Senin, 11 Juni 2012

Teror di Papua



 Pengelolaan Keamanan Papua Gagal Total

 Situasi keamanan di Papua dinilai sudah tidak lagi terkendali.

Sejumlah pengunjukrasa yang tergabung dalam Nasional Papuan Solidarity (NAPAS) menggelar aksi di depan Gedung Sate Bandung, Jawa Barat, Selasa (5/6). Dalam aksinya NAPAS meminta penghentian segala bentuk kekerasan di Papua.
Pengunjuk rasa NAPAS di Bandung
Serangkaian aksi kekerasan belakangan marak terjadi di Papua. Sasarannya, mayoritas adalah masyarakat sipil.

Di antaranya, aksi penembakan yang menimpa Dietmar Dieter, 55, WN Jerman yang ditembak orang tak dikenal (OTK) saat berada di Pantai Base G Jayapura Papua, Selasa 29 Mei sekitar pukul 12.30 WIT.

Pelaku penembakan itu diduga menggunakan senjata laras panjang. Saat ini korban yang berada di Papua bersama istrinya, Eva Medina, 55, masih dalam perawatan intensif.

Hanya berselang beberapa jam, aksi penembakan juga menimpa seorang guru SD Inpres Dondobaga, Kampung Kulirik, Distrik Mulia, Puncak Jaya, Papua. Korban yang bernama Anthon Arung Tandila, 36, ditembak OTK di rumahnya, sekitar pukul 19.30 WIT.

Anthon pun tewas akibat luka tembak di bagian pipi kiri yang tembus hingga telinga belakang. Sedangkan, pelaku yang diketahui bertubuh tinggi besar itu langsung melarikan diri. Jenazah Anthon pun kemudian dibawa ke RSUD Mulia.

Penembakan terkini terjadi semalam, tepat delapan hari setelah aksi kekerasan yang ditebar pelaku terhadap Dieter dan Anthon. Akibat aksi brutal tersebut, Arwan Kusdini, seorang PNS yang bertugas Kodam XVII/Cenderawasih tewas.

Arwan ditembak di jalan alternatif antara kantor walikota tembus Kodam, Kota Jayapura, Papua, sekitar pukul 21.00 WIT. Arwan diperkirakan meninggal dalam perjalanan saat dilarikan ke RS Marthen Indey akibat luka tembak di bagian leher.

Sementara itu, sehari sebelumnya, seorang anggota TNI berpangkat Pratu ditembak di bagian leher oleh OTK di Jl Raya Abepura-Entrop atau di depan CV Thomas. Dan pada waktu yang nyaris bersamaan dua warga sipil juga dikabarkan ditembak OTK di sekitar Jl Sam Ratulangi, pusat Kota Jayapura.

Menanggapi berkembangan situasi di wilayah paling timur Indonesia itu, Peneliti LIPI Muridan Widjaja menyimpulkan, pengelolaan keamanan di Papua memang telah gagal total.

Hal itu, menurut Muridan, ditandai dengan tidak adanya sama sekali institusi keamanan yang bertanggung jawab sepenuhnya atas keamanan di sana.

"Situasi di Puncak Jaya, Wamena, dan Timika bahkan bisa disebut sudah tidak terkendali," tuturnya.

Bukan saja tidak bertanggung jawab, Muridan mengatakan, aparat keamanan, aparat sipil, beserta kelompok-kelompok lainnya di Papua justru ikut "bermain" dan menciptakan persoalan keamanan di sana. Mereka bergerak dengan membawa kepentingannya masing-masing, tanpa ada kehadiran negara yang sungguh-sungguh di sana.

"Di sana, negara sudah jelas absen dalam penegakan hukum dan perlindungan bagi warga negaranya. Bukannya menjadi wasit dalam penegakan hukum dan menjadi pelindung warga, institusi keamanan lokal justru menjadi bagian dari konflik. Tidak lagi ada pihak netral di sana," katanya.

 Perlu langkah radikal

Lantaran itulah, Muridan menegaskan, sudah saatnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersikap tegas melakukan penataan kembali keamanan di Papua. Langkah yang diambilpun, menurut dia, harus dilakukan secara radikal dan drastis.

"Impunitas yang terjadi di sana harus diakhiri. Entah ujudnya dengan menarik aparat nonorganik dari sana atau bagaimana caranya. Yang pasti, harus clear dulu siapa yang bertanggung jawab atas keamanan di wilayah itu," tandasnya.

Memang, menurut Muridan, segala persoalan yang terjadi di Papua tersebut, termasuk ancaman dan gangguan terhadap keamanan di Papua, muncul akibat adanya masalah politis.

"Ada banyak bias-bias politik di Papua. Di tengah, lemahnya fondasi politik di Papua. Karenanya, harus segera dilakukan perbaikan atas fondasi politik di Papua tersebut lewat digelarnya dialog," pungkasnya.
Penulis: Ratna Nuraini

 Sepanjang Mei, Lima Penembakan Terjadi di Jayapura

 Patroli bersama TNI-Polri diintensifkan demi meredam aksi kekerasan sejenis.

Sejumlah petugas medis dari RSUD Dok II Jayapura, Bid Dokes Polda Papua, dan tim medis dari Singapura saat membawa korban penembakan Pieter Dietmar Helmut (55) asal Jerman  dari ruangan ICU RSUD Dok II  di Jayapura. FOTO: ANTARA
Evakuasi Korban ke Singapur
Sejak Mei 2012 tercatat, lima kasus penembakan yang terjadi di kota Jayapura dan sekitarnya.

Hal tersebut disampaikan Kapolda Papua Irjen BL Tobing, hari ini, di Jayapura, Papua. Kasus penembakan itu, kata dia, diduga dilakukan organisasi tertentu yang saat ini senantiasa melakukan berbagai aksi yang meresahkan warga.


Oleh karena itulah, menurut dia, pihaknya bersama TNI akan melakukan berbagai tindakan hukum terhadap kelompok tersebut. Sebab, aksi yang mereka lakukan sudah meresahkan masyarakat.


Namun saat ditanya terkait nama kelompok massa dari sebuah organisasi tertentu, Kapolda Papua mengelak menjelaskan. Dia hanya mengatakan pihaknya belum dapat memberitahukan apakah kelompok yang dimaksud adalah organisasi tersebut atau bukan.


"Kami masih terus melakukan penyelidikan guna mengungkap apakah betul kelompok itu yang melancarkan berbagai aksi meresahkan masyarakat yang terjadi di Kodya Jayapura dan sekitarnya," katanya.


Dari data yang dihimpun, menurut dia, akibat aksi kekerasan beruntun tersebut telah jatuh korban sebanyak 11 orang. Baik korban luka tembak ataupun lainnya.


Dan untuk meredam berbagai aksi yang meresahkan masyarakat itu, Kapolda menegaskan, pihaknya bersama TNI-AD akan lebih mengintensifkan patroli bersama.



Selain itu pelaku berbagai tindak kriminal akan ditangkap dan diminta pertanggungjawaban terhadap aksi yang mereka lakukan selama ini, tegas Irjen Tobing.
Penulis: Antara/ Ratna Nuraini

 PNS Kodam Cenderawasih Ditembak Mati

Sejumlah petugas medis dari RSUD Dok II Jayapura, Bid Dokes Polda Papua, dan tim medis dari Singapura saat membawa korban penembakan Pieter Dietmar Helmut (55) asal Jerman  dari ruangan ICU RSUD Dok II  di Jayapura.FOTO: ANTARA
Evakuasi Korban warga Jerman
Seorang PNS yang bertugas Kodam XVII/Cenderawasih ditembak mati oleh orang tak dikenal di sekitar jalan alternatif antara kantor walikota tembus Kodam, Kota Jayapura, Papua, malam hari.

Dari data yang berhasil dihimpun, PNS Kodam tersebut bernama Arwan Kusdini. Dia ditembak di bagian leher dan sempat dilarikan ke RS Marthen Indey. Namun akhirnya, korban meninggal dunia, diperkirakan saat dalam perjalanan menuju RS.

Kepala penerangan Kodam Kolonel H Ali Bogra ketika dihubungi, malam hari, membenarkan bahwa peristiwa tersebut terjadi di distrik Jayapura Selatan, sekitar pukul 21.00 WIT. "Iya tadi ada anggota PNS Hudam Kodam yang ditembak OTK di sekitar jalan wali kota," kata Bogra.

Menurut dia, korban kala itu hendak pulang ke rumahnya yang berada di daerah perumahan yang ada di sekitar kawasan Wali Kota, distrik Jayapura Selatan.

"Korban baru saja dari kantor dan hendak pulang dan dari laporan sementara yang saya terima, korban ditembak di sekitar wali kota, sebelum tiba di rumah. Sekarang jenazahnya ada di RS Marthen Indey. Saat ini, pelaku tengah dikejar oleh aparat TNI/POLRI," tambahnya.

Sehari sebelumnya, seorang anggota TNI berpangkat Pratu ditembak di bagian leher oleh OTK di Jl Raya Abepura-Entrop atau di depan CV Thomas. Dan diwaktu yang hampir bersamaan dua warga sipil juga dikabarkan ditembak OTK di sekitar Jl Sam Ratulangi, pusat Kota Jayapura.
Penulis: Antara/ Ratna Nuraini

 Letjen TNI Bambang Darmono: Papua Tidak Aman

 Di Papua, aparat juga bermain dan “berebut rezeki”

Letjen Bambang Darmono
Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) Letjen TNI Bambang Darmono mengatakan rangkaian peristiwa di Papua belakangan ini mengganggu program percepatan pembangunan yang digagas oleh pemerintah.

”Kalau masyarakat merasa tercekam, rasa aman berkurang. Kalau sudah begitu akan mengganggu tugas-tugas percepatan pembangunan,” ujar Bambang ketika dihubungi Beritasatu.com, Jumat (8/6).

Menurut Bambang kondisi keamanan di Papua saat ini termasuk tidak aman menyusul dengan kejadian penembakan oleh orang tidak dikenal di sejumlah tempat di Jayapura, Papua.

”Keadannya bisa dikategorikan tidak aman karena ada banyak. Selain itu juga banyak kejadian tidak terungkap dengan baik sehingga menimbulkan banyak spekulasi,” ujarnya.

Padahal keamanan merupakan faktor penting untuk pembangunan di Papua dan Papua Barat terlaksana dengan baik.

Pemerintah membentuk UP4B melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2011. Unit ini bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan program-program dan kebijakan di Papua dan Papua Barat agar mencapai hasil yang maksimal. Sejak semula, UP4B harus mengadopsi pendekatan yang lebih komprehensif yang mengutamakan pendekatan kesejahteraan.

Menyangkut kekerasan di Bumi Cendrawasih, Juru Bicara Polri Kombes Boy Rafli Amar menyatakan pihaknya kemarin menangkap dua diduga pelaku aksi kekerasan di Papua.

“Dua warga yang ditangkap kemarin itu masing-masing Buhtar dan Tabuni dan Jefri. Mereka diduga melakukan perusakan seperti Lapas pada tahun 2010 dan sebagainya di Papua,” papar Boy di Jakarta, Jumat (8/6).

Jika kekerasan ini berlarut terjadi, maka pengamat bisa menyebutkan pembiaran kekerasan ini sebagai bagian dari tawar-menawar sebagian eliet sipil atau militer di daerah terhada pusat, lahan naik pangkat, menambah biaya operasional militer atau trik menarik dana pengamanan pada perusahan-perusahaan.

Karena itu, tindakan cepat, terukur dan tangkap dari negara sangat. Ini semua dilakukan untuk mencegah darah bersimbah di Papua. Faktor tidak ada koordinasi antara TNI dengan Polri bisa memicu kekerasan berlanjut.

“Situasi di Papua tidak juga membaik karena fungsi aparat keamanan di sana mengalami distorsi, dan cara terbaik membenahi masalah itu adalah mengembalikan tanggung jawab keamanan sipil kepada polisi,” demikian sebut Muridan Widjaja, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam perbincangan dengan Beritasatu.com Jumat (8/6) malam.

Muridan menjelaskan, akibat distorsi itu, pengelolaan keamanan di sana sangat buruk, aparat tidak profesional, tidak imparsial dan tidak tegas. Diingatkan, oknum-oknum tentara justru terlibat konflik di sana, di situ letak distorsinya. Kalau polisi bertindak ternyata pelakunya dari TNI, paling cuma dikembalikan ke komandannya

“Dalam kondisi demikian, tanggung-jawab keamanan di Papua tidak jelas karena tumpang-tindih antara TNI, Polri dan badan intelijen.

Ditambahkan, hukum tidak bisa ditegakkan dengan normal di Papua karena aparat juga bermain dan “berebut rezeki” tanpa menjelaskan lebih lanjut.

“Kejahatan oleh masyarakat dan aparat keamanan harus ditindak, impunitas mereka harus diakhiri, baik oknum polisi maupun oknum TNI. Sayangnya di tingkat kapolda dan pangdam kurang kuat,” kata Muridan.

“Mau tak mau, di level Menkopolhukam harus tegas, soal keamanan harus diserahkan ke polisi secara murni, intelnya pun kalau perlu harus polisi.

Merindukan Tanah Papua tanpa kekerasan bukanlah hal mustahil. Hidup tanpa salak senjata wajib dirasakan oleh rakyat dari Sabang ke Merauke. Untuk itu, pemerintah mesti tegas menindak pelaku. Dibutuhkan komitmen memberikan batas waktu kepada pengawal ketertiban dan keamanan di sana.

Tanpa keamanan, roda ekonomi tidak bergerak, program pun macet. Pada akhirnya, kemiskinan, kelaparan bahkan kebodohan semakin mendera saudara kita di sana.
Penulis: Arientha Primanita/Heru Andriyanto/ Murizal Hamzah

 Tokoh Papua: Melewati Batas Kemanusiaan

 Kekerasan di Papua telah merendahkan umat Tuhan. Ini keterlaluan.

Tokoh rakyat Papua Socratez Sofyan  Yoman
Tokoh rakyat Papua Socratez Sofyan Yoman
Tokoh rakyat Papua, Socratez Sofyan Yoman meminta siapapun yang melakukan penembakan misterius dan kekerasan di Papua untuk hentikan aksinya.

"Kami harap itu berhenti. Tak boleh merendahkan umat Tuhan. Ini keterlaluan dan melewati batas-batas kemanusiaan. Semua kekerasan itu mesti dihentikan," kata Socratez kepada Beritasatu.com yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (8/6).

Socratez mengkritisi pihak keamanan dan Pemerintah RI tak bisa memberi jaminan keamanan bagi masyarakat. Di kalangan masyarakat, kecemasan merebak luas dan beredar isu tak jelas yang intinya tetap tak bisa mengidentifikasi pelaku sebenarnya dari penembakan itu.

"Jayapura ini barometer keamanan provinsi Papua. Tapi di Jayapura kota saja sudah ada penembak misterius berkeliaran. Tidak ada jaminan keamanan dari negara. Bagaimana bisa orang sipil ditembak oleh OTK," kata Socratez.

Dia menyesalkan Pemerintah yang membiarkan masyarakat biasa ditembak begitu saja oleh aparat keamanan di Papua.

Dia mengkritisi pembiaran Pemerintah terhadap pembunuhan warga negara asing yang baru-baru ini terjadi dan tak diketahui siapa penembaknya.

"Seakan orang Papua mau dikambinghitamkan. Atau Kapoldanya dipindahkan untuk menghentikan atau mengaburkan kecurigaan dan penyelesaian kasusnya. Kapolda baru, kalau ditanya penyelesaiannya, bisa bikin banyak alasan," kata Socratez.

Pendeta itu mengkritik tindakan brutal aparat terhadap masyarakat di Wamena. Aparat datang kepada masyarakat, menganiaya dan menangkap.

"Ada rumah rakyat dibakar. Kita pertanyakan apa maksud aparat keamanan melakukannya," kata dia.

Bagi warga Papua, semua kekerasan yang terjadi terkait perilaku aparat keamanan saja. Misalnya pada 4 Juni lalu, masyarakat mau berdemonstrasi, lalu polisi melarang dan memblokir.

"Sebagian warga ditangkap dan disiksa, bahkan ada yang diancam tembak mati. Inikan aparat aneh. Kalau demokrasi, kenapa dilarang demonstrasi? Katanya sudah terbuka dan memberi perlindungan untuk berbicara," tuturnya.

 Fondasi Tak Berakar

Untuk mencegah dan menyelesaikan berbagai persoalan di provinsi paling timur dari Indonesia, sudah dibentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang dipimpin oleh Letjen TNI Bambang Darmono. Keberadaan lembaga yang dianggap bisa mengakomodir tuntutan berbagai pihak tidak bisa berjalan maksimal.

“UP4B yang dibentuk pemerintah tidak efektif mengatasi persoalan keamanan di sana karena sifatnya hanya membantu koordinasi lintas lembaga,” kata Muridan Widjaja, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam perbincangan dengan Beritasatu.com Jumat (8/6) malam.

Di samping distorsi fungsi lembaga keamanan, faktor lain yang membuat provinsi itu sangat labil adalah fondasi politik yang tidak kuat dan tidak mengakar.

“Di samping distorsi fungsi lembaga keamanan, faktor lain yang membuat provinsi itu sangat labil adalah fondasi politik yang tidak kuat dan tidak mengakar,” pungkas Muridan.

Ada seribu persoalan di Papua harus diselesaikan dengan menjiwai kearifan lokal daerah setempat. Memahami kebutuhan rakyat lokal yang mendambakan perdamaian sehingga mereka bisa hidup damai membangun wilayahnya yang masih tertinggal dibandingkan wilayah lain.
Penulis: Markus Junianto Sihaloho/Heru Andriyanto/ Murizal Hamzah

 BIN: Kelompok Bersenjata Sudah Masuk Kota Papua

Gilberth Mandika (16) saat dibawa petugas medis RSUD Dok II Jayapura, ke ruangan ICU, Senin (4/6), untuk mendapat pertolongan pertama. Gilberth Mandika pelajar kelas II SMU Kalam Kudus, kota Jayapura, di tembak orang tidak dikenal saat melintas dikawasan Skyland Kotaraja Jayapura, Senin (4/6) malam, saat korban hendak kembali ke rumahnya dikawasan perumahan BTN Kotaraja Jayapura, Papua.
Gilberth Mandika (16) korban di Papua
Kelompok bersenjata di Papua sudah masuk ke perkotaan dengan senjata-senjata mereka terkait dengan rangkaian penembakan di Jayapura, Papua.

Oleh karena itu aparat akan melakukan tindakan penyisiran atau sweeping untuk menangkap anggota jaringan kelompok yang masih didalami ini.

Kepala Badan Intelijen Negara Letjen TNI Marciano Norman mengatakan saat ini pihaknya tengah mendalami pelaku yang melakukan aksi teror dalam beberapa hari ini berasal dari kelompok mana.

”Sekarang yang pasti ada kelompok bersenjata masuk ke kota melakukan aksi-aksi teror. Terlihat korbannya ada TNI, Polri dan masyarakat sipil,” ujarnya melalu telepon saat dihubungi wartawan, Jumat (8/6).

Menurutnya, para anggota kelompok ini memiliki akses ke kota karena bantuan dari rekan yang berada di kota. Sebelumnya banyak kelompok bersenjata melakukan aksi teror di pedalaman atau pegunungan.

”Ada orang kota yang memberikan akses dan informasi kepada mereka,” ujarnya.

Saat ini aparat melakukan langkah-langkah optimal untuk mendapat perkembangan dari kasus kekerasan yang telah terjadi. Intelijen mengembangkan informasi untuk bisa mengungkap pelakunya. Menurutnya, dalam waktu tidak terlalu lama, pelakunya akan terungkap.

Marciano mengatakan dalam situasi seperti ini dirinya mengimbau masyarakat memberikan dukungan kepada aparat keamanan untuk melakukan langkah-langkah pencegah. Salah satunya adalah dengan tindak sweeping.

”Kalau sweeping senjata itu pasti. Itu harus dilakukan karena tidak boleh orang-orang sipil memegang senjata api. Penegakkan aturan harus dilakukan. Yang saya harapkan masyarakat memberikan informasi apabila mereka melihat orang-orang yang tidak berhak tetapi memegang senjata api.” kata Marciano.

”Tindakan kelompok bersenjata di kota sudah sangat meresahkan dan mereka tidak boleh dilindungi,” tambahnya.

Aparat keamanan dan BIN sedang mencari tahu seberapa besar kekuatan kelompok bersenjata ini dan jumlah senjata yang mereka miliki.

Beberapa minggu terjadi penembakan yang menewaskan warga dan juga aparat keamanan. Ada juga korban yang mengalami luka berat akibat penembakan yang dilakukan oleh orang tak dikenal ini.

Rangkaian penembakan di Jayapura diawali dengan ditembaknya seorang warga Jerman pada 29 Mei 2012. Kemudian aksi rentetan kejadian penembakan terhadap warga sipil dan aparat TNI yang terjadi di beberapa tempat berbeda di Jayapura.
Penulis: Arientha Primanita/ Murizal Hamzah
Beritasatu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.