Sabtu, 28 April 2012

★ Perkembangan UAV di Indonesia

Hingga kini perkembangan pesawat tanpa awak (Unmanned Aerial Vehicle/UAV) di Indonesia masih jauh dari yang yang di harapkan. Meskipun telah banyak prototipe yang di hasilkan oleh instansi pemerintah (BUMN) dan swasta, namun belum ada satupun yang berhasil di komersialisasi.


Pemanfaatan UAV di Indonesia pertama kali dirasakan manfaatnya saat melacak keberadaan sandera di pedalaman hutan Papua. saat itu operasi militer satuan khusus TNI AD, Kopassus, ditugasi melakukan operasi penyelamatan para peneliti Ekspedisi Lorentz'95 yang disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Karena luasnya medan operasi di hutan Mapenduma, Jayawijaya, Kopassus meminta bantuan pesawat pengintai (UAV) dari negara lain, untuk mendeteksi keberadaan OPM. Pengintaian dilakukan untuk mengatur strategi penggelaran operasi militer.

Pemanfaatan UAV ternyata berhasil dengan baik, dalam pengejaran dan penyelamatan yang sukses dilakukan Kopassus. Keberhasilan penggunaan UAV ini adalah awal bangkitnya pengenalan pesawat intai portabel di TNI untuk dapat mengatur strategi pasukan di lapangan. Dan menjadi awal pemikiran akan teknologi pesawat intai portabel yang bisa digunakan untuk operasi militer. TNI menyadari selain menggunakan pesawat intai dan radar, ada gap yang belum tercover dan hanya bisa ditutupi oleh UAV.
 ★ Kemelut Pengadaan UAV

Pertengahan 2006, sejumlah perwira menengah (Pamen) TNI dikabarkan berkunjung ke produsen pesawat UAV, Israel Aircraft Industry (IAI) di Haifa, Israel. Pada 22 Oktober 2006 media Israel, Jerusalam Post, mengabarkan bahwa militer Indonesia tertarik untuk membeli salah satu produk UAV buatan IAI. Keputusan ini diambil setelah Pamen TNI mengamati kemampuan dan kehandalan beberapa UAV buatan IAI yang mampu beroperasi siang hingga malam. Setelah melakukan penilaian dan diskusi panjang dengan pihak produsen, akhirnya TNI memilih UAV jenis Searcher MK II untuk Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Pemilihan UAV jenis Searcher MK II oleh TNI berdasarkan pada keunggulan teknologi yang dimilikinya dan sudah terbukti tangguh (battle proven) dibandingkan dengan UAV sejenis dari negara lain.

Pembelian UAV sempat disamarkan dengan memanipulasi pembelian sarana pendukung alutsista TNI dari perusahaan Filipina, padahal barang tersebut berupa UAV berasal dari Israel.

Manipulasi pembelian UAV pun terdengar dan ditolak parlemen di Senayan. Menhan Juwono Sudarsono saat itu mengungkapkan bahwa pengadaan UAV berasal dari Israel adalah langkah realistik, mengingat kebutuhan BAIS yang memerlukan teknologi canggih yang handal.

Rencana ini marak diberitakan pers di Indonesia, sehingga masyarakat terutama kaum muslim di tanah air banyak yang menolak pembelian alutsista dari Israel, dengan melakukan demo di depan kedubes AS. Karena Israel dikenal negara penjajah yang menindas dan melanggar HAM di Palestina.

Lembaga riset militer intenasional, SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute) dalam laporannya yang menyebutkan pembelian UAV ini dengan status uncertain (tidak pasti). Namun jadi atau tidak pembelian UAV ini, Informasi yang beredar TNI sedang menyiapkan satu skuadron UAV.

Meskipun rencana tersebut tidak jelas, UAV ditanah air akan menjadi tanggung jawab TNI AU dalam pengoperasian maupun pemeliharaan. Sedangkan tanggung jawab dalam penggunaannya berada dibawah Badan Intelijen TNI (BAIS).

Untuk pengoperasian wahana intelijen di Indonesia, Mabes TNI telah menyiapkan dana tambahan 16 juta dollar untuk membangun sarana dan prasarananya di Jakarta. Salah satunya adalah pusat komando dengan berbagai fitur pengintai canggih yang terhubung ke beberapa jaringan server. Sistem ini dikenal sebagai 'I3C' (Integrated Intelligence and Information center).

Jika proyek ini terealisasi semua perwakilan TNI diluar negeri (Atase Pertahanan) dapat terhubung jalur komunikasi secara realtime - online, jalur ini juga dilengkapi sistem pengacak signal (encrypto) pada sistem telekomunikasinya. Konsep ini diharapkan dapat memperkuat sistem keamanan jalur komunikasi sehingga sangat sulit disadap.

Selain itu pusat komando juga diproyeksikan mampu menggerakkan pasukan kemanapun diseluruh pelosok tanah air baik dipedalaman hutan maupun ditengah lautan. Bukan hanya jaringan komunikasi saja yang terpantau, lalu-lintas email, internet, data-link bahkan situs jejaring sosial semacam facebook dan lainnya dapat dimonitor secara online. Semua ditempuh demi keamanan dan keselamatan negara, salah satu pejabat TNI menyebut perangkat ini sebagai total-defence.
 ★ UAV Nasional

Penelitian dan pengembangan (litbang) UAV di Indonesia telah lama dilakukan. Pertama kali yang merintis teknologi ini adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tahun 1999. Almarhum Prof Dr Said D Jenie merupakan salah seorang penggerak hadirnya UAV di Indonesia. Beliau yang pertama kali mencanangkan peta jalan bagaimana Indonesia mengembangkan pesawat tanpa awak (UAV).

Awal-awal pengembangan UAV oleh BPPT dimulai dengan pembuatan target drone untuk sasaran tembak TNI. Seiring dengan itu dibuat juga wahana tanpa awak bernama Rutav single boom dan double boom berkerjasama dengan PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Namun karena memburuknya kinerja PT DI saat itu mengakibatkan proyek ini tertunda.

Lalu BPPT melakukan riset sendiri dengan membuat beberapa prototipe PUNA (Pesawat Udara Nir Awak). Hingga kini BPPT sudah memproduksi 10 unit, generasi pertama tercipta PUNA degan tiga varian, yaitu Wulung (2006), Pelatuk dan Gagak (2007). BPPT lalu mengembangkan PUNA generasi kedua, dengan nama Alap-alap dan Sriti.

Untuk mewujudkan berbagai macam prototipe PUNA, BPPT berkerjasama dengan pihak swasta, PT Aviator Teknologi Indonesia dan UKM Djubair OD yang mempunyai bengkel pesawat di kawasan Pondok Cabe, Tanggerang.


Prototipe pertama UAV nasional diperkenalkan ke umum pada pameran Indo-defence 2004 di PRJ Kemayoran, Jakarta. Saat itu Industri Pertahanan Indonesia (IPI) menampilkan UAV berbobot 35 kilogram dengan panjang 2,5 meter dan rentang sayap mencapai 5 meter. UAV tersebut belum diberi nama, hanya terdapat tulisan 'Departemen Pertahanan'.

Badan UAV berbentuk seperti ujung pensil dan panjang. Sedangkan di bagian belakang terdapat mesin piston mini, lengkap dengan propeler yang menjadi tenaga penggerak utama. Untuk kepentingan pengintian, dibawah pesawat dipasang kamera mini. Sedangkan untuk mengirim hasil pengintaian digunakan antena yang terhubung dengan satelit melalui sinyal GPS.

Soal kemampuan, UAV mampu mengudara selama 3 jam tanpa mengisi bahan bakar. Selain itu, mampu terbang hingga ketinggian 3.000 kaki atau sekitar 1.000 meter. Sedangkan untuk jarak terbang, UAV dikontrol melalui Ground Control Station pada jarak 20 kilometer.

Menurut Direktur Teknologi dan Industri Dirjen Sarana dan Pertahanan (Ranahan) Dephan Suwendro, UAV merupakan salah satu hasil pengembangan teknologi paling mutakhir Indonesia. Suwendro menjelaskan, UAV baru rampung dikembangkan akhir 2003 lalu.

Ia juga menjelaskan, research and development untuk membangun UAV tersebut membutuhkan waktu 3 tahun. "Saat ini UAV siap diujicobakan untuk melaksanakan tugas-tugas pengintaian," kata perwira berbintang satu ini. Soal dana, Suwendro menjelaskan, proyek UAV menelan dana Rp 7 miliar. "Saat ini kita memiliki 5 pesawat intai tanpa awak," terangnya.

Suwendro juga mengakui, pembuatan pesawat tanpa awak ini diilhami dari pesawat sejenis buatan Amerika Serikat. Namun UAV ini dilakukan penyesuaian, khusus dengan kepentingan tugas di Indonesia. Menurut Suwendro, UAV dirancang khusus untuk menunjang tugas-tugas tempur Komando Strategis TNI AD (Kostrad). "Karena itu, mereka yang dibidik sebagai pasar bagi UAV ini," terangnya.

Masih dalam rangka uji coba prototipe, pada Mei 2006 Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menyerahkan 5 unit UAV kepada Panglima TNI yang merupakan hasil pengembangan bersama Litbang Dephan, PT DI, PT Pacific Teknology, PT Pindad dan PT LEN. Pembuatan dan Pengembangan UAV Indonesia ini dibiayai oleh Kredit Ekspor.

Dari sini Dislitbang TNI coba menggali dan mengembangkan potensi serta kebutuhan teknis yang diinginkan untuk penyempurnaan UAV dalam negeri, seperti penggunaan jenis sensor, elektronik, mesin pesawat dan lain sebagainya.

"Kita masih perlu waktu dan dana besar untuk bisa mengembangkan pesawat tanpa awak bagi kepentingan militer sekaligus komersial. Untuk meng-up grade prototipe yang sudah ada saja, kita masih perlu kajian lagi dan itu perlu waktu dan dana besar," kata Juwono.

Dalam pengembangan UAV Balitbang Dephan berkerjasama dengan PT Uavindo Nusantara sempat merancang prototipe UAV khusus untuk kepentingan militer dengan nama Close Range Surveilance (CR-10). CR-10 ini dirancang untuk keperluan misi pemantauan dan pengintaian, dan tergolong kelas Low Altitude, Short range UAV. CR-10 menggunakan dua sistem pengendalian yakni unit udara dan unit stasiun darat. Meski telah menjalani beberapa ujicoba, CR-10 dengan avionik buatan dalam negeri ini gagal dikembangkan.
 ★ PUNA

Banyak kemajuan pesat yang dilakukan BPPT, salah satunya kendali terbang terintergrasi (auto-pilot) dimana sistem kontrol berupa heading, bearing, altitude dan lainnya mampu di input-by-system kedalam 'otak' PUNA.

Pengoperasian PUNA BPPT dilakukan dari sebuah stasiun pengontrol yang secara realtime menerima hasil pengamatan untuk selanjutnya dikirimkan ke posko komando kemudian mengirimkan datalink via satelit yang mampu diterima langsung di Jakarta. Selain itu unit Ground Control Station (GCS) PUNA mampu mengendalikannya secara manual melewati garis batas horizon (40-60 km). Rencananya tahun 2009 jarak jangkau PUNA akan ditingkatkan hingga mencapai 120 km dengan ketinggian operasional hingga 2.300 meter.

Berkat kemampuan PUNA ini, dikatakan cocok untuk misi pengintaian, pemotretan atau kegiatan militer lainnya. PUNA ditenagai mesin 'Limbach' buatan Jerman berbahan bakar oktan tinggi (Pertamax Plus), dengan kapasitas tangki hingga 40 liter. Dalam ujicobanya PUNA memerlukan konsumsi bahan bakar sekitar 9 liter untuk 1 jam penerbangan.

Berikut spesifikasi generasi pertama PUNA yang dibuat BPPT :

✈ Gagak


Gagak mengadopsi desain sayap rendah dan desain ekor berbentuk 'V'. UAV ini sangat cocok untuk operasi high altitude.
Panjang : 4,32 m
Rentang Sayap : 6,36 m
MTOW : 120 kg
Material : Fiberglass
Daya Mesin : 24 HP
Kec Jelajah : 120 km/jam
Beban : 20 kg (max)
Ketinggian Terbang : 2 km (max)
Jarak Operasi : 30 km selama 1 jam
✈ Wulung


Wulung mengadopsi desain sayap tinggi berbentuk empat persegi dan desain ekor berbentuk 'T'.
Panjang : 4,38 m
Rentang Sayap : 6,92 m
MTOW : 125 kg
Material : Komposit & Fiberglass
Daya Mesin : 24 HP
Kec Jelajah : 120 km/jam
Beban : 20 kg (max)
Ketinggian Terbang : 7000 kaki (max)
✈ Pelatuk


Pelatuk mengadopsi desain sayap tinggi dengan bentuk ekor 'V' terbalik.
Panjang : 4,38 m
Rentang Sayap : 6,92 m
MTOW : 125 kg
Material : Komposit & Fiberglass
Daya Mesin : 24 HP
Kec Jelajah : 120 km/jam
Beban : 20 kg (max)
Ketinggian Terbang : 7000 kaki (max)
 ★ Pengembangan UAV Swasta Nasional

Selain UAV yang dihasilkan lembaga Litbang BUMN, ada pula produk UAV buatan perusahaan swasta di Indonesia, salah satunya PT ATI eks mitra BPPT. Produk UAV PT ATI fokus memenuhi kebutuhan militer, karena lebih spesifik sebagai sarana untuk intelegence, surveilance, recconaissance, target acquisition, artilery support dan lainnya. Salah satu andalannya adalah Tactical UAV Smart Eagle II (SE II).

Smart Eagle pertama kali diperkenalkan ke publik pada pameran Indo-Defence 2006. Selain Smart Eagle ada beberapa prototipe UAV swasta lain yang juga diperkenalkan umum diantaranya Wallet dan RAI buatan PT Mandiri Mitra Muhibbah. Walet merupakan UAV portabel dengan panjang 95 cm dan rentang sayap 140 cm. UAV ini mampu terbang selama 30 menit dengan payload seberat 500 gram, jarak operasinya mencapai 3-5 km. Sedangkan RAI (Robo Aero Indonesia) mempunyai bentuk beragam, salah satunya bahkan berbentuk pesawat aeromodeling dengan posisi mesin didepan dan roda pendarat lengkap dengan penutup.


RAI mempunyai tiga jenis varian UAV, yakni short range, medium range dan long range, sebagai berikut :

✈ RAI Short range


Berbentuk sekilas sepertti Helikopter. sayap ditopang dengan sebilah sayap tunggal.
Rentang Sayap : 150 cm
Material : Komposit plastik & Fiberglass
Daya Mesin : 30 cc
Kec Jelajah : 40 km/jam
Beban : 3 kg (max)
Ketinggian Terbang : 200 - 1000 m (max)
Jarak Operasi : 20 km selama 3 jam
✈ RAI Medium range

Mempunyai bentuk seperti UAV, bentuk sayap persegi yang memungkinkan mencapai ketinggian dengan cepat.
Rentang Sayap : 250 cm
Material : Komposit plastik & Fiberglass
Daya Mesin : 50 cc
Kec Jelajah : 60 km/jam
Beban : 5 kg (max)
Ketinggian Terbang : 200 - 1000 m (max)
Jarak Operasi : 50 km selama 3 jam
✈ RAI Long range

Bentuknya mirip aeromodeling dengan posisi baling-baling didepan pesawat.
Rentang Sayap : 400 cm
Material : Komposit plastik & Fiberglass
Daya Mesin : 50 cc
Kec Jelajah : 100 km/jam
Beban : 7,5 kg (max)
Ketinggian Terbang : 1.000 - 2.000 m (max)
Jarak Operasi : 100 km selama 4 jam
Kembali ke UAV swasta Smart Eagle II produk PT ATI, UAV SE II ini dilengkapi kamera TV berwarna dengan kapabilitas pembesaran gambar yang lebih baik dan jelas. UAV SE II juga mampu beroperasi dimalam hari dengan menggunakan Thermal Imaging System (TIS) Camera untuk opsi penginderaannya.

SE II dapat dimodifikasi agar mampu membawa muatan yang disimpan ditengah pesawat. Muatan dapat berupa kamera pengamat berstabilisator giro (gyro stabilized device) dan sarana tayang hasil pengamatan.

Skala optik mampu mencapai hingga 25 kali pembesaran. Jika perlu arah bidik kamera dapat dilengkapi alat penjejak sasaran yang di pandu sinar laser (laser beam range finder) berjangkauan 10 kilometer. Atau bisa juga berupa seperangkat kamera pengamat berstabilisator giro dan sensor citra termal (thermal image sensor) yang juga dibantu alat penjejak sasaran yang berpanduan sinar laser.

Berkat keduanya SE II mampu mendeteksi satu obyek berukuran empat persegi dalam jarak 3 kilometer. Segala gerak SE II dikendalikan oleh dua operator di stasiun pengendali. Operator pertama mengatur olah terbang dan operator kedua mengoperasikan perangkat pengamat.

Komunikasi umum antara SE II dengan stasiun pengendali dilakukan lewat alat komunikasi tanpa kabel (wireless comunication device) yang berkerja pada frekuensi 2,4 Giga Hertz. Untuk mengirim sinyal perintah operasi kepada SE II dipakai perangkat komunikasi yang berkerja pada gelombang elektromagnetik berfrekuensi UHF (Ultra High Frequency). Sementara untuk menerima data hasil pengamatan dipakai perangkat komunikasi yang berkerja elektromagnetik tipe S (S band).

Sistem kendali penerbangan SE II memanfaatkan sisten fly by wire dan untuk keperluan navigasi mengandalkan perangkat penentu lokasi Global Positioning System (GPS). Agar data hasil pengamatan dapat disaksikan pihak di luar stasiun pengendali pada saat yang bersamaan, maka disertakan unit penerima data mobil (mobile receiver unit).

Guna menjalankan seluruh kegiatan operasional dibutuhkan listrik sebesar 5 kilowatt yang dipasok dua unit pembangkit tenaga listrik bergerak skala kecil (mobile genset). Seluruh sistem operasional SE II dapat disiagakan dengan delapan orang dalam waktu 2 jam.

Varian Smart Eagle :

✈ Smart Eagle I (SE I)


Bentuk desain menyerupai bentuk Smart Eagle II namun berdimensi lebih kecil.
Panjang : 180 cm
Rentang Sayap : 240 cm
MTOW : 12 kg
Material : Fiberglass
Kapasitas Bahan Bakar : 2 liter
Kec Jelajah : 60 - 100 km/jam
Beban : 20 kg (max)
Ketinggian Terbang : 150 -1000 mi (max)
Jarak Operasi : 25 km selama 2 jam
✈ Smart Eagle II (SE II)


Dimensi maupun kemampuannya dua kali dari Smart Eagle I.
Panjang : 360 cm
Rentang Sayap : 480 cm
MTOW : 100 kg
Material : Fiberglass
Kapasitas Bahan Bakar : 20 liter
Kec Jelajah : 120 - 150 km/jam
Beban : 20 kg (max)
Ketinggian Terbang : 3000 m (max)
Jarak Operasi : 150 km selama 6 jam
Uji coba terbang pernah dilakukan di salah satu tempat di pantai selatan Jawa Barat, dan berhasil cukup baik. Kemudian dilanjutkan uji kemampuan manuver, low speed performance, low altitude capability, dan recovery dari posko pengendali. Hingga ujicoba sistem kendali berupa monitoring dan data link (telemetry video). Lalu dilanjutkan ujicoba tahap kendali dan pengamatan di luar jangkauan (beyond visual range).

Melihat kerugian yang diakibatkan illegal logging, eksploitasi alam, trafficking, pencurian ikan dan lainnya yang berpotensi kerugian sebesar 90 trilyun rupiah tiap tahun, maka jumlah US $ 6 juta untuk pengadaan 6 unit Searcher Mk II atau beberapa milyar untuk pengembangan UAV Nasional jelas tidak sebanding.

Bahkan untuk melengkapi menjadi satu skuadron, dana yang dibutuhkan tidak lebih dari harga sebuah pesawat patroli buatan PT DI. Memang ada beberapa kekurangan dan keunggulan antara pengadaan kapal patroli dengan UAV. Tapi jika keduanya dapat disinergikan kedalam sebuah sistem pengintai yang terintegrasi, bukan tidak mungkin potensi-potensi kerugian negara yang ada selama ini dapat di kurangi.

- sumber Dsofandi, Majalah Defender 2010 -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.