Sabtu, 14 April 2012

Vila Salazar

Korpaskhas
uatu malam, pada tanggal 9 Desember 1975, di bawah sinar lapu petromak di Pangkalan udara Penfui, Letkol Sugiarto sebagai Komandan Satgas Linud mengelar peta hitam putih buatan Portugis. Briefing penyampaian Perintah Operasi dimulai, diikuti oleh para Komandan satuan dan perwira Operasi. Masing-masing dari Brigade 17 Linud Kostrad, Kopassus dan Kopasgat (saat ini disebut Paskhas).

Lembar peta itu berjudul “Vila Salazar” nama Portugis sebutan lain dari kota Baucau. Vila Salazar terletak di pantai utara di sebuah dataran tinggi pulau Timor bagian Timur. Selintas terbayang cantiknya bangunan klasik, tebing karang, buih putih dan laut biru.

Bayangan indah itu pun lenyap seketika dan jantung pun berdebar ketika Letkol Sugiarto mengakhiri Perintah Operasinya dengan “Ada pertanyaan?” beberapa saat hening mencekam, tidak ada satupun pertanyaan. Yang pasti, besok pagi buta, tangal 10 Desember 1975, serbuan vertical dari udara akan dilaksanakan oleh prajurit-prajurit pasukan payung untuk merebut sebuah lapangan terbang di Vila Salazar.

Semua sudah jelas, sebuah lingkaran hitam dan garis-garis pembagi berikut lingkaran-lingkaran kecil diatas peta, itu adalah lukisan apa yang disebut ground tactical planning atau rencana taktis darat dari suatu operasi serbuan Linud yang menggambarkan air head atau tumpuan udara, berisi pembagian sector, dropping zone (DZ), sasaran-sasaran yang akan direbut dan titik-titik kumpul bagi pasukan payung. Rencana taktis darat merupakan bagian penting dari Perintah operasi penerjunan.

Pada tanggal 10 Desember 1975, 8 pesawat C-130 Hercules mengangkut pasukan Brigade 17 / Linud Kostrad, Kopassus, dan Kopasgat dari Pangkalan Udara Penfui (sekarang Bandara El Tari), Kupang. Pesawat-pesawat angkut C-130 Hercules mendapat perlindungan dari pesawat B-26 Invader yang diterbangkan oleh Mayor Pnb Sumarsono. Pilot leader adalah Letkol Pnb Suaka Diro dengan sandi penerbangan “Rajawali Flight”. Pesawat pertama terbang dengan ketinggian 1200 kaki, perbedaan ketinggian 50 kaki dengan pesawat berikutnya. Untuk menuju titik penerjunan, pesawat mendekati sasaran dari laut dengan arah penerbangan 170 derajat sebelum melintas tepat diatas daerah penerjunan. Untuk melakukan koordinasi antara pesawat angkut dan pesawat yang akan melakukan serangan udara, “Rajawali Flight” selalu mengadakan kontak radio dengan pesawat B-26 Invader.

Penerjunan sorti pertama yang dimulai pukul 07.20 waktu setempat, sangat mengagetkan Antonio Reisda Silva Nunes, Komandan asrama Baucau. Ia tidak sempat melakukan konsolidasi dengn pasukannya, sehingga segera meninggalkan Baucau. Setelah mendarat, tim pengendali tempur (Dalpur) Detasemen B Kopasgat segera berkomunikasi lewat radio dengan pesawat Pembom B-26 Invader. Komunikasi ini bertujuan agar pesawat B-26 bersiaga. Apabila diperlukan, dapat memberikan bantuan tembakan udara yang tepat sasaran. Karena pasukan telah berhasil menguasiai keadaan, maka Mayor Pnb Sumarsono melaporkan bahwa saat ini pasukan darat belum memerlukan bantuan tembakan.

Gugus tugas Kopasgat saat itu tersusun dalam Detasemen B berkekuatan 156 orang yang dipimpin oleh Kapten Psk Afendi. Kapten Psk Jack Hidayat sebagai wakil, Kapten Psk Budhy Santoso (Dankorpaskhas 1996 – 1998, dan sesmil Presiden RI 1998) sebagai Kasi Intelijen dan Operasi, Kapten Psk Edison Siagian sebagai Kasi Personel dan Logistik, Kapten Lek Rudolf Malo sebagai Komandan Tim Pengendali Pangkalan (Dallan) dan Perwira Kopasgat yang lain dalam Detasemen tersebut adalah Kapten Psk Wahyu Wijoyo (Wadan Korpaskhas 1996-1998, serta Letda Psk Daromi (Dandepodiklat 1998-an).

Setelah mendarat, segera diketahui bahwa lapangan Terbang Baucau tidak memiliki fasilitas dukungan operasi penerbangan yang cukup lengkap. Selain itu, di pangkalan yang berlanda pacu 2.600 meter dan mampu didarati pesawat berbadan lebar sejenis DC-10 itu, ternyata tidak terdapat pesawat peninggalan Portugis, kecuali dua buah kontainer berisi mesin helicopter jenis Aluete. Tim Dalpur dan Tim Dallan Kopasgat segera melakukan penelitian terhadap fasilitas pangkalan agar segera dapat dipergunakan sebagai Pangkalan Udara Operasi. Kekurangan peralatan dilaporkan ke home base, untuk mendapat dukungan susulan.

Setelah pendaratan, pasukan Brigade 17 / Linud Kostrad segera bergerak menuju Manatuto dan Ossu. Ketika pasukan bergerak ke Pusat Latihan Militer Bukole, ternyata Fretelin sudah melarikann diri. Sementara itu, Lapangan Terbang Baucau telah dapat difungsikan sebagai Pangkalan Udara Depan Operasi dengan menggunakan peralatan Dallan Portable yang dibawa terjun, sehingga pada hari H+1 dengan dipandu tim Dallan, mendaratlah pesawar C-130 Hercules yang diterbangkan Letkol Pnb Suakadirul sebagai Komandan gugus Linud. Dengan pesawat itu, didaratkan kendaraan ringan TNI AD dan peralatan lain untuk merehabilitasi fasilitas dukungan operasi penerbangan termasuk senjata Triple Gun jenis Canon Orlikon kaliber 20 mm untuk memperkuat pertahanan Pangkalan Udara Baucau. Triple Gun tersebut ditempatkan di ujung landasan 17 dengan kekuatan 1 peleton Kopasgat. Dengan demikian, Kopasgat di Lapangan Terbang Baucau menjadi 186 orang.

Tugas Kopasgat di sini terutama untuk merebut sasaran sasaran teknis, berupa fasilitas dukungan operasi penerbangan di lapangan terbang yang diduduki musuh agar dapat dioperasikan kembali sebagai pangkalan udara depan di mandala operasi. Tugas yang lain adalah mempertahankan dan mengamankan pangkalan udara depan tersebut, berikut fasilitas dukungan operasi penerbangan yang ada didalamnya demikian pula tugas-tugas pencarian dan pertolongan atau SAR Tempur.

Pangkalan udara Baucau di Vila Salazar telah berhasil diduduki. Dua hari berturut-turut setelah itu, satu sorti C-130 Hercules dan dua sorti C-47 Dakota mendarat. Perkuatan pasukan, senjata bantuan dan bekal ulang telah diturunkan. Letkol Pnb Suakadirul dengan Hercules dan dua Dakota kembali ke Jakarta, masing-masing dipenuhi prajurit-prajurit yang terluka untuk dievakuasi ke garis belakang. Beberapa hari berlalu, suasana tegang masih terus mencekam, mengantisipasi kemunginan-kemungkinan datangya serangan balas dari pihak lawan. Musuh tercerai berai belum jelas di mana titik-titik persembunyian mereka. Sementara kegiatan penerbangan semakin banyak antara lain mendaratkan Brigjen TNI Suweno, Brigjen TNI Sanif, dan Kolonel Pnb Susetyo (Komandan Satgas Udara).

Kini menjadi kenyataan bahwa tumpuan udara berupa sebuah lapangan terbang telah berhasil dibentuk serta dikembangkan menjadi pangkalan udara depan yang siap digunakan untuk mendukung rangkaian kampanye lebih lanjut. Terbersit rasa syukur kala itu, ketika teringat pula kisah Pasukan Payung yang mengagumkan yaitu Penyerbuan Normandia sekitar tahun 1944 dalam PD II. Serbuan Normandia menggunakan ratusan pesawat Dakota C-47, merupakan operasi penerjunan terbesar dalam sejarah manusia. Bangga, memang membanggakan. Betapa tidak, pelajaran doktrin “Airborne Assault” yang selama ini hanya cukup terbaca dalam sejarah dan teori, telah dapat dilaksanakan dengan sempurna. Rasa beruntung menyusupi para pelaku operasi kala itu, suatu kesempatan yang teramat langka dan merupakan bagian dari fakta sejarah.

Bukan saja pelajaran operasi Linud yang telah dapat dipraktekkan oleh unsur-unsur pasukan gabungan TNI pada waktu itu. Tetapi doktrin operasi udara tentang “Air Head Operation” atau Operasi Pembentukan dan Pengoperasian Pangkalan Udara Depan (OP3UD) dalam strategi Bare Base Concept pun telah terimplementasikan dengan baik oleh unsur - unsur Satuan Tugas Udara, justru di suatu mandala operasi yang sebenarnya, suatu skenario operasi gabungan linud yang nyaris sempurna.

Beberapa hari telah berlalu, ketika Kolonel Dading Kalbuadi disaksikan Mayor Yusman saling berpelukan dengan Letkol Sugiarto di ruang Operasi Satgas (kini ruang ini di base Operation Pangkalan Udara Baucau): “Tok’ Panggil Dading kepada Sugiarto, “Kita baru saja melaksanakan satu tahapan yang sangat sulit dari pelajaran operasi gabungan linud, yaitu Link-up Operation (penggabungan)”, di pipi kedua Kolonel tersebut menetes butir-butir air mata, “.. dan kita berhasil, Tok !” Kapten Psk Budhy Santoso yang menyaksikan waktu itu dengan serta merta meninggalkan ruangan, ia tak ingin ikut meneteskan air mata walaupun merasakan getaran-getaran yang sama.

Dading Kalbuadi adalah Komandan Pendaratan Amfibi di pantai Laga 20 km timur kota Baucau, bersama Tim Kopassus dan Marinir. Sebuah episode penggabungan Pasukan Linud dan Pasukan Amfibi segera berakhir, kesibukan di pangkalan udara depan yang baru saja dibentuk di Vila Salazar terus berlanjut.

Unsur Kopasgat yang tergabung dalam Satgas Udara dalam kisah Vila Salazar, saat itu terdiri dari 186 prajurit dan di organisasikan dalam satu Detasemen yang terdiri dari Tim Pengendali Tempur (Dalpur), Tim Pengendali Pangkalan (Dallan), Tim Sar Tempur (Satpur), dan Tim Pertahanan Pangkalan, baik pertahanan terhadap serangan dari darat maupun dari udara dalam ukuran Detasemen, saat itu unsur-unsur Kopasgat telah terwakili dengan kekuatan yang relatif kecil, Detasemen tersebut berhasil mewujudkan doktrin tertinggi pada tataran Kopasgat yaitu OP3UD atau “Air head Operation” menurut istilah RAF Regiment Tentara Inggris.

OP3UD akan menjamin keberlanjutan operasional pesawat terbang dalam rangka kelangsungan kampanye secara keseluruhan. Sepanjang sejarah, Airfil (lapangan terbang) selalu menjadi ajang perebutan. Vila Salazar adalah sebuah pusat gravitasi strategis atau Strategic Center Of Graviti (SCOG) dikawasan pulau timor bagian timur. SCOG adalah bagian yang menjadi tumpuan pusat gerak dan kekuatan, sehingga menentukan dominasi kawasan. Oleh karena itu, dilakukannya OP3UD seperti apa yang telah terjadi adalah merupakan implementasi strategi yang sangat tepat, dimana didalamnya bersama satuan - satuan lain, telah berperan prajurit-prajurit Kopasgat dari bumi Cimariuk, Margahayu, Bandung Selatan. Mereka jualah yang turut serta memberikan andil di Palagan Dwikora tahun 1964, Trikora tahun 1962, dan “Blitzkrig” Linud untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta di Pekanbaru, Riau, Medan, Sumatera Utara, Tabing di Padang sumatera Barat, serta di Morotai dan Mapanget, Sulawesi Utara tahun 1958.

Selain di Vila Salazar, sebagai kelanjutan proses integrasi di Timor-Timur kedalam wilayah RI, Kopasgat yang tergabung dalam operasi-operasi gabungan ABRI juga melaksanakan operasinya didaerah-daerah lain termasuk didaerah Dili dan Atauro. Dili juga mendapat perhatian khusus dalam pelaksanaan operasi di Timor-Timur karena disini terdapat pangkalan udara yang cukup besar dan mempunyai nilai strategis sebagai Center Of Graviti di propinsi tersebut. Detasemen A Kopasgat yang mengoperasikan lapangan terbang Dili waktu itu di pimpin oleh Kapten Psk P. Silaen dengan beberapa perwira, antara lain Kapten Psk Djoko Budiman dan Kapten Psk Nanok Suratno (Dankorpaskhas 1998-an).

Sementara itu, dalam peristiwa penyerahan Atauro, beberapa anggota Kopasgat Dili yang tergabung dalam Tim Dallan dan Tim Dalpur, yaitu Serka Suherman (meteo) dan Sertu Jarwanto (PLLU), serta beberapa anggota lain berangkat ke Atauro untuk memandu pendaratan dan pengamanan pesawat yang membawa Benny Moerdani, Kol Inf Subiyakto, dan Letkol Kav Alex Dinuth.

Operasi yang dilaksanakan dalam rangka intregasi Timor Timur ke wilayah RI terus berlanjut, antara lain dengan pelaksanaan Operasi Parikesit I, Operasi Parikesit II dan Operasi Saber Kikis Baratayudha.

Operasi Parikesit I Dilaksanakan oleh gabungan pasukan Komando ABRI terdiri dari Kopasandha, Marinir dan Kopasgat yang diberangkatkan dari Pangkalan Udara Husein Sastranegara menuju Pangkalan Udara Komoro Dili tanggal 2 Desember 1978 dengan pesawat C-130 Hercules. Satuan tugas (satgas) dalam operasi ini dipimpin oleh Mayor Inf Sitorus (Kopassus) sebagai Komandan dan Mayor Mar Tatang S. (Marinir) sebagai Wakil. Kasi-kasi masing-masing dijabat oleh Kapten Psk Chairuddin M. (Kopasgat), Kapten Inf Yudomo S (Kopassus) dan Kapten Inf Adeng (Kopassus).

Satgas dibagi dalam 3 kompi, yaitu Kompi Banteng (Kopassus), Kompi Baruna (Marinir) dan Kompi Bronco (Kopasgat). Anggota Kopasgat yang tergabung dalam Kompi Bronco dipimpin oleh Lettu Psk Suyitno dan komandan pletonnya masing masing ialah Letda Psk John Ferry Rumawantin, Capa Man Erawan dan Capa Budi Waloya.

Mereka semula mendapat tugas untuk menghancurkan GPK di daerah pegunungan Matabean. Namun, karena daerah tersebut sudah dapat dikuasai terlebih dahulu oleh satuan TNI yang lain, maka tugas dialihkan untuk mengejar para tokoh GPK yaitu Nicolau Lobato, Antonio Korvarino dan lain lain. Akhirnya, bersama sama satuan lain, para tokoh GPK tersebut dapat dihancurkan.

Operasi ini dilaksanakan sampai tanggal 26 Maret 1979. Anggota yang tergabung dalam Satgas ini kemudian dikembalikan ke satuan masing masing. Kopasgat kembali dari pangkalan Baucau ke Husein Sastranegara, Bandung.

Operasi selanjutnya adalah operasi Parikesit II yang merupakan kelanjutan dari operasi Parikesit I dan diberangkatkan dari pangalan Udara Husein Sastranegara ke Baucau. Operasi ini juga dilaksanakan oleh Satgas gabungan pasukan komando yang terdiri dari Kopasandha, Marinir, dan Kopasgat. Satgas dipimpin oleh Mayor Inf Sunarto (Kopassus) sebagai Komadan dan Mayor Inf Mar Boy Malonda (marinir) sebagai Wakil Komandan. Saat itu, Kapten Psk Siagian (Kopasgat) menjabat sebagai Kasi Personel dan Lettu Psk Hasibuan (Kopasgat) menjabat sebagai Komandan Kompi Bronco.

Seperti pada operasi Parikesit I, Satgas dalam operasi ini juga dibagi dalam tiga kompi, yaitu Kompi Banteng (Kopasandha), Kompi Baruna (Marinir), dan Kompi Bronco (Kopasgat). Kompi Banteng bertugas di sektor Barat sedangkan Kompi Baruna dan Kompi Bronco bertugas di sektor Timur. Anggota Kopasgat yang tergabung dalam Kompi Bronco berasal dari Batalyon 461 dan 465 Jakarta.

Modus operasi ini sama dengan operasi Parikesit I, yaitu mengadakan pengejaran dan penghancuran terhadap GPK yang masih bersembunyi di gunung dan di hutan. Setelah melaksanakan manuver selama dua bulan, Kompi Banteng yang berada di Sektor Barat ditarik untuk bergabung kembali dengan Kompi Baruna dan Kompi Bronco yang berada disektor Timur, sebab di Sektor Barat sudah dianggap aman. Selanjutnya, mereka terus bergerak sehingga banyak GPK yang berhasil ditangkap dan ditembak mati, Prajuri-prajurit berusaha semaksimal mungkin dan tabah dalam menghadapi keadaan cuaca, medan yang berat, GPK yang sulit diketahui tempat persembunyiaannya. Melihat usaha tersebut, Kapten Psk Siagan selaku Kasi Personel melalui Komandan Satgas mengajukan permohonan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) terutama bagi prajurit-prajurit yang berpangkat Kopral agar dapat menjadi Sersan kepada Menhankam/Pangab Jendral TNI M.Yusuf. Ternyata permohonan disetujui dan dikabulkan, sehingga para prajurit yang berpangkat Kopral menjadi Sersan.

Operasi dilaksanakan selama empat setengah bulan, yaitu sejak bulan Maret 1979 sampai dengan pertengahan bulan juli 1979. Setelah selesai melaksanakan tugas, anggota Kopasgat yang tergabung dalam operasi ini dikembalikan ke Jakarta dan sebagian ke Bogor serta ke Husein Sastranegara, Bandung.

Opersi-operasi dalam rangka integrasi Timor Timur kedalam wilayah RI terus berlanjut. Bahkan dilaksanakan juga latihan gabungan (latgab) TNI di daerah Kupang, Viqueque, Los Palos, dan sekitarnya. Latihan tersebut dilaksanakan dalam rangkaian persiapan operasi-operasi selanjutnya, setelah Latgab TNI, selanjutnya diadakan Operasi Saber Kikis Baratayudha yang dilaksanakan oleh gabungan 12 batalyon TNI. Melalui permohonan Mayor Psk Pakki Malik (sekarang, Marsda TNI) selaku Komandan dan dikabulkan oleh Menhankam/ Pangab jendral TNI M. Yusuf, akhirnya Kopasgat terlibat penuh dalam operasi tersebut bersama satuan lain.

Personel Kopasgat yang tergabung dalam operasi ini berjumlah 590 orang dibagi dalam 1 Markas Batalyon, 1 Kompi Markas, dan 4 Kompi Tempur. Wakil Komandan saat itu dijabat oleh Mayor Psk Herman Tjokro, Kasi Opersi dijabat oleh Kapten Psk Muyanto, Komandan Kompi Markas dijabat oleh Kapten Psk Yassin Mamora. Sedangkan empat Kompi Tempur yaitu Kompi Alfa dipimpin oleh Lettu Psk Hendarto, Kompi Beta dipimpin Lettu Psk Torar, Kompi Charli dipimpin Lettu Psk Jumiran, dan Kompi Delta dipimpin oleh Lettu Psk Harry Budiono.

Pada bulan-bulan pertama, Mereka bergerak dengan Perbekalan yang ada karena belum mendapat dukungan dari Mabes TNI. Walau dalam kondisi demikian. Mereka terus bergerak dibawah pimpinan Mayor Psk Pakki Malik. tetapi pada bulan bulan berikutnya, pimpinam digantikan oleh Mayor Psk Herman Tjokro karena kondisi kesehatan Mayor Psk Pakki Malik tidak memungkinkan. Mayor Psk Herman Tjokro menggantikan jabatan Komandan Batalyon sedangkan jabatan Wakil Komandan dijabat oleh Kapten Psk John F. Pangau yang menyusul dari Batalyon 464 Malang beserta 21 anggotanya.

Untuk meningkatkan efektifitas dari efisiensi, selanjutnya pasukan bergerak bukan dalam hubungan Kompi, Melainkan dalam hubungan Tim. Para perwira yang ikut manuver dalam tugas ini yaitu Letda Psk Makruf, Letda Psk Tedy SP, Letda Psk Sunaryo, Letda Psk Kateno, Letda Psk Edi, dan lain lain.

Disamping operasi Tempur, Operasi Teritorial dinilai berhasil. Hal ini terbukti, Rakyat Timor Timur yang berjumlah kurang lebih 33.000 orang mau bergabung dan membantu TNI saat itu. Rakyat bersama-sama TNI menumpas GPK dengan cara membentuk formasi berjajar seperti pagar betis untuk menggiring GPK dari 2 arah yang berlawanan agar GPK masuk Killing Ground (daerah penghancuran). Saat itu, Kopasgat yang semula bergerak dalam hubungan kecil diubah lagi menjadi hubungan besar bersama-sama 5 batalyon satuan lain dan sekitarnya 5.000 rakyat bergerak menggiring GPK dari daerah Dirimurni ke Killing Ground. Sementara itu, 6 Batalyon dari satuan lainnya bersama-sama rakyat, bergerak dari daerah Dili ke Killing Ground. Bagaikan gelombang lautan, mereka bergerak menghancurkan setiap GPK yang ditemui. Akhirnya, sebagian besar GPK dapat digiring ke daerah penghancuran yaitu didaerah Aitana Kompleks. Daerah ini berupa lembah tempat persembunyian para GPK. Karena strategi yang digunakan dengan cara berjajar seperti pagar betis dan bergerak maju serentak, maka cara dikenal juga dengan operasi Pagar Betis.

Setelah itu, operasi masih dilanjutkan karena ternyata masih ada GPK yang sempat lolos dan diduga masuk ke daerah Outo Karboa dan pegunungan Matabean. Maka, Kopasgat yang tergabung dalam Kompi bentukan baru yaitu Kompi Belang pimpinan Lettu Psk Harry Budiono bergerak lagi ke daerah daerah tersebut dengan cara Airlift.

Operasi dilaksanakan 11 bulan, yaitu sejak akhir Maret 1981 sampai dengan akhir Februari 1982. Setelah operasi selesai, anggota Kopasgat dari Batalyon 464 dikembalikan ke Malang dan 1 Peton dari Batalyon 463 dikembalikan ke Madiun. Mereka bertolak dari laga menuju Surabaya dengan kapal laut, selanjutnya ditampung di Ksatrian AL selama 4 hari. Setelah itu, baru mereka dikembalikan ke satuan masing masing.

Pada tahun 1998 Korp Paskhas mengirim kompi Pemburu ke Timor Timur bersama satuan satuan lain yaitu Kopassus, Marinir, Kostrad, Brimob, kodam kodam yang tergabung dalam Rajawali !V/Garuda I. Kompi dari Paskhas berjumlah 127 personel dan dipimpin olh Kapten Psk Roland Waha. Pra Tugas selama 3 bulan di group 3 Kopassus (Mei – Juli 1998), Selanjutnya mereka melanjutkan tugas operasi selama 11 bulan (Agustus 1998 – Juni 1999).

Selama bertugas di Timor Timur, Kopasgat juga melaksanakan kegiatan Teritorial yang sangat menunjang keberhasilan Operasi. Kehadiran Kopasgat selama berlangsungnya Operasi di Timor Timur telah dapat menjalin tali batin sehingga mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat setempat.

(dari buku Baret Jingga Edisi Pertama)


Sumber :
  • angkasa-online.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.