Sabtu, 01 September 2012

Diplomasi Pre Emptive Jangan Paksakan Kehendak

Kunjungan Menlu AS Hillary Clinton awal September 2012 ini ke Jakarta sangat diyakini membawa upaya pre emptive diplomasi AS sehubungan dengan gerak langkah Cina dari sisi militer dan diplomasi yang sangat mengkhawatirkan posisi AS. Hillary memulai kunjungannya tanggal 30 Agustus 2012 dari Cook Island, Timor Leste, Indonesia, Brunai, Cina dan Rusia selama 11 hari.  Di Vladivostok Rusia Clinton mewakili Presiden Obama dalam Konferensi Tingkat Tinggi APEC pekan pertama September 2012. Entah ada kaitannya atau tidak sebelumnya tanggal 10 Agustus 2012 Menlu Cina  Yang Jiechi sudah lebih dulu berkunjung ke Jakarta, tentu juga melakukan diplomasi pre emptive dan menjanjikan kepada seorang gadis manis bernama Indonesia.

Posisi Indonesia sangat jelas, tidak memiliki konflik dengan kawasan Laut Cina Selatan (LCS) tetapi kawasan ini bersinggungan dengan halaman depan rumah kita dan sekaligus menjadi jalan raya transportasi strategis dari dan ke Asia Timur. Klaim Cina atas seluruh pulau dan perairan LCS membenturkan dirinya pada sejumlah negara ASEAN yang sama-sama mengaku menjadi pemiliknya. Lalu kenapa AS menjadi sibuk dan ikut masuk pada wilayah benturan itu, padahal tak ada kaitannya dengan teritori dia.

Sibuknya AS “mengurus” Cina di LCS tidak sekedar berkaitan dengan konflik teritori. AS sejatinya haus dengan sumber daya energi tak terbarukan yang bernama minyak bumi dan gas walau testimoninya selalu mengaku hendak membendung pengaruh Cina. Bersamaan dengan itu sifat jagoannya muncul manakala Cina menargetkan bahwa pada tahun 2020 nanti militernya mulai berada dalam kriteria kekuatan regional yang disegani. AS tentu tak ingin kehilangan hegemoninya sebagai pemimpin klasemen liga kekuatan militer di Asia Pasifik dan dunia yang mampu memayungi Jepang dan Korsel.

Armada Kapal Perang RI pulang dari Latgab

Perkembangan terkini situasi dan kondisi maju ekonomi regional di masing-masing negara tentu tidak bisa dihindarkan. Kemajuan ekonomi Cina merupakan efek kejut dari pola sebuah negara raksasa non demokrasi yang diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi nomor satu di dunia beberapa tahun ke depan. Sejalan dengan itu Cina juga membangun kekuatan militernya secara terpadu menuju militer pre emptive di kawasan Asia Pasifik.

Prediksi kekuatan ekonomi dan militer Cina yang bakalan tak terbendung ini memberikan reaksi paranoid di mata AS sehingga ada kesan kepanikan psikologi militer. Lalu memindahkan kekuatan armada Mediteranean dan marinir ke Asia Pasifik sembari berupaya memperbanyak sekutu.

Merapatnya kekuatan militer besar di kawasan LCS dimana teritori Indonesia sebagai garis pantai terbesar dari arah selatan mengharuskan AS melakukan lobi intensif dan sedikit menekan kepada Indonesia. Jika terjadi konflik militer skala besar garis pantai dan teritori udara RI akan menjadi akses militer AS untuk memukul Cina dari arah selatan.  Sementara dari arah timur diprediksi armada VII AS berkonsentrasi menjaga Taiwan, Korsel dan Jepang. Artinya AS memang butuh sekutu tambahan sebagai pemilik teritori paling depan. Indonesia adalah pilihan satu-satunya dalam upaya mengurung Cina di LCS sehingga ini akan menutup akses militer dan ekonomi Cina ke selat Malaka, selat Sunda dan selat Lombok. 

Vietnam, Malaysia, Brunai, Filipina jelas berkonflik dengan Cina dan jika Indonesia berhasil masuk “aliansi” bersama AS dan Australia tentu sistem keroyokan yang dikenal sebagai pakemnya AS dalam menghajar lawannya menjadi sempurna dari sisi strategi militer. Dari sisi kekuatan militer dan cakupan wilayah tempur, gabungan militer AS, Australia, Singapura, Malaysia, Vietnam, Brunai dan Filipina diyakini mampu bersaing dengan Cina. Masalahnya adalah kedekatan Indonesia dan Cina yang terus dipupuk lewat kerjasama ekonomi dan pertahanan akan menjadi goncangan tersendiri karena posisi teritori dan pengaruhnya yang kuat di ASEAN bisa mementahkan semua prediksi dan asumsi yang dibangun AS.

Pendaratan pasukan marinir di Natuna

Diplomat Indonesia di Kemenlu dan intelijen militer tentu sudah paham dengan lagu dan langgam yang diperdengarkan AS. Kecerdasan diplomasi RI sudah teruji untuk memberikan argumen berwajah perspektif dengan menawarkan logika bersahabat pada semua negara. Tidak ingin memiliki musuh dan selalu berupaya mendekatkan kedua posisi yang berseberangan itu setidaknya akan memberikan ruang untuk mendinginkan temperatur. Di mata AS upaya mendekati RI dengan  membawa hibah berbayar 24 F16 batch 1 dan 10 F16 batch 2, lampu hijau pembelian 8 heli Apache dan rudal serang darat jarak jauh Maverick serta latihan militer bersama merupakan pintu masuk yang bergizi. Namun pemaksaan terhadap sebuah keinginan berdasarkan logika pergaulan yang disandang sekalipun membawa “kado” tidaklah pantas dikedepankan secara tersurat.

RI ingin semua persoalan sengketa berbaju apa pun sangat terhormat dijalankan melalui jalur diplomasi dan perundingan. Dan RI sudah melakukan itu misalnya menjadi arsitek perdamaian di Kamboja dan Filipina Selatan. Nah kalau jalur ini yang dilalui pertanyaannya adalah atas dasar apa AS ikut-ikutan berunding karena dia tidak berkonflik dengan teritori Cina yang dipersengketakan. Maka logika kita akan semakin jelas bahwa sejatinya AS ingin mendapat jatah sumber daya fosil di dasar LCS disamping agar hegemoni militernya di Asia Pasifik tetap bersinggasana. Dalam upaya menjaga hegemoni itu tentu dia tak ingin sendirian menanggung beban militer membendung pengaruh Cina. Dan salah satu upayanya tentu dengan merangkul RI agar ikut serta dalam pengaruhnya untuk kesetiakawanan.

Pesan untuk AS, bermain cantiklah terhadap republik ini karena atmosfer takdir tidak lagi mengharuskan pemaksaan kehendak dan merasa benar sendiri. Asia Pasifik adalah masa depan dunia. Cina bersama Jepang, Korsel, Taiwan dan Singapura sudah memberikan panduannya. Indonesia pun sudah diperhitungkan dunia dengan kekuatan ekonomi terbesar ke 16 di dunia dan terbesar di ASEAN. Pergaulan kawasan yang dibangun dengan semangat saling menghormati dan tak merasa arogan adalah posisi strategis yang menjadikan ASEAN tetap bergema meski beberapa anggotanya berselisih dengan Cina. Indonesia berperan besar dalam menciptakan posisi ASEAN yang harmonis. Kita meyakini dengan peran RI yang selalu mengedepankan diplomasi rendah hati namun ulet bisa membawa negara ASEAN yang bersengketa dengan Cina ke meja perundingan.

Batalyon Scorpion dalam sebuah Latgab TNI

Seandainya Cina mau berunding dengan ASEAN tentang masa depan LCS dan menemukan kata kuncinya, kondisi ini tentu akan memukul wajah AS sekaligus akan menjadikan Cina terhormat di mata ASEAN. Bukankah kemajuan ekonomi Cina dan ASEAN yang sudah didapat selama ini akan menjadi kesia-siaan jika terjadi konflik militer berskala besar. Tentu pemikir strategis di masing-masing negara yang bersengketa tidak ingin masuk di wilayah itu. Jadi ingat ketika upaya RI merukunkan faksi-faksi yang bertikai di Kamboja dengan melakukan Jakarta Informal Meeting (JIM) November 1988. Begitu alotnya mempersatukan ego keras masing-masing di Kamboja dan rasanya mustahil berdamai. Kubu Hun Sen didukung Vietnam dan Uni Sovyet sementara Heng Samrin didukung Cina.

Namun dengan kepiawaian diplomasi Menlu RI Ali Alatas kekerasan kedua kubu mencair dan akhirnya berdamai di Paris setahun kemudian.

Dengan contoh itu dalam lingkup yang lebih luas RI bisa melakukan langkah inisiatif untuk merundingkan kawasan LCS. Cina juga diharap tak kaku dengan langkah perundingan karena Indonesia sejatinya ingin kawasan regional ini menjadi kawasan yang sejuk dan damai. Tetapi kalau kekakuan Cina terus dipanggungkan maka ketika militer RI mulai bertaring tahun 2020 tak salah jua jika negeri ini merapat ke AS demi solidaritas ASEAN dan penyeimbang kawasan.

******
Jagvane / 31 Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.