Senin, 11 Juni 2012

Perang Ala Van Mook

Kapal dengan lambung bertuliskan “Veendam” itu mengangkat sauh dari New York. Hari itu tanggal 11 Juni 1948. Di atas dek, seorang pemuda berumur 30 tahun membayangkan Batavia, Netherland East Indies. Di dalam kopernya tersimpan sehelai surat dari mantan perdana menteri Sjahrir.

Anak muda kelahiran San Francisco itu adalah lulusan Universitas Stanford. Ia menyelesaikan tesis masternya mengenai persoalan Tionghoa di Indonesia. Dan ia sedang menyusun disertasi di Universitas John Hopkins tentang nasionalisme Indonesia. Ia bermaksud melakukan penelitian lapangan di kancah yang tengah bergolak tersebut. Saat itu Amerika belum memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Tak ada kedutaan besar dan konsulat Indonesia di New York.

Untung, pada musim semi 1948 itu, Sjahrir bersama asistennya, Soedjatmoko Mangoendiningrat, mampir ke New York untuk sebuah keperluan pidato di PBB. Anak muda itu mengunjungi apartemen Sjahrir. Dan “sang Kancil” memberikan sehelai surat untuk Haji Agus Salim, Menteri Luar Negeri Indonesia—sebuah “visa” untuk memasuki teritori yang dikuasai tentara Republik. Perasaan girang meliputi anak muda itu. Namun rekan-rekannya mengingatkan bahwa “surat” itu masih belum cukup. Supaya lebih aman, mereka menyarankan agar di Indonesia dia juga bertugas sebagai wartawan. Akhirnya ia mendaftar di sebuah kantor berita tak begitu terkenal, Overseas News Agency, yang memiliki kantor di New York, dan mendapat kartu pers.

Di dek kapal, di kelas turis, pemuda dengan gairah menyala itu bertemu dengan seorang penumpang muda asal Belanda. “Sinyo” itu baru saja lulus sebagai insinyur kelautan di Massachusetts Institute of Technology. Ia dalam perjalanan pulang menuju Belanda. Yang mengagetkan, sinyo itu selama masa remajanya ternyata menetap di Indonesia. Kedua anak muda itu terlibat percakapan hangat, yang sesekali dibumbui pertanyaan sang pemuda tentang kosakata Indonesia. Sinyo itu ternyata bersimpati pada pergerakan kemerdekaan Indonesia dan menyesalkan mengapa Belanda seolah tak rela melepaskan Indonesia. “Itu semua karena salah ayah saya,” tiba-tiba selorohnya mengejutkan. Ternyata “pemuda berlidah keju” itu adalah Cornelis Kees van Mook, putra Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus van Mook. Di kapal itu, Kees menitipkan sebuah surat untuk ayahnya di Batavia.

Kisah ini dapat dibaca dalam buku Southeast Asia: A Testament karya George McTurnan Kahin. Pemuda calon doktor itu adalah George McT. Kahin, orang yang sangat bersimpati pada perjuangan nasionalisme dan dikenal sebagai peletak dasar studi Indonesia modern. Sebelum Kahin muncul, penelitian tentang Indonesia lebih banyak didominasi “Leiden school“, yang menekankan studi filologi dan indologi. Bukunya, Nationalism and Revolution in Indonesia, adalah sebuah buku standar yang menjadi klasik. Tanpa malu-malu Kahin menyatakan bahwa bukunya itu berpihak ke Indonesia. “Buku Kahin sampai sekarang masih berguna dan relevan bagi siapa saja yang mau mengerti sejarah modern Indonesia,” kata Daniel Lev, sahabat Kahin.
*** 

Dalam perspektif sejarah militer Belanda, mesin perang kolonial 1945-1950 itu adalah yang terbesar yang pernah dibangunnya sejak perang melawan Raja Prancis, Louis XIV, pada abad ke17.

Perang di Indonesia itu bisa pula dilihat sebagai pembangunan dan ujicoba militer terbesar sejak perang Napoleon awal abad ke-19, dan pembangunan mesin perang terbesar di Indonesia sejak menjadi koloninya 350 tahun sebelumnya. Tentara yang dikerahkan bukan semacam KNIL, tentara bayaran, atau profesional. Belanda mengirim konskrip atau pemuda wajib militernya.

Ini pula yang kemudian mewarnai politik militer Belanda, politik dalam dan luar negerinya. Pada Agustus 1945 Nederland baru dibebaskan dari Jerman seusai Perang Dunia II. Ia miskin dan hampir tak punya satu divisi atau bahkan brigade militer yang tangguh untuk membantu sekutunya di Eropa atau “membebaskan” kembali koloninya Hindia Belanda dari Jepang.

Kebetulan tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah, disusul Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Saat sarapan pagi di markasnya Australia, Van Mook kaget mendengar berita Proklamasi dari Jakarta. Van Mook mulai memiliki insting akan ada situasi berat, tapi ketika Van Mook menyampaikan ini ke Van Der Plas, Van Der Plas hanya tersenyum kecil dan berkata singkat “Apa bisa sekelompok manusia penakut melawan Brigade tempur veteran perang dunia?”. Van Mook, letnan gubernur jenderal, penguasa Belanda tertinggi di Indonesia, dinasihati oleh Jenderal Schilling yang berpengalaman pada perang gerilya Aceh awal abad ini, bahwa Nederland perlu ratusan ribu tentara selama bertahun-tahun untuk memulihkan ketenteraman seperti sebelum 1941.

Van Mook dan beberapa pejabat Belanda di Jakarta berpendapat sama, yakni Nederland tak akan mampu memenangkan “Perang Jawa” atau Pax Neerlandica. Namun, yang memimpin perang adalah Jenderal Spoor, bukan Schilling yang sudah tua dan baru saja bebas dari penjara Jepang. KNIL atau aparatnya, dan birokrasi kolonial tak bisa dipakai. Singkat kata, modal militer dan politik Belanda dalam menghadapi revolusi Indonesia sangat minim.

Van Mook dan para pejabat Belanda bertambah pesimistis setelah mendapat perlawanan keras di Surabaya, Ambarawa, dan tempat-tempat lain pada tahun 1945. Fanatisme revolusioner dari Indonesia ini lebih meyakinkan Van Mook bahwa tak ada jalan lain kecuali lewat perundingan. Dan Inggris, yang secara militer dalam Perang Pasifik kebagian tugas di Indonesia, juga ikut mendorong Belanda ke meja perundingan. Terpaksa Van Mook menempuh jalan Hoge Veluwe, Linggarjati, dan lain-lain. Sekali ada jalan diplomasi dan pengakuan terhadap Republik, tentunya tak ada jalan lain kecuali dekolonisasi.

Jalan dekolonisasi memang sudah disetujui oleh Nederland dari awal Desember 1945. Namun, proses itu perlu diawasi dan kepentingan Belanda harus tetap terjamin. Tujuan Belanda pun, dalam penggunaan kekuatan militernya, bukan semata-mata untuk mengembalikan pemerintahan kolonial seperti sebelum 1942. Strategi militer yang dikenal dengan speerpuntenstrategie (strategi mata tombak), untuk melakukan pendudukan sebagian atau menyeluruh, disusun oleh Jenderal Spoor, kepala staf angkatan darat Nederland. Ia memerlukan 75.000 tentara untuk menguasai Jawa, yang kemudian dikembangkan menjadi 120.000.

Kalau tak ada Perjanjian Roem-Van Royen, entah berapa ratus ribu tentara lagi dan berapa tahun diperlukan untuk menguasai Indonesia. Masalah terakhir ini sangat penting bagi Belanda karena biaya perang yang tinggi dalam keadaan ekonominya yang lemah.

Strategi Spoor, kecuali menduduki tempat-tempat strategis dengan pasukan mobil yang sigap bergerak, adalah melumpuhkan pimpinan politik/militer Republik yang disebutnya kaum “pemberontak nasionalis”. Namun Van Mook, kaum liberal dan progresif Belanda melihat bahwa pemberontakan nasionalis Indonesia ini berakar dalam sejak zaman kolonial. Untuk menenteramkan keadaan, Belanda perlu waktu lama dan dana yang besar. Maka, mereka mendesak ke meja perundingan.

Menurut Groen, kepercayaan militer Belanda menguat sebagai kekuatan superior atas perlawanan Republik pada pertengahan 1946. Pada waktu itu tentara Republik lewat aksi-aksi militer besar dan kecil (gerilya) gagal mengusir Belanda dari pos-pos mereka di pantai utara Jawa. Sejak itu mereka bertahan dan bergerilya. Ini yang dianggap enteng oleh Belanda. Van Mook memang menyetujui rencana militer Spoor. Ia dan kaum kiri Belanda setuju penggunaan kekerasan untuk mengakhiri konflik Indonesia-Belanda. Namun, secara politis ia berusaha membatasi kekerasan itu. Apakah Groen menilai aksiaksi militer Belanda I (1947) untuk menguasai daerah produktif Jawa dan melumpuhkan pimpinan politik Indonesia berhasil? Ternyata tidak, ini menunjukkan bukti kegagalan Belanda itu berupa banyaknya korban dan biaya, diplomasi dan kecaman internasional.
***

Dimulai dengan Van Mook. Orang kelahiran Semarang dan menamatkan sekolah menengahnya di HBS Surabaya ini sering dianggap sebagai antagonis busuk dalam sejarah kemerdekaan negeri kelahirannya. Seluruh karir Hubertus Johannes memang praktis jadi pendukung pemerintahan di koloni Kerajaan Belanda ini.

Pada pertengahan 1949, Indonesia berada di tubir jurang. Republik yang masih bayi tak hanya menghadapi gempuran militer, tapi juga rongrongan diplomasi Belanda. Salah satu pukulan yang menusuk jantung Republik adalah dibentuknya negara-negara bagian yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaal Overleg.

Dalang Bijeenkomst adalah bekas Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook. Resminya, pembentukan Bijeenkomst disebut sebagai pelaksanaan Perjanjian Linggarjati 1946. Namun, dengan kelicikannya, Van Mook membiakkan negara bagian yang semestinya cuma terdiri atas Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Borneo, menjadi 16 negara bagian.

Negara Borneo dipecah menjadi lima: Dayak Besar, Borneo Tenggara, Borneo Timur, Borneo Barat, dan Banjar. Republik Indonesia dicabik menjadi sembilan negara bagian: Bengkulu, Beliton, Riau, Sumatera Timur, Madura, Pasundan, Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Dia menyisakan Republik Indonesia menjadi negara bagian kecil yang hanya memiliki wilayah seluas Kesultanan Yogyakarta.

Bahkan di Sumatera telah antre Jambi dan Tapanuli Selatan untuk menjadi negara bagian sendiri. Van Mook memang sengaja melakukan politik pecah belah. Tujuan akhirnya jelas: untuk meniadakan Republik Indonesia.

Tapi ia bukannya tanpa warna lain. Dalam buku Menjadi Indonesia Parakitri Tahi Simbolon, sebuah karya sejarah yang layak dibaca berkali-kali, nama Van Mook termasuk di antara mahasiswa yang mendirikan dan jadi sekretaris IVS, Indonesisch Verbond van Studeerenden (Serikat Pelajar Indonesia), 12 Januari 1918. Waktu itu umurnya 24. Ia belajar “Indologie” di Leiden setelah kuliah teknik di Delft. Tampaknya ia akrab dengan para mahasiswa dari Hindia Belanda yang progresif. Ia termasuk salah satu dari sedikit undangan (yang diseleksi ketat) yang ikut makan malam di Hotel Paulenz, Den Haag, di awal musim semi 1917 – sebuah pertemuan di mana nama “Indonesia” untuk pertama kalinya dipakai oleh seorang peserta.

Dari pelbagai pertemuan dan kongres masa itu, sudah kelihatan pandangan Van Mook: Indonesia adalah bhineka. Negeri ini terbangun dari pelbagai etnisitas dan budaya, dan tentu saja tak semuanya “pribumi”. Ia sendiri, meskipun keturunan Belanda, juga merasa bagian dari Indonesia. Tapi ia tentu berbeda dari Douwes Dekker, yang juga bukan “pribumi”. Bersama Soewardi Soerjoningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker mendirikan Indische Partij (IP) dengan tujuan yang tegas: “India bebas dari Nederland”. Tapi bagi Van Mook, Indonesia tak boleh lepas.

Tapi nasibnya tak beruntung. Ia menjabat tugas itu sampai 1942. Jepang datang, Van Mook tak bisa melawan. Ia mengungsi ke Australia. Kemudian Jepang kalah Perang Pasifik dan Indonesia menyatakan dirinya merdeka – satu hal yang tentu tak mudah diterima oleh petinggi terakhir Hindia Belanda itu, atau siapapun pemerintah yang bertahta di Den Haag.

Namun dengan sudah-payah, akhirnya Kerajaan Belanda sendiri, juga Van Mook, sadar: kemerdekaan Indonesia tak bisa ditolak. Sebuah siaran radio mengutipnya “…orang Belanda telah belajar bahwa semua yang telah tersisa dari sistem kolonial Belanda lama telah menghilang.”

Tapi Van Mook menyiapkan agendanya sendiri.

Bersama tentara Sekutu, khususnya Inggris, yang datang ke Indonesia untuk menyelesaikan urusan setelah Jepang menyerah, Van Mook hadir kembali di Jakarta. Pertengahan Juli 1946, dalam posisi sebagai “Gubernur Jenderal Hindia Belanda”, ia menyelenggarakan sebuah konferensi untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT), di kota Malino, sebuah kota peristirahatan di Sulawesi Selatan. Konferensi dihadiri oleh utusan-utusan dari beberapa daerah yang ada di Indonesia sebelah timur. Pada pidato penutupan, Van Mook mengemukakan bahwa konferensi Malino ini “meletakkan dasar bagi Indonesia baru”.

Dalam agenda Malino, Indonesia yang akan berdiri adalah sebuah negara federal, yang akan bekerja sama dengan Belanda dengan masa peralihan 5 hingga 10 tahun. Lagu “Indonesia Raya” diterima sebagai lagu kebangsaan, tapi dalam rencana Van Mook, yang akan bekerja adalah Voorlopige Federale Regering (VFR), Pemerintah Federal Sementara.

Kalangan politik yang lebih radikal, kaum “republikein”, menganggap para peserta Malino “boneka” Van Mook buat mengembalikan struktur kolonial. Tapi retorika revolusi tak mengenal nuansa. Mereka yang mendukung pertemuan Malino tak dengan sendirinya bersama Van Mook. Anak Agung Gde Agung, bangsawan Bali itu, bukan seorang radikal, tapi ia menentang rencana VFR. Dan ketika ia makin berperan di BFO (Bijeenkomst voor Federale Overleg) atau Majelis Permusyawaratan Federal yang dibentuk di Bandung, Mei 1948, Anak Agung makin terbuka untuk bertaut dengan kalangan “republikein”. Ketika Desember 1948 Belanda menyerbu Yogya, ia mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur, sebagai protes.

Di bawah pengaruhnya pula, BFO berperan untuk sebuah jalan tengah, antara kaum “republikein” dan kaum kolonalis.

Di tahun 1949 itu, sebuah kompromi besar tercapai. Di Den Haag, sebuah Konferensi Meja Bundar (terkenal sebagai KMB) diselenggarakan antara Indonesia, BFO, dan Belanda; perwakilan PBB ikut hadir. Kemerdekaan Indonesia diakui, tapi negara Indonesia akan jadi sebuah negara federal.

RIS pun dibentuk. Itulah yang diresmikan di kraton Yogyakarta hari itu.

Dalam derajat tertentu, dengan RIS, desain Van Mook gol. Negara federal ini dibangun dengan 16 negara bagian dan tiga daerah kekuasaan. Yang mencolok: Republik Indonesia (dengan presiden Mr. Assaat) ada di antara, misalnya, Negara Pasundan dan Negara Jawa Timur dan Negara Madura.

Artinya sebuah Indonesia yang berbeda telah lahir – lain dari yang ada dalam gagasan para bapak dan ibu pendiri Republik. Dalam pertemuan untuk mempersiapkan kemerdekaan sebelum Agustus 1945, hanya Bung Hatta dan Johannes Latuharhary dari Maluku yang setuju dengan ide federalisme. Dan mereka tak bicara banyak. Penentang utama: Muh. Yamin, cendekiawan asal Sawahlunto pengagum Kerajaan Majapahit itu. Bagi Yamin, seperti bagi kaum nasionalis waktu itu, federalisme akan merapuhkan persatuan bangsa.

Tapi Van Mook, lulusan “Indologie” itu, mengetahui Indonesia sebagai bangunan etnografis. Sebagai pejabat Hindia Belanda, ia memandangnya sebagai tatanan administratif. Dengan kata lain: sebuah bangsa yang telah tersusun selesai. Di sini ia ketinggalan zaman. Proklamasi yang setengah nekad pada 17 Agustus dan kemudian pertempuran besar 10 November 1945 telah melahirkan satu himpunan yang militan. Gebrakan mereka membuat bangunan dalam pikiran Van Mook terjebol. Bhineka yang dibayangkannya di awal abad ke-20 praktis berubah. Yang lahir sebuah “revolusi”, sebuah mobilitas perbedaan yang mengacaukan batas dan definisi. Dalam revolusi itu bhineka itu kembali jadi keanekaragaman yang tak terpetakan.

Tapi pada saat yang sama, bagi kaum militan ini, “Indonesia” adalah sebuah panggilan kebenaran. Kebenaran itu satu.
***

Bogor, 16 November 1947: Raden Soeria Kartalegawa, mantan bupati Garut, mendeklarasikan berdirinya PRS, PRS, Partai Rakyat Pasundan. Pandji Rakjat, mingguan yang diterbitkan oleh Dinas Penerangan Belanda (RVD), menyiarkannya dengan antusias. Enam bulan kemudian, sekitar 5000 orang hadir ketika Kartalegawa memproklamasikan berdirinya “Negara Pasundan”.

Rosihan Anwar, yang di tahun 1940-an jadi wartawan harian Merdeka dan meliput pertemuan Malino, kemudian menulis di Harian Pikiran Rakyat 12 Desember 2006. Ini kesan-kesan yang diingatnya mengenai deklarasi PRS itu. Catatannya tentang Kartalegawa: “Dia tidak suka dengan perjuangan kemerdekaan. Dia ingin kembali ke zaman feodal, tatkala kaum menak punya kedudukan istimewa dan seorang regent (bupati) dilayani oleh rakyat selaku abdi setia.” Menurut Rosihan, Kartalegawa percaya, orang Sunda “tidak mau diperintah oleh seorang Gubernur Republik.”

Kartalegawa bukan pilihan Van Mook. Orang ini korup, kata para pejabat Belanda. Tapi Negara Pasundan tetap terus. Seorang aristokrat lain diangkat jadi “wali negara”: setahun kemudian, Wiranatakusumah dilantik.

Tapi batas dan definisi yang lama telah luruh. Siapakah yang bisa bicara untuk mereka yang tinggal di wilayah yang disebut “Pasundan” itu?

Tak lama setelah RIS berdiri, di beberapa tempat di Jawa Barat (Indramayu dan Tasikmalaya, misalnya) muncul gerakan menolak Negara Pasundan. Suara ini kemudian bergema di Parlemen Pasundan sendiri. “Pasundan” adalah identitas yang bergerak.

Di Makassar batas-batas juga tak bisa lagi dipastikan dari atas. Oposisi terhadap Negara Indonesia Timur (NIT) berkecamuk sejak awal 1950. April tahun itu, di Polombangkeng, di selatan Makassar, mereka yang menolak federalisme menyatakan memisahkan diri dari NIT dan bergabung dengan Republik Indonesia yang berpusat di Yogya. Sebuah poster dipasang dengan gambar Presiden NIT, Sukawati, dengan tulisan “Sukawati ingin naik kuda, tetapi rakyat yang menderita”.

Seperti tampak di Jawa Barat dan tempat-tempat lain, federalisme yang didirikan Van Mook (dan KMB) ditentang dari dalam negara-negara bagian itu sendiri. Kesan yang dikemukakan Rosihan Anwar kuat: federalisme ini akhirnya pertautan antara apa yang disebut sebagai “feodalisme” dan “kolonialisme”. Contoh paling tampak adalah tokoh BFO, Sultan Hamid II dari Pontianak: seorang federalis yang juga opsir tentara Belanda dan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, pangkat tertinggi dalam jajaran asisten ratu Nederland. Dari nama seperti Sultan Hamid II, Wiranatakusumah dan Sukawati (bangsawan Bali dengan gelar Cokorda) tampak kebanyakan para pemimpin negara bagian adalah elite lama, umumnya kaum aristokrat. Tampaknya Van Mook berasumsi: rakyat di pelbagai daerah di Indonesia masih merasa satu dengan kepala-kepala adat dan raja-raja mereka.

Tentu saja dia salah. Permusuhan terhadap kaum aristokrat cukup mendalam di masyarakat lokal. Di Aceh, menurut catatan sejarawan Anthony Reid dalam The Blood of the People, terjadi “Perang Cumbok” di Pidie di bulan Januari 1946, dan hanya 25 uluebalang – para “feudal” yang dapat kekuasaan besar di bawah Belanda – yang tak dibantai. Menyusul itu, TPR (Tentara Perjuangan Rakyat) dan Mujahiddin, milisia Islam, mengganyang sisanya di seluruh Aceh. Di Sumatra Timur, awal Maret 1946, para pemuda membentuk Persatuan Perjuangan untuk melikuidasi “kerajaan” di seluruh wilayah itu. Januari 1946, di Surakarta, para pemuda dalam “Barisan Banteng” menculik Pakubuwono XII, meskipun sebulan setelah Proklamasi ia sudah menyatakan bergabung dengan Republik.

Kesultanan Yogyakarta tak terkena “revolusi sosial yang serupa itu. Hanya 20 hari setelah 17 Agustus 1945, Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII memaklumkan wilayah mereka ada di bawah daulat Republik Indonesia. Hamengku Buwono IX sendiri bukan orang baru dalam perjuangan nasionalisme. Dalam buku The Idea of Indonesia oleh Robert Edward Elson disebut bahwa di tahun 1920 di depan para mahasiswa Indonesia yang ikut kongres IVS di Belanda, “putra mahkota Yogyakarta” yang juga belajar di Leiden itu menyatakan diri sebagai seorang yang “sampai derajat tertentu mewakili orang Jawa, dan sebab itu bagian dari Indonesia”. Pemuda yang kelak jadi Hamengku Buwono IX itu mengakhiri pidatonya dengan seruan: “Hiduplah Indonesia!”.

Dengan demikian, Sultan Yogya bergabung bukan saja dengan Republik: ia juga peserta revolusi. Kita tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi andaikata aristokrasi Yogya memilih berkolaborasi dengan kekuasaan Belanda. Bukan tak mungkin perlawanan para pemuda akan terjadi, sebagaimana di tempat-tempat lain. Semangat kiri yang “antifeodal” bahkan terdapat dalam pimpinan tentara Republik. Juni 1946, pemerintah mencabut hak-hak istimewa yang diberikan ke Kraton Mangkunegoro dan Pakubuwono atas desakan Panglima Besar Sudirman.

Tapi seperti ditunjukkan oleh Sultan Yogya, di beberapa daerah di Sulawesi Selatan para bangsawan lokal juga tak mengambil garis Belanda – dan dalam masalah federalisme, menolak garis Van Mook. Dalam sebuah buku yang patut dibaca sekarang, Indonesia: Towards Democracy, Sejarawan Taufik Abdullah menyebut, di Sulawesi Selatan (justru pusat Negara Indonesia Timur), para “unitaris”, yang menentang bentuk federal dalam RIS, adalah para bangsawan setempat yang berkuasa, yang “mungkin teringat ayah dan kakek mereka yang melawan pemaksaan Belanda” di daerah mereka.

Ide federalisme di tengah suasana Revolusi yang bersemangat “unitaris” memang tak punya kaki yang kukuh – malah cenderung jadi musuh, satu gejala yang juga dalam Revolusi Prancis di abad ke-19. Militansi melawannya jadi meningkat ketika kekerasan terjadi, seperti ketika 29 Januari 1950 Kapten Westerling mengumpulkan bekas-bekas tentara KNIL dan memimpin “Angkatan Perang Ratu Adil” (APRA) untuk membela “Negara Pasundan”. APRA membunuh 79 orang pro-Indonesia. Tindakan Westerling secara resmi di luar komando Belanda, tapi efek buruknya membuat “Negara Pasundan” dan segala sesuatu yang berbau federal jadi sebuah anathema.
***

Sore hari istana sepi. Letnan Gubernur Jenderal termenung sendirian di beranda belakang. Terlintas di benaknya kata-kata sarkastis seorang dekat: “En jangan lupa, he! Kowe lahir di Indie. Kerna itu cukup luitenant-gouverneur-generaal saja, bukan gouverneur-generaal!”

Van Mook merasa bahwa konsep-konsepnya yang lumayan progresif dihambat oleh kelambanan para politisi di Nederland dan kelemahan para pemimpin Indonesia dalam mengendalikan revolusi yang kian melebar basisnya. Revolusi sudah keluar dari rel borjuis, masuk ke dalam badai gerakan massa yang keras dan anarkistis.

Ia merasa gagal di Indonesia Timur, gagal di Nederland, dan gagal di Indonesia. Dari Den Haag, dia menerima terlalu sedikit, terlalu lambat. Pangkat van Mook tetap Letnan Gubernur Jenderal tetapi secara de facto dia melakukan tugas sebagai Gubernur Jenderal. Dia menjabat dari tanggal 14 September 1944 sampai 1 November 1948.

Pada tahun 1949 van Mook menjadi profesor tamu di Universitas California dan pada tahun 1951 van Mook bekerja di Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pakar pengembangan kawasan. Sejak 1960 van Mook memilih menetap di L’Illa de Sorga, Perancis sampai akhir hayatnya, tahun 1965.
serba sejarah

Referensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.