Selasa, 29 Mei 2012

☆ Kapten Pierre Tendean

 Pahlawan Revolusi

Kapten Anumerta Pierre Tendean (1939-1965)

Kapten Pierre Tendean merupakan salah satu korban pembunuhan G30S/PKI yang juga mendapatkan gelar Pahlawan Revolusi Indonesia, saat itu menjadi ajudan Jenderal AH. Nasution.

Pierre Andreas Tendean adalah seorang keturunan Menado. Di rumah A.H. Nasution beliau biasanya disapa dengan Pierre, bukan Tendean. Tendean sendiri adalah nama fam yang dipakainya Tendean : Tempat berpijak. Beliau adalah putera dari DR. A. L Tendean yang berasal dari Minahasa, sedang ibunya seorang berdarah Perancis bernama Cornel ME.

Beliau lahir di Jakarta, 21 Februari 1939, dan beragama Protestan. Lulus dari SMA B dilanjutkan ke Akmil Jurtek AD. Pierre adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adiknya semua wanita, sehingga sebagai satu-satunya anak lelaki dialah tumpuan harapan orang tuanya.

Sesudah Pierre tamat dari SD di Magelang, meneruskan ke SMP bagian B dan kemudian ke SMA bagian B di Semarang. Setelah tamat dari SMA orang tuanya menganjurkan agar Pierre masuk Fakultas Kedokteran. Akan tetapi Pierre telah mempunyai pilihan sendiri, ingin masuk Akademi Militer Nasional, dan bercita-cita menjadi seorang perwira ABRI.

Pierre memasuki ATEKAD Angkatan ke VI di Bandung tahun 1958. Tahun 1959 ketika sebagai Kopral Taruna, beliau juga ikut dalam operasi Sapta Marga di Sumatera Utara. Beliau dilantik sebagai Letda Czi tahun 1962. Setelah mengalami tugas, antara lain sebagai Danton Yon Zipur 2/Dam II Bukit Barisan, dan mengikuti Pendidikan Intelijen tahun 1963 serta pernah menyusup ke Malaysia masa Dwikora sewaktu bertugas di DIPIAD, maka pada tahun 1965 diangkat sebagai Ajudan Menko Hankam/Kasab Jenderal TNI A.H. Nasution ketika pangkatnya masih Letda, kemudian naik menjadi Lettu.

Dalam jabatan sebagai Ajudan Jenderal TNI A.H. Nasution inilah Pierre Tendean gugur, ketika G 30 S/PKI berusaha untuk menculik/membunuh Jenderal TNI A.H. Nasution.

Di saat gerombolan G30S/PKI ingin menculik Pak Nas pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, Pierre yang saat itu sedang tidur di paviliun rumah Pak Nas, segera bangun, karena mendengar kegaduhan di rumah pak Nas. Ketika ia keluar ia sudah menjinjing senjata, namun ia ditangkap oleh gerombolan penculik yaitu oleh Pratu Idris dan Jahurup. Pierre di sangka sebagai Pak Nas. Kemudian dia diikat kedua tangannya dan dibawa dengan truk ke Lubang Buaya. Waktu itu gerombolan menyangka bahwa Pak Nas berhasil ditangkap hidup-hidup.

Ketika interogasi di Lubang Buaya, ternyata gerombolan G30S/PKI telah "salah tangkap". Pierre yang dikira sebagai Pak Nas, akhirnya dieksekusi pada giliran terakhir. Ini mungkin karena beliau dianggap bukan orang yang diprioristaskan untuk di eksekusi. Sebelumnya, para perwira telah terlebih dahulu di eksekusi.

Salah satu sumber fakta ini adalah dari posisi mayat PA. Tendean yang terletak paling atas di dalam Sumur Lubang Buaya, ketika proses evakuasi jenazah para Pahlawan Revolusi. Yang pertama dimasukkan adalah jenazah Brigjend Pandjaitan, kemudian LetjendA. Yani, Mayjend M.T. Haryono, Brigjend Sutoyo, Mayjend Suprapto yang diikat bersama-sama dengan Mayjend Siswondo Parman.

Terakhir adalah Jenazah Lettu P.A Tendean, Seluruh jenazah dianugerahkan pangkat Anumerta, yaitu gelarkenaikan pangkat satu tingkat yang diberikan kepada seseorang yang meninggal dunia akibat suatu persitiwa yang berhubungan dengan bela negara, atau mengangkat dan mengharumkan nama bangsa. Biasanya gelar ini lazim diberikan kepada seseorang dalam jabatan militer tapi tidak menutup kemungkinan diberikan juga kepada pegawai negeri sipil yang meninggal dunia dalam melaksanakan tugasnya. Maka pangkat/gelar PA. Tendean menjadi KAPTEN CZI Anumerta. Beliau dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
sumber dari berbagai media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.