mengatakan, Jokowi berusaha menghidupkan kembali Tri Sakti-nya Soekarno. Menurut dia, Soekarno pernah memperkuat maritim.

Namun, pada masa Orde Baru tak ada kementerian kelautan. Visi kelautan kembali bangkit era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan berdirinya kementerian kelautan dan berlanjut hingga era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Sayangnya, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kementerian kelautan direduksi lagi. Menurut dia, hal itu berimplikasi pada kebijakan publik.

SNI berharap semangat Jokowi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia bukan hanya semangat atas petunjuk pengusaha. Poros maritim hanya dijadikan pencitraan dan menguntungkan pengusaha semata.

Sebab, sepanjang garis pantai dari Sabang sampai Merauke ada keluarga nelayan yang menggantungkan hidupnya pada usaha pesisir dan lautan.

Untuk itu, Jokowi harus mendorong nelayan pantai menjadi nelayan lepas pantai. sehingga dapat mencegah pencurian ikan oleh kapal asing. Selain itu, harus ada alih teknologi kepada para nelayan guna meningkatkan sumber daya manusia.

Dari sisi permodalan, nelayan juga harus dikuatkan. Perbaikan infrastruktur atau penambahan pelelangan ikan, SPBN, dan kuota BBM untuk nelayan juga harus ditambah. Selain itu, harus ada perlindungan di wilayah laut Indonesia termasuk mengakui zonasi wilayah tangkap nelayan.

Pakar hukum laut internasional, Hashim Djalal, menambahkan, luas laut di Tanah Air saat ini belum sebanding dengan pengamanannya. Hashim pernah menghitung kebutuhan untuk pengamanan wilayah laut itu.

“Butuh sekian ratus kapal dan sekian ratus prajurit, misalnya. Tapi, kan kita tidak punya sebanyak itu. Menurut saya, ini yang penting diperhatikan,” ujarnya.

Dari dulu sampai sekarang, dia selalu mengingatkan tentang kemampuan untuk memanfaatkan, mempertahankan, dan mengembangkan potensi kelautan yang ada. Tujuan akhirnya adalah pengembangan ekonomi kawasan maritim dapat mendorong perekonomian nasional.

Matahari semakin menyengat. Muhamad Saleh beranjak pulang ke rumahnya yang berjarak sekitar 7 meter dari bibir pantai. Rumah yang tak seberapa besar dengan dinding yang sudah mulai retak serta sisa cat yang tak jelas lagi warnanya. Sementara itu, di depan rumah tampak tumpukan keranjang dan seperangkat alat untuk menjemur ikan.

Bagi Saleh, siapa pun presidennya, ia tetap harus bekerja seperti biasa. Presiden datang dan pergi. Namun, mereka tetap menggantungkan hidupnya di laut. Ia tak berharap uang dari pemerintah, namun alat untuk bekerja.

"Jangan berikan kami sumbangan berupa uang, tapi lebih baik barang atau fasilitas pelayaran berupa perahu, mesin, jala, dan BBM bersubsidi," ujarnya.(art)
Jaga Laut RI Pakai Apa?Pesawat Terbang Tanpa AwakMeski teknologi pemantauan menggunakan Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) ini cukup bagus namun jarak terbangnya masih terbatas. (Foto: VIVAnews/Muhamad Solihin)

 Teknologi maritim masih minim, sumber daya pun pas-pasan. 

"Jalesveva Jayamahe...di laut justru kita jaya." Semua hadirin di ruang sidang paripurna MPR bertepuk tangan ketika Presiden Joko Widodo bertekad mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai kekuatan maritim.

Saat itu Jokowi menyampaikan pidato pertama beberapa saat setelah dilantik menjadi presiden baru Republik Indonesia, 20 Oktober 2014. Sebagai negara pemilik belasan ribu pulau, ironis sekali melihat pemerintah sekian puluh tahun tidak sungguh-sungguh menggarap potensi negeri ini sebagai kekuatan maritim.

Tidak mudah mewujudkan ambisi Jokowi. Teknologi di negeri ini masih sangat minim dan riset kelautan masih bisa dihitung dengan jari akibat kurang seriusnya perhatian pemerintah.

Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang juga baru saja dilantik, Iskandar Zulkarnain, menyatakan seharusnya porsi perhatian negara terhadap kelautan sudah ada sejak dulu. Komitmen Jokowi sulit untuk dilakukan jika riset dan teknologi dianggap tidak penting. Dalam beberapa tahun kemarin saja, dana yang digelontorkan untuk penelitian kelautan tergolong sangat terbatas.

"Penelitian di darat itu lebih mudah daripada di laut, kita berhadapan bukan hanya persoalan dengan perilaku alam, tapi juga kondisi tak berdaya seperti badai," ungkap Iskandar.

Oleh karena itu, lanjut dia, dibutuhkan kapal riset di setiap wilayah. Saat ini kapal riset yang dimiliki Indonesia tak sebanding dengan luas lautan yang ada.

Idealnya, kata Iskandar, dibutuhkan tiga hingga empat kapal riset per wilayah, baik Barat, Tengah, maupun Timur karena karakteristik kelautan yang berbeda-beda. Meski sekarang beberapa lembaga memiliki kapal sendiri, tidak semua diperuntukkan bagi riset.

Selain itu, kebanyakan kapal riset yang dimiliki berusia 16 tahun, tergolong tua. Idealnya, usia kapal riset maksimal 10-12 tahun.

"BPPT punya Baruna Jaya 1,2,3, LIPI punya Baruna Jaya 7,8. (Kementerian) ESDM punya Geomarin 2 buah, KKP ada beberapa, saya kurang tahu pasti. Sayangnya, tidak semua merupakan kapal riset murni, mereka punya tugas dan fungsi masing-masing," ungkap Iskandar.

Hal ini diamini oleh Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam, Ridwan Djamaluddin. BPPT pada tahun 2010 juga memiliki Kapal Riset Baruna II yang sudah dipasangi perangkat seismik, yang kemudian menjadi kapal survei seismik pertama nasional yang memiliki kemampuan eksplorasi migas.

Walaupun bukan sebagai kapal yang paling canggih, tapi sudah bisa eksplorasi migas. Sayangnya, secara nasional kapal ini tidak dijadikan sebagai sebuah aset yang harus dimaksimalkan.

“Jadi ada tiga yang harus diperbaiki, yaitu pemanfaatan teknologi, menghilangkan kesenjangan antara litbang dan pemanfaatan, serta sumber daya manusia yang harus diperbaiki,” kata Ridwan.

Teknologi yang dimiliki oleh armada kapal riset Baruna Jaya tidaklah ketinggalan. Dengan upgrading Multi-beam EM 122 D di Baruna Jaya III, serta instalasi Multi-beam baru Elac SEABEAM 1050 D di Baruna Jaya IV mampu melakukan penjejakan atau pemetaan 3-D (3 Dimensi) secara terinci terhadap dasar laut dan obyek-obyek di laut dari kedalaman 4.5 m sampai ribuan meter.

Menurut dia, selain kapal riset, Indonesia juga membutuhkan kapal pengawas, baik di laut maupun di udara. Tidak heran jika dia menyarankan untuk memperkuat angkatan laut Indonesia, baik dengan memodernisasi kapal, menambah jumlahnya, sampai meningkatkan kemampuan personil dalam memanfaatkan teknologi kelautan.

“Dalam konteks yuridiksi, saya kira Indonesia harus memperkuat angkatan laut. Karena, wilayah laut Indonesia yang sangat luas dan tidak mudah dijangkau, memerlukan teknologi pemantauan dan pengamanan yang handal. Saat ini, saya kira Indonesia belum sampai tahap maksimal sehingga perlu banyak dukungan pengamanan dan keselamatan laut yang kuat,” kata Ridwan.

 Teknologi Pemantau 

Untuk urusan perlengkapan teknologi kelautan yang dimiliki, BPPT, LIPI dan LAPAN telah memiliki banyak fasilitas yang bisa dimanfaatkan. Misalnya drone, satelit, radar, kapal selam, sampai aplikasi pelacak posisi ikan atau sumber alam kelautan lain. Sayangnya, ada beberapa fasilitas yang memiliki fungsi terbatas.

Misalnya, kata Ridwan, adalah drone atau Pesawat Udara Nir Awak (PUNA). Meski teknologi pemantauan menggunakan PUNA ini cukup bagus namun jarak terbangnya masih terbatas, bahkan untuk menerbangkannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Oleh karena itu, lanjut Ridwan, penggunaan PUNA atau pesawat patroli bisa dibarengi dengan pemanfaatan satelit.

“Satelit akan menjadi pelengkap untuk melakukan pemantauan laut Indonesia yang sedemikian luas. Satelit ini secara berkala yang memantau wilayah perairan dan memberikan informasi yang dibutuhkan.

Jika suatu ketika ada kegiatan mencurigakan di atas laut kita, kapal patroli atau PUNA bisa dikirim untuk memeriksa. Satelit juga bisa memantau ilegal fishing. Dan untuk urusan ilegal fishing ini, harus diperkuat implementasi penegakan hukumnya,” ujar Ridwan.

Untuk PUNA, Lapan telah mengembangkan 5 jenis LSU 01,02,03,04, dan 05 dengan jarak terbang bervariasi, mulai dari 100 sampai 500 kilometer dan beberapa jam durasi terbang. Sedangkan BPPT mengembangkan juga PUNA Wulung bekerja sama dengan TNI AU.

Sedangkan perangkat pemantau lain, Indonesia juga memiliki radar, namun dengan jumlah yang masih minim. Menurut Ridwan, wahana yang digunakan untuk pemantauan bukan hanya yang berada di permukaan laut, tapi dalam konteks pengamanan wilayah dari penyusup asing, kita juga harus melihatnya dari dalam permukaan laut.

“BPPT mengembangkan Akustiktomografi, teknologi radar yang bisa dipasang di selat-selat Indonesia untuk melakukan pemantauan di bawah permukaan air.

Teknologi ini tidak hanya memantau kapal-kapal yang ada di atas permukaan laut, tapi juga kapal-kapal selam. Cara kerjanya mengirim sinyal dari suatu sumber dan diterima oleh sumber lain.

Ada peralatan yang bertugas mengirim sinyal dan ada peralatan yang menerima sinyal. Sinyal-sinyal ini yang kemudian akan terdeteksi dan menampilkan obyek-obyek yang ada di bawah air,” papar Ridwan.

Sistem peringatan dini tsunami (InaTEWS) juga telah menjadi perhatian penting BPPT dalam beberapa tahun terakhir. Dengan dukungan empat kapal riset Baruna Jaya milik BPPT, selama ini sudah terlaksana pemasangan buoy Tsunami di 9 lokasi perairan laut Indonesia yang berpotensi terjadi gelombang tsunami.

Sayangnya, tidak ada fasilitas pemantau untuk melindungi perangkat ini dari vandalisme yang mengakibatkan tidak berfungsinya early warning system. Tantangan ke depan untuk buoy tsunami Indonesia adalah optimalisasi efektivitas deteksi dan konfirmasi tsunami lokal/jarak dekat (near field tsunami)
  Bantu Nelayan  

Selain pemantauan kedaulatan laut di Indonesia, penting juga mengeksplorasi keindahan dalam laut Indonesia. Dalam hal ini, Ridwan menjelaskan, jika BPPT telah melakukan penelitian sejak 2006 untuk membuat terowongan layang bawah air (submerge floating tunnel/SFT) untuk memberikan sensasi wisata maritim.

Dari sekian banyak tempat di Indonesia yang memenuhi prasyarat, Pulau Panggang dan Pulau Karya yang terletak di wilayah Kepulauan Seribu yang paling cocok untuk dijadikan tempat perdana pemasangan SFT. Sayangnya, belum ada keseriusan dari pemerintah untuk merealisasikan proyek ini, termasuk keseriusan pemerintah daerah.

BPPT dan Lapan, keduanya menunjukkan pentingnya pemanfaatan sumber daya alam dengan membantu nelayan mendapat lebih banyak hasil tangkapan, termasuk menghentikan aksi ilegal fishing.

BPPT memiliki Sistem Informasi Knowledge-Based Fishing Ground (SIKBES-FG) merupakan aplikasi database estimasi hasil tangkapan ikan. Aplikasi ini disusun dengan menggunakan pendekatan Knowledge-Based Expert Systems (KB-ES) yang diintegrasikan dengan sistem berbasis spasial (Sistem Informasi Geografis/GIS) untuk menentukan dan mengestimasi lokasi penangkapan ikan (fishing ground), khususnya ikan pelagis ekonomis.

BPPT sudah mengembangkan sebuah teknologi yang dapat membantu nelayan untuk mengetahui posisi ikan. Upaya itu BPPT lakukan untuk meningkatkan efisiensi sumber daya yang dikerahkan oleh para nelayan.

Jadi, teknologi ini bisa menyediakan informasi berdasarkan karakteristik laut. Misalkan, potensi lokasi sumber makanan ikan berupa klorofil di wilayah tertentu.

Dengan teknologi ini kita bisa menginformasikan kepada nelayan bahwa hari ini dan beberapa hari kemudian di daerah ini berpotensi banyak ikannya. Jadi, para nelayan bisa langsung menuju ke posisi yang ikannya banyak tanpa harus mencari-cari tanpa hasil.

Sedangkan di LAPAN, teknologi yang dimiliki masuk ke dalam keantariksaan yang terbagi menjadi 3, yaitu komunikasi, pemantauan dan navigasi. Kemudian, pemantauan satelit, aspek fisika dan biologi laut, suhu, kandungan klorofil dari ikan, bisa juga mengambil informasi terkait potensi tangkapan ikan dengan satelit, jadi tidak hanya sekedar mengarahkan.

Lapan menyebutnya zona potensi penangkapan ikan (ZPPI). Lapan memberikan ke nelayan terakit laporan pencarian ikan di wilayah itu, jadi produktifitasnya bisa ditingkatkan lagi.

Sekarang yang dikembangkan adalah teknologi antariksa dan aeronautika, untuk pengamanan laut. Selama ini kasus pencurian ikan dan kekayaan laut RI oleh pihak asing sulit terkontrol.

"Kapal laut tidak bisa menjelajahi wilayah indonesia dan itu bisa dibantu teknologi antariksa dan teknologi aeronotika, bisa dengan satelit tapi bisa dibantu dengan teknologi aeronautika pesawat yang mahal sekali tapi kalau pesawat kecil tanpa awak itu bisa, yang bisa diinformasikan kepada angkatan laut mengenai penangkapan ikan ilegal,” ungkap Kepala LAPAN, Thomas Djamaluddin.

Ditambahkan Iskandar, fenomena yang terjadi sekarang, adalah peningkatan asam yang memicu kerusakan pada terumbu karang. Selama ini terumbu karang menjadi ekosistem bagi ikan.

Jika rusak maka ikan pergi ke lokasi lain yang terumbunya masih bagus. “Nelayan yang biasa mendapat ikan hanya dengan lokasi berapa mil, sekarang semakin jauh,” kata Iskandar.

 Pengetahuan Minim 

Indonesia, lanjut Iskandar, dipandang terlambat untuk menyadari rencana menjadikan negara ini sebagai poros maritim. Seharusnya sejak dulu sudah berkumandang karena nenek moyang Indonesia adalah seorang pelaut.

“Kita sangat sedikit pengetahuan akan laut, jadi agak lalai. Makanya orang mencuri begitu saja karena kita tidak terlalu memperhatikannya,” ujar dia.

Thomas dan Ridwan sepakat jika yang dibutuhkan Indonesia adalah modernisasi atau peningkatan alutsista serta teknologi pendukungnya. Namun LAPAN lebih mengutamakan teknologi alutsista khusus keantariksaan.

“Untuk tahap pertama, potensi sumber daya alam, pemantauan dan lainnya, kalau menggunakan teknologi konvesional dari kapal-kapal itu, memerlukan jumlah yang sangat banyak.

Menurut saya, pemantauan antariksa menjadi alternatif awal untuk bisa diperkuat dulu. Dengan teknologi antariksa ini pemantauannya bisa dilakukan secara sistematik, integratif, dan relatif murah.

Dari sana bisa menentukan skala prioritas, mana yang mau dikembangkan, atau wilayah mana yang berpotensi dikembangkan,” kata Thomas.(ren)

   VIVAnews  

APS, Senapan Otomatis Bawah Air

Senapan Bawah Air Andalan Kopaska TNI ALIlustrasi perang air. (Foto: Afrid-Fransisco.com)

Untuk menunjang misi tempur berdimensi khusus, tentunya diperlukan senjata yang juga punya kemampuan khusus. Contohnya adalah peran pasukan katak (frogman).

Dalam misi pengamanan obyek vital di bawah permukaan air, maupun tugas infiltrasi bawah air, pasukan katak membutuhkan peralatan yang serba khas. Selain alat selam close circuit, KTBA (Kendaraan Tempur Bawah air), juga dibutuhkan senjata perorangan bawah air yang disesuaikan kondisi alam.

Terkait dengan senjata perorangan pasukan katak, prajurit Kopaska TNI AL begitu mengandalkan sosok APS (Avtomat Podvodnyy Spetsialnyy) atau biasa disebut Special Underwater Automatic Rifle. Dilihat dari tampilannya, APS tidak lain adalah turunan dari AK-47, senapan mesin paling populer dan legendaris di dunia buatan Uni Soviet.

APS dirancang Vladimir Simonov dari manufaktur Tula Arms Plant dan dikembangkan pada 1970, kemudian merilisnya ke pasar pada 1975. Belakangan, senapan jenis ini masuk ke berbagai negara lewat kuasa dagang Rosoboronexport, Rusia.

Pembeda APS dengan senapan mesin pada umumnya adalah proyektil peluru kaliber 5,66 x 39 mm yang bentuknya panjang dan meruncing. Di kalangan Kopaska, peluru ini dikenal dengan sebutan peluru paku.

Desain proyektil seperti ini adalah keharusan untuk serangan di dalam air karena ‘tubuh’ air yang lebih padat dari udara. Proyektil yang panjang dan runcing mampu menembus jauh lebih sempurna dan akurat di dalam air.

APS memiliki berat kosong 2,4 kg dan berat total dengan amunisi 3,4 kg. Secara teroretis, senjata ini dapat memuntahkan 600 proyektil per menit, dan kecepatan luncur proyektil mencapai 365 meter per detik pada saat di udara. Pengoperasian senjata ini menggunakan sistem gas.

Jangkauan tembak APS lebih jauh dari speargun. Di kedalaman 5 meter, jangkauan tembak bisa mencapai 30 meter. Sedangkan di kedalaman 20 meter, jangkauan tembak melorot jadi 20 meter. Melorot lagi di kedalaman 40 meter, jangkauan tembak proyektil hanya 11 meter. APS bisa juga ditembakkan di udara seperti halnya senapan mesin reguler, tapi jangkauan tembaknya diperkirakan tak lebih dari 50 meter.

Sedemikian kuatnya, proyektil APS bisa menembus baju penyelam, peralatan selam, harness, bahkan hood penyelam. Tapi karena bentuknya yang bulky, perlu keterampilan khusus untuk menggunakannya. Selain itu, perlu latihan intens hingga fasih membuat bidikan yang benar. APS memiliki magasin melengkung yang khas, dan dapat dimuati maksimum 26 amunisi.

Karena kemampuannya yang khusus, APS banyak digunakan oleh berbagai pasukan elite dunia. Salah satunya, Spetznaz dari Rusia. Selain APS, ada lagi senjata bawah air berbentuk pistol yang punya kemampuan serupa, yakni SPP-1 yang juga buatan Rusia.

   JMOL  

Taruna Korps Marinir Latihan Perang di Purboyo

Taruna Korps Marinir Latihan Perang di Purboyo Gubernur Akademi Angkatan Laut (AAL), Laksamana Muda TNI Achmad Taufiqoerrochman, SE beserta para Pejabat utama AAL meninjau langsung Latihan dan Praktek (Lattek) Suroyudho yang sedang dilaksanakan 21 taruna AAL Tingkat IV Korps Marinir, di Puslatpur Marinir Purboyo, Malang, Jumat (24/10). - Foto : Dispen Koarmatim

Gubernur Akademi Angkatan Laut (AAL), Laksamana Muda TNI Achmad Taufiqoerrochman, SE beserta para Pejabat utama AAL berkesempatan meninjau langsung Latihan dan Praktek (Lattek) Suroyudho yang sedang dilaksanakan 21 taruna AAL Tingkat IV Korps Marinir, di Puslatpur Marinir Purboyo, Malang, Jumat (24/10).

Dalam latihan taktik serangan darat ini, para taruna korps marinir berlatih bersama dengan para prajurit Yonif 5 Marinir.

Berbagai kegiatan dalam serial latihan dilaksanakan dan disaksikan langsung Gubernur AAL Laksamana Muda TNI Achmad Taufiqoerrochman, beserta rombongan diantaranya saat taruna melaksanakan Serangan Gunung yang mengambil lokasi di Desa Sumber Kerto Malang Selatan.

Gubernur AAL dengan seragam khasnya turut mengikuti rute latihan para taruna Korps Marinir meskipun harus naik ketinggian dataran yang merupakan sasaran yang dijadikan latihan.

Latihan dan Praktek Suroyudho ini dilaksanakan selama 5 hari (20-26 Oktober). Tujuan latihan ini agar mereka mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar, kemudian melaksanakan kepemimpinan lapangan dengan Prosedur Pimpinan Pasukan (P3), melaksanakan operasi darat yang meliputi Gerakan Menuju Kontak (GMUK), serangan, pertahanan, patroli tempur, dan patroli penyelidik.

   Jurnas  

[World Article] 5 Hal yang Mungkin Tidak Anda Ketahui dari F-35

F-35F35 Lithgning II

Anda pasti sudah tahu bahwa F-35 Lightning II adalah pesawat tempur siluman multiperan generasi kelima yang dibuat oleh Lockheed Martin di fasilitasnya di Fort Worth, Texas, Amerika Serikat. Tapi yang mungkin Anda tidak tahu adalah bahwa saat ini lebih dari 100 pesawat telah diserahkan dan sedang diterbangkan oleh pilot AS dan pilot internasional di enam lokasi di Amerika Serikat.

Berikut adalah lima hal lainnya tentang F-35 Lightning II yang mungkin Anda tidak ketahui:

1. F-35B adalah pesawat STOVL supersonik pertama F-35B STOVLIni baru pertama kali dalam sejarah penerbangan, F-35B merupakan pesawat tempur short-take off and vertical-landing (STOVL) atau lepas landas pendek dan mendarat vertikal yang mampu terbang melampaui kecepatan suara. F-35B merupakan salah satu varian dari F-35 yang digunakan oleh Korps Marinir AS.

Pada tanggal 10 Juni 2010, Letkol Matt Kelly, pilot percontohan Korps Marinir AS menerbangkan F-35B STOVL dengan kecepatan Mach 1,07 atau 1.311 kilometer per jam. Uji coba dilakukan di ketinggian 30.000 kaki di sekitar Naval Air Station Patuxent River, Maryland.
2. F-35 adalah satu-satunya pesawat yang pilotnya dapat melihat sekeliling melalui helm Helm F-35Helmet Mounted Display Systems (HMDS) yang khusus dibuat untuk F-35 akan memproyeksikan informasi pada visor helm, berbeda dengan Heads-up Display (HUD) biasa. HMDS memberikan semua informasi yang dibutuhkan pilot F-35 untuk melakukan misinya dan kembali ke pangkalan dengan selamat tanpa harus kehilangan kewaspadaan.

Distributed Aperture System (DAS) pada F-35 merupakan rangkaian dari enam kamera inframerah yang dipasang di sekitar pesawat yang akan mengirimkan citra real-time ke helm, yang membuat pilot mampu melihat 'menembus' badan pesawat. Pilot dapat melihat lingkungan sekitar mereka dengan jelas baik siang atau malam hari. DAS juga sepenuhnya terintegrasi dengan sensor lain dalam pesawat, jadi jika radar F-35 ini mendeteksi sesuatu yang menarik, perangkat lunak DAS akan menganalisanya dengan cermat dan memberikan 'warning' kepada pilot jika itu adalah ancaman.
3. F-35 adalah pesawat tempur siluman pertama yang dijual di luar Amerika Serikat F-35F-35 dikembangkan melalui program "Joint Strike Fighter" di awal 1990-an. Tujuan dari proyek ini adalah untuk menciptakan pesawat tempur generasi kelima yang dapat diekspor ke luar negeri. Akhirnya proyek ini berhasil melahirkan pesawat tempur siluman, yang dikenal sebagai F-35, dengan tiga varian dan sembilan negara mitra pembuatnya: Australia, Kanada, Denmark, Italia, Belanda, Norwegia, Turki, Inggris dan Amerika Serikat.

Israel, Jepang, dan Korea Selatan juga telah bergabung ke dalam program ini melalui Foreign Military Sales (FMS) atau penjualan militer asing. Dengan semakin banyaknya sekutu yang menerbangkan F-35, koalisi akan semakin kuat karena setiap pesawat dapat berbagi informasi pertempuran secara real-time.
4. Kokpit F-35 dari seluruh varian dan yang dijual ke asing sama persis 3 varian F-35Tidak seperti pesawat-pesawat AS sebelumnya, kokpit F-35 dilengkapi dengan kaca layar sentuh besar agar pilot mudah berinteraksi dengan sentuhan, cursor hooking dan pengenalan suara. Dengan teknologi baru ini, pilot dapat mengubah ukuran, lokasi, dan isi dari apa yang tampil pada layar, termasuk jendela besar dengan Tactical Situation Display (TSD).

Pilot dapat memanipulasi panel kontrol dan berinteraksi dengan layar terpisah hanya dengan perintah sederhana. Dengan penggunaan sensor fusion, pilot juga dapat melihat gambar operasional yang terintegrasi di TSD. Sensor fusion memberikan gambaran situasi pertempuran yang mudah dipahami oleh pilot.
5. Hampir 300.000 bagian dengan sekitar 11.000 nomor bagian unik yang digunakan untuk membuat F-35 Perakitan F-35Seluruh komponen yang diperlukan untuk membangun F-35 berada di pabrik Lockheed Martin di Fort Worth, Texas. Proses produksi F-35 berdasarkan prinsip-prinsip manufaktur yang telah teruji, peralatan generasi terbaru dan tenaga kerja yang terampil.

Strategi produksi F-35 berdasarkan moving component assemblies, seperti sayap dan bagian depan pesawat, dari satu pesawat ke pesawat lainnya. Ritme produksi semacam ini akan meningkatan efisiensi, menurunkan biaya dan menghemat waktu, dan posisi pekerja untuk mencapai standar kerja pada setiap pekerjaan. Lihat video dibawah.


  artileri  

[World Article] Dear US Navy: The Futuristic X3K Is What Littoral Combat Ships Should Be

The last decade has seen some pretty awesome looking warships hit waters around the globe. On the "blue water" side of things the Star Wars looking Zumwalt Class and the minimalist art-like Lafayette Class were clearly designed with stealth in mind. Yet the "brown water" is where the most exotic vessels roam, and this is precisely where the X3K was born to fight.An Indonesian Combat Trimaran Designed In Sweden Dear US Navy: The Futuristic X3K Is What Littoral Combat Ships Should BeKRI Klewang

The X3K was built by Indonesian-based Swedish boat builder North Sea Boats, and designed in part by renowned exotic boat builder LOMOcean Design LTD. The goal was to build a very stealthy, high-speed, multi-role missile boat that could dominate the complex littorals around Indonesia while still being affordable to procure and operate.

At 63 meters in length, the X3K is no small patrol boat, but with her trimaran wave piercing hull and twin MJP 550 water jets, she can keep up with much smaller boats and even follow them into areas where there is just six feet of water. She is powered by four MAN12 diesel engines that put out 1,800hp each, that can propel her up near 40 knots during sprints. She cruises leisurely in even rough sea states at 16 knots, and has a range of over 2,000 miles.

The X3K is said to have an extremely stealthy design, with its two sets of four-tube anti-ship missiles launchers shrouded behind flat panels above and behind the bridge. Eight Chinese built C-702 anti-ship missiles can be carried for use against medium and small sized targets, or against larger targets, if fired as a salvo. Alternatively, four deadly Saab RBS-15 Mk3 advanced cruise missiles can be carried for attacking both large ships and land targets at long ranges.

The ship's rear boat launch ramp and enclosed housing can launch and recover up to an 11 meter high-speed rigid hull inflatable boat (RHIB) with ease. A 40mm advanced Bofos cannon is fitted atop her bridge for surface and air engagements, including being the ship's primary close in weapon system (CIWS). It is rumored that torpedoes and a anti-aircraft point defense missile system can also be accommodated, all shrouded behind the ship's stealthy skin.

Her weapons are directed by the highly capable Sea Giraffe 1X 3D radar which is able to conduct air and surface surveillance. SAAB's CEROS 200 fire-control director is also mounted above the bridge, and this system is capable of directing gunfire or providing targeting solutions against marauding aircraft. This unique, elevated sensor and gun configuration provides an enhanced line-of sight for the ships sensors and a better firing angle for the ship's cannon.

All these systems are tied into Saab's 9LV Mk4 series "open architecture" combat management system, which the X3K's command crew can interface with just behind the state-of-the-art bridge, in a mini combat information center. In total this highly automated ship is crewed by about 21 sailors and officers, and another 9 persona special operations contingent can be embarked even on long duration missions.

The X3K's whole package adds up to an incredibly powerful yet elegant and futuristic design that was tailor built to dominate her unique combat environment while providing 'balanced' signature control, combat punch, and survivability against cost.

Missions for this radical ship design include counter-piracy, drug interdiction, coastal security, special operations, surface attack, counter-terrorism, surveillance, area sea control and fishing regulations enforcement. Additionally, the ship can be outfitted to carry out other missions, such as mine clearing, which her composite hull is highly adapted to.
The Short Life Of The Kri Klewang Dear US Navy: The Futuristic X3K Is What Littoral Combat Ships Should BeIndonesia's first of four planned X3Ks was called the Kri Klewang, which is the Indonesian name for a traditional long sharp sword, and was officially launched in August of 2012. The X3K infused vinylester carbon fibre foam sandwich structure allowed for ease of construction, corrosion resistance, light-weight and high-strength, and it was especially useful when it came to dampening the ship's radar, thermal, magnetic and acoustic signature. All of which add up to reduced detectability and enhanced survivability, especially in the cluttered and noisy littorals.

One thing the X3K's carbon fiber construction may have been less than idea for is dealing with fire, at least when compared to more traditional steel ship designs. After just three weeks of highly successful sea trials, the Kri Klewang caught fire while in port, and rapidly burnt until she succumbed to the flames totally.

Nobody died in the fire, which was rumored to have been caused by an electrical short and compounded by the fact that fire suppression equipment was not yet fitted to the still highly experimental vessel. Some claim the speed at which the fire progressed was due to the ship's composite building materials while others say an aluminum ship would have burned quickly as well, not to mention the fire would have probably been stopped either way with the proper gear on-board.

As a result of this event, the X3K program was put on indefinite hold, but it is now back in full swing, with a major material change for the ships structure being infused into its production. This time around, Swedish defense giant Saab is running the whole program and says they will use a very advanced "nano-composite compound" for the ship's structure, which they claim is extremely fire resistant.
A Vastly Improved X3K Kri Klewang Class Rises Dear US Navy: The Futuristic X3K Is What Littoral Combat Ships Should BeFour ships are still on order, which will have considerable enhancements in comparison to their doomed predecessor. These include a higher shrouded sensor mast, a stealthy gun enclosure, and additional armament, much of which remains classified. Follow-on models may even feature a lengthened rear upper deck for accommodating helicopters and unmanned aircraft, a feature that may be essential when it comes to landing export opportunities for the sleek ship.

Depending on how things go with the first four ships of this updated class, up to twenty may be ordered by Indonesia, not to mention the exportability prospects for the stealthy trimaran. In fact, I have have often suggested that the US should ditch its Littoral Combat Ship program (which is really just a very impotent and vulnerable fast frigate with a shallower draft) and procure a real littoral combat ship for forward deployed 'brown water' operations.

Sweden, a country that has seemingly become the default master of building stealthy littoral combat ships, already has the mono-hulled Visby Class Corvette, which is also a program ran by a subsidiary of Saab and uses many of the same systems as the X3K/Kri Klewang Class. In fact, the two vessels, although radically different in shape, will possess similar capabilities, although the Visby Class is a more mature design.

An enhanced version of the Visby was always at the top of my list for a partial LCS replacement. Yet the adaptability and true littoral environment design mindset behind the X3K/Klewang Class also makes it a very intriguing contender. It also seems that the Klewang Class, once developed, may be cheaper than the Visby Class which is built in its native country, Sweden, not Indonesia.

Since there are already plans for both an enhanced Visby Class and Klewang Class, both with a full flight deck and aviation facility on their stern, the US could buy two of these enhanced boats for the estimated cost of a single Littoral Combat Ship. This would allow the US Navy to procure a proper frigate instead of the majority of the LCS buy, as well as a large lot of much smaller and more rudimentary patrol vessels. Such a three tier procurement strategy would provide more hulls in the water, while also increasing our capabilities and better providing the right ship for the mission, not the right mission for the a single jack of all trades, master of none, ship.
Creatively Filling The Hole Left Behind By A Cancelled LCS Dear US Navy: The Futuristic X3K Is What Littoral Combat Ships Should BeThe over budget and under-capable LCS program was recently severely curtailed back to 32 ships, from 52 ships by the Pentagon, a action that many thought was long overdue. If the program was further cut to 12 ships total, six of both the Freedom and Independence classes, funds from the 40 unbuilt LCSs could be used in the plan I loosely outlined above.

If 40 of LCSs were cut, at an average cost of $500M per ship, and an additional $200M for all the troubled mission modules as well, there would be about $24B available if we factor in $100M production efficiency savings per unit to round-out our conservative estimate.

With this $24B the Navy could procure a fleet of 20 survivable, multi-role frigates that can also provide area air defense and over-the-horizon surface attacks, along with the majority of the LCS's current roles. The most logical choice at this point for this capability is Ingalls Enhanced Patrol Frigate (make sure to watch the video above) which is based on the Coast Guard's National Security Cutter that is already in service. At an estimated $800M each, this would account for $16B. Then the Navy could procure 25 "off the shelf" upgraded Klewang Class or Visby Class true littoral combat ships, (with much more punch than the LCS) all with enhanced aviation capabilities.

These smaller, true littoral combat ships, that go to sea with much smaller crews than their bloated LCS counterparts, could be operated for a fraction of the cost comparatively. At a hypothetical cost of $300M per boat, these 25 vessels would cost $7.5B total. With the remaining $500M the Navy could buy 33 highly relevant and deadly MkVI Patrol Boats for about $15M apiece.

You can plug and play with these numbers however you like, adjusting the force structure and unit costs at will, but the general picture is clear. By cancelling the LCS and purchasing much less expensive littoral ships, that retain 80% of the LCS's capabilities at half the cost or less, money can be freed up to procure true multi-role frigates and mission-focused and cost efficient patrol boats.

By procuring a true multi-role Frigate instead of the LCS, the USN get's a ship that can still operate to some degree in littoral areas, while still being very capable of striking the enemy over the horizon and protecting itself and ships under its defensive umbrella without the need of a destroyer or cruiser escort. In other words, the Navy get's more capability and more flexibility at the same price. This independence of operation is something the LCS totally lacks in anything but the lowest threat environments.

As an additional benefit of cutting the LCS program to 12 ships, the Navy can afford to purchase dozens of Mark VI Patrol Boats that can actually tangle with swarming 'brown water' threats, while also accomplishing dozens of other shorter ranged littoral oriented missions such as force protection, counter-terrorism, special operations, drug and weapons interdiction, border security and may others. Using a massive LCS to conduct many of these missions is absolutely overkill, and it totally defeats the economics of the design's original intent. Sending in a $600M warship to do the job that a $15M patrol boat can do better, and at less risk, is absurd and a total waste of tax payer money.

It is interesting to see the brown water patrol craft mission being adapted with vigor and a high degree of creativity by shipyards and navies around the globe. Specific vessels are being designed to really dominate in this unique combat environment, while also taking into account new, albeit sometimes risky, manufacturing techniques and technologies. Additionally, many shipbuilders and navies have leveraging off-the shelf, proven combat sub-systems and weaponry to control costs on these ships as they really don't require the highest end senor and weapons suites available to be effective. Meanwhile, the Pentagon has once again gone for a jack of all trades, master of none approach to a relatively straight forward mission set. As a result, their Littoral Combat Ship, of which there are two designs in production (which is even more absurd), ended up being too big and too costly to tango with swarms of boats in the murky brown water. At the same time, it also ended up being too impotent, lightly armored and insufficiently manned to fight with its 'blue water' surface combatant cousins, or do any mission alone in contested space for that matter.

For the same $24B, give or take a few billion or a few boats, that the last forty LCSs will cost the US Navy, they can procure a three tier, lower-end naval procurement strategy that grows from the harbor out to the blue water, with almost perfect mission overlap between the three platform classes discussed above. This is a rational, scalable and cost effective force made up of ships that can really own their particular mission sets and disrupt the enemy's ability to operate in key areas close to shore and beyond.

The Navy needs to cancel the LCS program immediately, and finally learn from their one size fits all costly lessons of late, and begin to build a navy with relevant "layered" capabilities. One where a fast patrol boat is built to fight fast boats, a littoral combat ship is built to dominate the littorals and nothing more, and a frigate is built to bridge the gap between the aforementioned capabilities and all those missions that do not require a multi-billion dollar Arleigh Burke Class Destroyer or Ticonderoga Class Cruiser.

An upgraded Klewang Class, or its Swedish cousin the Visby Class, could be a major part of this winning equation. Now only if we can get it built with parts from 48 states and get some admirals to act like they came up with the idea first...


  ★ foxtrotalpha