Rabu, 04 April 2012

Kejarlah Daku Kau Ku "Sekolahkan" (8)

Tak ada yang menyambut

“Ada yang sampai pergi sembahyang,” katanya.

Dan itu membuatnya heran. Menurutnya, “Tuhan Mahatahu …. dia (tawanan) itu sudah mengancam nyawa puluhan orang. Membuat anak-anak tidak bisa sekolah. Dia ikut menghadang konvoi 433 di Geurutee. Ada serdadu yang korban. Sekarang masih di rumah sakit pusat Gatot Subroto.”

Tawanan itu namanya Mainun. Dia ditangkap setelah ada bapak-bapak yang melapor ke SGI (Satuan Gabungan Intelijen) karena diancam akan dibunuh jika tak menyerahkan dana perjuangan GAM. Belakangan, Ayah Lian ditemukan mati terbunuh. Nama Maimun disebut-sebut.

Mainum ditangkap saat main bola voli. Awalnya, tak ada serdadu yang tahu wajahnya. Warga di situ tak ada yang mau buka mulut. Serdadu jengkel. Setelah direntet tembakan ke arah kaki, barulah mereka menunjuk hidung Mainum.

Mainum digiring ke pos. Seorang pemuda datang melihatnya. Dia bercerita kalau betul Mainun yang membunuh ayahnya. Mainum berkilah. Katanya, dia memang ada di tempat saat pembunuhan terjadi, tapi bukan dia yang melakukannya.

“Itu lagu lamanya GAM. Kalau ditangkap jadi suci sekali.”

Saat ditahan di sebuah pos, saya melihat Mainum dikerumuni sejumlah serdadu. Saya menyesal tak berani turun dari truk dan melihat langsung wajah pemuda jerawatan itu. Dua tiga hari setelahnya, seorang serdadu bercerita kepada saya kalau Mainum sudah disekolahkan. Mayatnya dibuang ke daerah Lageun.

DIi Aceh, tugas utama mencari ikan di kolam-kolam tanggung jawab Pasukan Pemburu Rajawali. Ini tentara terlatih dengan kualitas fisik prima, yang memang dilatih khusus untuk mengejar GAM. Mereka didoktrin untuk rajin jalan, waspada, dan jeli.

Ada yang menyebutnya Pasukan Sayap Lebar. Isinya gabungan prajurit Kostrad dan Kopassus. Saat ini, sekitar 2.000 orang Rajawali di Aceh disebar dalam lima datasemen tempur dari hanya dua datasemen pada 1999.

Naluri tempur mereka di atas rata-rata. Mereka dibekali latihan militer yang sebelumnya hanya didapat anggota Kopassus seperti mengesan jejak (pelatihnya antara lain orang Dayak), sermujam (serangan amunisi tajam), mobud (mobil udara), dan perang rawasuntai (rawa laut sungai dan pantai).

Rajawali terbiasa bergerak dengan jumlah kecil. Satu regu, delapan sampai 12 orang. Jika ada pasukan yang jalan di hutan-hutan Aceh membawa ransel besar, bisa dipastikan itu Rajawali. Jika Anda melihat tentara yang berbelanja di pasar-pasar Aceh dengan dompet terbungkus plastik atau tidur dengan sarung sambung (dua sarung dijahit jadi satu), itu pasti Rajawali.

Mau tahu isi ranselnya? Jika hendak “masuk kolam” lebih dari seminggu, biasanya di setiap ransel itu ada satu setel pakaian loreng cadangan, kaos kaki dua sampai tiga pasang, celana dalam sebanyak-banyaknya, kelambu kepala, matras kedap air, dan sarung sambung.

Untuk logistik, mereka menyiapkan dua kilogram beras per orang, ikan kering setengah kilogram, supermie 30 bungkus, kecap botol kecil, saos botol kecil, minyak goreng botol kecil, bawang, terasi, garam, gula, kopi atau teh, sendok, piring dan gelas plastik.

Selain itu, tiap-tiap serdadu membawa tali perorangan 10 meter dan tali tubuh lima meter. Tali itu diperlukan kalau misalnya pasukan harus berenang di sungai deras atau meluncur dari ketinggian tebing. Bintara pembawa radio biasanya menambahkan 20 biji baterai cadangan ke ranselnya.

Jika ditotal-total, beratnya ransel bisa mencapai 25 kilogram. Berat, cukup membuat bahu keple dan kulit terkelupas. Bila beban berat, jarak yang mereka tempuh relatif dekat. Untuk 10 hari, mereka ditargetkan memeriksa sasaran duga yang total jaraknya 10 kilometer. Praktis dalam sehari, pasukan hanya jalan satu kilometer. Demi kehati-hatian, seringkali jarak 100 meter ditempuh hingga satu jam.

Sekalipun rutenya pendek, tapi medan di Aceh Barat seringkali tidak mendukung. Untuk sampai ke sasaran, mereka kadang harus menggergaji beberapa bukit, berenang di sungai lebar, dan masuk rawa.

Dan kalau sudah rawa atau sungai, alamak …. siksaannya luar biasa.

Saya pertama kali masuk rawa di Peulanteu, kecamatan Samatiga. Rawa itu baru bisa ditembus setelah jalan dua jam. Namanya jalan di rawa yang tak ada embusan angin dan ada pelat baja 10 kilogram di dada, badan jadi keringatan. Peluh menetes dari setiap pori, di kepala, di belakang telinga ….. Bila itu berlanjut, tetesannya akan membuat mata perih. Jalan makin jauh, keringat sudah tidak asin lagi. Badan ini sudah kekurangan cairan.

Para serdadu seperti tak mempedulikan lagi badan yang tenggelam hingga dada di rawa. Mereka berkonsentrasi menjaga agar SS-1 tidak masuk lumpur. Senjata mereka akan macet kalau kena lumpur atau terendam air.

Gerak mereka jadi lebih lambat. Hanya Tuhan yang tahu apa jadinya kami jika ada gerilyawan GAM yang menghadang di rawa itu. Soalnya, mau sembunyi di mana? Tidak ada perlindungan yang aman di tengah rawa.

Soal lintah tak usah ditanya. Lintah ada di sela-sela jari kaki, di betis, di paha, di perut, di selangkangan, dan bahkan menempel di penis. Kalau sudah mengisap darah, dia baru jatuh sesudah menggelembung sebesar jempol kaki, dari hanya seukuran satu ruas kelingking.

Tapi siapa sangka, di tengah hutan rawa itu ada markas pembuatan senjata rakitan GAM. Di situ ditemukan puluhan senapan rakitan setengah jadi, ratusan bendera dan kartu anggota GAM. Di antara empat gubuk pembuatan senjata itu, tentara menemukan seperangkat komputer, printer, dan genset. Saya tak habis pikir bagaimana GAM mengangkat genset raksasa itu melewati rawa.

Mereka tinggal di empat gubuk yang letaknya berdekatan. Gubuknya memang memprihatinkan. Saya mengira orang yang tinggal di situ termasuk di antara mereka yang meyakini kalau usia Aceh merdeka tinggal sebatang rokok lagi. Tiang-tiangnya dari batang-batang kayu seukuran betis anak kecil. Atapnya dari daun rumbia. Nyamuknya tak usah ditanya. Markas itu punya sistem pengamanan berlapis. Ada tiga pos tinjau yang masing-masingnya memiliki pemancar radio.

Melihat barang yang berceceran di gubuk itu saya mengira ada beberapa remaja yang menghuni dan melarikan diri begitu tahu ada tentara. Saya menemukan banyak bungkus rokok Marlboro, botol splash cologne, minyak rambut, dan lain-lain. Saya juga menemukan selembar kartu nama John Aglionby, koresponden harian The Guardian untuk wilayah Asia Pasifik.

Selesai masuk rawa, telapak kaki jadi pucat. Kerutan itu baru bisa hilang setelah dua hari. Saat itu saya memakai sepatu lars. Larsnya kesempitan. Untuk ukuran kaki 42 mestinya lars nomor tujuh sementara lars yang saya pakai nomor enam. Jadinya, kaki terkungkung. Tumit lecet dua-duanya. Lecetnya bersusun-susun. Luka di atas luka.

“Ah, itu belum biasa saja,” kata seorang serdadu menertawakan.

Masak dan makan bersama adalah hiburan satu-satunya bagi Rajawali selama “masuk kolam.” Serdadu biasanya masak dengan misting. Satu misting -seukuran dua batu bata ditumpuk- untuk empat orang. Apinya lebih sering pakai kayu bakar (pembagian parafin jarang ada). Masaknya hanya pagi dan sore. Supaya asapnya tak mencolok, di atas misting ditutupi dahan, biar asapnya menyebar.

Kalau pagi, supermie jadi sayurnya. Kalau ada bayam yang ditemui di kampung-kampung, pakai bayam. Kalau ada tewel (nangka muda) dan kelapa, menu sedikit membaik. Kelapa diparut untuk diperas diambil santannya untuk dimasak dengan nangka muda. Parutnya kaleng sarden yang dilobang-lobangi dengan paku. Ikan keringnya digoreng di atas wajan kecil. Untuk mengulek sambel, terasi bakar dan cabai dimasukkan ke kaleng sarden dan digerus dengan kayu.

Makan saat begitu sedap, bisa sampai keringatan. Semua memang enak kalau perut keroncongan.

Serdadu Indonesia kalau tak merokok sehabis makan mukanya sumpek. Kalau rokok sudah habis, akal mereka jadi panjang. Serbuk teh digulung dengan kertas apa saja sebagai pengganti rokok. Mengepul juga.

Urusan minum, biasanya dua sampai tiga gelas dipakai untuk semua mulut. Mereka sudah biasa dan itu urusan kecil.

Kalau ada teman sakit parah, semuanya merawat. Ransel si sakit dicopot dan isinya dibagi rata ke yang sehat. Sakitnya Rajawali tak jauh-jauh dari tipus, turun bero, bahu keple, dan gatal-gatal.

Jika Basis Operasi Depan (BOD) pindah, Anda sukar menemukan jejak Rajawali. Semua sampah ditanam. Bekas galiannya ditutupi dedaunan sehingga tanah seolah tak pernah diinjak lars.

Kalau di tengah hutan Aceh Anda mendengar SS-1 menyalak dua-dua kali, itu tembakan khas Rajawali. Kalau ada “Purpa” (Pertemuan Perjumpaan), setiap serdadu akan mengejar sasaran seperti orang kesurupan.

“Ciiiiihuuuyyyy!”

“Ciiiiihuuuyyyy!”

“Ciiiiihuuuyyyy!”

“Ciiiiihuuuyyyy!”

“Ciiiiihuuuyyyy!”

“Ciiiiihuuuyyyy…!”

Sambil berteriak, mereka berlari zig zag, mendekati sasaran. Tapi larinya hanya sebentar-sebentar. Tiga detik tiga detik. Mereka mengantisipasi musuh yang bisa membidik sasaran hanya dalam tempo tiga detik.

Sekali masuk kolam, Rajawali kadang tahan sampai 15 hari. Selama itu mereka diharamkan jalan di jalan setapak apalagi beraspal. Mereka dilarang menemui penduduk. Selama itu, mereka akan mengecek setiap sasaran-duga yang sudah digariskan dalam perintah operasi. Kadang, mereka akan mengendap di tempat-tempat tertentu yang berdasarkan informasi intelijen sering dilewati GAM.

Sebelum pengendapan, separuh regu sudah melakukan pengintaian medan, sore harinya. Separuh kekuatan masuk. Menjelang malam, separuh dari serdadu yang berangkat mengintai medan kembali menjemput sisa pasukan.

Di tempat pengendapan, biasanya di pinggir desa, mereka akan membuat formasi bersaf. Ujung empat orang, tengah empat orang, ujung satu lagi empat orang. Ujung ke ujung disambung dengan tali. Tali itu jadi sarana komunikasi utama selama pengendapan yang wajib hukumnya senyap dan tak boleh ada cahaya.

Anda harus jeli kalau lewat di depan tempat pengendapan dan tahu kalau tiga-empat meter dari tempat Anda berdiri ada serdadu yang tengah membidikkan larasnya ke wajah Anda. Mereka memang dibekali cat wajah untuk penyamaran. Warnanya ada yang hitam, coklat, abu-abu, dan hijau.

Rajawali bukan barang asing bagi seisi hutan. Kalau lagi mengendap, burung pun kadang lupa kalau yang dihinggapinya itu punggung manusia. Rajawali dikenal dengan kesabaran dan keuletannya. Mau panas mau hujan, mereka akan tetap di tempat pengendapannya sampai ada perintah pemindahan BOD.

“Hujan kawan. Panas kawan,” kata seorang serdadu menirukan doktrin prajurit infanteri.

Rajawali telah dididik untuk menembak tepat: titik-bidik-titik-kena. Latihannya banyak. Ada tembak jarak, ada tembak reaksi. Tembak jarak, mereka dididik untuk menembak sasaran berdasarkan aba-aba pelatih. Saat pelatih meneriakkan “Dua 50″ misalnya, serdadu mesti menembak sasaran 50 meter dari posisinya, arah jam dua. Ya, kurang lebih miriplah dengan gaya jejaka kota membisiki rekannya kalau ada gadis cantik yang berdiri di suatu tempat.

Tembak reaksi lain lagi. Di sini mereka dilatih menembak skip bergerak dan statis, muncul sesaat lalu tenggelam. Skipnya selalu tiga berdampingan: pak haji, pemuda berpakaian loreng dan perempuan berjilbab. Salah satu dari tiga orang itu bersenjata. Hanya mata yang awas yang bisa menembak tepat. Salah dihukum. Hukumannya, menembak lesan hingga amunisi dalam dua boks peluru habis. Satu boksnya sekitar 1.500 amunisi.

Seorang Kopral Kepala yang pernah ikut pendidikan Rajawali pada 1996 bercerita saat latihan dulu Prabowo Subianto menyediakan tiga truk amunisi tajam. Katanya, biaya latihan untuk 2.000 orang waktu itu sampai Rp 5 miliar. “Memang yang harus jadi pimpinan di militer itu orang kaya.”

Bagi pasukan Rajawali, anggota Kopassus utamanya, menembak dengan peluru tajam bukan hal asing. Tiap hari di markas latihannya ya itu: menembak, menembak, dan menembak. Kalau tidak menembak sambil tiarap, ya menembak sambil duduk, atau menembak sambil berdiri, atau menembak sambil berlari. Seorang prajurit Kopassus sampai bilang ke saya, “Mas kalau ada keluarga yang mau dagang kuningan datang saja ke Serang. Selongsong di sana tinggal disekop.”

Sebenarnya, Batalyon Teritorial yang diberangkatkan ke Aceh juga mendapat latihan menembak. Mereka hanya dibekali beberapa lusin peluru hampa. Kalau itu habis, menembak kadang pakai mulut: “Dor-dor-dor.”

Ada yang latah. Seorang Bintara bercerita kepada saya kalau ada anak buahnya yang nyaris menembak GAM. Sasaran sudah segaris dengan pisir-pijera. Kunci senapan sudah dibuka. “Dorrrr!” Yang ditembak tidak apa-apa. Dia hanya terkejut mendengar suara tembakan seperti saat latihan perang-perangan.

Bukan Rajawali kalau tidak hapal yel-yel dan mars Rajawali. Mereka biasanya meneriakkan yel-yel dan mars itu saat latihan atau sehabis mendapat sepucuk. “Uh, gembiranya sukar dilukiskan,” kata seorang Sersan Satu yang bersama anak buahnya pernah mendapat sepucuk Garand.

Marsnya singkat: “Majulah Satgas Rajawaliiii/ Kembangkan sayap-sayapmu/ Dideru angin/ Diterpa badai/ Diterjang peluru/ Tak gentarrrrr jiwa kamiiii/ Rajawaliiii …. Rajawaliiii. Hei!”

Tapi saya kira anda akan tertawa kalau melihat mereka meneriakkan yel-yel Rajawali. Ini perpaduan suara keras, kepalan tangan, dan sedikit kelenturan jemari. Pertama, dengan tangan terkepal, mereka akan meninju langit dua kali diiringi teriakan: “Rajawali! Rajawali!” Lalu dengan tangan kiri mereka melakukan hal serupa sambil berteriak: “Pemburu. Pemburu.” Setelah itu, mereka akan mengayunkan tangan kanan dua kali dengan bergetar-getar, meniru kepak sayap burung rajawali, dan diiringi teriakan: “Ciiiihuuyyy! Ciiiiihuuuyyy!” Sudah itu, tangan kanan yang sama disentak ke bawah disertai teriakan “Merah Putih, Yes!”

Untuk mengetahui apakah yel-yel itu sudah dilantunkan dengan benar, komandan biasanya hanya melihat urat leher serdadu. Kalau sudah menonjol, itu artinya teriakannya sudah pas. Kalau belum, ulangi sampai bisa.

Mereka yang pernah ikut pendidikan Rajawali akan menempelkan brevet Rajawali di seragamnya. Brevet itu bergambar burung rajawali bermata merah sedang mencengkeram sebilah pedang. “Brevet ini pakainya saja yang gagah. Tapi tugasnya …. alamak!”

Jadi prajurit Rajawali memang susah apalagi kalau komandannya gemar kontak senjata. Saya pernah bertemu seorang komandan pos Rajawali yang sikapnya membuat 30 orang anak buahnya tak pernah bisa istirahat tenang dalam seminggu. “Di pantatnya seperti ada paku. Maunya masuk ‘kolam' terus,” kata seorang serdadu.

Sayang, saya tak bisa akrab dengan komandan itu. Persoalannya sederhana. Dia alergi melihat di leher saya selalu tergantung kartu pers. “Tutup-tutup ini …. saya risih banyak pelanggaran HAM,” katanya saat saya duduk di dekatnya suatu waktu.

Entah pelanggaran hak asasi mana yang dimaksudkannya. Tapi dari seorang anak buahnya, saya mendengar cerita suatu malam pasukannya mengendap di wilayah Babah Aweh, kecamatan Jaya. Ada tiga orang yang melintas di tempat pengendapan. Mereka terkejut begitu mengetahui ada belasan tentara tiarap di pinggir jalan.

Saat disuruh berhenti dan angkat tangan, ketiga orang itu segan melakukannya. Pelan-pelan mereka mundur ke bahu jalan. Salah seorang di antaranya berusaha meraih sesuatu di kantong plastik yang dijinjingnya. Belum sempat, tembakan menggema.

Keadaan gelap. Yang tidak melihat dengan baik ketiga orang itu ikut menembak.

Tembakan berhenti. Begitu didekati, ternyata masih ada seorang yang hidup. Tak sedikit pun badannya lecet akibat tembakan beruntun itu. Rupanya, dia menenggelamkan badan di gundukan tanah di pinggir jalan.

Di kantong plastik tadi anak buahnya menemukan sebuah pistol rakitan.



[Dimuat di Majalah Pantau edisi 3 Februari 2003]
bersambung ...

Baik buruk suatu peristiwa, tercatat dalam dokumen menjadi sejarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.