Jumat, 20 April 2012

Memburu Jagal dari Cot Trieng Baroh


Keberhasilan Markas Besar TNI dalam mengungkap kasus penculikan dan pembunuhan Komandan Satgas Rencong Sakti XI di Cot Trieng Baroh tak lepas dari peran Denjaka. Lewat upaya rahasia yang penuh liku dan berisiko tinggi, pelaku akhirnya dapat ditangkap.

Brevet Taifib
    Pada tanggal 28 Desember 1998 sekitar pkul 22.00 WIB, Pratu Mar Safrudin yang bertugas di Pos Komando Taktis (poskotis) Satuan Tugas Rencong Sakti XI (Satgasrensa XI) di desa Rancung bertandang ke sebuah rumah seorang gadis kenalannya yang bertempat di desa Cot Trieng Baroh, Kecamatan Muara Dua, Kabupaten Aceh Utara.

    Kedatangannya saat larut malam mengundang reaksi warga setempat. Pasalnya tindakan itu bertentangan dengan norma susila setempat karena yang bersangkutan berada di rumah wanita yang bukan muhrimnya hingga larut malam. Akibatnya timbul kesalah pahaman yang berunjung pada tindakan pengeroyokan dan penyekapan Pratu Mar Safrudin oleh warga setempat yang diduga kuat kena hasut anggota AGAM (Angkatan Gerakan Aceh Merdeka, sayap militer GAM) yang membaur ditengah kampung.

    Versi cerita lain menyebutkan bahwa personil Marinir yang terlibat bentrokan dengan warga setempat itu ialah Komandan Pos Marinir di desa Peusangan, Aceh Utara, Sertu Mar Haskani. Pokok masalahnya ialah kesalah pahaman terkait pembayaran hewan ternak warga yang dibeli satuan Marinir untuk keperluan logistik pasukan.

    Menjelang tengah malam laporan lengkap mengenai kejadian ini akhirnya sampai di Poskotis Rancung. Setelah di analisa dan di kaji serta menimbang dari komandan Kodim 0103 Aceh Utara, akhirnya komandan Satgasrensa XI Mayor Mar Edianto Abbas memutuskan untuk menjemput sendiri anak buahnya itu. Disana ia juga berencana menyambung tali silahturahmi dengan pemuka adat kampung Cot Trieng Baroh.

    Ia tak punya prasangka buruk saat menjemput anak buahnya. Sebagai putra asli Aceh, Mayor Mar Edianto Abbas merasa akan lebih mudah bernegosiasi dengan para penyekap. Apalagi putra Abbas AR ini telah menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Banda Aceh. Maka, siapa menyangka bila hidup alumni AKABRI 1986 ini harus  berakhir disini. Secara tragis gara-gara kasus sepele.
 ♜ Pasang Badan

    Dari serangkaian kontak rahasia dan proses negosiasi yang di lakukan intel Satgasrensa XI dengan cukup alot, akhirnya disepakati bahwa menyelesaikan kasus  akan dilakukan di desa Paloh dekat Blang Tupat dinihari esoknya (29/12/998). Dan, bukannya di Cot Trieng Baroh.

    Sesampainya di desa Paloh, rombongan Dansatgasrensa XI ini sebenarnya telah berhasil menjalin komunikasi secara baik dengan pemuka kampung Cot Trieng Baroh. Hasilnya, Pratu Mar Safrudin berhasil dibebaskan dengan jaminan yang bersangkutan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Ia hanya diwajibkan membayar denda sesuai adat setempat.

    Namun, tatkala rombongan TNI ini akan beranjak pulang, mendadak seorang pentolan AGAM yang telah menjadi buronan aparat keamanan selama delapan tahun bernama Sulaiman (42) berhasil menghasut puluhan warga setempat agar serentak menyerbu rombongan. Akibat serangan dadakan ini, rombongan TNI yang hanya berjumlah belasan itupun kocar-kacir. Celakanya, Mayor Mar Edianto Abbas yang kebetulan paling dekat dengan kelompok massa yang tengah mengamuk tertinggal di lokasi. Ia hanya ditemani seorang Bintara satuan Intai Amfibi Marinir (taifibmar) dan Bintara Kodim 0103 Serda Inf Syarifuddin.

    Mayor Mar Edianto Abbas sebenarnya punya peluang menyelamatkan diri, karena Syarifuddin segera 'pasang badan' menghadang pengeroyok. Tujuan personil Taifibmar ikut terlibat tak lain agar atasannya bisa meloncat ke kendaraan terakhir yang meninggalkan lokasi. Tapi karena percaya diri yang begitu besar dan tak mau anak buahnya celaka, Edianto Abbas malah menghardik anak buahnya agar secepatnya naik kendaraan. Ia tampak ingin menghadang amukan warga hanya bersama Syarifuddin.

    Akan tetapi jumlah pengeroyok yang terlalu banyak membuat upaya perlawanan kedua personil TNI ini sia-sia belaka. Dalam keadaan babak belur mereka berhasil diringkus massa dan diserahkan kepada kelompok AGAM pimpinan Sulaiman untuk dijadikan sandera. Selama hampir satu minggu, dengan menumpang kendaraan curian mereka dibawa putar-putar keliling wilayah Kecamatan Muara Dua dengan mata tertutup dan bergerak di malam hari guna menghindari pemeriksaan aparat keamanan.

    Setelah sempat berganti empat kali kendaraan, akhirnya dengan memakai truk kedua sandera itu dibawa kelompok Sulaiman ke sebuah kebun kelapa milik Banta Hussein yang sebenarnya masih termasuk ke dalam wilayah desa Cot Trieng Baroh. Kedua sandera diturunkan dan dipaksa berjalan dengan tangan dan kaki terikat memasuki kebun.

    Baru berjalan sejauh 100 meter, tiba-tiba kedua sandera dibunuh dengan cara keji oleh tangan Sulaiman sendiri. Jenazah keduanya kemudian dikubur bersamaan di dalam sebuah lubang yang digali secara dadakan. Untuk menyulitkan pencarian, selain diberikan samaran secara fisik di sekitar lokasi, juga ditebar mantera guna mengantisipasi upaya pelacakan oleh aparat keamanan dengan bantuan paranormal.
 ♜ Upaya Pencarian

    Malam hari tanggal 29 Desember 1998, berita insiden bentrokan di desa Paloh yang berujung dengan penyekapan dua orang anggota TNI ini konon menggemparkan jajaran TNI pada umumnya dan Korps Marinir pada khususnya. Baik di Jakarta dan di Daerah Istimewa Aceh. Tanpa menunggu perintah dari Jakarta, jajaran Korem 011/Lilawangsa dan Polda DI Aceh segera mengambil inisiatif bergerak melakukan pencarian.

    Di tengah upaya gencar Korem 011/Lilawangsa dan Polda Aceh, menjelang tengah malam Komandan Korps Marinir Mayjen Mar Suharto akhirnya memutuskan untuk mengirim satu tim lawan teror Detasemen Jala Mangkara (Denjaka). Tim dipimpin Komandan Yonif 2 Brigif 2 Marinir Letkol Mar Alfan Baharudin (mantan Komandan Denjaka 1993-1995). Mereka bertolak dari Jakarta dinihari 30 Desember 1998 dan tiba di Lhokseumawe sekitar pukul 10.00 WIB. Disana mereka segera berkoordinasi dengan satuan teritorial setempat untuk bergerak keesokan harinya.

    Dinihari 31 Desember 1998, sebuah tim gabungan TNI-Polri yang terdiri dari beberapa personil Denjaka dan Gegana Brimob Polda Aceh yang diperkuat satu kompi Yon Arhanud TNI AD plus satu peleton Yon 113 TNI AD bergerak menuju desa Aleu Papeuh (18 km selatan kota Lhokseumawe). Mereka bermaksud menggerebek rumah yang dipakai sebagai tempat persinggahan kendaraan terakhir yang dipakai mengangkut kedua sandera ke kebun Banta Husein. Namun setibanya di lokasi, yang menurut laporan intel merupakan salah satu basis AGAM, tak diketemukan apa-apa. Tak ada satupun barang atau jejak yang dapat dipakai sebagai penunjuk signifikan.

    Tatkala tim gabungan akan beranjak dari lokasi setelah melakukan 'pengendapan' selama 48 jam, tiba-tiba ada seorang bersenjata yang tak dikenal mendekati tempat persembunyian personil Denjaka. Orang itu dengan seenaknya buang air besar. Pemandu satuan Denjaka segera mengenalinya sebagai seorang anggota AGAM dari kelompok Sulaiman. Dari kejauhan kepala yang bersangkutan sebenarnya telah 'tampak' di titik sasaran pada teropong bidik senapan tembak runduk jenis Steyr Mannlicher SSG-69 andalan Letkol Mar Alfan Baharudin. Tinggal menarik picu dan Dor ...!

    Namun Alfan urung menghabisinya. Pemandu satuan Denjaka yang kebetulan juga putra asli Aceh menyarankan agar orang itu 'dilepas' saja agar Sulaiman tidak keburu curiga dan malah kian rapat bersembunyi di tengah simpatisannya.

    Selain mengandalkan tim gabungan pasukan khusus TNI-Polri tersebut, Markas Besar TNI juga menggelar Operasi Wibawa 99 sejak tanggal 3 Januari 1999. Meski telah mengerahkan kekuatan dalam jumlah besar, operasi ini tetap tidak mampu mengungkap kasus memilukan ini. Bahkan upaya kampanye simpatik dan persuasif yang dilancarkan dengan gigih oleh seorang putra Aceh lainnya, Kolonel Mar Safzen Noerdin, yang mengemban misi sebagai utusan khusus Komandan Korps Marinir guna melobi sejumlah tetua adat di Lhokseumawe di sepanjang bulan Februari 1999, juga kandas.

    Barulah dari razia rutin dan interogasi yang di lakukan terhadap seluruh supir truk dan angkot di Lhokseumawe dan daerah sekitarnya, akhirnya diperoleh keterangan penting dari mulut seorang kenek truk simpatisan GAM bernama Ridwan (nama samaran). Intinya, dalang penyekapan kedua anggota TNI tersebut adalah pentolan AGAM bernama Sulaiman. Tak hanya itu, Pihak TNI akhirnya juga tahu bahwa kedua personilnya itu telah gugur dibunuh Sulaiman. Saat tim gabungan pimpinan Alfan Baharudin berupaya keras melakukan pencarian kedua jenazah di lokasi yang di tunjukan Ridwan (8/2/99), hasilnya bolak balik nihil karena kawasan tersebut telah diberi 'pagar gaib' oleh kelompok Sulaiman.

    Lewat pendekatan 'khusus', diawal Maret 1999 seorang simpatisan GAM yang berkerja sebagai supir angkot jalur Banda Aceh - Lhokseumawe bernama Saiful (nama samaran) berhasil dibina oleh tim gabungan TNI-Polri. Yang bersangkutan disuruh memilih, membantu tim gabungan dengan imbalan mobil angkot baru atau di jebloskan ke penjara gara-gara bersimpati pada GAM. Tujuan rekrutmen ini semata agar yang bersangkutan dapat menuntun anggota tim gabungan TNI-Polri ke arah sasaran yang benar.
 ♜ Terungkap

    Menjelang tengah hari 21 Maret 1999, Saiful memberitahu tim gabungan TNI-Polri bahwa nanti malam ia di minta mengantar Sulaiman dan kedua rekannya ke pasar malam di desa Kreueng Mane, Kecamatan Ganda Putra, Kabupaten Aceh Utara. Berkat informasi ini, sekitar pukl 20.00 WIB Sulaiman dan kedua rekannya akhirnya berhasil disergap di dekat SPBU (stasiun pompa bensin umum) Kreueng Mane oleh lima personil inti tim gabungan (tiga orang Denjaka dan dua orang Gegana) yang telah mengintainya sejak pukul 17.30 WIB. Kawasan di sekitar SPBU itu sendiri telah dikepung oleh tim bantuan berkekuatan enam personil Yon Taifib Marinir dan enam personil Gegana Polda Aceh.

    Saat akan disergap, ketiga anggota AGAM ini sempat melakukan perlawanan sengit. Maklum, ketiganya bersenjata dua pistol dan sepucuk senapan M-16A1. Lewat kontak tembak senjata singkat, ketiganya berhasil dilumpuhkan. Sulaiman terluka dikaki dan rusuk kanan sementara kedua rekannya tewas.

    Sempat singgah di Poskotis Marinir desa Rancong untuk di interogasi, menjelang pukul 21.30 WIB Sulaiman akhirnya dibawa ke RS Korem 011/Lilawangsa dibawah pengawalan ketat satu kompi pasukan Marinir. Keesokan harinya (22/3/99) setelah di interogasi dengan 'keras', meluncur pengakuan dari mulut Sulaiman bahwa dialah sesungguhnya dalang di balik insiden penyekapan, penyiksaan, dan pembunuhan kedua personil TNI pada tanggal 5 januari 1999.

    Sulaiman juga menuturkan bahwa kedua korban dikubur bersama dalam satu lubang sedalam 75 cm yang digali secara tergesa-gesa pada titik lokasi yang selama ini telah beberapa kali di rambah berbagai satuan TNI dan Polri. Kabarnya karena 'stress' Sulaiman akhirnya bunuh diri di dalam sel penjara. Namun banyak pihak meragukan kebenaran kabar ini.

    Tak perlu menunggu lama, satuan tugas gabungan yang terdiri dari dua kompi Satgasrensa XI, satu kompi dari Yonif 111/JS, satu peleton Gegana Brimob Polda Aceh berikut sejumlah anggota Korem 011 dan anggota Kodim 0103 segera merapat ke lokasi. Turut serta beberapa paranormal yang diminta bantuannya untuk membersihkan 'pagar gaib' di lokasi itu. Akhirnya sekitar pukul 13.00 WIB jenazah kedua korban yang telah terkubur selama 82 hari berhasil ditemukan. Hasil visum proses otopsi jenazah menunjukan betapa hebat tindak penyiksaan yang dilakukan anggota AGAM terhadap keduanya. Di sekujur tubuhnya penuh luka senjata tajam dan pukulan benda tumpul.

    Setelah sepanjang malam di semayamkan di Aula Markas Korem 011/Lilawangsa, tepat pukul 05.00 WIB jenazah Mayor Mar Edianto Abbas dibawa ke Banda Aceh, lewat jalur darat, kemudian dibawa menuju Bandara Polonia, Medan, untuk selanjutnya sekitar pukul 09.00 WIB diterbangkan ke Jakarta dengan pesawat Nomad P-824 TNI AL. Esok harinya, sekitar pukul 09.30 WIB almarhum dimakamkan Di TMP Kalibata dengan inspektur upacara Komandan Korps Marinir Mayjen Mar Suharto. Almarhum dianugerahi Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) satu tingkat lebih tinggi menjadi Letkol Mar Anumerta. Sementara jenazah Serka Inf Syarifuddin diserahkan kepada keluarganya.

    Salah seorang personil Marinir yang dinilai berperan sangat penting dalam operasi penangkapan Sulaiman dan menderita cacat seumur hidup yaitu Praka Mar Suriyanto dianugerahi KPLB satu tingkat lebih tinggi menjadi Kopda Mar. (Santoso Purwoadi)
(Kisah ini dituturkan oleh Letkol Mar M Alfan Baharudin kepada penulis dalam suatu sesi wawancara di Brigade Infanteri 2 Marinir, Cilandak, Juli 2000)

- sumber edisi koleksi Angkasa -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.