Kamis, 29 Maret 2012

Operasi Flamboyan

Operasi Flamboyan
Hendro Subroto

Dading Kalbuadi, Komadan Operasi Flamboyan
Kampanye militer terbuka belum dapat dilaksanakan sebagai akibat belum adanya dukungan politik luar negeri. Hal itu menyebabkan Presiden Suharto tidak berani mengambil resiko, sehingga mengatakan "Tunggu dulu. Akibat kurangnya pengertian akan mengganggu arus bantuan dari IGGI." Kebijaksanaan presiden itu dapat ditafsirkan bahwa ABRI tidak boleh masuk ke Timor Portugis. Tetapi Mayjen Benny Moerdani memberanikan diri mengambil kebijaksanaan lain dengan berkata, "Sebagai pelaksana yang baik kalau dilarang, ABRI harus tetap melakukan kegiatan di Timor Portugis. Kalau nanti yang melarang mengatakan boleh, sedangkan kita belum siap, kita dianggap sebagai pelaksana yang jelek." Langkah selanjutnya Ketua G-1/intelijen Hankam mengambil prakarsa segera melakukan peningkatan operasi non-phisik berupa operasi penggalangan oleh Kokamko (Komando Kampanye Komodo) menjadi operasi phisik yaitu berupa operasi sandiyudha terbatas (limited combat intelijen). Salah satu dasar pertimbangan yang diambil ialah disebabkan Kokamko tidak memiliki pasukan yang dapat digunakan untuk melakukan operasi phisik. Untuk mendukung pelaksanaan operasi intelijen tempur terbatas, maka Mayjen Benny Moerdani mendesak kepada Mayjen Sarwono, Asisten Keuangan, agar biaya operasi dapat dikeluarkan selambat-lambatnya pada tanggal 27 Agustus 1975.

Dalam suatu rapat di G-1/Intelijen Hankam, Tebet, Mayjen Benny Moerdani memanggil Kolonel Inf Dading Kalbuadi (44 tahun), Komandan Grup-2 Parako/Kopassandha, di Magelang, ikut hadir. Rapat sengaja mengambil tempat di kantor G-1/Intelijen Hankam di Tebet, karena rapat-rapat di Hankam Jl. Medan Merdeka Barat, sudah diketahui oleh Australia. Dalam rapat itu Mayjen Benny Moerdani menunjuk Kolonel Dading Kalbuadi memimpin operasi intelijen tempur dengan nama sandi Operasi Flamboyan. Kolonel Dading adalah seorang mantan Tentara Pelajar dalam perjuangan kemerdekaan 1945 yang kemudian menjadi anggota Korp Baret Merah. Selain itu ia adalah seorang lulusan Sekolah Pasukan Khusus di Fort Benning, Georgia, Amerika Serikat. Antara Mayjen Benny Moerdani dan Kolonel Dading Kalbuadi keduanya telah bersahabat sejak tahun 1951, ketika mereka mengikuti pendidikan militer di Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) di Bandung, dan bertempur bersama-sama dalam penumpasan pemberontakan PRRI di Sumatera pada tahun 1958. Dengan demikian antara keduanya terdapat rasa saling percaya dan jalinan yang erat antara satu dengan yang lain.

Dalam melancarkan operasi intelijen tempur terbatas ke Timor Timur, pasukan sandiyudha sebagai sukarelawan tidak dapat mengharapkan dukungan resmi dari pemerintah, sehingga kedudukan mereka amat rawan. Disebabkan sukarelawan beroperasi secara rahasia, maka mereka tidak dapat mengandalkan dukungan perbekalan dan amunisi dari garis belakang secara terus menerus. Pasukan sukarelawan yang melaksanakan tugas itu membutuhkan klasifikasi tertentu. Sehubungan dengan tugas berat itu, Mayjen Benny Moerdani berkata, "Ini mungkin one way ticket." Kolonel Dading menjawab, "Wis Ben, ora opo-opo (Sudahlah Ben, tidak mengapa), saya kerjakan." Tak lama kemudian Kolonel Dading menambahkan, "tapi tolong, titip keluarga saya, kalau nanti saya tidak kembali." Mayjen Benny Moerdani menjawab, "Jangan khawatir, aku nanti pegang semuanya kalau kamu sampai nggak ada ..."

Sejak bulan September 1975 Detasemen Tempur-2 Grup-1 Parako/Kopassandha di bawah pimpinan Mayor Inf Muhidin berkekuatan dua kompi atau sekitar 250 orang, yaitu Kompi-A di bawah pimpinan Lettu Inf Marpaung dan Kompi-B dibawah pimpinan Lettu Inf Kirbiantoro telah tiba di daerah perbatasan Timor Timur. Penugasan Detasemen-2 di daerah perbatasan dipimpin oleh Mayor Inf Kuntara, sebagai Wadan Grup-1. Pasukan pemukul Operasi Flamboyan terdiri dari tiga tim, yaitu Tim Susi, Tim Tuti dan Tim Umi masing-masing di bawah pimpinan Kapten Inf Yunus Yusfiah, Mayor Inf Tarub, dan Mayor Inf Sofyan Effendi.

Mayjen TNI Yogie S.M., Danjen Kopassandha memberi nama sandi Nanggala dalam setiap penugasan operasi intelijen tempur yang dilakukan oleh Kopassandha. Misalnya Kopassandha Grup-4 yang diselundupkan dari kapal selam kelas Whiskey ALRI di dekat Jayapura dalam perjuangan pembebasan Irian Barat pada tahun 1962 dinamakan Nanggala 1, sedangkan Kopassandha Grup-4 yang bertugas di Timor Timur atau Tim Susi diberi nama sandi Nanggala 2. Kekuatan Tim Susi terdiri dari Karsayudha yang membawahi empat Prayudha. Komandan Tim Tuti Nanggala 3 dan Tim Umi Nanggala 4 yang baru dibentuk, masing-masing dijabat oleh Mayor Inf Tarub dan Mayor Inf Sofyan Effendi. Disebabkan kurangnya anggota Kopassandha, maka Tim Tuti dan Tim Umi masing-masing terdiri dari dua Prayudha Kopassandha dan dua peleton Para Komando (Parako). Baik Detasemen-1 dan Detasemen-2 pada Grup-1 bernama sandi Nanggala 5.

Pada tanggal 27 Agustus 1975 Tim Umi di bawah pimpinan Mayor Inf Sofyan Effendi diberangkatkan ke Atambua dengan pesawat menuju ke Kupang, kemudian mereka meneruskan perjalanan ke Motaain lewat laut dengan menggunakan kapal Bea & Cukai. Seluruh anggota mengenakan pakaian preman agar tidak menarik perhatian. Kapten Inf Sutiyoso dan anak buahnya menyamar sebagai mahasiswa yang sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN). Senjata dan amunisi dimasukkan ke dalam karung yang dibubuhi dengan tulisan yang berbunyi alat pertanian. Tim Susi di bawah pimpinan Kapten Inf Yunus Yusfiah telah tiba di Kupang pada tanggal 19 April 1975. Mereka juga mengenakan pakaian preman. Kegiatan yang dilakukan ialah menyusup masuk ke Timor Portugis dalam kelompok-kelompok kecil untuk membentuk basis-basis gerilya dan melakukan penyerangan. Tim Susi masuk ke Maliana di Concelho Bobonaro sampai ke Atsabe dan Tim Umi di bawah Mayor Inf Sofyan Effendi masuk ke Concelho Covalima, kemudian menyerang Tilomar dan Kapten Sutiyoso menyerang Suai.

Disebabkan penyusupan hanya masuk ke sasaran di dekat perbatasan, kemudian pimpinan Operasi Flamboyan merencanakan penyusupan yang jauh di daerah pedalaman, yaitu ke suatu pegunungan di selatan Viquque. Tugas itu dipercayakan kepada Kapten Sutiyoso. Suatu pagi ketika perahu bermotor yang ditumpangi bersama anak buahnya sedang menyusur di daerah lepas pantai Viqueque, tiba-tiba muncul helikopter Bolkow Pelita Air Service terbang rendah mendekatinya. Perwira yang duduk di sebelah kanan penerbang memberikan isyarat dengan menunjukkan tiga jari, menempelkan ketiga jari pada pundaknya, kemudian ia menunjuk ke pantai. Kapten Sutiyoso mengerti bahwa isyarat itu berarti seorang perwira yang berpangkat kapten diperintahkan naik ke darat. Perahu bermotor segera merapat ke pantai. Setibanya di darat Kapten Sutiyoso diberitahu bahwa perintah penyusupan ke daerah Viqueque dibatalkan. Dalam berbincang-bincang dengan penulis beberapa waktu setelah pembatalan penyusupan ke Viqueque, Kapten Sutiyoso mengatakan bahwa ia mungkin tidak dapat kembali setelah melakukan penyerangan Viqueque yang terletak jauh dari basis. Tetapi sebagai seorang prajurit, ia siap melaksanakan tugas itu sebaik-baiknya.

The Blue Jeans Soldiers

Para pelaku limited combat intelligence tidak berstatus sebagai anggota militer, tetapi mereka berstatus sebagai sukarelawan. Dengan demikian anggota pasukan sandiyudha yang bertugas kebanyakan hanya mengenakan kaos oblong dan celana blue jeans. Hal itulah yang menyebabkan mereka dijuluki the blue jeans soldiers, sedangkan para pejuang integrasi dari keempat partai dijuluki Partisan seperti panggilan para pejuang Prancis pada masa pendudukan Jerman dalam Perang Dunia II. Tenaga Bantuan Operasi (TBO) disebut Haiho, yaitu nama pasukan pribumi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dalam struktur organisasi Bala Tentara dai Nippon ketika menduduki Indonesia, sebenarnya Tenaga Bantuan Operasi disebut To Bang.

Para awak pesawat militer dan awak pesawat sipil yang mendukung operasi flamboyan juga berstatus sebagai sukarelawan. Penerbang militer yang menerbangkan pesawat sipil dengan registrasi PK seperti Pelita Air Service atau Dirgantara Air Service, biasanya mengenakan baju putih dan celana biru tua seperti lazimnya awak pesawat komersial. Tetapi di samping kursi penerbang dan mekanik terdapat senapan serbu G-3 atau AK-47. Awak pesawat TNI AU mengenakan overall tanpa tanda pangkat maupun atribut kesatuan militer. Bahkan kadang-kadang mereka hanya mengenakan pakaian preman. Dua pesawat pembom serbu B-26 Invader dan dua AC-47 Gunship yang digunakan untuk operasi itu, dihilangkan identitasnya di Lanud Penfui. Lambang segi lima, huruf yang berbunyi TNI AU dan call sign pesawat dihapus dengan jalan menyemprot cat berwarna putih. Pasukan Marinir mengenakan pakaian dinas lapangan secare terbalik agar nama, pangkat, dan atribut militer tidak tampak.

Karsayudha Kopassandha dapat disejajarkan dengan The B-Team dalam Organisasi US Special Forces. Jika The B-Team berkekuatan 68 orang, yaitu terdiri dari 20 orang staf markas dan empat A-Team masing-masing sebanyak 12 orang, maka Karsayudha Kopassandha berkekuatan 72 orang, yaitu 20 orang staf markas dan empat Prayudha masing berkekuatan sebanyak 13 orang. Baik Komandan Karsayudha maupun The B-Team dipimpin oleh seorang perwira menengah berpangkat Mayor.

Prayudha Kopassandha dapat disejajarkan dengan The A-Team dalam organisasi US Special Forces. Susunan Prayudha terdiri dari seorang Komandan berpangkat Kapten, seorang Wakil Komandan, seorang Bintara Operasi, dua orang Prajurit PHB, dua orang Prajurit Kesehatan, dua orang Prajurit Intelijen/Territorial, dua orang prajurit Persenjataan, seorang Prajurit Logistik, dan seorang Prajurit Zeni untuk demolisi. Seluruhnya berjumlah 13 orang.


Sumber :
  • gunawanari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.