Sabtu, 26 Mei 2012

Kisah Sebuah Koran Palsu

 Kini baru bisa diungkapkan :

INDONESIA pernah membuat koran palsu dalam masa konfrontasi. Ini dilakukan dalam rangka perang propaganda melawan Malaysia. "Karena koran dianggap alat propaganda yang paling baik," kata Herlina Kassim yang pernah menjadi "penanggungjawab" koran tersebut.

Herlina Srikandi Trikora yang mendapat hadiah Pending Emas dari Presiden Soekarno karena menjadi wanita pertama yang mendarat di Irian Barat, agaknya dipilih karena beberapa alasan. Di samping keberaniannya, dia juga dianggap berpengalaman karena pernah menerbitkan koran Cendrawasih dalam perjuangan merebut Irian Barat.

 Kisahnya :

Pada 1965 Herlina ditugasi Opsus (Operasi Khusus) menerbitkan surat kabar palsu yang akan disebarkan di semenanjung Malaya. Setelah melalui penelitian yang lama, dipilihlah Taguan Harjo, pelukis komik terkenal dari Medan yang saat itu bekerja di seksi penerbitan Staf Pempen (Pembangunan dan Penampungan) Daerah Militer II Bukit Barisan sebagai "pemimpin redaksi".

Pukul satu malam, rumah Taguan yang terletak di Jalan Ketam, Medan didatangi Herlina. "Saya masih gelap apa sebab saya dihubungi," kata Taguan, 45 tahun, yang kini bekerja sebagai pengawas sebuah penerbitan di Jakarta. Taguan akhirnya setuju dan setumpuk koran Malaysia kemudian ditinggalkan Herlina.

Bukan Soal Sulit Perundingan malam itu memutuskan untuk menerbitkan koran Berita Harian palsu. Koran itu dipilih karena di samping populer di Malaysia juga memakai huruf Latin hingga tidak sulit ditiru. Isi koran palsu yang "terbit" akhir September 1965 itu hampir seluruhnya propaganda anti pembentukan Malaysia. "Semuanya telah ditentukan oleh 'kantor pusat' di Jakarta," cerita Herlina pekan lalu.

Untuk pertama kali direncanakan mencetak dua kali penerbitan. Oplahnya 5 ribu eksemplar. Jumlah halamannya delapan, sedang yang aslinya dua belas. Pencetakannya secara rahasia, di malam hari dengan penjagaan ketat. Yang dipilih percetakan Imalon, Medan, sebuah perusahaan yang kurang menyolok karena kecilnya.

Bahasa Melayu yang dipakai bukan soal sulit bagi Taguan. "Saya tinggal meniru gaya bahasa koran asli," kata Taguan. Yang repot: bagaimana membuat klise iklan. "Terpaksa kami jiplak bulat-bulat iklan koran asli," sambung Taguan. Bersama seorang temannya Taguan menulis berita. Banyak foto diambil-alih langsung dari Berita Harian asli. Tanpa istirahat, selama 36 jam koran tersebut dipersiapkan dan dicetak.

Untuk tugasnya itu Taguan sendiri tidak menerima honor. Biaya cetak seingatnya menghabiskan Rp 30 juta uang lama. "Sebagian besar itu uang pribadi saya," kata Herlina. Begitu selelesai mencetak, segala klise dan sisa koran dibakar. "Semua serba rahasia sampai istri saya pun tidak tahu apa yang saya kerjakan," kata Taguan, ayah dari tiga orang anak ini.

Urusan penyebaran menjadi tugas Herlina. Untuk mengangkutnya ke Malaysia dipakai enam buah tongkang ikan yang masing-masing berisi lima "nelayan". Saya sendiri ikut ke Pontian (sebuah pelabuhan kecil di Perak, Malaysia)," kisah Herlina. Kini 41 tahun. Waktu itu ia menyamar sebagai nelayan yang mengenakan celana panjang hitam, baju kain kasar dan topi lebar.

Di Malaysia telah siap kurir yang akan menyebarkan koran tersebut. Sebelum edisi yang kedua sempat terbit, Gerakan 30 September meletus. Penerbitan koran palsu dihentikan. "Di samping itu kita juga sudah memutuskan ingin berdamai dengan Malaysia," kata Herlina.
(Tempo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.