Senin, 05 Maret 2012

Brimob Ranger War (2)

MENYUSUN KEBELAKANG GARIS PETAHANAN MUSUH 
DALAM OPERASI MANDALA / TRIKORA
☆ DARI PEMBURU MENJADI DIBURU ☆ 

Wawancara dengan mantan anggota RTP 1 Operasi Mandala merebut Papua (Juni 2008) 
Anton A. Setyawan  
Dosen Fak. Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen UGM

perasi Mandala yang dipimpin oleh Mayjend Soeharto adalah sebuah operasi militer sebagai jalan terakhir menyelesaikan masalah Irian yang ditunda oleh Belanda dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Dalam operasi gabungan ini, semua unsur dari Angkatan Bersenjata dikerahkan. Angkatan Darat yang dimotori oleh RPKAD, Banteng Raiders dan beberapa unsur Divisi Siliwangi beserta Pasukan Gerak Tjepat (sekarang Pasukan Khas) TNI AU disusupkan dengan penerjunan ke beberapa wilayah di Irian Jaya. Pasukan Marinir disiapkan di Ambon untuk melakukan pendaratan ampibi, jika pertempuran frontal terjadi.

Pasukan Brimob dari beberapa Polda dan Resimen Pelopor menjadi bagian dari RTP 1 (Resimen Tempur) 1 yang akan disusupkan ke daerah Fak-Fak, Papua. Anggota Resimen Pelopor yang menjadi inti dari RTP 1 terdiri dari 60 orang, yang sebagian besar berasal darI Kompi A. Mereka sudah menggunakan senjata AR 15 yang dibagikan pada tahun 1961, pada saat operasi Gerakan Operasi Militer (GOM) IV di Aceh tahun 1961. Pasukan berangkat dari Tanjung Priok Jakarta pada bulan Februari 1962. Mereka berangkat menuju Ambon yang menjadi salah satu pusat komando operasi Mandala.

Setelah sampai di Ambon, pasukan dibagi lagi menjadi detasemen-detasemen kecil. Pasukan Brimob dari beberapa Polda dipecah untuk disusupkan ke beberapa wilayah dan sebagian menjadi petugas radio dan transportasi. Petugas transportasi yang dimaksud adalah menjadi pengendali perahu motor kecil yang digunakan untuk menyusup ke wilayah lawan. Pasukan dari Resimen Pelopor tidak dipecah karena mereka memiliki misi khusus yaitu melakukan serangan demolisi (penghancuran) instalansi milik Belanda.

Sesampai di Ambon, 60 orang anggota Menpor dipindahkan ke kapal nelayan untuk berangkat ke Pulau Gorom di kawasan Kepulauan Kei, Maluku. Pulau Gorom adalah pulau tidak berpenghuni yang hanya berisi pohon pala. Mereka menunggu di pulau itu menunggu perintah infiltrasi.

Pada bulan April 1962, perintah untuk mendarat di Fak-Fak datang, dan segera dipersiapkan perahu kecil untuk melakukan pendaratan. Misi pendaratan ini bukan pendaratan ampibi, melainkan infiltrasi sehingga perahu pun disamarkan dengan perahu nelayan. Jarak antara Pulau Gorom dengan daratan Fak-Fak hanya 4 jam pelayaran, sehingga tidak dibutuhkan waktu lama untuk sampai di daratan Fak-Fak.

60 pasukan Menpor mendarat di Fak-Fak pada pukul 03.00 pagi. Pasukan ini mendapatkan “sambutan hangat” dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda, berupa tembakan meriam dari arah lautan. Rupanya penyusupan tersebut diketahui oleh AL Belanda. Tembakan kanon dari kapal AL Belanda mengenai garis pantai sehingga pasukan kocar-kacir. Mereka juga tidak mampu membalas karena hanya membawa senjata ringan AR 15 dan granat tangan. Pertempuran yang tidak seimbang itu hanya berlangsung beberapa menit, namun segera diketahui akibatnya. 20 anggota Menpor salah arah dan langsung menuju markas musuh, mereka akhirnya ditawan. 40 sisanya terpencar tidak karuan.

Pasukan Menpor yang terpecah itu kemudian kehilangan kontak karena semua peralatan komunikasi rusak akibat pemboman. Masing-masing kelompok terpecah menjadi 4 sampai 8 orang dan berasal dari regu yang berbeda-beda. Mereka kehilangan kontak dengan pasukan induk, tidak mempunyai dukungan logistic dan berada di daerah lawan. Hampir semua anggota Menpor yang berada dalam situasi itu, ketika diwawancarai yakin bahwa mereka pasti mati. Perintah dari komandan operasi pasukan Menpor tidak boleh menembak kecuali dalam kondisi tidak bisa menghindari musuh.

Pasukan yang tercerai berai itu masih “dihadiahi” Belanda dengan pemboman dari laut dan tembakan senapan mesin dari pesawat tempur. Ajun Brigadir Wagiyo mengingat saat itu, sebagai jam tanda bangun pagi yaitu suara meriam dan mereka harus segera mencari perlindungan. Pesawat tempur yang terbang rendah (waktu itu Belanda masih menggunakan pesawat baling-baling) adalah gangguan lain yang memaksa pasukan Menpor bersembunyi dengan baik.

Ajun Brigadir Kartimin mengingat, pada saat itu sering keliru mengira pesawat Belanda sebagai pesawat dari TNI AU yang menerjunkan logistik. Ia menunggu makanan yang datang adalah peluru senapan mesin dan kadang-kadang roket udara ke darat. Logistik dari TNI AU sebenarnya sering datang, namun lokasi penerjunan logistik lebih dekat ke wilayah musuh daripada di hutan.

Pasukan Menpor yang ditawan Belanda mempunyai “kesibukan” sendiri, setiap pagi mereka harus melakukan senam militer dan kadang-kadang senam tersebut dilakukan semakin mendekati garis pantai. Mereka harus bersenam sambil melakukan gaya injak-injak air.

Beberapa anggota Menpor yang terpencar sempat kepergok oleh patroli AD Belanda dan terjadi kontak senjata. Pasukan Menpor tersebut bisa menewaskan 11 anggota pasukan Infanteri Belanda dan seorang perwira infanteri berpangkat Letnan Dua. Setelah melakukan kontak mereka segera bersembunyi untuk menghindari kejaran pasukan yang lebih besar.

Pasukan Menpor akhirnya bisa melakukan konsolidasi setelah gencatan senjata disepakati pada Bulan Mei 1962. Pasukan akhirnya dikonsolidasikan dan ditarik ke kapal perang milik TNI AL. Sebagian besar anggota Menpor yang belum sempat kontak senjata dengan Belanda merasa kecewa karena amunisi yang mereka bawa belum sempat dipergunakan, padahal mereka sudah merasakan hantaman meriam dan roket Belanda. Mereka juga beranggapan sangat tidak enak menjadi buruan musuh, karena pada operasi militer sebelumnya mereka selalu memburu musuh. 


Sumber : 
  • scribd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.