Selasa, 24 April 2012

Terganyang di Malaysia

Presiden Pertama RI Soekarno
esta untuk sang marinir telah usai berjam - jam lalu. Dia tengah mengayuh sampan nelayan menembus garis belakang pertahanan Malaysia di Tawao. Sampan itu dipenuhi kepiting untuk dijual. Siapa kira timbunan kepiting itu hanya kedok untuk menutupi senjata. Setelah tiga hari mengayuh dan berhasil melewati patroli kapal perang Inggris, sampan itu mendarat di pantai yang sepi di sebelah utara Tawao, Sabah. Target pertama si marinir: menemui seorang haji yang akan menjadi penghubung.

Sial! Haji itu ditangkap tentara Malaysia beberapa hari sebelumnya. Di penanggalan, tercatat waktu: Desember 1964.

Kenangan 42 tahun silam itu kembali berputar di kepala Pembantu Letnan Satu (Purnawirawan) Manaor Nababan, 64 tahun, ketika menuturkan nostalgia itu kepada Tempo, pekan lalu. Ia beruntung pulang dengan utuh seusai konfrontasi Ganyang Malaysia. Tapi teman-temannya? Jangankan nyawa, kerangka pun tidak. “Saya berat bicara soal ini,” ujarnya sembari terisak.

Manaor adalah anggota intelijen tempur Korps Komando (KKO) Angkatan Laut. Ia salah satu dari 30 marinir yang mendapat latihan intelijen di Pulau Mandul, selatan Tarakan, Kalimantan Timur. Mereka disaring dari sekitar 3.000 marinir yang bersiaga di perbatasan-menunggu titah untuk mengganyang Malaysia.

Tugas pun datang kepadanya pada akhir 1964. Pria dari Dolok Sanggul, Tapanuli, ini diperintahkan untuk memetakan posisi dan menghitung kekuatan lawan di sekitar Tawao. Seorang anggota KKO lain dan satu sukarelawan menemani Manaor. Mereka juga bertugas mencari tempat pendaratan terbaik-di wilayah yang berstatus protektorat Inggris kala itu.

Misi ini sejatinya "one way ticket" alias tak ada jaminan pulang dengan selamat. Maka, “Malam sebelum berangkat, saya dipestakan. Kami makan - makan dan diberi semangat,” kata bapak enam anak ini. “Barangkali juga itu perpisahan”.

Manaor dan kedua rekannya berhasil menyusup ke Tawao. Namun karena penghubungnya tertangkap, mereka masuk hutan. Dua bulan di belantara, Hendrik sukarelawan TNI bekas bajak laut tertangkap saat berbelanja makanan. Mereka tak berkutik ketika dikepung tentara Inggris dan Malaysia.

Sebelum Manaor, sekitar empat kompi marinir berhasil menyusup hingga ke Kalabakan, sekitar 50 kilometer di belakang perbatasan Sabah. Pasukan kecil itu dipimpin dua anggota KKO paling disegani, Kopral Rebani dan Kopral Subronto. Keduanya adalah anggota Ipam (Intai Para Ampibi, sekarang disebut Detasemen Jalamangkara) dan sudah kenyang asam - bergaram dalam aneka operasi tempur.

Pada 29 Desember 1963, unit kecil itu berhasil melumpuhkan pos pertahanan tentara Malaysia di Kalabakan. Dalam sejarah militer Malaysia, kejadian ini dikenang sebagai Peristiwa Kalabakan. Dari 41 anggota Rejimen Askar Melayu Diraja yang bersiaga di pos , 8 tewas dan 18 lainnya luka-luka. Salah satu yang mati adalah Mayor Zainal Abidin, komandan kompi. Tapi ajal juga menghadang Rebani dan Subronto di saat pulang.

Januari 1964. Di perairan Tawao, kapal patroli Inggris memergoki rakit mereka. Haram untuk menyerah kepada Inggris. Di bawah bulan yang sedang purnama, perang pecah: rakit versus kapal, senapan melawan meriam. Rebani, Subronto, dan 22 anggota KKO gugur. Tiga tentara berhasil meloloskan diri, yakni Kelasi Satu Rusli, Suwadi, dan Bakar, dicokok pasukan Gurkha di pantai.

Saat ditangkap, mereka sedang mengumpulkan mayat rekan-rekannya yang dapat diseret ke darat. Para Gurkha tak memberi mereka kesempatan untuk menguburkannya. Jenazah dibiarkan tergeletak di pantai!

Adalah Rusli yang menyampaikan cerita itu kepada Manaor. Ia bertemu Rusli sekilas saat keduanya diterbangkan dari kamp tawanan Jesselton (Kinibalu) ke Johor Bahru, Semenanjung Malaysia, awal 1966.

Di Semenanjung, keduanya ditahan di tempat terpisah. Rusli dan 21 tentara yang dijatuhi hukuman 11 - 13 tahun dibui di Negeri Sembilan. Manaor dikerangkeng di Detention Camp Johor. Sekitar 502 prajurit Indonesia dari berbagai angkatan dikurung di sini untuk digantung karena menjadi penceroboh (pengacau-Red).

Konfrontasi Indonesia - Malaysia yang dikenal sebagai Dwi Komando Rakyat (Dwikora) resmi diumumkan oleh Presiden Soekarno di Istana Negara, Jakarta, 3 Mei 1964. Muasalnya adalah upaya Inggris menggabungkan koloninya di Kalimantan (Sabah, Serawak, dan Brunei) dengan Semenanjung Malaya pada 1961. Soekarno, yang menganggap Malaysia sebagai boneka Inggris, memerintahkan tentara untuk menggagalkannya. Caranya, dengan membantu perjuangan rakyat setempat.

Waktu itu sekitar seribu tentara dan sukarelawan menyusup ke Malaysia. Jumlah ini tak sebanding dengan gembar - gembor pemerintah, yang mengatakan ada 22 juta sukarelawan Front Nasional Ganyang Malaysia dan sekitar 8.000 anggota TNI bersiap di perbatasan. Saat dilakukan normalisasi hubungan Indonesia - Malaysia pada Juni 1966, beberapa ratus pejuang tinggal nama. Mereka tak pernah kembali, seperti kisah Rebani - Subronto.

Manaor dan alumni Dwikora yang berhasil kembali hidup-hidup rupanya punya cita-cita memulangkan kerangka kawan mereka ke Tanah Air. Sayang, upaya yang telah dilakukan berpuluh - puluh tahun itu belum membuahkan hasil. Belakangan, hasrat untuk membawa pulang kerangka - kerangka itu makin menjadi. “Kami tak mungkin menunda lagi karena sudah tua,” kata Kolonel Marinir (Purn.) W. Siswanto, 68 tahun, Ketua Ikatan Keluarga Eks Tawanan Pejuang Dwikora.

Kini usia rata - rata pelaku pertempuran itu di atas 60 tahun sudah di tubir makam. Jika mereka meninggal, ingatan akan pertempuran yang mereka alami akan ikut mati. “Ini menyulitkan identifikasi saat pemulangan kerangka dilakukan,” ujar mantan Komandan Tim Brahma I Marinir di sektor barat (Semenanjung Melayu) itu.

Maksudnya, kesaksian para alumni Dwikora dibutuhkan untuk mengidentifikasi kerangka rekan - rekan mereka. Sebab, prajurit Indonesia yang turut dalam operasi infiltrasi itu menggunakan nama - nama samaran Melayu, tidak ada identitas Indonesia yang dibawa. Pangkat, seragam, dan atribut yang dipakai umumnya milik Tentara Nasional Malaya.

Identifikasi kerangka jenazah bakal mudah jika pemulangan dilakukan lebih cepat. Tapi, itu muskil. Bukan karena mereka terlupakan oleh teman-teman seperjuangannya, “Namun karena situasi politik belum memungkinkan,” kata Siswanto.

Berbeda dengan rekan-rekannya dari Resimen Pelopor (sekarang Brigade Mobil) dan Angkatan Darat, nasib korban Dwikora dari KKO dan Pasukan Gerak Cepat (PGT, sekarang Pasukan Khas TNI Angkatan Udara) terlunta - lunta. Penyebabnya : kedua kesatuan dituduh terlibat pemberontakan PKI.

Tahun 1990-an, ketika sebagian pelaku konfrontasi sudah berpangkat dan menjadi pejabat teras kemiliteran, usaha mulai digulirkan. Saat itu salah seorang tokoh eks Dwikora, Mayor Jenderal Marinir (Purn.) Mohamad Anwar (almarhum), mengirimkan surat permintaan kepada Menko Polkam Laksamana (Purn.) Sudomo. Permintaan tersebut ditanggapi positif dengan pembentukan Tim Penelitian dan Inventarisasi Pemindahan Makam Pejuang Dwikora oleh Menteri Sosial Haryati Subadio.

Pemimpin tim itu adalah Mayor Jenderal (Purn.) Rudjito (almarhum). Hasil kerjanya segera terlihat. Ditemukan 168 prajurit dan sukarelawan yang gugur di Malaysia. Pada masa Menteri Sosial Inten Soeweno dua tahun kemudian, tim tetap dipertahankan dengan beberapa pembaharuan.

Tiba-tiba, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Mayor Jenderal Sudibyo memerintahkan penghentian inventarisasi pada 6 Januari 1996. Alasannya: upaya itu dikhawatirkan bakal merusak hubungan Indonesia - Malaysia.

Reformasi membawa angin segar. Ratusan pensiunan prajurit rendah, ditambah beberapa perwira menengah yang purnatugas, menghimpun diri dalam Ikatan Keluarga Eks Tawanan Pejuang Dwikora tahun 1999. Mereka menghidupkan kembali cita-cita memulangkan kerangka rekan - rekannya. Ketua Ikatan Eks Tawanan Pejuang Dwikora saat itu, Kolonel Mar (Purn.) Kadar Mulyono (almarhum) mengirim surat kepada Presiden Megawati pada Januari 2003. Surat itu hingga kini tak berbalas.

Lelah menunggu, dua tahun kemudian para pejuang “mengadu” ke DPR. Ketua DPR Agung Laksono menyatakan mendukung rencana pemulangan kerangka prajurit eks Dwikora di Malaysia. Pada saat bersamaan, muncul tanggapan positif dari Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. “Pak Menteri berjanji akan melakukan koordinasi dengan pejabat terkait dan presiden,” kata Siswanto. Lagi - lagi, janji tinggal janji.

Departemen Sosial belum melakukan langkah apa pun seperti dijanjikan menterinya. “Dulu memang pernah dibentuk tim, tapi sekarang belum ada koordinasi,” kata Toto Utomo, Direktur Kepahlawanan Departemen Sosial. Toto menunjuk Departemen Pertahanan atau Markas Besar TNI yang berwenang mengurusi soal tersebut. Apa kata Mabes TNI?

“Saya belum bisa berkomentar, karena baru dengar,” kata Laksamana Muda Sunarto Sjoekronoputra kepada Tempo, pekan lalu.

Kompleks makam di Kampung Kalabakan Lama, Sabah, tampak cukup terawat, kecuali di beberapa gundukan tanah mirip kuburan. Konon itulah makam Rabeni, Subronto, dan beberapa anak buahnya. Tanpa nisan, tanpa nama.

Adalah sesepuh Tawao, Dato Mamun, yang mengidentifikasi makam itu kepada Tempo. “Saya tahu dari mandor hutan yang ada di sana,” ujar mantan warga negara Indonesia yang kini telah dinobatkan sebagai Sultan Bulungan di Kalimantan Timur itu.

Tentara Indonesia yang gugur di Sebatik lebih beruntung. Jenazahnya dibawa ke Tawao dan dikuburkan di pemakaman Melayu, Masjid Wilis. “Kuburnya ada nisan, tapi tanpa nama,” ujar Dato Mamun. Polisi setempat sempat memotret jenazah mereka sebelum dikubur, lalu didokumentasikan.

Maka, harapan untuk menginventarisasi dan memulangkan kerangka pahlawan Dwikora sungguh bergantung pada Malaysia. Sayang, pemerintah negeri jiran itu belum bersedia memberikan tanggapan. Sebabnya, “Kami baru dengar kabar ini,” kata Hamidah binti Azhari, juru bicara Kedutaan Malaysia di Jakarta.

(Arif A. Kuswardono, Eduardus Karel Dewanto)
Front Terpanjang
Medan perang itu berserak : di laut, di hutan, di sungai, membentang 2.000 kilometer dari Nunukan di Kalimantan Timur hingga Semenanjung Malaya.
Front Malaka
Medan tempur dengan jumlah korban terbanyak bagi Indonesia.
  • Kekuatan : 1 brigade (3.500 personel)
  • Gugur : 78; 18 tidak jelas makamnya, 2 dimakamkan di Kalibata
  • Hilang : 70
  • Ditawan : 217; ditahan di Johor Bahru
Labis dan Pontian 
  • Gugur : 6 PGT
  • Ditawan : 123 PGT
  • Makam : 6 PGT
Kuala Kelang 
  • Ditawan : 19 AD
Kota Tinggi
  • Gugur : 25 Pelopor
  • Ditawan : 55 Pelopor
  • Makam : 25 Pelopor
Johor Baru
  • Gugur : 27 PGT
  • Makam : 27 PGT
Singapura
  • Gugur: 20 KKO 
  • Ditawan: 19 KKO, 1 Pasukan Katak
Penjara Johor Bahru, Kota Johor 
Kamp tawanan utama Pasukan Indonesia yang ditawan di Kinabalu dan Tawao diterbangkan ke penjara ini.
Front Kalimantan Timur
Pertempuran paling sengit di front Kalimantan terjadi pada 28 Juni 1965, ketika Korps Komando (KKO) Angkatan Laut memasuki perbatasan Malaysia dari timur Pulau Sebatik. 
  • Kekuatan : 3.500 tentara (1 brigade) 
  • Gugur : 15; 11 tak diketahui makamnya
  • Hilang : 6; di laut dan hutan
  • Ditawan : 14; di kamp tahanan Tawao dan Ketayan
Brigade Barat
  • Panjang front : 1.000 km
  • Kekuatan : 5.000 tentara (5 batalion: Inggris 1, Gurkha 3, Malaysia 1), 25 helikopter
Brigade Tengah
  • Panjang front : 500 km
  • Kekuatan : 2 batalion Gurkha, 12 helikopter
Brigade Timur
  • Panjang front : 130 km
  • Kekuatan : 1 batalion infanteri, pasukan komando, Angkatan Laut Persemakmuran
Nunukan
  • Ditawan : 7
Kalabakan
  • Gugur : 1
  • Ditawan : 5
  • Makam : 1
Pulau Sebatik
  • Gugur : 3
  • Makam : 2
Tawao
  • Ditawan : 2
  • Makam : 1
Penjara Intelijen Tawao Penjara Ketayan Jezelton, Kinabalu
sumber  TEMPOinteraktif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.