Selasa, 03 April 2012

Kejarlah Daku Kau Ku "Sekolahkan" (3)

Markas Burung

Ilustrasi pos jaga TNI
RASA bosan adalah salah satu beban dalam peperangan. Saya juga merasakannya. Rekor saya tinggal di pos hanya tiga hari. Memasuki hari keempat, saya mulai mencari informasi kapan ada lanjutan ke kota atau ke pos lain.

Orang-orang pos punya berbagai macam cara untuk mengatasi kebosanan. Mereka punya dunia sendiri. Bangun pagi, seisi pos sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Yang memelihara burung akan memandikan piaraannya. Makhluk-makhluk itu disuapi makanan, diajari bicara, diajak berjemur menikmati matahari pagi, diperbaiki sangkarnya. Kadang mereka menyetelkan lagu buat piarannya itu. “Biar suaranya bagus,” kata seorang serdadu.

Banyak tentara dari Jawa suka memelihara burung. Saya pernah mendapati pos dengan 40 buah sangkar burung, dua kali lipat dari jumlah penghuni pos. Kicauan burung-burung terdengar hampir setiap saat. Suaranya bahkan lebih nyaring ketimbang kicauan teman-temannya di hutan belakang pos.

Burung memang mudah didapatkan di Aceh Barat. Biasanya, warga yang datang berobat (gratis) ke pos menyerahkan burung atau makanan burung. Ada banyak jenis burung. Murai batu yang paling sering saya lihat di samping perkutut, beo, dan tekukur.

Membuat sangkar burung jadi kesibukan tersendiri. Rangkanya dari kayu, jerujinya dari bambu. Orang pos membuatnya bermodalkan sangkur dan besi panas untuk melubangi rangka. Ukurannya bervariasi. Yang paling besar yang pernah saya lihat seukuran tempat tidur anak lima tahun. Dipernis dan dicuci tiap hari. Mereka kadang menamai burung piaraannya dengan nama orang-orang GAM yang jadi target operasi di Aceh Barat, seperti “Juragan” dan “Cut Man.”

Biasanya, setelah merawat binatang piaraan, orang pos merawat diri. Di setiap pos, selalu ada peralatan fitness seperti barbel, erekan, dan samsak. Mereka tak ingin pulang tugas dengan perut buncit.

Sudah itu mandi. Tentara umumnya mandi telanjang bareng-bareng. Yang tidak suka, biasanya mandi pakai celana kolor atau pas sumur sepi. Mandi dan sekalian mencuci pakaian. Baju dan celana loreng biasanya dicuci dua kali seminggu. Kalau lebih dari itu, di baju ada garis-garis putih yang kalau banyak seperti peta saja. Awalnya saya kira peta itu terbentuk karena mereka tak bersih saat membilas. Kemudian seorang serdadu bercerita kalau peta itu karena air keringat (bergaram) yang menempel di baju. Pakaian yang kering habis dijemur biasanya langsung dilipat.

Kegiatan bersama orang pos sudah direncanakan sejak malam sebelumnya. Komandan peleton atau bintara sudah menunjuk siapa giliran patroli dan jaga pos. Porsinya setengah-setengah. Sepuluh orang patroli, sisanya jaga pos plus memasak.

Mereka bergiliran masak. Sejak lepas subuh, mereka mandi asap kayu bakar di dapur. Pagi sarapan dengan telur dadar dan nasi panas. Baru siangnya ada sayur dan ikan. Kalau ada kelapa, mereka bikin sayur santan. Ikannya rata-rata digoreng. Nanti kalau banyak bawang merah dan cabai besar, ikan goreng itu diberi bumbu. Soal rasa bergantung pada siapa yang memasak. Terkadang terlalu asin dan seringkali anyep karena kurang bumbu.

Ada satu menu yang tak pernah hilang di pos: sambel. Kalau ada terasi, pakai terasi. Kalau tidak, ya cabai, tomat, bawang, garam dan sedikit vietsin diulek. Tentara Jawa biasanya bawa ulekan akar pring dari Jawa sana. Mereka tak nyaman memakai ulekan Aceh yang besarnya seperti lesung penumbuk padi.

Masih soal menu, saya pernah terperanjat menyaksikan mewahnya daftar menu pos Rajawali di Kabong. Menu ditulis jelas-jelas di papan dapur. Pagi: Nasi Putih, Telur, Teh Manis, Krupuk. Siang: Ayam Goreng, Sop, Empal, Lodeh, Sayur (asam/bening), Ikan Asin, Sambal, Lalap. Sore: Sarden, Cornet, Ikan Bakar, Opor Ayam, Gudeg, Soto, Telur. Makanan tambahan: Susu, Jeruk, Mi (rebus/goreng), Telor setengah matang, Kelapa muda. Ternyata ini hanya fantasi orang dapur saja. Realitasnya ya sama dengan pos lain.

Jadwal makan orang pos teratur, pagi biasanya antara pukul tujuh dan pukul delapan, siang sebelum masuk duhur, dan makan malamnya menjelang magrib. Mereka biasanya makan dengan serba plastik: piring plastik, sendok plastik, dan gelas plastik. Semua peralatan makan itu, termasuk peralatan masak, dibeli dengan uang sendiri.

Setiap bulannya, mereka dapat pembagian beras dan beberapa kaleng konserven (makanan kaleng). Praktis orang pos tinggal mencari lauknya. Rata-rata per orang menyetor Rp 1.000 setiap makan. Mereka kadang minta ikan kepada nelayan atau penjual yang lewat depan pos.

Semua mengambil makanan di dapur kecuali komandan pos. Bos satu ini memang spesial. Dia yang paling duluan dapat jatah makanan, porsinya lebih banyak, dan diantar ke kamarnya. Kalau saya datang, orang dapur punya dua bos. Seringkali apa-apa wartawan duluan. Saya pernah mendengar seorang serdadu menegur temannya karena mengambil makan terlalu banyak. “Nanti wartawan tidak dapat.”

Suatu saat, saya iseng bertanya kepada orang dapur, “Kok kita nggak pernah makan daging?”

“Bagaimana kalau saya tembakkan Bandung Ambon Bandung Irian?”

Saya menolak karena tak makan babi.

“Kalau (saya tembakkan) burung rangkong mau?”

“Kelelawar?”

Saya tetap menggeleng dan iseng-iseng bertanya, “Orang pos bagaimana bisa marah kalau tidak makan daging?”

“Bang, tentara itu biar tidak makan daging sudah sangar.”

Patroli adalah saat orang pos bergaul dekat dengan warga desa. Satu hingga enam bulan pertama mereka masih menikmatinya. Tapi kalau sudah lewat enam bulan, istilah tentara sudah masuk yang namanya “masa bodoh”. Di kepala prajurit yang terpikir cuma kapan pulang. Mereka biasanya kembali hapal hari dan tanggal berapa sekarang. Satu sampai enam bulan pertama boro-boro.

Saat patroli mereka akan bertegur sapa dengan setiap orang desa. Kadang mereka singgah sekadar untuk tahu berapa jumlah penghuni rumah dan siapa-siapa saja orangnya.

Setiap pekan, orang pos sudah punya jadwal desa mana yang harus mendapatkan apel. Mereka memilih hari Jumat karena orang kampung di Aceh tak pergi ke ladang hingga usai jumatan.

Saya pernah mengikuti apel di desa Mugah Rayeuk. Jangan bayangkan apel yang kaku. Ini tanpa baris-berbaris, terkesan santai saja. Warga desa, tua muda laki perempuan, berkumpul di tempat yang teduh dan komandan pos berdiri di depan.

Acara pertama absensi. Orang-orang desa diabsen. Kalau seisi rumah tak bisa datang, mesti ada yang mewakili. Mereka utamanya yang pernah terlibat GAM. Orang pos punya catatannya. Mereka mendapatkan catatan itu dari pasukan yang bertugas sebelumnya. Mereka yang ada namanya di daftar itu harus melakukan registrasi ulang setiap pasukan di pos berganti. Pemutihan, istilahnya.

Selepasnya, ada pengarahan dari komandan pos. Isinya macam-macam. Tapi intinya ini: “Jaaaaaaaaaaaaangan sekali-sekali ikut GAM. Tidur di hutan itu tidak enak. Saya di pos sana nyamuknya saja sudah minta ampun. Anak ditinggalin, istri ditinggalin. Kalau ikut ke sana akibatnya rugi semuanya. Nggak usah gaya-gayaan bawa senjata, bapak-bapak. Tidak ada gunanya! Mendingan kita ambil cangkul, pergi ke ladang, ada hasil bisa dimakan sama-sama dengan keluarga.”

Kalau ada apel, mungkin keuchik (kepala desa) yang paling terbebani pikirannya. Dia harus punya jawaban kalau orang pos bertanya kenapa si A atau si B tak ikut apel. Dia juga kadang jadi sasaran awal kekesalan tentara terhadap apa yang terjadi di desa.

Pernah suatu hari saya bertanya kepada orang pos apa yang akan dilakukannya kalau pos diserang. “Gampang,” katanya, “Cukup panggil keuchik dan suruh orang desa apel dan guling di jalan sampai aspal di depan pos ini rata.”

Keuchik juga kadang jadi sasaran kekesalan orang GAM. Sudah banyak keuchik yang mati karena berselisih dengan orang GAM. Biasanya soal pajak. Pajak Nanggroe, istilahnya. Saya tak pernah melihat langsung orang GAM memungut pajak, tapi saya punya contoh kwitansinya. Isinya memuat keterangan nama barang yang diserahkan dan berapa jumlahnya dalam bahasa Aceh. Di pojok bawah kwitansi tertera keterangan “aseuli meuwarna, fotocopy hana sah” (asli berwarna, fotokopi tidak sah).

Sepulang patroli, orang pos beristirahat. Selepas asar, mereka berolahraga. Ada yang turun main voli (enam yang main, empat mengamankan) dengan warga desa. Ada juga yang kembali menekuni alat-alat fitness.

Kalau capek gerak badan seharian, begitu habis Isya orang pos langsung tidur. Jangan bayangkan ada kasur dan ranjang di pos. Mereka tidur beralaskan matras dan berjejer di sebuah ruang panjang seperti bangsal rumah sakit. Biasanya, dari rumah mereka sudah membawa bantal, yang kadang ada sulaman nama istri dan anak-anaknya.

Yang belum ngantuk biasanya nonton VCD. Orang pos punya banyak koleksi VCD dari film Mickey Mouse, Tom and Jerry, hingga film India Kuch-Kuch Hota Hai. Tapi yang sering diputar VCD Dangdut Koplo (itu lho, dangdut yang penyanyinya berpakaian superketat dan melenggok-lenggok menirukan adegan di film porno). Kadang, kalau punya persediaan, mereka nonton VCD porno yang mudah dicari di rental VCD di kota terdekat.

Tidurnya serdadu di pos selalu disela jadwal jaga serambi. Biasanya mereka berjaga selang sejam. Ini berlaku buat semua penghuni pos. Saat jaga, semua lampu dipadamkan. Di pos jaga selalu ada senapan otomatis.

Kalau pas malam Jumat, di pos biasanya ada yasinan. Tahlilan kalau orang pos mendengar ada tentara Indonesia mati di Aceh. Dan kalau malam Minggu, orang pos biasanya gitar-gitaran. Banyak yang pintar menyanyi. Dangdut biasanya. Instrumen musik yang digunakan lumayan lengkap. Ada gitar melodi, drum, bass, suling, dan lain-lain. Tapi …. semuanya dengan mulut.

Minggu siang waktunya pelesiran. Pelesiran tentara di Aceh tetap saja dengan senjata sudah dikokang. Tujuan mereka biasanya ke kota kecamatan atau ibukota kabupaten. Tempat yang pertama kali mereka datangi biasanya warung telekomunikasi. Di situ mereka melepas rindu dengan orang di rumah.

Saban minggunya, ada ratusan tentara yang turun gunung untuk menelepon. Mereka yang seringkali bayar mahal adalah serdadu yang sudah berkeluarga. Makin banyak anak makin besar yang mereka bayar. Kadang sampai Rp 90 ribu sekali telepon.

Selain telepon, banyak serdadu yang memilih berkomunikasi lewat surat. Saya pernah melihat seorang serdadu yang sekali duduk menulis sampai 10 surat. Dia masih bujangan.

“Banyak fans,” katanya.


[Dimuat di Majalah Pantau edisi 3 Februari 2003]
bersambung ...

Baik buruk suatu peristiwa, tercatat dalam dokumen menjadi sejarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.