Selasa, 04 September 2012

Pengakuan Sang Jagal

Tanpa tedeng aling-aling, Westerling mengakui bertanggungjawab atas eksekusi massal rakyat Sulawesi Selatan.

Raymond Pierre Paul Westerling, mantan Kapten KNIL, 1970. Sumber: www.gahetna.nl. Ilustrasi: MRP

OLEH: HENDRI F. ISNAENI

DALAM wawancara pada 1969, yang ditayangkan dalam acara “Altijd Wat” (Ada Saja) di televisi NCRV pada 14 Agustus 2012 pukul 21.10 waktu Belanda, Kapten Raymond Westerling mengakui tanpa ragu bertanggung jawab atas pembunuhan 3.500 –buku-buku sejarah di Indonesia menyebut sampai 40.000– rakyat Sulawesi Selatan dalam operasinya pada 1946-1947.

“Saya bertanggung jawab dan bukannya prajurit yang ada di bawah saya. Perbuatan itu adalah tindakan saya pribadi. Jumlah persisnya korban bisa dibaca pada laporan patroliku,” kata Westerling.

“Saya bertanggungjawab pada perbuatan saya, tapi orang harus dapat membedakan antara kejahatan perang dengan langkah tegas, konsekuen dan adil dalam keadaan yang sangat sulit,” Westerling menambahkan, “sadisme yang tersembunyi dalam diri orang lebih cepet mekar dalam keadaan perang ketimbang dalam situasi normal.”

Wawancara itu dilangsungkan tidak lama setelah Joop Hueting lewat harian De Volkskrant dan acara “Achter het Nieuws” di televisi VARA, membuka kejahatan perang di Hindia Belanda. Berita itu mengejutkan dan membuat banyak veteran marah. Sehingga, wartawan acara “Achter het Nieuws” sampai dikawal polisi karena diancam.

“Bersama juru kamera Hans van der Busken, wartawan Joep Buttinghausen tahun 1969 berhasil mewawancarai Westerling. Itulah penampilan Westerling pertama di televisi, tapi sayangnya tidak ada satu lembaga penyiaran Belanda yang berani menyiarkannya. Juru kamera tersebut selalu menyimpan film itu,” tulis Joss Wibisono, mengutip berita “Kapitein Westerling geeft in tv-interview wandaden op Zuid-Celebes toe,” di Volkskrant, 14 Agustus 2012.

Enampuluh enam tahun lalu, para pejuang di Sulawesi Selatan semakin giat mengganggu Belanda yang mengambil-alih keadaan setelah tentara Australia menyelesaikan tugasnya melucuti tentara Jepang pada Juli 1946. Panglima Teritorial Tentara Belanda untuk Borneo en de Groote Oost, Kolonel HJ de Vries menulis surat kepada Letnan Gubernur Jenderal Van Mook dan Letnan Jenderal Simon Spoor sebagai Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, untuk meminta bantuan. Kemudian dikirimlah Kapten Raymond Westerling sebagai komandan Depot Pasukan Khusus (Depot Speciale Troepen, DST), yang tiba di Makassar 5 Desember 1946. Seminggu kemudian, Jenderal Spoor menyatakan kawasan Sulawesi dalam keadaan darurat perang (Staat van Oorlog en Beleg, SOB).

Dalam Ensiklopedi Umum, AG Pringgodigdo menceritakan proses “pembersihan secara tandas” Kapten Westerling: “Berpuluh-puluh desa didatangi satu demi satu bersama pasukannya yang bersenjata lengkap. Penduduk desa laki-laki, perempuan, anak-anak tidak terkecuali dikumpulkan di lapangan terbuka di hadapan pasukannya dalam posisi siap menembak. Ditanyakan dimana gerilyawan-gerilyawan bersembunyi. Tidak seorang pun menjawab. Beberapa orang dipanggil ke muka. Pertanyaan diulang. Orang tetap bungkam. Sekejap kemudian peluru telah menembus benak mereka. Dimaksudkan agar orang-orang selebihnya ketakutan dan suka berbicara. Tidak pula keluar jawaban atas pertanyaan. Tembakan-tembakan menyusul yang diarahkan ke tengah-tengah kumpulan manusia yang tidak berdaya dan tidak berdosa itu. Desa berikutnya mendapat gilirannya. Kebuasan yang sama dijalankan. Demikian dilakukan selama tiga bulan mulai 11 Desember 1946. Kira-kira empatpuluh ribu manusia tak berdosa terbunuh karenanya.”

Jenderal Spoor kemudian memecat Westerling pada November 1948. Namun, pada 23 Januari 1950, Westerling dengan pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) berkekuatan sekira 523 orang, 300 diantaranya anggota KL (Koninklijk Leger, Tentara Kerajaan) kembali membuat onar dengan menyerang markas Divisi Siliwangi di Bandung. Aksi ini menewaskan lebih dari 79 tentara Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) dan banyak juga penduduk yang menjadi korban.

“Gerakan Kapten Westerling gagal karena tidak mendapat dukungan dari pimpinan tentara KNIL dan KL yang masih ada di Indonesia. Westerling jadi buronan,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Volume 1.

Dengan bantuan marine Belanda, sambung Rosihan, dia terbang ke lepas pantai Singapura, dan diturunkan di sana. Dengan perahu karet dia berkayuh ke Singapura. Pada 25 Februari tersiar berita Westerling telah berada di Singapura. Pada 2 Mei 1950 pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) mendesak pemerintah Inggris di Singapura untuk menyerahkan Westerling. Tapi, tidak diindahkan karena tidak ada perjanjian ekstradisi antara Inggris dengan RIS.

“Untuk menghindari segala sengketa dan kesulitan, pemerintah Inggris mengusir Westerling,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 2. “Westerling kemudian mengungsi ke Tangier, lalu ke Paris, dan baru pada 1952 muncul di Nederland (Belanda).”

Pihak Republik Indonesia menuntut pemerintah Belanda untuk menyerahkan Westerling, namun Mahkamah Tinggi Belanda menolaknya dengan alasan Westerling adalah seorang warga negara Belanda. “Ia akan diadili di Belanda atas tuduhan melarikan diri dari tugas militer, pembunuhan, dan perkosaan,” tulis Slamet Muljana.

Hans Van Mierlo, pemimpin Partai Demokrat D66 kemudian jadi Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri, pernah mengusulkan supaya dibentuk pansus parlemen dan kalau terbukti ada kejahatan perang dalam skala besar, maka pelakunya harus diadili, seperti yang Belanda tuntut dari Jerman. “Saya bener-benar setujuh sama Hans Van Mierlo. Kalau benar-benar sudah terjadi kejahatan perang maka saya adalah orang pertama yang menyambut gembira pansus parlemen,” kata Westerling dalam wawancara itu, seperti dikutip Joss Wibisono.

“Kalau anda sendiri harus diadili, anda juga mau?” tanya Joep Buttinghausen. “Tentu saja. Karena saya selalu berangkat dari pendirian macam itu, kalau kita mau dunia ini baik, maka harus dimulai dari diri sendiri,” jawab Westerling dengan bijak.

Mengomentari perkataan Westerling itu, Willem IJzereef, sejarawan yang meneliti Westerling mengatakan, “Omongan seperti itu kedengarannya wah, kan? Dia berani bicara seperti itu karena dia tahu bahwa dirinya tidak akan diadili. Pemerintah dan dewan menteri sudah tidak mau membuka lagi perkara dia. Jelas dia merasa aman, makanya keluar omongan seperti itu,” kata IJzereef.

Benar saja, hingga akhir hayatnya 26 November 1987, pemerintah Belanda tidak pernah mengadili Westerling. “Dari awal pemerintah Belanda sudah membuat perkecualian untuk perbuatan Westerling,” tegas IJzereef.

Meski demikian, menurut advokat Liesbeth Zegveld, Westerling yang tanpa ragu mengakui eksekusi itu sangat penting bagi gugatan ganti rugi para korban Sulawesi Selatan. “Ini barang bukti utama, jadi sangat menarik secara yuridis,” kata Liesbeth Zegveld, yang berhasil menggugat pemerintah Belanda untuk membayar ganti rugi kepada korban pembataian Rawagede, Karawang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.