Minggu, 29 Juli 2012

Laksamana Karam di Laut

Penulis: Alfian Hamzah

http://www.sindoweekly-magz.com/images/indonesia/small/sindo_indonesia_1339582817_small.jpgPada 7 November 2007, dua tahun menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana Slamet Soebijanto mendadak kehilangan jabatannya. Mabes TNI kala itu bilang pencopotan disebabkan Soebijanto 'memasuki masa pensiun'. Aneh bin ajaib. Masa pensiun Soebijanto baru bakal dua tahun lagi. Usianya masih 56 tahun kala itu. Toh, penggantinya justru lebih tua. Laksamana Madya Sumardjono, kelahiran 21 Juni 1951, alias 17 hari lebih tua dari Slamet yang kelahiran 4 Juni 1951.

Ini yang belum pernah dilaporkan media nasional pada hari-hari itu: Dua hari lepas Soebijanto kehilangan jabatannya, pada 9 November, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengawatkan sebuah telegram bermarka CONFIDENTIAL ke Washington. Isinya mengisyaratkan kalau Amerika patut berbesar hati dengan terpentalnya Slamet. Kata telegram: "Perubahan ini bisa membuka peluang perbaikan hubungan kerja sama Amerika dengan TNI AL".

Berkebalikan dengan TNI AU dan TNI AD, Slamet bersikap dingin dalam membangun hubungan dengan Amerika Serikat, tak begitu tertarik membeli peranti perang dari Amerika dan usil dalam beberapa aspek penting yang diusulkan "Sang Adikuasa" dalam skema bantuan Section 1206 dari NDAA untuk tahun anggaran 2007 dan 2008, termasuk pemasangan radar di pesisir. Dia juga menyatakan cemas pada Amerika sebagai penyuplai senjata, berkeras bahwa Amerika 'bukan mitra yang andal', sebab aneka kesulitan TNI AL dalam mendapatkan spare part dari Amerika. Pendepakan Slamet bisa menciptakan peluang tak terduga guna mengembalikan rencana bantuan ini ke rencana semula dan juga maju di bidang lainnya.

Pemeriksaan SINDO Weekly atas gulungan kawat diplomatik Amerika Serikat yang bocor tanpa sensor di WikiLeaks (www.cablegatesearch.net) menunjukkan Soebijanto adalah batu karang terakhir yang mengganjal rencana besar Amerika mengukuhkan cengkeraman pengaruh dan bisnis militer dengan TNI, lepas menjatuhkan sanksi embargo selama satu dekade lebih hingga 2005.

Sebuah telegram tertanda 14 Juni 2007, merekam pertemuan antara seorang utusan Menteri Luar Negeri Amerika dengan sejumlah pejabat keamanan negara di Jakarta, termasuk Slamet. Salah satu yang menjadi bahasan sang utusan kala itu adalah soal Status of Forces Agreement (SOFA), perjanjian penempatan pasukan Amerika di Indonesia. Telegram bilang Slamet cemas dengan ide itu, utamanya karena berpotensi merusak kedaulatan negara. (Kejelasan soal jadi-tidaknya perjanjian ini belum pernah dipublikasikan hingga kini). Telegram juga bilang kalau Slamet mengungkap ketidaknyamanan atas desakan Amerika agar Indonesia ikut meratifikasi Proliferation Security Initiative (PSI), traktat yang memungkinkan Amerika mencegah kapal asing mana pun yang mereka anggap berbahaya di wilayah laut Indonesia.

"Laksamana Slamet bilang Indonesia tak ingin negara asing mencegat kapal-kapal di perairan Indonesia," kata telegram. "Kendati, dia tak keberatan dengan gagasan pertukaran informasi dan bilang kalau TNI AL siap menangkap penyelundup jika Amerika bersedia membagi informasi."

Empat bulan kemudian, persoalan baru mencuat antara Amerika dan Slamet. Dalam sebuah telegram tertanggal 12 Oktober, Amerika menyebutkan kalau diplomat mereka mendapat bocoran dari Hasyim Djalal, bekas diplomat, ahli hukum laut yang sekaligus penasihat Slamet. Hasyim Djalal, ayah dari Duta Besar Indonesia untuk Amerika, Dino Patti Djalal, intinya membisikkan penolakan Slamet atas rencana penempatan delapan radar Amerika di pesisir Sulawesi.

Ada empat alasan utamanya, katanya, (1) daya jangkau radar darat itu terbilang pendek, hanya 25 mil laut; (2) total radar yang akan dihibahkan hanya delapan unit dan ini tak kuasa memonitor 400 mil laut pesisir pantau Sulawesi; (3) kemungkinan Amerika menggunakan radar itu untuk memata-matai Indonesia; (4) Amerika bukan mitra yang andal, mengingat adanya pembatasan Kongres AS atas bantuan militer ke Indonesia. Soal yang terakhir, Soebijanto pernah mengungkap langsung alasan detailnya kepada seorang atase militer Amerika di Jakarta. Dia bilang, akibat embargo Amerika, TNI AL kesulitan mencari spare part kapal selam yang dibeli dari Jerman serta kapal kelas Corvette dari Belanda. Kedua kapal itu menggunakan sistem navigasi Amerika Serikat.

Dalam telegram yang sama, Kedutaan Amerika menggambarkan TNI AL sebagai cabang kemiliteran di Indonesia yang paling sulit dijamah dan diajak berkoordinasi karena besarnya kecurigaan kepada pihak Barat, utamanya Amerika Serikat, ketimbang sikap kebanyakan perwira Angkatan Udara. Nah, masih di telegram yang sama, Kedutaan Amerika meminta U.S. Chief of Naval Operations, Laksamana Roughead, untuk 'mem-briefing' Slamet di sela-sela International Sea Power Symposium pada 15-19 Oktober di Newport, Rhode Island.

Pada 25 Oktober, setelah Slamet kembali dari Amerika, sebuah telegram kembali terkirim. Kali ini, isinya menyebutkan adanya 'ganjalan' di kalangan perwira militer TNI atas rencana transaksi besar alat-alat Amerika, termasuk penjualan pesawat jet F-16 ke TNI AU. Nama Slamet, juga Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono serta sejumlah anggota dewan, disebutkan sebagai hambatan dalam suksesnya transaksi. Telegram menggambarkan mereka masih mengidap skeptisisme pada keandalan Amerika serta menyimpan keresahan yang mendalam atas sanksi embargo di era sebelumnya. Di bagian lain, telegram menyebutkan hambatan utama pemasangan radar di Selat Makassar adalah "kecurigaan pribadi Slamet atau versi lembaga dari kecurigaan pada rencana itu".

Pada 21 April 2009, dua tahun lepas Slamet terpental dari Angkatan Laut, Kedutaan Amerika di Jakarta mengirim telegram suka cita yang lain. "Dalam dua tahun terakhir, kepemimpinan TNI AL jauh lebih terbuka. Mereka lebih mau mendengar dan mendiskusikan persoalan-persoalan kompleks. Perubahan kunci terjadi pada November 2007 dengan terpentalnya Laksamana Slamet Soebijanto yang pemberang dan nasionalistis dari jabatan Kepala Staf TNI Angkatan Laut. Laksamana Madya Sumardjono, yang menggantikannya hanya untuk setengah tahun berikutnya, memberi lampu hijau untuk pemasangan jejaringan radar dalam skema bantuan Section 1206. Laksamana Tedjo Edhy Purdijatno, yang menggantikannya pada Juli 2008, telah mengizinkan program itu berlanjut dan mengalokasikan anggaran dan personel untuk menjaga dan mengoperasikan stasiun radar begitu terpasang."
SINDO Weekly

1 komentar:

  1. Indonesia Menangis.....
    Indonesia Menangis.....
    Indonesia Menangis.....
    Telah Kehilangan Pemimpin Patriotis

    Indonesia Bersedih.....
    Indonesia Bersedih.....
    Indonesia Bersedih.....
    Telah Kedatangan Pemimpin Yang .........

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.