Rabu, 25 April 2012

Catatan Seorang Jurnalis yang Meliput Operasi di Aceh

Ilustrasi
Pertengahan mei 2003, kembali tugas mengantar saya ke Aceh. Darurat militer masih panas. Dan seperti kebiasaan waktu itu, saya ke Aceh sendirian aja (alias VJ). Siang itu saya sudah berada di suatu tempat di Pidie, Aceh.

Sehari sebelumnya, Komandan Kodim Pidie ngasih tau, hari ini bakal ada operasi besar-besaran. Dan memang benar, lebih dari 100 pasukan TNI dari Batalyon 315 Siliwangi dan 642 Kapuas, 3 tank angkut personel, dan beberapa truk reo (truk lapis baja), berkumpul.

Mereka rencananya mau nyerang sebuah desa basis GAM di kecamatan Muara Tiga Pidie, katanya lagi, ada sekitar 50-an GAM sembunyi didesa ini.

Singkat cerita, tibalah saat operasi. Tengah malam menjelang dini hari, pasukan dipecah menjadi 2. Batalyon 315 akan menyerang dari depan (mereka pake truk militer), sementara Batalyon 642 akan menyekat dari arah belakang, dengan bantuan Tank. Sang Komandan Kompi Tank meminta saya ikut dengan dia. Pikir saya (dan juga wartawan lain), naik tank pasti lebih aman, khan dibikin dari baja. Tapi pastinya ga nyaman. Soalnya, satu tank dijejali 20-an tentara. Bayangin aja, 20-an tentara, ditambah wartawan, ditambah senjata mesin dan amunisi, semuanya tumplek plek jadi satu…

Tank tua itu (punya marinir, jenis BTR50, buatan tahun 50-an jaman perang Trikora!!), bergerak menembus kegelapan malam. Saking gelapnya, dan maklum saja bukan Tank canggih yang pake GPS atau radar, beberapa kali kita nyasar(??)…

Entah berapa lama kami bergerak. Sempat juga seh istirahat, dengan ditemani nyamuk-nyamuk segede gaban. Menjelang pagi pun kami masih bergerak (koq ga nyampe-nyampe yah…), menembus hutan semak dalam kegelapan total. Lampu bener-benar dilarang, soale bisa jadi sasaran tembak…..

Tiba-tiba… gubrak!!… brak!!!.. langit pun gelap, bintang bulan dilangit menghilang!!!... apa yang terjadi?? …. Alamak, tank yang saya tumpangi terperosok jurang!! Ga terlalu dalem seh, Cuma 6 meteran… tapi, posisi saya berada didepan, jadinya yah terpaksa deh ketindih tentara-tentara itu beserta peralatan lenongnya. Alhamdulillah, saya selamat, dengan luka-luka lecet aja. Tapi kameraku bernasib tragis. Lensa dan bodi terpisah..

Hiks..hiks.. ga bisa liputan deh. Tapi untungnya, ada wartawan TV laen yang mau minjemin handycamnya. Jadi bisa liputan sedikit kontak tembak yang terjadi siang harinya. Dan sampai detik ini, saya satu-satunya kameramen yang pernah matahin kamera (hehehe)…

Hasil operasi ternyata cukup mengecewakan. pasukan TNI hanya berhasil menangkap 2 orang anggota GAM. kemungkinan operasi telah bocor...

Sore hari, liputan kelar. Ketika akhirnya dapet sinyal, aku berniat laporan ke Jakarta apa yang terjadi dan kamera tercinta. Dengan batere HP yang low-bat, aku hubungi produser berita sore waktu itu. “Mas (agak terbata-bata, maklum cape, dan belon makan semaleman ampe siangnya), semalem aku ikut operasi TNI, tapi trus tank-nya masuk jurang…”, belum selesai aku ngomong, bos langsung nimpalin “Wah!! Bagus tuh… kamu dapet Tank masuk jurang!! (sebel ga seh??!!)..”, katanya penuh semangat. “, … tapi mas, aku khan didalem tank itu… tut..tut…”, batere Hp ku benar-benar abis…

Sebesar atau sekecil apapun kiprah jurnalis dalam medan perang adalah kekayaan yang tak ternilai. Tidak heran kalau banyak jurnalis militer yang "merengek" kepada bosnya untuk minta dikirim ke medan perang, walaupun sebenarnya ia dengan tidak langsung "mempertaruhkan" nyawanya sendiri.

Bisa langsung berada di tengah-tengah prajurit, merupakan kenangan tersendiri. Di situlah sebenarnya kita bisa dapat touch, merasakan beragam keluh-kesah, suka-ria, dan sisi-sisi humanis dari seorang abdi negara yang dipersenjatai. Demi negara mereka mempertaruhkan nyawa, meninggalkan anak yang masih balita dan istri untuk mengurus rumah tangga sendirian.

Paling banter nitip dijagain sama tetangga atau kalo beruntung orang tua atau mertua ikut nginap sementara. Setelah itu kembali sendiri menanti suami pulang dari medan perang, Selama berbulan atau bahkan lewat setahun.

Paling memilukan kalau dapat kabar dari tetangga, suami tercinta gugur di medan laga....

Bagi para jurnalis perang, bisa bercengkerama dengan tentara, kadang dapat makan kadang enggak, tak jadi soal. Peliput perang bukan mereka yang tidur nyenyak di hotel bintang lima, dibawa plesir dan makan-makan enak. Medan utama meraka adalah kubangan lumpur dan kecintaan kepada militer. Paling banter tidur di bangku truk, kalo mujur dapet mes sederhana dengan kopi hangat dan ubi rebus. Nikmaaattt... saat-saat ngobrol sampai larut sesama rekan pers, adalah moment yang juga sangat sulit terlupa. sampai kemudian bertemu lagi di penugasan lain, dan kita cerita-cerita tentang misi yang pernah dialami bersama.


- sumber diposkan rudy79 -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.