Sabtu, 07 Juli 2012

Laut Cina Selatan dan Indonesia

 China Banjiri Bantuan, Indonesia dalam Konflik Laut China Selatan Harus Netral

SEBAGAI upaya menandingi pengaruh Amerika Serikat di Indonesia, China membanjiri Indonesia dengan berbagai program bantuan. Menurut Country Manager-Indonesia IHS Jane’s Defense, Risk & Security, Alman Helvas Ali, Indonesia tidak boleh memihak pada salah satu negara tersebut.

"Indonesia harus jadi kekuatan penyeimbang di antara dua kekuatan besar yang kini tengah bersaing dikawasan Asia Pasifik itu," kata Alman Helvas Ali di jakarta, Jumat (6/7).

Menurutnya, banjir bantuan yang ditawarkan oleh China kepada Indonesia di bidang pertahanan merupakan bagian dari upaya negeri tirai bambu untuk menandingi pengaruh Amerika Serikat di Indonesia. Bagi Alman, pandangan China yang strategis terhadap Indonesia tidak hanya karena faktor posisi geografis Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Peran Indonesia di ASEAN dan kawasan Asia Pasifik pun menjadi alasan China merangkul Indonesia, apalagi jika mengingat kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas-aktif.

"Dengan kondisi ini, China ingin menjadikan Indonesia sebagai security bumper terhadap Amerika Serikat. Konstruksi seperti ini harus dipahami betul oleh Indonesia, khususnya dalam menjalin kerja sama pertahanan dengan China," ujarnya.

Namun begitu, menurut Kepala Seksi Amerika Subdit Bilateral Kerja sama Internasional Kemhan RI Letkol Laut (KH) Abdul Rivai Ras menilai, Indonesia pun dapat mengambil keuntungan dari kondisi ini. "Indonesia dapat memainkan peran di kawasan untuk mewujudkan dynamic equilibrium melalui kerja sama yang pragmatis dan realistik," kata Rivai. 

Rivai memaparkan, Indonesia dapat mendorong kerja sama keamanan dalam konteks ASEAN-Cina (Defence Diplomacy on SCS), memanfaatkan keunggulan Cina melalui Defence Industry for Navy, mengembangkan model kerja sama keamanan maritim yang berbasis pada konsep MDA, penegakan hukum dan MCS, serta membangun forum interaksi pertukaran informasi dan studi maritim dan mengefektifkan Navy to Navy Talk. Indonesia pun dapat melakukan latihan bersama dalam bidang HADR (non traditional security cooperation).

 Konflik Laut China Selatan Dinilai Rusak Stabilitas Kawasan

COUNTRY Manager-Indonesia, IHS Jane’s Defense, Risk & Security Alman Helvas Ali menyatakan, perkembangan lingkungan strategis di Laut China Selatan dewasa ini cenderung kurang kondusif bagi penciptaan stabilitas kawasan. Hal itu didasari sikap China yang tak bisa kompromi yang direspon oleh negara lawan.

Menurut Alman, klaim China atas Laut Cina Selatan yang berdasarkan pada alasan sejarah merupakan suatu hal yang sulit diterima oleh negara-negara lain di kawasan.

"Asertivitas China atas klaimnya tersebut dapat dikatakan tidak mengenal kompromi dan memaksakannya kepada negara-negara lain di sekitar perairan itu. Bahkan dalam perkembangan terakhir China menolak adanya suatu CoC (Code of Conduct) yang mengikat secara hukum karena dianggap sebagai suatu perjanjian internasional yang mengkompromikan klaim negeri itu atas seluruh Laut China Selatan,"kata Alman Helvas Ali di Jakarta, Jumat (6/7).

Menurutnya, sikap China ini menimbulkan kontribusi negatif terhadap stabilitas kawasan dan memunculkan skeptisme banyak kalangan terhadap efektivitas CoC nantinya.

Selain itu, sikap China ini membuat Filipina dan Vietnam menjadi lebih keras baik dalam tingkat operasional maupun diplomatik. Kedua negara ini juga aktif mengundang peran pihak ketiga guna memperkuat posisinya, baik pada aspek pertahanan maupun ekonomi.

Dia mencontohkan, Amerika Serikat telah memberikan dua fregat buatan 1967 eks cutter US Coast Guard kepada Angkatan Laut Filipina lewat program Excess Defense Article (EDA). Pada 2 Juli 2012 Filipina juga menandatangani kerjasama pertahanan dengan Jepang yang difokuskan pada keamanan maritim.

Menurut Alman, peran Amerika Serikat ini merupakan bagian dari upaya untuk menghadang kebangkitan China. Kebijakan pertahanan Amerika Serikat yang diumumkan oleh Presiden Obama pada 5 Januari 2012 menetapkan bahwa negara itu akan segera meningkatkan kehadiran militernya di kawasan ini.

"Salah satu implementasinya adalah rencana penempatan 60 persen kekuatan Angkatan Laut Amerika Serikat di kawasan pada 2020 sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Pertahanan Leon Panetta pada 2 Juni 2012 di Singapura dalam The Shangri-La Dialogue,"jelasnya.

Selain itu, India juga ikut meningkatkan kehadirannya di kawasan Laut China Selatan baik secara militer maupun secara ekonomi. India setiap tahunnya secara rutin menyebarkan flotila Angkatan Laut ke perairan itu untuk melakukan kunjungan muhibah dan latihan bersama dengan Angkatan Laut di sekitar Laut China Selatan dan Asia Timur.

Alman mencontohkan, Angkatan Laut India bersama dengan Angkatan Laut Amerika Serikat setiap tahun menggelar Latihan Malabar di sekitar Laut Filipina yang berbatasan dengan Laut China Selatan.

Alman pun menilai, adanya perbedaan kepentingan daribeberapa negara ASEAN dalam merespon konflik Laut China Selatan membuat organisasi kawasan ini sulit untuk menyatukan sikap. "ASEAN terbelah sikap tentang apakah harus bersikap kooperatif atau konfrontatif menghadapi asertivitas China di Laut Cina Selatan,"ujarnya.

Menurutnya, ketidaksolidan ASEAN secara tidak langsung menjadi pintu masuk bagi aktor non ASEAN untuk masuk guna menyisipkan agenda kepentingan nasionalnya masing-masing.

 Pengamat: Klaim China dapat Ganggu Kedaulatan Indonesia

COUNTRY Manager-Indonesia, IHS Jane’s Defense, Risk & Security Alman Helvas Ali menyatakan, kerja sama pertahanan Indonesia-China dapat dinilai sebagai kerja sama pertahanan yang sangat signifikan bagi kepentingan Indonesia dibandingkan kerja sama serupa dengan negara-negara lain.

Namun begitu, klaim sepihak China mengganggu kedaulatan Indonesia. Indonesia pun memiliki kepentingan terhadap sengketa di Laut China Selatan.

Menurut Alman, Indonesia yang tidak turut mengklaim wilayah di perairan Laut China mulai terganggu oleh klaim sepihak China pada 1993 ketika menerbitkan peta unilateral Laut China Selatan. Peta berupa sembilan garis putus-putus di Laut China Selatan atau yang dikenal dengan Nine Dotes Lines, U Shape Lines atau Nine-Dash Line, mencaplok pula Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di utara Kepulauan Natuna.

"Padahal di wilayah perairan ZEE Indonesia itu ada kandungan gas yang kini dieksploitasi oleh Indonesia bersama dengan kontraktor beberapa negara maju,"kata Alman di Jakarta, Jumat (6/7).

Alman memaparkan kepentingan Indonesia terhadap sengketa Laut China Selatan mencakup atas keutuhan wilayah, stabilitas kawasan dan ekonomi.

Kepentingan atas keutuhan wilayah terkait dengan batas klaim China atas wilayah Laut China Selatan yang tidak dapat didefinisikan, sehingga dikhawatirkan akan menyentuh wilayah perairan teritorial Indonesia di Laut Natuna. "Menyangkut stabilitas kawasan, sengketa di perairan itu bila tidak dapat ditangani dengan baik akan berdampak terhadap stabilitas keamanan Indonesia dan kawasan,"ucap Alman.

Adapun kepentingan ekonomi Indonesia menyangkut hak berdaulat atas sumberdaya alam di ZEE Indonesia di Laut China Selatan, baik dari aspek energi maupun perikanan.

Dia mengatakan, tiga kepentingan tersebut tidak dapat dikompromikan oleh Indonesia. "Sebagian dari kepentingan Indonesia itu tergolong sebagai shared interest bersama negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik, khususnya kepentingan terhadap stabilitas kawasan,"ujarnya.

Bagi Alman, shared interest itu bukan saja telah menjadi kesadaran bersama bagi negara-negara kawasan, tetapi telah diimplementasi dalam berbagai bentuk khususnya pada ranah diplomatik. Dia mencontohkan, ASEAN bersama China untuk membahas Code of Conduct (CoC) di Laut Cina Selatan dan pertemuan rutin kawasan seperti AMM, ARF, ADMM dan lain sebagainya yang juga menjadikan isu Laut China Selatan sebagai bagian dari topik pembicaraan bersama.

Sumber : Jurnas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.