Jumat, 11 Mei 2012

AMBALAT

KRONOLOGI  SENGKETA AMBALAT

Tahun 1967
Pertama kali dilakukan pertemuan teknis hukum laut antara Indonesia dan Malaysia kedua belah pihak akhirnya sepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo)
27 Oktober 1969
Dilakukan penanda tanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia – Malaysia, kedua negara masing2 melakukan ratifikasi pada 7 November 1969.
Tahun 1969
Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut.
17 Maret 1970
Kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia akan tetapi, kembali pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan serta merta menyatakan dirinya sebagai negara kepulauan dan secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat kedalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10′ arah utara melewati pulau Sebatik. Tentu peta inipun sama nasibnya dengan terbitan Malaysia pada tahun 1969 yaitu diprotes dan tidak diakui oleh pihak Indonesia dengan berkali-kali pihak Malaysia membuat sendiri peta sendiri padahal telah adanya perjanjian Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia – Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970, masyarakat Indonesia melihatnya sebagai perbuatan secara terus menerus dari pihak Malaysia seperti ingin melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia.
21 Februari 2005
di Takat Unarang (nama resmi Karang Unarang) Sebanyak 17 pekerja Indonesia ditangkap oleh awak kapal perang Malaysia KD Sri Malaka.

Angkatan laut Malaysia mengejar nelayan Indonesia keluar Ambalat.

Malaysia dan Indonesia memberikan hak menambang ke Shell, Unocal dan ENI. Berkaitan dengan itu pula surat kabar Kompas mengeluarkan berita bahwa Menteri Pertahanan Malaysia telah memohon maaf berkaitan perkara tersebut. Berita tersebut segera disanggah oleh Menteri Pertahanan Malaysia yang menyatakan bahwa kawasan tersebut adalah dalam kawasan yang dituntut oleh Malaysia, dengan itu Malaysia tidak mempunyai sebab untuk memohon maaf karena berada dalam perairan sendiri. Sejajar dengan itu, Malaysia menimbang untuk mengambil tindakan undang-undang terhadap surat kabar KOMPAS yang dianggap menyiarkan informasi yang tidak benar dengan sengaja.

Pemimpin Redaksi Kompas, Suryopratomo kemudian membuat permohonan maaf dalam sebuah berita yang dilaporkan di halaman depan harian tersebut pada 4 Mei 2005, di bawah judul Kompas dan Deputi Perdana Menteri Malaysia Sepakat Berdamai.

Pada koordinat: 4°6′03.59″N 118°37′43.52″E / 4.1009972°N 118.6287556°E / 4.1009972; 118.6287556 terjadi ketegangan yang melibatkan kapal perang pihak Malaysia KD Sri Johor, KD Buang dan Kota Baharu berikut dua kapal patroli sedangkan kapal perang dari pihak Indonesia melibatkan KRI Wiratno, KRI Tongkol, KRI Tedong Naga KRI K.S. Tubun, KRI Nuku dan KRI Singa yang kemudian terjadi Insiden Penyerempetan Kapal RI dan Malaysia 2005, yaitu peristiwa pada tgl. 8 April 2005 Kapal Republik Indonesia Tedong Naga (Indonesia) yang menyerempet Kapal Diraja Rencong (Malaysia) sebanyak tiga kali, akan tetapi tidak pernah terjadi tembak-menembak karena adanya Surat Keputusan Panglima TNI Nomor: Skep/158/IV/2005 tanggal 21 April 2005 bahwa pada masa damai, unsur TNI AL di wilayah perbatasan RI-Malaysia harus bersikap kedepankan perdamaian dan TNI AL hanya diperbolehkan melepaskan tembakan bilamana setelah diawali adanya tembakan dari pihak Malaysia terlebih dahulu.

Shamsudin Bardan, Ketua Eksekutif Persekutuan Majikan-majikan Malaysia (MEF) menganjurkan agar warga Malaysia mengurangi pemakaian tenaga kerja berasal dari Indonesia.

Pihak Indonesia mengklaim adanya 35 kali pelanggaran perbatasan oleh Malaysia.
Insiden penyerempetan kapal Indonesia dan Malaysia 2005

Pada Jumat (8 April 2005) pagi, Kapal Republik Indonesia Tedong Naga (Indonesia) menyerempet Kapal Diraja Rencong (Malaysia) sebanyak tiga kali di perairan Karang Unarang, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Aksi tersebut terpaksa dilakukan karena KD Rencong berkali-kali melakukan manuver yang membahayakan pembangunan mercusuar Karang Unarang.

Insiden penyerempetan kedua kapal ini merupakan bagian dari pertikaian perbatasan di kawasan Ambalat yang kaya minyak dan gas. Petronas, perusahaan minyak Malaysia, secara sepihak memberikan konsensi kepada perusahaan minyak Shell di Blok Ambalat (Malaysia mengenalnya sebagai Blok XYZ).

Malaysia mengklaim wilayah Ambalat adalah miliknya, menurut peta yang diterbitkan pemerintah Malaysia tahun 1979. Peta tersebut memicu protes dari berbagai negara tetangganya, termasuk Indonesia.

Indonesia memprotes klaim sepihak itu dan memperketat keamanan di perairan Ambalat dengan menempatkan sejumlah kapal perang. Kemudian Indonesia juga merencanakan pembangunan mercusuar di Karang Unarang supaya lebih memperkuat kedaulatannya di sekitar perbatasan itu. Beberapa kali kapal perang Indonesia berhadapan dengan kapal perang Malaysia di perairan Karang Unarang. Puncak ketegangan adalah insiden penyerempetan ini.

Sebelumnya, KRI Tedong Naga sudah berkali-kali memperingatkan KD Rencong agar segera meninggalkan wilayah perairan Karang Unarang. Namun, peringatan tersebut tidak dihiraukan kerana KD Rencong menganggap pembinaan di mercusuar adalah merusak kedaulatan Malaysia. Bahkan, KD Rencong melakukan manuver-manuver yang membahayakan pembangunan mercusuar. Misalnya, kapal tersebut melaju cepat sehingga menimbulkan gelombang tinggi di sekitar lokasi pembangunan mercusuar. Akhirnya, KRI Tedong Naga mendekati KD Rencong untuk mengusir keluar dari wilayah perairan yang dipertikaikan.

Dalam upaya tersebut terjadi tiga kali serempetan yang menyebabkan lambung sebelah kanan kapal Malaysia yang umurnya sudah tua dan berkarat di beberapa bagian itu rusak. Sedangkan KRI Tedong Naga hanya tergores catnya di bagian lambung sebelah kiri. KD Rencong kemudian bergerak menuju pangkalannya di Tawau, Malaysia.

Sehari setelah insiden, tak terlihat lagi kapal perang Malaysia yang memasuki kawasan perairan yang dipersengketakan itu.

Sedangkan pada hari Minggu, dua hari setelah insiden, hanya terlihat sebuah kapal patroli polisi Malaysia yang berlayar normal sekitar 3 mil dari perairan Karang Unarang. KRI Tedong Naga yang pada pagi hari kembali mulai melakukan patroli bersama KRI Hiu tidak mengalami gangguan dari kapal-kapal Malaysia.

Menurut Kepala Staf Gugus Tempur Laut Armatim Kolonel Laut Marsetio, tindakan Komandan KRI Tedong Naga memutuskan untuk menghalau KD Rencong adalah benar, karena kapal itu sudah memasuki 9,5 mil laut dari Pulau Batik, yang termasuk wilayah yang dipertikaikan.

Pihak Indonesia mengklaim bahwa tindakan itu dibenarkan juga berdasarkan UNCLS (United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982 yang menyatakan bahwa suatu negara berwenang untuk mengusir suatu kekuatan asing apabila ia mulai mengganggu kedaulatan suatu negara.

Pada 12 April, pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri telah mengirimkan nota protes resmi kepada Malaysia atas peristiwa penyerempetan kedua kapal.

Sedangkan Angkatan Laut Malaysia membantah bahwa salah satu kapal perangnya bertabrakan dengan kapal perang Indonesia di perairan sekitar Karang Unarang. Menurut Kepala AL Malaysia, kedua kapal itu hanya bersentuhan satu sama lain serta tidak ada seorang pun yang terluka dan tidak ada kerusakan pada kapal tersebut.

Pada 13 April, Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi menyatakan pemerintahnya tidak akan menarik mundur kapal perangnya dari perairan Ambalat. Menurut Badawi, Malaysia mempunyai alasan yang kuat untuk mempertahankan kedaulatan di Ambalat yang dianggapnya sebagai wilayah Malaysia.

Malaysia tidak pernah mengakui klaim Indonesia terhadap kawasan tersebut, dengan itu Malaysia menganggap bahwa UNCLS tidak boleh diterapkan dalam kejadian ini.

Berkaitan dengan itu pula surat kabar KOMPAS mengeluarkan berita bahwa Menteri Pertahanan Malaysia telah memohon maaf berkaitan perkara tersebut. Berita tersebut segera disanggah oleh Menteri Pertahanan Malaysia yang menyatakan bahwa kawasan tersebut adalah dalam kawasan yang dituntut oleh Malaysia, dengan itu Malaysia tidak mempunyai sebab untuk memohon maaf kerana berada dalam perairan sendiri. Sejajar dengan itu, Malaysia menimbang untuk mengambil tindakan undang-undang terhadap surat kabar KOMPAS yang dianggap menyiarkan informasi yang tidak benar dengan sengaja.

Pemimpin Redaksi Kompas, Suryopratomo kemudian membuat permohonan maaf dalam sebuah berita yang dilaporkan di halaman depan harian tersebut pada 4 Mei 2005, di bawah judul Kompas dan Deputi Perdana Menteri Malaysia Sepakat Berdamai.
Perang Siaga di Perundingan

SEMANGAT tempur bergelora di dada Sersan Kepala Edy Musyawan. Gigi gerahamnya gemerutuk menahan amarah. Prajurit TNI Angkatan Laut itu berdiri di atas dek kapal perang KRI Rencong dengan mata menyala. Edy seakan hendak menerkam kapal perang Malaysia yang berkeliaran di sekitar Ambalat, perbatasan RI-Malaysia, di Laut Sulawesi.

"Kalau mau tempur, siap!" kata Edy sembari mengacungkan tinjunya. Ia bilang, naluri perangnya tertantang saat melihat manuver provokatif kapal perang Malaysia. Di mata Edy, kapal negara jiran itu makin lama kian kurang ajar. Sejak Kamis pekan silam, jumlah armada mereka yang lalu lalang di kawasan sengketa itu makin bertambah banyak.

Sebelumnya, hanya terlihat dua kapal perang. Kini enam kapal Kerajaan Malaysia yang berpatroli. Dengan teropong KRI K.S. Tubun, Gatra melihat armada tempur Malaysia bergerak ke wilayah Indonesia. Kapal perang Diraja Malaysia (KD) Sri Johor berada di barisan terdepan. Disusul KD Buang dan KD Kota Baharu. Mereka konvoi bersama dua kapal patroli polisi Malaysia.

Manuver tentara Diraja Malaysia itu tak dibiarkan oleh tentara Indonesia. Tiga kapal perang Indonesia --KRI Wiratno, KRI Tongkol, dan KRI Tedong Naga-- segera menghadang. KD Sri Johor putar haluan setelah berhadapan dengan KRI Tongkol dalam jarak sekitar 30 meter. Begitu juga kapal Malaysia lainnya.

Tidak terjadi pembicaraan lewat radio antara dua awal kapal perang yang berseteru itu. "Kontak radio dengan mereka? No way," ujar Komandan KRI K.S. Tubun, Letnan Kolonel I Nyoman Gede Aryawan. "Arahan dari pimpinan TNI sudah jelas, jangan diskusi di lapangan," Aryawan menegaskan. Sebelumnya, sempat terjadi perang mulut lewat radio antara KRI Rencong dan kapal perang Malaysia KD Kerambit.

Dua kapal perang itu nyaris bentrok di perairan sekitar Takat Unarang --nama resmi Karang Unarang, Sabtu dua pekan lalu. Waktu itu, KRI Rencong berpatroli mengawal pembangunan rambu suar di situ. Ternyata, di perairan itu sudah ada KD Kerambit. KRI Rencong berada di perairan Indonesia, koordinat 03.59 lintang utara (LU)-118.4 bujur timur (BT).

Sedangkan KD Kerambit berada di posisi 04.01 LU-118.05 BT. Jarak mereka tak sampai sepelemparan peluru. "Mungkin area tersebut telah diklaim pihak Malaysia sebagai wilayahnya," kata Letnan Kolonel Marsetio, Kepala Staf Gugus Tempur Laut Komando Armada RI Kawasan Timur.

Lewat kontak radio, awak kapal perang Malaysia menyebut KRI Rencong memasuki wilayah perairannya. KD Kerambit menyuruh KRI Rencong putar haluan. Mendengar seruan itu, KRI Rencong langsung menjawab bahwa kapal Malaysia yang justru masuk wilayah Indonesia. "Sempat terjadi adu argumen mengenai kedaulatan wilayah tersebut," kata Marsetio pula.

Setelah berulang kali KRI Rencong mengingatkan bahwa laut yang diarungi KD Kerambit adalah wilayah RI, kapal Malaysia itu putar haluan. KRI Rencong terus membuntuti kapal tersebut hingga jarak sekitar 900 meter. Melalui radio, awak kapal Malaysia berkecepatan 21 knot itu mendesak agar pembangunan suar di Takat Unarang dihentikan.

Indonesia tak menggubris permintaan Malaysia itu. Pembangunan rambu suar di Takat Unarang jalan terus. Agar para pekerja tenang, pembangunan menara suar itu ditunggui 10 personel pasukan Marinir TNI Angkatan Laut. Sampai akhir pekan lalu, pembangunan menara suar itu sudah mencapai 60%.

Meruncingnya hubungan RI-Malaysia bermula dari langkah perusahaan minyak Malaysia, Petronas, yang memberi konsesi eksplorasi kepada perusahaan Inggris-Belanda, Shell, 16 Februari lalu. Malaysia mengklaim wilayah sebelah timur laut Kalimantan Timur itu miliknya. Ia menyebut wilayah Ambalat Blok XZY berdasarkan peta yang dibuatnya pada 1979.

Indonesia menyebut blok yang sama sebagai Blok Ambalat dan Blok Ambalat Timur. Wilayah di kedua blok ini diperkirakan mengandung minyak dan gas ratusan juta barel. Di Blok Ambalat ini, Indonesia telah memberikan konsesi eksplorasi kepada ENI, perusahaan minyak Italia. Blok Ambalat Timur diberikan kepada perusahaan Amerika Serikat, Unocal. Dalam rangka mengamankan Blok Ambalat, Indonesia lantas mendirikan menara suar di Takat Unarang, masih terbilang kawasan Ambalat.

Kemudian terjadilah insiden Takat Unarang. Sebanyak 17 pekerja Indonesia ditangkap oleh awak kapal perang Malaysia KD Sri Malaka, 21 Februari lalu. Mareka baru dilepaskan setelah dijemur selama empat jam di atas geladak kapal perang KD Sri Malaka. Mendengar kabar tak sedap itu, KRI Rencong dan KRI Tongkol yang sedang berpatroli di laut Sulawesi Selatan diperintahkan meluncur menuju lokasi panas.

Lima kapal Indonesia lainnya menyusul. Kelimanya adalah KRI K.S. Tubun, KRI Nuku, KRI Singa, KRI Tedong Naga, dan KRI Wiratno. Kehadiran tujuh kapal Indonesia di kawasan Ambalat ini untuk sementara mampu mencegah gerakan kapal perang Malaysia ke wilayah Indonesia.

Namun Malaysia tidak mau diam. Sebuah pesawat pengintai ditengarai kembali melintas di wilayah udara Indonesia, Senin pekan lalu. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 12.00 di dekat Pulau Sebatik, Kalimantan Timur. "Saya tidak bisa memastikan jenis pesawatnya. Tapi, yang jelas, telah memasuki wilayah RI," ujar Prajurit Satu Agus Sugiyono, anggota Batalyon Marinir III Surabaya yang bertugas di Pulau Sebatik.

Sejumlah prajurit Marinir TNI Angkatan Laut sebetulnya telah siap membidikkan senjata mesin berat berpeluru kaliber 12,7 mm. Namun, karena tidak ada perintah untuk menembak, pasukan Marinir urung memuntahkan pelurunya. "Kalau ada perintah, ya, kami tembak," kata Agus Sugiyono.

Manuver Malaysia tidak hanya sebatas itu. Jauh hari sebelumnya, persisnya 7 Januari, Tentara Diraja Malaysia juga menguber-uber kapal motor nelayan Daya Sakti. Kapal berawak enam orang itu sempat dihujani tembakan dan dilempar granat. Daya Sakti yang berada 4 mil di sebelah barat Takat Unarang itu dianggap memasuki wilayah Malaysia.

"Kapal itu rusak karena sempat ditabrak patroli Malaysia," kata H.M. Yusuf, Ketua Himpunan Nelayan Kabupaten Nunukan. Akibat insiden itu, para nelayan takut mencari ikan di seputar Ambalat. H.M. Yusuf yang asli Makassar itu pun meminta bantuan TNI untuk menjaga para nelayan yang melaut di seputar Ambalat. "Tanpa ada jaminan keamanan, ya, berat, karena tentara Malaysia tidak segan menembak kami," katanya.

Ulah tengil kapal patroli Diraja Malaysia terulang, Senin lalu. Ketika KRI K.S. Tubun yang ditumpangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berlayar dari Nunukan menuju Sebatik, dua kapal perang Malaysia, KD Pari dan KD Paus, melintas di depan KRI K.S. Tubun. Jaraknya sekitar dua mil laut atau sekitar 3,2 kilometer.

Berbagai provokasi Malaysia itu tidak urung membuat geram masyarakat Indonesia. Selain dihadang TNI, langkah Malaysia hendak mencaplok Ambalat juga disambut kemarahan masyarakat Indonesia. Demo anti-Malaysia bermunculan di sejumlah kota di Tanah Air. Berbagai kelompok masyarakat dan mahasiswa turun ke jalan untuk menyerang Malaysia. Demo itu diwarnai pembakaran bendera Malaysia.

Jargon "Ganyang Malaysia" yang digelorakan Bung Karno pada 1960-an kembali dikumandangkan para demonstran. Anggota Komisi I DPR-RI, Permadi, pun ikut berdemo bersama mahasiswa. Komisi yang mengurusi bidang pertahanan, luar negeri, dan informasi itu menggelar aksi di depan Kedutaan Besar Malaysia, Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan. "Usir Malaysia," teriak para demonstran.

Di luar demo anti-Malaysia, ada juga kelompok demonstran yang menuding Pemerintah Indonesia sengaja membelokkan isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ke kasus sengketa minyak di Ambalat. Sekelompok mahasiswa Unversitas Negeri Jember, Jawa Timur, misalnya, menuduh pemerintahan Presiden Yudhoyono sengaja menutupi isu kenaikan harga BBM dengan sengketa Ambalat. Demo anti-kenaikan harga BBM sama serunya dengan gerakan anti-Malaysia.

Hanya saja, sebagian warga Malaysia sepertinya cuek saja menghadapi gerakan anti-Malaysia itu. Tidak ada serangan balik dari negeri jiran. Yang ada hanya seruan agar warga Malaysia mengurangi pemakaian tenaga kerja Indonesia. Anjuran ini datang dari Persekutuan Majikan-majikan Malaysia (MEF).

Ketua Eksekutif Majikan Malaysia, Shamsudin Bardan, menyarankan agar Kerajaan Malaysia membuka peluang lebih lebar untuk mengambil pekerja dari negara lain. "Dengan begitu, Kerajaan Malaysia tidak terlalu bergantung pada tenaga kerja dari Indonesia," kata Shamsudin Bardan, yang dikutip Utusan Malaysia, koran terbesar Malaysia.

Pemberitaan pers Malaysia tentang sengketa Ambalat juga tak segencar media di Tanah Air. Media cetak dan elektronik Malaysia hanya memberi porsi kecil pada berita yang berkaitan dengan Ambalat. Sedangkan media massa Indonesia, selama sepekan belakangan ini, menjadikan Ambalat sebagai headline. Pemberitaan pers Indonesia sempat membuat gusar Menteri Luar Negeri Malaysia, Syed Hamid Albar.

Dia menilai sikap media di Indonesia memicu sentimen anti-Malaysia. "Ini tidak kondusif bagi upaya penyelesaian masalah," ujar Hamid Albar. Soal sengketa wilayah itu, menurut Syed Hamid Albar, Pemerintah Malaysia akan melindungi kepentingan dan kedaulatan negaranya. Tapi dia juga menegaskan, Malaysia tidak menginginkan konfrontasi dengan Indonesia. "Kalau kami melindungi kepentingan dan kedaulatan kami, tidak berarti kami menginginkan konfrontasi," Hamid Albar menegaskan.

Ia berniat menggunakan lintasan diplomatik untuk membereskan sengketa Ambalat. Pertemuan Syed Hamid Albar dengan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda di Jakarta menyepakati, penyelesaian masalah perbatasan laut kedua negara melalui jalan damai. Selanjutnya tim teknis Indonesia dan Malaysia akan bertemu pada 22-23 Maret mendatang.

Kedua negara juga setuju mengambil langkah untuk mengurangi ketegangan yang berkembang beberapa hari terakhir. Hanya saja, jalur perundingan yang dijajal Hassan Wirajuda dan Syed Hamid Albar tidak mengendurkan semangat TNI untuk menempatkan pasukan di Laut Sulawesi. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menegaskan, prajurit TNI tetap disiagakan di perairan penuh minyak yang kini diincar Malaysia itu.

"TNI wajib menjaga negara," kata Endriartono Sutarto. Jumlah pasukan dan alat tempur yang ditempatkan di garis batas akan disetarakan dengan pasukan Malaysia. Saat ini, pasukan Marinir TNI Angkatan Laut yang dikomandani Letnan Dua Willy Udianto disiagakan di Pulau Sebatik. Sedikitnya, tiga senjata mesin berat ditempatkan di sana.

Moncong senjata berat buatan Rusia dan Belgia yang punya daya jangkau tembak 1.200-2.500 meter diarahkan ke kota Tawau, Malaysia. Di wilayah sekitar Pulau Sebatik, sedikitnya terdapat enam pos pertahanan perbatasan. Antara lain pos Marinir di Tinabasan dan Sungai Bolong. Lalu pos TNI Angkatan Laut di Nunukan, Sei Pancang, Sei Nyamuk, dan Sei Taiwan.

Rencananya, satu batalyon Marinir dari Surabaya dikirim ke Tarakan. Pasukan elite TNI Angkatan Laut itu dilengkapi berbagai mesin perang. Antara lain peluncur roket yang mampu memuntahkan 40 peluru sekaligus dalam tiga detik. Jarak tembaknya 24 kilometer, dengan daya hancur 2 kilometer persegi. Selain itu, puluhan tank amfibi BTR-80, yang merupakan tank terbaru Marinir, juga dipersiapkan untuk dikirim ke perbatasan.

Kepala Staf TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal Djoko Santoso menyatakan, pasukan TNI Angkatan Darat siap mendukung operasi di Ambalat. ''Kami tidak akan membiarkan satu jengkal tanah pun diambil negara lain," kata Djoko Santoso.

TNI Angkatan Udara mengirim empat pesawat tempur F-16 ke Balikpapan. Pesawat yang semula berada di Madiun itu dipindahkan ke Kalimantan Timur untuk memudahkan kontrol atas Ambalat. Lima kapal perang TNI Angkatan Laut bersenjata lengkap berpatroli di Ambalat. Yakni KRI Nuku, KRI Wiratno, KRI K.S. Tubun, KRI Rencong, dan KRI Tongkol.

Operasi Ambalat juga diperkuat dua pesawat pengintai Nomad, dua pesawat Cassa, dan satu helikopter Bolko yang disiagakan di KRI K.S. Tubun. Pesawat itu bertugas mengawasi gerakan kapal Malaysia yang berusaha menerobos masuk ke wilayah Nusantara sejak sengketa Ambalat mencuat. Menurut Menteri Pertahanan RI Juwono Sudarsono, Malaysia menggunakan sengketa Ambalat sebagai uji coba terhadap kekuatan militer Indonesia. "Karena kita dinilai tidak terlalu kuat," tutur Juwono Sudarsono.

Belakangan Malaysia ngeper, karena dalam waktu singkat Indonesia mampu menggerakkan tujuh kapal perangnya ke Ambalat. Apa boleh buat, sikap armada tempur Malaysia di Laut Sulawesi telah membuat geregetan anggota TNI seperti Sersan Kepala Edy Musyawan tadi. Prajurit yang berdinas di Angkatan Laut selama 11 tahun itu mengaku rindu perang. "Kalau Malaysia itu berani jualan, pasti akan kami beli."


Heddy Lugito, Bernadetta Febriana, Luqman Hakim Arifin, dan Alexander Wibisono (Ambalat)
[Laporan Utama, Gatra Nomor 18 Beredar Senin, 14 Maret 2005]
24 Februari 2007
Pukul 10.00 WITA kapal perang Malaysia KD Budiman dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh satu mil laut, pada sore harinya, pukul 15.00 WITA, kapal perang KD Sri Perlis melintas dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh dua mil laut yang setelah itu dibayang-bayangi KRI Welang, kedua kapal berhasil diusir keluar wilayah Republik Indonesia.
25 Februari 2007
Pukul 09.00 WITA KD Sri Perli memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard yang akhirnya diusir keluar oleh KRI Untung Suropati, kembali sekitar pukul 11.00, satu pesawat udara patroli maritim Malaysia jenis Beech Craft B 200 T Superking melintas memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard, kemudian empat kapal perang yakni KRI Ki Hadjar Dewantara, KRI Keris, KRI Untung Suropati dan KRI Welang disiagakan.
21 Maret 2009
Pengamanan wilayah Ambalat terus diperketat. Sebanyak 130 pasukan marinir yang tergabung dalam Satuan Tugas (Satgas) Ambalat IX kembali dikerahkan ke wilayah yang sampai sekarang masih menjadi sengketa antara pemerintah RI dengan Malaysia itu.

Komandan Pasmar-1 Brigadir Jendral TNI (Mar) I Wayan Mendra memastikan pengerahan pasukan tersebut tidak terkait peningkatan intensitas ketegangan di perairan Ambalat. Tapi murni bagian rotasi pasukan keamanan yang sebelumnya telah bertugas selama 6 bulan.

Kepala Dinas Penerangan Armada RI Kawasan Timur (Armatim) Letkol TNI (KH) Tony Saiful mengatakan penjagaan keamanan di wilayah perairan Ambalat memang menjadi prioritas TNI. Armatim sendiri telah menempatkan sejumlah kapal perang jenis korvet untuk melakukan patroli rutin di wilayah sengketa antara NKRI dengan pemerintah Malaysia ini.

Perhatian TNI AL dalam pengamanan kepulauan Ambalat ini berulang kali di tegaskan KSAL Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatno. Dalam sebuah kesempatan wawancara dia bahkan mengisyaratkan rencana penambahan kekuatan pasukan marinir di darat maupun di perairan untuk mempertegas eksistensi NKRI di wilayah sengketa ini.
Kapal Malaysia Langgar Wilayah, Nyaris Bentrok di Ambalat

31 Mei 2009
Jakarta -- Kapal perang Malaysia masih saja ''menggoda'' dengan memasuki perairan Indonesia. Buktinya, meski perairan Ambalat di Kaltim dijaga ketat tujuh kapal perang TNI-AL dari Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim), kapal perang Malaysia kembali melanggar. Insiden pun nyaris terjadi antara kapal perang TNI dan Malaysia.

Kapal perang Malaysia dari jenis Fast Attack Craft KD Baung-3509 kemarin pagi (30/5) secara terang-terangan melakukan provokasi dengan memasuki perairan Indonesia. Insiden pada pukul 06.00 Wita itu terjadi sejauh 7,3 mil laut pada posisi 04 00 00 utara -118 09 00 timur. Kapal perang Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM) saat itu melaju dengan kecepatan 11 knot, baringan 128, dan halu 300. Lokasi persisnya di sebelah tenggara mercusuar Karang Unarang.

''Titik dan posisi pelanggaran kapal Malaysia ini berhasil dideteksi lewat radar KRI Untung Suropati-872 yang tengah berpatroli di perairan Ambalat,'' ujar Kepala Dinas Penerangan Armada Timur Letkol Toni Syaiful kepada Jawa Pos kemarin (30/5).

Saat itu, kata Toni, KRI Untung Suropati sedang berpatroli pada posisi 04?04 80 utara-118?03 10 timur. Merespons hasil deteksi radar soal kapal asing yang memasuki wilayah NKRI, Komandan Kapal Mayor Laut (P) Salim memerintah ABK melaksanakan peran tempur bahaya kapal permukaan dan langsung mengejar kapal asing.

''Dua KRI lain, masing-masing KRI Pulau Rimau dan KRI Suluh Pari, yang juga tengah berpatroli di sektor perbatasan utara perairan Ambalat, bergabung dengan melakukan pengejaran,'' tutur Toni.


Kapal perang patroli Malaysia terdeteksi dengan kecepatan 15 knot per jam dengan titik koordinat 04.10 utara-118.00 timur mengarah ke blok Ambalat sekitar pukul 02.28 UTC atau pukul 09.28 WIB. (Foto: detikfoto/Pandu Purnama)

Setelah mendekati titik pengejaran, terdeteksi bahwa kapal Malaysia itu adalah KD Baung-3509. Kapal perang ini sejenis dengan KD Yu-3508 yang juga melanggar kedaulatan NKRI pada 24 Mei lalu. Kapal kelas Jerong berbobot 244 ton dengan panjang 44,9 meter serta lebar 7 meter tersebut dibuat di Jerman pada 1976. Dari posisinya, diketahui bahwa kapal Malaysia itu memasuki wilayah perairan NKRI sejauh 7,3 mil laut.

''Komandan KRI Untung Suropati-872 mencoba melakukan kontak komunikasi radio dengan komandan KD Baung-3509. Tapi, kapal bermeriam 57 mm dan 40 mm tersebut menutup radio dan tidak mau menjalin komunikasi,'' jelas Toni.

Selanjutnya, KRI Untung Suropati melakukan intersepsi sampai sejauh 400 yard. Tapi, komunikasi masih belum terjalin. KD Baung-3509 sama sekali tak mengindahkan peringatan KRI Untung Suropati.

Karena tidak juga terjalin komunikasi radio, KRI Untung Suropati mencoba melakukan komunikasi isyarat sekaligus membayangi ketat untuk memaksa KD Baung-3509 keluar dari perairan NKRI. ''Selama proses shadowing (membayangi) itu, KD Baung telah melakukan provokasi melalui empat kali manuver zig-zag dan meningkatkan kecepatan kapal yang amat membahayakan KRI Untung Suropati,'' papar Toni.

Setelah 1,5 jam membayangi kapal Malaysia itu, KRI Untung Suropati berhasil menghalau dan mengusirnya sampai batas wilayah NKRI.

Dari informasi yang diperoleh Radar Tarakan (Jawa Pos Group), kapal perang TLDM sempat berlabuh selama sekitar 15 menit di Kota Tawao, Malaysia, setelah mendapat pengawasan ketat KRI Untung Suropati. Tapi, tidak lama kemudian, kapal perang TLDM itu berbalik memutar arah 180 derajat dan kembali ke jalur sesuai arah kedatangan mereka (di wilayah Malaysia).

''Tak lama setelah KD Baung-3509 memasuki perairan Malaysia, sebuah helikopter Malaysia melintas di atas kapal dalam posisi memberikan perlindungan,'' kata Toni.

Helikopter patroli jenis Belt milik Police Marine Malaysia itu sempat terbang melintas di atas KRI Untung Suropati dan bahkan mendekati pos TNI-AL yang berada di bibir pantai Sei Pancang, Pulau Sebatik.

KRI Untung Suropati pun mengontak unsur patroli udara TNI-AL Nomad P-834 yang berada di Tarakan. Selanjutnya, pesawat intai maritim tersebut terbang menuju posisi untuk membantu menghalau kapal Malaysia.(Jawa Pos)
Cadangan Minyak dan Gas Ambalat Sangat Besar

02 Juni 2009
TEMPO Interaktif, Jakarta: Kawasan perairan Ambalat menyimpan kandungan minyak dan gas bumi dalam jumlah besar. Menurut ahli geologi dari lembaga konsultan Exploration Think Tank Indonesia (ETTI) Andang Bachtiar, satu titik tambang di Ambalat menyimpan cadangan potensial 764 juta barel minyak dan 1,4 triliun kaki kubik gas. “Itu baru satu titik dari sembilan titik yang ada di Ambalat,” ujarnya kemarin.

Menurut dia, perairan Ambalat, yang terdiri atas tiga blok–East Ambalat (dikelola Chevron), Ambalat (ENI Lasmo), dan Bougainvillea–secara bisnis dan ekonomi sangat menjanjikan.

“Pemerintah harus segera mengembangkannya,” kata mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia itu. Kegiatan eksplorasi bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang sudah menandatangani kontrak kerja sama.

Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, R. Priyono, menyatakan pihaknya merekomendasikan perpanjangan kontrak Blok East Ambalat kepada Chevron. “Wewenang perpanjangan kontrak ada di tangan pemerintah, tapi kami tetap akan merekomendasikan untuk diperpanjang karena wilayahnya sangat strategis,” ujarnya.

Kontrak kerja sama dengan Chevron akan berakhir pada 2010 dan kemungkinan besar diperpanjang hingga 2014. Ketika disinggung berapa besar cadangan minyak dan gas bumi di wilayah itu, Priyono mengatakan belum bisa ditentukan. “Prosesnya masih survei seismik,” katanya.

Adapun Blok Ambalat, yang kini dikelola oleh perusahaan minyak asal Italia, ENI Lasmo, menurut Priyono juga masih dalam tahap survei seismik. Dia memastikan semua proses eksplorasi masih berjalan, meskipun perairan Ambalat sedang bergolak. “Kegiatan kedua perusahaan itu dikawal oleh Tentara Nasional Indonesia,” ujarnya.

Malaysia mengklaim wilayah perairan Ambalat, yang mencakup 25.700 kilometer persegi atau hampir seluas seluruh Provinsi Sulawesi Selatan. Kedua wilayah kerja minyak dan gas bumi itu diberi nama Blok ND-6 dan ND-7.

Sebelumnya, kedua blok itu dinamakan Blok Y dan Z. Malaysia pada 2002 menyerahkan kedua blok itu kepada Shell (Belanda), yang bekerja sama dengan Petronas Carigali Sdn Bhd (Malaysia).
3 Juni 2009

(Yuni Herlina Sinambela – Okezone JAKARTA)
Krisis Blok Ambalat atara Pemerintah Indonesia dan Malaysia terus memanas. Sebanyak 13 kali kapal dan pesawat Angkatan Tentara Malaysia memasuki wilayah kedaulatan Indonesia di Ambalat, Kalimantan Timur, sejak Januari 2009.

Hal ini mengundang keseriusan bagi Indonesia untuk menegakkan kedaulatan di Blok Ambalat. Sebab itu, DPR bersama parlemen Belanda mengadakan pertemuan untuk membahas kerja sama pemenuhan kebutuhan kapal perang canggih untuk pertahanan keamanan dan menjaga kedaulatan NKRI.
()

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.