Kamis, 01 Maret 2012

Operasi Aru Jaya

☆ Lusitania Expresso

Kapal Feri Portugis berlayar membawa 73 aktivis dari 18 negara dan 56 wartawan dari enam negara. mereka menuju kota Dili untuk misi provokasi.

Lusitania Expresso

Pada hari tanggal 10 Februari 1992 kesibukan terjadi di KRI Ki Hajar Dewantara (364) yang bersandar di Dermaga Ujung, Surabaya. Semua anak buah kapal KDA ( kode KRI Ki Hajar Dewantara) mendapat perintah untuk menempati pos masing-masing. Kapal perang TNI AL berpeluru senjata MM 38 Exocet ini mendapat perintah perintah dari komando atas untuk berlayar dan melaksanakan tugas penting, yakni menghalau Lusitania Expresso, kapal feri dari Portugis, yang sedang berlayar menuju kota Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste).

"Tiga, enam, empat ... persiapkan kapal berlayar dan bertempur," bunyi perintah kapal KDA melalui pengeras suara yang kemudian diikuti perintah selanjutnya, "Peran muka-belakang ... peran muka-belakang ...,!"

Sementara pelayaran Lusitania Expresso mililk perusahaan AA Rocha Cabecas yang disewa kelompok aktivis antiintergrasi Timor Timur terhadap Indonesia, di mulai pada 23 Januari 1992. Kapal berbobot 1.662 ton itu melaju dengan kecepatan 15 knot membawa 73 aktifis non-govermental organization (NGO) dari 18 negara termasuk mantan Presiden Portugal, Antonio Ramlho Eanes, serta 56 wartawan dari enam negara. Pelayaran dengan misi provokasi internasional menyusul insiden Santa Cruz itu berhasil dicium Jakarta.

Mempertimbangkan baik buruknya Pemerintah Indonesia menolak mentah-mentah kehadiran pelayaran kapal itu dan tidak memberikan izin untuk masuk wilayah perairan Indonesia. rapat penting digelar di Derpatemen Pertahanan dan Keamanan di Jalan Merdeka Barat 14, Jakarta. Berkumpul disana antara lain Menlu Ali Alatas, Menhankam Benny Moerdani, Mendagri Rudini, Menkeh Ismail Saleh, Menhub Azwar Anas, Menpen Harmoko, Panglima ABRI Jendral Try Sutrisno, KSAL Laksamana Arifin, Pangarmatim Laksda Tanto Koeswanto, Kabakin, dan Kapolri. hasil rapat menyimpulkan dan memerintah TNI AL untuk menghalau Lusitania Expresso dengan cara apapun, asal tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Keputusan pemerintah RI bertolak belakang 180 derajat dengan pemahaman para aktivis di Lusitania Expresso. Mereka berpendapat, pemerintah RI tidak berhak menghalang halangi pelayaran mereka, apalagi sampai mengatur izinnya. Indonesia dinilai tidak berdaulat atas Timor Timur karena PBB pun tidak mengakui intergrasi Timor Timur dengan Indonesia.

☆ Insiden Santa Cruz

Akan halya Insiden Santa Cruz, huru hara itu telah menewaskan penduduk dan aparat keamanan. Insiden berawal dari misa yang dipimpin Pastor Ricardo di Gereja Santa Antonio de Matael pada  12 November 1991 yang dihadiri 1.500 jemaat yang umumnya kelompok anti-intergrasi. Usai misa  para jemaat melakukan konvoi menuju pusat kota sambil meneriakan yel-yel anti-intergrasi dengan Indonesia. Mereka berharap, dengan cara itu dapat menarik perhatian Pieter Kooijman, pejabat Komisi Hak Asasi Manusia PBB, yang sedang berada di Hotel Turismo, Dili kala itu.

Untuk mencegah kerusuhan, dua peleton Batalyon Infanteri 303 dan 744, serta satu peleton Brimob dikerahkan memblokade jalan menuju Hotel Turismo. Namun aksi kelompok jemaat yang telah bercampur dengan massa dan para penjalan kaki itu berubah menjadi bibit kekacauan yang berunjung dengan bentrok fisik yang hebat. Massa kemudian berjalan menuju ke pemakaman Santa Cruz, dengan alasan akan berziarah ke makam Sebastiao Gomes, yaitu korban tewas akibat bentrokan antara kubu prointegrasi dengan prokemerdekaan pada 28 Oktober 1991. Begitulah, singkat kata puncak kerusuhan meledak di pemakamam Santa Cruz. Massa berhasil memprovokasi petugas keamanan dengan melempar granat. Korban berjatuhan, akibatnya Insiden Santa Cruz menuai tuduhan berat bahwa pemerintah RI melanggar HAM.

☆ Operasi Aru Jaya

LST KRI Teluk Banten (516)
Operasi Aru Jaya, nama sandi untuk menghalau kapal Lusitania Expresso, melibatkan unsur tempur kapal fregat KRI Ki Hajar Dewantara (364), KRI Yos sudarso (353), dan kapal perusak kawal KRI Ngurah rai (344). Ketiga kapal kombatan dipilih karena kemampuan manuvernya, persenjataannya, juga mampu didarati helikopter. Sejumlah pasukan elit Kopaska dan Denjaka turut disertakan di dalamnya. Selain itu juga dikerahkan juga kapal pendukung seperti LST KRI Teluk Banten (516) sebagai kapal Markas, KRI Sorong (911), KRI Kerapu (812), KRI Ajak (653), dan KRI Rakata (922) sebagai kapal tunda. Tidak hanya itu, TNI AL juga mengerahkan unsur udara, yakni pesawat Nomad N-22, pesawat angkut ringan NC-212, helikopter Bell dan NBO-105, serta satu pesawat surveiller B737-200 dari TNI AU.

Asisten Operasi Gugus Tempur Laut Armada timur (Guspurlatim) Kolonel laut (P) Widodo AS, berserta Asintel Guspurlatim Letkol laut (P) Zulkifli Lubis berada di geladak KDA untuk selanjutnya pindah ke kapal Markas KRI Teluk Banten. Ditangan Widodo AS ini Operasi Aru Jaya dipertaruhkan. Widodo merancang 16 langkah Operasi dengan berbagai tingkat penekanan. Langkah ke empat misalnya, membayang-bayangi Lusitania Expresso di Perairan ZEE. Langkah ke sebelas, melumpuhkan Lusitania Expresso dengan cara menabrak kapal itu dengan memperhatikan Collision Regulation 1972.

Kolonel Widodo AS menyebar beberapa armada kapalnya sesuai rencana yang ia buat. Pada 10 Maret 1992, sesuai perhitungan rute dan kecepatan laju Lusitania Expresso, kapal itu terdeteksi pada jam 14.28 di 11 derajat 52 menit selatan dan 122 derjat 7 menit timur, dengan haluan 110 derajat, atau berjarak 208 kilometer tenggara Pulau Yako. KDA diperintahkan mengintersep pertama kali dengan kecepatan 26 knot. KDA membayang-bayangi kapal Portugis itu dalam jarak 900 meter. Pagi harinya, KRI Yos sudarso bergabung dengan KDA mengintersep Lusitania Expresso. Kedua fregat makin mendekat dan mengapit Lusitania Expresso dalam jarak 300 meter. Di belakang mereka kapal Markas KRI Teluk Banten mengikuti. di kapal itu Kolonel widodo AS (yang kemudian menjadi KSAL, Panglima TNI dan Menko Polhukam) mengendalikan operasi.

Sesuai instruksi, pengusiran dilakukan secara berulang-ulang oleh KRI Yos sudarso. Pada mulanya, Lusitania Expresso tidak menghiraukan dan terus melaju menuju batas 12 mil perairan Indonesia. ketika kapal itu benar-benar sudah masuk ke batas teritorial Indonesia, dengan lantang peringatan keras dilakukan lagi oleh KRI Yos Sudarso. "Saya perintahkan anda untuk putar haluan, kalau tidak kami akan mengambil tindakan, untuk memaksa anda keluar," demikian peringatan disampaikan.

Benar saja, menimbang deterence factor yang diperlihatkan TNI AL, Lusitania Expresso akhirnya memutar haluan dan meninggalkan wilayah perairan Timor Timur untuk kembali ke negara asalnya. Dari enam belas langkah yang disiapkan Widodo AS dan staf, ternyata hanya langkah kelima, yakni menghentikan Lusitania Expresso dengan isyarat komunikasi dan menembakan pistol suar atau peluru hampa. Pengusiran Lusitania Expresso tercatat sebagai satu bentuk keberhasilan TNI AL mengusir kapal asing yang akan masuk tanpa izin. tentu dengan catatan, kekuatan Angkatan Laut saat itu memang disegani pihak asing.(ron)


***

☆ Pengusiran kapal Lusitania Expresso
Oleh : Letkol Laut (P) Rudhi Aviantara

Lusitania Expresso dibayangi KRI TNI AL

1. Latar Belakang
Peristiwa 12 November 1991 di Dili Timor Timur (Timtim) atau peristiwa Santa Cruz adalah kerusuhan yang terjadi antara kelompok anti integrasi dengan aparat keamanan di tempat pemakaman Santa Cruz Dili Timtim. Kelompok anti integrasi selesai melaksanakan misa di gereja Matael Dili dilanjutkan demonstrasi yang anarkhis menuntut referendum. Dalam kerusuhan tersebut tidak hanya mengakibatkan korban pihak sipil tetapi juga dari personel TNI.

Peristiwa ini merupakan peluang bagi kelompok anti integrasi di Portugal untuk melakukan provokasi politik yang didukung oleh pemerintah Portugal. Kelompok ini menggunakan sebuah kapal feri yaitu Lusitania Expresso berbendera Portugal yang berlayar dari Lisabon Portugal menuju Dili Timtim untuk mencari dukungan dan menarik perhatian dunia Internasional dengan misi mengadakan tabur bunga di tempat pemakaman Santa Cruz, Dili.

Salah satu bentuk respon dari pemerintah Indonesia untuk meredam misi provokasi adalah membentuk Satuan Tugas Aru Jaya (Satgas Aru Jaya) yang mempunyai tugas pokok untuk mencegah dan mengusir kapal feri Lusitania Expresso yang akan melaksanakan ziarah ke tempat pemakaman Santa Cruz Timor Timur.

KRI Yos Soedarso (353)
2. Analisis dan Kronologis Kejadian.
Sebelum membahas analisis penghadangan / pengusiran terhadap feri Lusitania Expresso, maka terlebih dahulu akan diuraikan kronologis langkah – langkah yang dilaksanakan oleh pemerintah RI/TNI dan TNI AL mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengakhiran.

a.
Kronologis

Kapal Lusitania Expresso:
  1. 23 Januari 1992 berangkat dari Lisabon Portugal.
  2. 24 Februari 1992 berangkat dari Colombo Srilanka.
  3. 8 Maret 1992 tiba di Darwin Australia.
  4. 9 Maret 1992 berangkat dari Darwin menuju Dili. 
  5. 11 Maret 1992 jam 06.00 WITA, meninggalkan perairan Indonesia.

Pemerintah RI / TNI / TNI AL:
  • 17 Februari 1992 Armada Timur (Armatim) mengerahkan beberapa kapal perang untuk menghalau gerakan Lusitania Expresso. 
  • 6 Maret 1992 jam 14.28 WITA Pesud Nomad P – 802 mendeteksi Lusitania Expresso pada posisi 11º 52’ S - 122º 07’ T dengan haluan 110 menuju arah Darwin/Australia dan kecepatan 10 knot. 
  • 10 Maret 1992 jam 14.10 WITA Pesud P – 802 mendeteksi Lusitania Expresso pada posisi 10º 25’ S - 128º 29’ T atau sekitar 127 Nm Tenggara Pulau Yako. Pada pukul 21.30 WITA KRI Kihajar Dewantara – 364 (KRI KDA – 364) menemukan Lusitania Expresso. 
  • 11 Maret 1992 jam 03.00 WITA KRI Yos Soedarso – 353 (KRI YOS – 353) bergabung dengan KRI KDA – 364 yang sedang membayangi Lusitania Expresso. Jam 05.00 WITA ferry tersebut sudah berada pada posisi 23 Nm dari ujung Timor Timur.
  • 05.58 WITA, KRI YOS - 353 menaikkan isyarat K-9 (tanda Internasional sebagai isyarat untuk membuka jalur komunikasi FM – 16).
  • 06.03 WITA, Dansatgas Aru Jaya memerintahkan KRI YOS – 353 untuk mengusir Lusitania Expresso yang telah memasuki laut territorial Indonesia. KRI YOS – 353 melaksanakan komunikasi, namun sampai dengan jam 06.06 WITA feri tersebut belum mematuhi perintah KRI YOS – 353 untuk merubah haluan keluar dari perairan Indonesia.
  • 06.15 WITA, setelah mendapat peringatan keras secara lisan dari KRI YOS – 353, Lusitania Expresso berbalik arah 180 derajat menuju haluan 150º yang merupakan arah ke Darwin.
  • 07.31 WITA, Lusitania Expresso menaikan tanda isyarat 2 bola hitam pada posisi 4,5 Nm dari batas laut territorial (masih berada di dalam laut territorial), sebagai tanda kapal terbatas olah geraknya. Kemudian, KRI YOS – 353 menaikan bendera RJ – 2 dan RJ – 3, karena feri tersebut belum bergerak dan masih mengapung di laut territorial, namun diindikasikan hanya mengulur waktu dan mengadakan tawar menawar dengan KRI YOS – 353.
  • 08.55 WITA, KRI YOS – 353 kembali menaikan isyarat bendera RJ yang artinya peringatan bahwa seharusnya kerusakan mesin sudah dapat diatasi.
  • 09.22 WITA, nahkoda Lusitania Expresso menginformasikan kepada KRI YOS – 353 bahwa kerusakan dapat diatasi dan bergerak ke haluan 157º menuju Darwin. KRI KDA – 364 membayangi sampai dengan batas ZEE Indonesia – Australia dan meyakinkan bahwa feri tersebut tetap menuju Darwin.

b.
Analisis

Keberhasilan pemerintah RI / TNI khususnya TNI AL dalam penghadangan dan pengusiran Lusitania Expresso merupakan suatu keberhasilan diplomasi dalam mengemban misi menjaga kedaulatan NKRI. Pelaksanaan operasi pengusiran tersebut akan dianalisis dalam makalah ini berdasarkan prinsip – prinsip Operasi Militer Selain Perang (OMSP) :

1) Proporsional.
Jika menggunakan kekerasan bersenjata harus dalam rangka terpaksa/membela diri sesuai dengan aturan yang berlaku dan dalam melaksanakan tindakan harus sepadan (tidak berlebihan).

Satgas Aru Jaya telah menentukan rencana pelibatan yang dipertegas dengan 16 langkah petunjuk teknis interaksi, termasuk di dalamnya status kesiagaannya dalam tahap – tahap menghadang kapal Lusitania Expresso.

Di dalam melaksanakan penghadangan dan pengusiran Lusitania Expresso, Satgas Aru Jaya telah bertindak secara proporsional karena lebih mengutamakan pendekatan persuasif, dimana tindakan yang diambil hanya sampai dengan langkah yang ke – 5 dari 16 langkah yang sudah ditetapkan. 

Bila unsur Satgas Aru Jaya mengambil tindakan berlebihan, misalnya menerapkan tindakan diatas langkah yang ke – 5, maka akan mendapatkan persepsi yang berbeda dengan dunia Internasional dan mudah dipolitisir, karena dengan penggunaan senjata pada situasi saat itu akan berpotensi merugikan bangsa Indonesia dan mendapat kecaman dunia Internasional.

Satgas Aru Jaya dalam operasionalnya mengusir Lusitania Exspresso tidak di perairan ZEE tetapi di perairan laut Teritorial. Hal ini bertujuan untuk mengutamakan legalitas dalam bertindak dan menghormati kebebasan berlayar bagi setiap kapal. Sesuai dengan Pasal 58 UNCLOS 82 bahwa setiap negara memiliki kebebasan pelayaran dan penerbangan serta kebebasan meletakan pipa dan kebel bawah laut.

Penegakan kedaulatan di laut memiliki dua dimensi pemahaman, yaitu kedaulatan (sovereignty) dan hak berdaulat (sovereign right) di laut suatu negara yang telah diatur secara universal dalam UNCLOS 1982. Pada tiap rezim perairan Indonesia ditetapkan kedaulatan dan hak berdaulat sbb :

a. Di Laut Teritorial (12 Nm) dari garis pangkal, Indonesia memiliki kedaulatan penuh, artinya negara berhak mengatur segala ketentuan hukum nasional.
b. Di Zona Tambahan (24 Nm) dari garis pangkal, Indonesia memiliki hak berdaulat dalam bidang kepabeanan, sanitasi, imigrasi dan fiskal.
c. Di ZEEI Indonesia (200 Nm) dari garis pangkal, memiliki hak berdaulat dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut.
d. Di Landas Kontinen sampai kedalaman 350 meter, Indonesia berhak untuk melakukan pemanfaatan sumber daya alam.

2) Tujuan / Sasaran.
Setiap operasi harus mempunyai tujuan/sasaran yang jelas dan dapat dicapai.

Pemerintah RI memutuskan untuk tidak mengizinkan Lusitania Expresso berlayar di perairan territorial dan perairan kepulauan RI serta perlu adanya tindakan pencegahan oleh aparat keamanan dalam hal ini ABRI/TNI AL (Sebutan bagi TNI pada saat itu) dengan sejumlah batasan – batasan pada level operasionalnya.

Dengan demikian tujuan dan sasaran operasi yang akan dilaksanakan oleh TNI AL / Satgas Aru Jaya sangat jelas yaitu menegakkan kedaulatan wilayah perairan Republik Indonesia dengan cara mengusir kapal ferry Lusitania Expresso yang akan memasuki wilayah perairan Teritorial Timor Timur yang bertujuan politis dan menarik perhatian dunia Internasional dengan dalih misi kemanusiaan / tabur bunga di tempat pemakaman Santa Cruz.

3) Kesatuan Komando dan Pengendalian.
 
Seluruh kekuatan/unsur-unsur yang termasuk dalam wadah OMSP berada di bawah satu komando dan pengendalian Panglima / Komandan/ Pimpinan yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas yang telah ditetapkan.

Panglima ABRI pada saat itu Jenderal TNI Try Soetrisno menugaskan Pangarmatim Laksda TNI Tanto Koeswanto sebagai penanggung jawab operasi pengusiran Lusitania Expresso dengan didukung oleh komando samping yaitu TNI AD, TNI AU dan Polri.

Satgas Aru Jaya merupakan eselon pelaksana dalam bentuk komando operasi mandiri dimana proses perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran dilaksanakan oleh Komando yang ditunjuk oleh Panglima TNI dengan melibatkan satu angkatan atau lebih. KRI yang disebar dalam melaksanakan patrolinya tetap dalam satu kesatuan komando Dan Satgas Aru Jaya. Sedangkan, unsur – unsur non TNI AL yang dioperasikan tetap dibawah kendali instansinya. Hubungan dengan Satgas Aru Jaya hanya sebatas koordinasi.

4) Keamanan.
Selama perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran, pengamanan informasi harus diutamakan karena kebocoran rencana dapat mempengaruhi keberhasilan operasi, serta untuk menghindari korban di pihak rakyat yang tidak berdosa.

Salah satu faktor pendukung keberhasilan Satgas Aru Jaya mencapai tugas pokoknya adalah tingkat kerahasiaan sangat tinggi, dalam hal ini kapal Lusitania Expresso tidak mengetahui keberadaan Satgas Aru Jaya, namun sebaliknya Satgas Aru Jaya mengetahui posisi dan rute Lusitania Expresso.

5) Keterpaduan dan Kesatuan Dukungan.

Operasi dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan institusi/ komponen bangsa yang terkait dan harus ada kesatuan dukungan dari semua pihak yang terlibat/terkait.

Walaupun Satgas Aru Jaya dalam pelaksanaanya lebih dominan melibatkan personel dan Alat Utama TNI AL, akan tetapi institusi dan komponen maritim lainnya seperti TNI AD, TNI AU, Bea Cukai, Imigrasi dan Polairud juga dilibatkan dalam pelaksanaan operasi tersebut. Peran dan dukungan dari institusi non TNI AL tersebut tidak hanya pada pelaksanaannya saja tetapi juga mulai dari persiapan, seperti contoh untuk mengantisipasi tindakan pemeriksaan yang akan dilaksanakan oleh tim pemeriksa (Tim Boarding) terhadap Lusitania Expresso, maka Satgas Aru Jaya menyiapkan tim pemeriksa tersebut dengan melibatkan personel Pasukan Katak, Denjaka, Bea Cukai dan Imigrasi. Bahkan Tim Pemeriksa dilatih dan dibekali pengetahuan tentang kepabeanan di Kantor Bea Cukai Surabaya dan dokumen keimigrasian di Ditjen Imigrasi Jakarta.

Hal ini menunjukan bahwa TNI AL melibatkan komponen cadangan / pendukung dalam memberdayakan wilayah pertahanan laut.

6) Legitimasi
.
Pelaksanaan OMSP harus berdasarkan keputusan politik pemerintah yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk kepentingan pertahanan negara dan atau dalam rangka mendukung kepentingan nasional.

Segala tindakan yang digunakan oleh Satgas Aru Jaya dalam melaksanakan tugas pokoknya adalah selain didasari keputusan politik yang ditetapkan oleh pemerintah, juga berdasarkan payung hukum pada tataran hukum Nasional dan hukum Internasional yang berlaku saat itu.

7) Pegang Teguh Tujuan. 

Untuk mencapai sasaran yang diinginkan, waktu yang ditempuh bisa berkepanjangan, oleh karena itu harus ada ketekunan/keteguhan hati dalam melaksanakan tugas

Cerminan keseriusan dan teguh pada tujuan yang diperlihatkan oleh Satgas Aru Jaya tidak hanya pada pelaksanaan saja, tetapi juga jauh hari sebelum Lusitania Expresso memasuki perairan Yurisdiksi Indonesia, unsur – unsur Satgas Aru Jaya sudah berada di daerah operasi / sektor pengamanan yang telah ditentukan. Begitu juga pada pelaksanaan pengusiran feri tersebut, unsur Satgas Aru Jaya menugaskan KRI KDA – 364 untuk membayangi sampai dengan laut lepas mendekati perairan perbatasan RI - Australia. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan bahwa Lusitania Expresso benar – benar telah keluar dari perairan Indonesia dan menuju Australia.

Sikap teguh pada tujuan ini pun tidak berhenti sampai disini saja, tetapi terus dilaksanakan oleh KRI KDA – 364, dimana setelah Lusitania Expresso kembali dari Australia, KRI KDA – 364 kembali menjemput di sekitar perairan Pulau Ashmore dan membayangi sampai dengan perairan Selat Bali dan diserah terimakan kepada KRI Fatahilllah – 361 untuk dikawal sampai dengan prairan Selat Sunda yang sudah ditunggu oleh KRI Wihelmunas Zakarias Johanes – 332 yang mengawal sampai dengan Samudera Hindia atau sekitar sebelah Barat Pulau Sabang.

8) Terkoordinasi. 

Koordinasi antar institusi terkait dan koordinasi antar unsure / satuan dalam komando OMSP dilaksanakan dengan cermat dan terus-menerus mulai tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran.

Satgas Aru Jaya selain melaksanakan koordinasi ke dalam intern TNI AL, juga koordinasi dengan satuan – satuan di luar TNI AL yaitu Koops AU II dalam rangka pengintaian strategis oleh Pesud B-737, Kodam VI/Udayana khususnya Kolakops Timor Timur, Kanwil Imigrasi Jawa Timur dan NTT serta Kanwil Bea Cukai NTT. 

9) Tidak memihak. 
Dalam menyelesaikan konflik komunal (horizontal), tidak memihak pada salah satu kelompok, kemudian dalam mengambil tindakan harus tegas sesuai dengan aturan yang berlaku terhadap salah satu atau kedua kelompok yang bertikai bila mereka melakukan pelanggaran terhadap aturan atau kesepakatan yang telah ditetapkan.

Secara tidak langsung Satgas Aru Jaya telah bertindak adil / tidak memihak. Perlu diketahui bahwa posisi Lusitania Expresso adalah berseberangan dengan sebagian masyarakat Timor Timur yang pro integrasi pada saat itu. Bila Satgas Aru Jaya tidak berhasil mencegah / mengusir Lusitania Expresso, maka bila ditinjau dari perspektif keamanan sangatlah tidak adil karena misi feri tersebut diprediksi akan menimbulkan gejolak/situasi yang tidak memungkinkan di Dili. Para penumpang Lusitania Expresso yang sebagian besar adalah para aktivis anti integrasi Timor Timur akan melaksanakan provokasi politik dengan dalih tabur bunga di Santa Cruz. Bila misi ini dibiarkan maka akan menimbulkan konflik komunal antara kelompok pro integrasi dengan yang anti integrasi.

***

☆ Flotilla seperti Lusitania Expresso

”Misi provokasi berkedok misi kemanusiaan. Indonesia pernah mengalami situasi yang sama dengan Israel, dan sikap Indonesia terhadap Lusitania Expresso sudah jelas menolak.”

“Masa jauh-jauh dari Portugal hanya ingin nyekar? Ini jelas provokasi politik” ucap Jendral Try Soetrisno Panglima ABRI terhadap kapal Lusitania Expresso. Lusitania Expresso adalah kapal  berbendera Portugal yang belayar dari Lisabon, Portugal menuju Dili, Timor Timur  dengan misi tabur bunga di pemakaman Santa Cruz Dili. Namun misinya menarik perhatian internasional, karena memprovokasi kedaulatan NKRI. Misi mereka pro anti integrasi yang sangat berseberangan dengan sikap Pemerintah Indonesia.

Kapal Lusitania Expresso bertolak dari Lisabon, Portugal tanggal 23 Januari 1992 dan singgah di Darwin, Australia. Tanggal 9 Maret 1992 melanjutkan pelayaran  ke Dili, dengan penumpang wartawan Portugal, wartawan Australia, wartawan dari Inggris dan Kanada. Jumlah manifest adalah seratus penumpang dari 21 negara.

Bisa dibayangkan betapa sulitnya menghalau misi provokasi melalui laut. Dibutuhkan waktu enam jam dan negoisasi yang alot untuk mengusir kapal Lusitania Expresso. Penting untuk dipahami bahwa laut bukanlah darat. Situasi di laut jauh berbeda dengan di darat. Di laut mereka bukan hanya menghadapai masalah teknis dan misi saja. Tapi laut itu sendiri merupakan masalah besar. Laut tidak kenal kawan atau lawan. Kesalahan fatal bisa mengakibatkan kapal-kapal mereka menjadi kapal selam (tenggelam).

Misi  Lusitania Expresso sama persis dengan misi Flotilla Mavi Marmara maupun Flotilla II. Yaitu misi provokasi melanggar batas  kedaulatan negara melaui laut. Misi provokasi berkedok misi kemanusiaan. Indonesia pernah mengalami situasi yang sama dengan Israel, dan sikap Indonesia terhadap Lusitania Expresso sudah jelas menolak.

Satuan Tugas Aru Jaya dalam menjalankan misi melindungi kedaulatan NKRI menggunakan payung hukum internasional diantaranya ialah :

UNCLOS 1982 (United Nation Convention On The Law of The Sea) :

Pasal 19 ayat 1, disebutkan bahwa lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai.
Pasal 19 ayat 2.d, Pasal ini menyebutkan bahwa lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai, apabila kapal tersebut melakukan kegiatan yang mengancam negara pantai atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan negara pantai.
Pasal 25 tentang Hak Perlindungan Negara Pantai, disebutkan bahwa negara pantai dapat mengambil langkah – langkah yang diperlukan di laut teritorialnya untuk mencegah lintas yang tidak damai. Dalam hal ini bila kapal memasuki perairan pedalaman atau singgah di suatu fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman, negara pantai mempunyai hak untuk bertindak mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yag diitentukan bagi masuknya kapal tersebut ke perairan pedalaman atau persinggahan.


Sumber :
  • Majalah angkasa 
  • Tandef 
  • Unggun Dahana, kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.