Sabtu, 06 Oktober 2012

Forced Down Cessna C-208 Antara Keramahan vs Kelemahan

Marsekal Pertama (Marsma) TNI Yadi Indrayadi
Asisten Deputi Koordinasi Strategi Politik Luar Negeri Kemenko Polhukam RI


http://us.media.viva.co.id/thumbs2/2012/10/02/173604_tni-au-paksa-pesawat-cessna-as-mendarat_209_157.JPG
Penyergapan dan pemaksaan mendarat (forced down) dilakukan pesawat buser TNI AU, Sukhoi 27/30, terhadap pesawat asing tidak berizin, Cessna C-208, Minggu, 30 September 2012 lalu, menunjukkan profesionalisme tinggi dari garda angkasa kita, Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas).

Namun, di sisi lain, usai proses pemaksaan mendarat, penahanan, dan interogasi dilakukan Koopsau di Lanud Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), memberikan kesan keramahan kita terhadap pelanggar atau kelemahan mekanisme penegakan hukum di udara.

Apa indikasinya? Mari kita simak bagian akhir artikel dikeluarkan Dispenau berikut ini: "...untuk mengetahui motif dan kemungkinan ada pelanggaran serius, maka penerbangan terpaksa dihentikan sambil menunggu perusahaan terkait membereskan administrasi perizinan penerbangan."

Kalimat tersebut mengandung beberapa makna antara lain: 1. Ada klasifikasi atau derajat pelanggaran: serius, kurang serius, atau mungkin juga tidak serius. Bila demikian, logikanya, tiap derajat pelanggaran akan ditangani dengan prosedur berbeda pula.

Berikutnya, 2, setelah mendapat izin penerbangan, maka penerbangan akan dilanjutkan. Lalu, 3, belum diketahui apa akan dilakukan selanjutnya, jika pelanggaran itu termasuk pelanggaran serius.

Pengalaman menunjukkan, hampir semua bentuk pelanggaran seperti itu (tanpa izin), penanganannya tidak pernah sampai pada proses peradilan.

Sering dilakukan adalah penerbitan diplomatic complain kepada negara asal pelanggar tersebut.

Lebih ringan lagi dengan menyuruh pihak penanggung jawab untuk mengurus perizinan sebelum dilepas melanjutkan misinya.

Satu dari beberapa faktor utama penyebabnya adalah dasar hukum yang belum kuat, sehingga prosedur penanganan pasca forced down, sebagai upaya derivasi dari dasar hukum tersebut, belum sempurna.

Tidak seperti TNI AL, di dalam UU No 34 tahun 2004, TNI AU tidak diberi kewenangan untuk menyidik. Dengan demikian, maka Lanud-lanud sebagai pelaksana di lapangan hanya berwenang hingga tingkat penyelidikan saja.

Menurut ketentuan yang ada saat ini, setelah proses penyelidikan dilakukan Lanud, kasus itu diserahkan kepada polisi setempat guna proses penyidikannya.

Namun, hingga kini, proses itu belum pernah terjadi. Tentunya peradilan pun belum pernah terwujud.

Absennya proses peradilan terhadap pelanggaran udara yang kerap terjadi di wilayah NKRI, di satu sisi memberikan kesan keramahan atau tingginya sikap toleran Bangsa Indonesia terhadap suatu pelanggaran wilayah udara NKRI, namun di sisi lain mengesankan kelemahan.

Oleh karena itu, untuk memperkuat mekanisme penegakan hukum di udara wilayah NKRI, perlu dilakukan serangkaian upaya dimulai dengan pemberian kewenangan kepada TNI AU sebagai penyidik, khususnya berkaitan dengan pelanggaran wilayah.

Bila kewenangan ini sudah diberikan, maka TNI AU akan menindaklanjutinya dengan penyiapan personel dan segenap perangkatnya, secara alami, akan diikuti pihak-pihak terkait lainnya.

Untuk itu, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) adalah kementerian lebih pas memulainya sebagai koordinator kementerian atau lembaga terkait dengan perihal ini. Mari kita tunggu tanggal mainnya.
© Tribunnes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.