Kamis, 30 Agustus 2012

Spirit Beralutsista Dalam Pita Kebangsaan

Belanja militer Indonesia untuk tahun anggaran 2013 diprediksi menyentuh angka 77,7 trilyun rupiah naik dari 72,9 trilyun rupiah tahun ini. Dari angka 77,7 trilyun rupiah itu sebanyak 28,2 T adalah untuk belanja dan rawat alutsista. Nah kalau disandingkan dengan program belanja alutsista selama 5 tahun (Tahun 2010 sd 2014) sebesar 150 trilyun rupiah maka angka 28,2 trilyun itu proprosional karena rata-rata 30 trilyun per tahun anggaran.

Jujur saja, ada yang berbunga dan mekar di hati kita manakala melihat keseriusan pemerintah untuk mendandani hulubalangnya yang selama ini kurang gizi alutsista alias dibiarkan tak terurus. Gelontoran dana yang dikucurkan mulai tahun 2010 sampai saat ini mulai menunjukkan kegairahan dan spirit serta kebanggaan bagi sebuah definisi sejati tentang perkuatan alutsista TNI. Bahwa alutsista itu adalah nafas dan libido TNI yang harus terus diperbaharui kuantitas dan kualitasnya agar tetap terjaga kepercayaan diri dan adrenalin tempur berkemampuan teknologi di setiap nadi prajurit kita.

Hawk TNI AU
Yang membanggakan adalah bersepakatnya semua elemen bangsa apakah dia bernama Pemerintah, DPR, DPD dan mayoritas rakyat Indonesia untuk mendukung penuh perkuatan alutsista TNI. Dalam sebuah negara demokrasi dukungan seluruh elemen kebangsaan ini merupakan sebuah ketakjuban yang luar biasa dan jarang ada. AS saja sebagai negara demokrasi nomor satu di dunia tidak selalu seiring kata dan langkah pemerintah dengan parlemennya atau bahkan sebagian rakyatnya jika menyangkut hal ikhwal pengembangan alutsista mereka termasuk ekspor senjatanya.

Inilah nilai plus yang membikin “angek” alias iri negara lain utamanya negara tetangga yang selama ini selalu meremehkan kekuatan militer Indonesia. Spirit beralutsista di negeri ini tumbuh seirama dengan terusiknya harga diri kebangsaan karena bertahun-tahun menjadi pusat pelecehan teritori. Spirit itu semakin berharga nilainya manakala pengambil keputusan di negeri ini tidak lagi berorientasi beli murni dalam setiap pengadaan alutsista. Langkah cerdas Pemerintah adalah berupaya mengembangkan industri Hankam di dalam negeri sembari mengambil nafas transfer teknologi dari negara sahabat yang bermurah hati, misalnya Cina dan Korea Selatan. Maka lihat saja geliat Pindad, PT DI dan PAL serta perusahaan swasta nasional seperti Lundin, Palindo, Koja Bahari dan lain-lain yang mendapat order trilyunan sekaligus memberikan lowongan dan ruang pekerjaan baru bagi ribuan sumber daya manusia di negeri ini.

Khusus untuk teritori udara jika nanti dan tak lama lagi kekuatan skuadron tempur kita sudah kedatangan berbagai jenis pesawat tempur dan menjadi kekuatan dengan 1 skuadron Sukhoi, 3 skuadron F16, 2 Skuadron F5E, 2 skuadron Hawk, 1 skuadron T-50, 1 skuadron Super Tucano, maka sebaran skuadron dan flight perlu dicermati sesuai kebutuhan dan gengsi teritori. Pekanbaru misalnya setelah diperkuat dengan 2 skuadron jet tempur Hawk dan F16, sangat diharapkan memunculkan 1 flight Hawk atau F16 secara bergantian di bumi Aceh. Ini yang disebut gengsi teritori disamping mengawal perbatasan karena di sebelah barat laut Sabang ada kekuatan besar yang mengintip, India. Gengsi teritori udara itu bisa menimbulkan kewibawaan negara di mata rakyat Aceh karena deru jet tempur sehari-hari di wilayah ujung NKRI itu akan mampu memberikan kesan dan pesan kebangsaan yang kuat, bahwa kita berada dalam lindungan payung kekuatan udara.

Sebagai contoh historis era akhir tahun 70an, ketika 1 flight jet tempur A4 Skyhawk di tempatkan di Lanud Polonia Medan, warga Medan dan Sumut merasa “tersanjung” dan bangga dengan kehadirannya yang setiap hari meraung dan melintas cepat disertai manuver lincah. Ini menjadi tontonan sekaligus memberi ruang kebanggaan akan apa yang disebut perlindungan udara dan gengsi teritori. Kehadiran jet tempur A4 Skyhawk di Medan selama beberapa tahun mampu memberikan nafas kelegaan karena sejatinya selama bertahun-tahun di seberang selat Malaka ada pangkalan Butterworth tempat berkumpulnya jet tempur FPDA pada waktu itu.

Maka tak salah juga jika di Biak yang sudah siap infrastruktur Lanud, Radar dan Paskhasnya ditempatkan 1 skuadron jet tempur, tak usah muluk-muluk dulu, jet tempur F5E sajalah. Dari jumlah 1 skuadron itu 1 flight jet tempur F5E bisa ditugas terbangkan di Merauke untuk kawal teritori udara yang berbatasan dengan Australia dan Papua Nugini. Raungan mesin jet tempur di wilayah Papua diyakini akan memberikan spirit berbangsa dan kebanggaan sebagai bagian dari kampanye militer untuk selalu dan setiap saat memberikan perlindungan udara di ujung timur wilayah NKRI. Kehadiran jet tempur dan raungannya di ruang udara mampu memberikan kebanggaan dan kesan yang bergetar lebih luas pada ruang dada dan kalbu setiap warga melebihi dari ketika melihat parade Tank, Panser atau Kapal Perang. Betul tak ?

Demikian juga dengan Kupang sebagai pintu terdepan yang berhadapan dengan Dili dan Darwin sangat perlu ditempatkan 1 flight F16 sebagai bagian dari skuadron F16 Madiun. Kehadiran F16 di Kupang diniscayakan mampu memberikan nilai kewibawaan pada halaman belakang rumah kita sekaligus mengingatkan tetangga akan pengawalan teritori NKRI di sudut itu. Seperti diketahui Darwin akan semakin ramai lalulintas militer laut dan udaranya sehubungan dengan penempatan Marinir AS disana, dan sejauh ini sangat layak kita menempatkan 1 flight F16 di NTT untuk kawal teritori udara.

Karena diprediksi kita akan mendapatkan 3 skuadron F16 maka selain Madiun dan Pekanbaru, wilayah lain yang pantas mendapatkan 1 skuadron F16 adalah Balikpapan yang dengan radius dan jarak tempuh F16 mampu mengawal perbatasan udara Kalimantan dan Sulawesi. Jika 1 flight di tempatkan di Tarakan maka perlindungan udara terhadap Ambalat akan semakin cepat respons dan kuat setara. Bagi warga masyarakat yang berada di lokasi pulau Tarakan, Bunyu, Nunukan dan Sebatik kehadiran jet tempur F16 di wilayah mereka mampu memberikan rasa bangga dan percaya diri sekaligus memupuk semangat kebangsaan.

Dengan sebaran jet tempur di lokasi yang tersebar itu termasuk di Natuna dengan 1 flight jet tempur Hawk dari Skuadron Supadio Pontianak maka secara defacto kita sudah mampu menghadirkan dan mengawal teritori udara secara penuh. Sehingga Sukhoi di Makassar tak usah ikut-ikutan patroli udara karena jet tempur kelas berat ini bukan untuk patroli udara melainkan gelut udara kelas berat dengan ongkos terbang yang lebih mahal. Tidak ada lagi ruang udara NKRI yang blank spot apalagi mata dan telinga yang bernama radar di Indonesia Timur sudah mampu mengcover wilayah pandang. Dan jika itu dilengkapi dengan kemampuan intersep maka lengkaplah sudah persyaratan sebuah perlindungan simkamling, ada mata untuk melihat, ada telinga untuk mendengar dan ada tangan untuk menindak.

Spirit beralutsista dalam pita kebangsaan memang harus terus digemakan di setiap wilayah NKRI utamanya wilayah perbatasan negara. Kita sedang berada dalam perjalanan itu. Perkuatan alutsista TNI bukanlah untuk mengancam tetangga melainkan untuk memberikan kekuatan rasa aman dan kewibawaan teritori. Selama ini alutsista TNI sangat jadul banget sehingga wajar jua kalau barang jadul itu diganti agar sesuai dengan perkembangan teknologi. Negara kita ini sangat luas, negara kepulauan terbesar di dunia sekaligus pemilik teritori pantai terpanjang kedua di dunia dan pemilik ruang udara sebesar benua Eropa. Sangat wajar dong jika RI memiliki militer dengan alutsista yang gahar karena rumah kami rumah yang besar, rumah gadang dengan sejuta pesonanya, dengan sumber alamnya yang melimpah. Belum lagi posisi ini jika dikaitkan dengan dinamika Laut Cina Selatan. Rumah yang besar itu sangat pantas dijaga herder karana tetangga kiri kanan pun sudah menyiapkan herder jauh-jauh hari sebelumnya dan kita tak protes tuh. Iya kan ?

****** Jagvane / 29 Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.