Selasa, 09 Oktober 2012

Lebih Jauh Tentang Foreign Military Sales (FMS): Cukup baikkah untuk indonesia? (Bagian 3 Selesai)

Oleh: Mayor Tek Jon Keneddy Ginting, MMgtStud, qtc
(Dewan Penasehat Lembaga Kajian Pertahanan untuk Kedaulatan NKRI “KERIS”)




Biaya Dalam FMS
  • Dalam melaksanakan kebijakan luar negerinya, khususnya mekanisme FMS, filosofi dasar dari perspektif Pemerintah AS adalah: “By policy, US Government can’t make money. By rule, US Government can’t lose money.” Ini menjadi norma dasar pembiayaan FMS dalam prosesnya, dan menjadi asas fundamental yang mendasari perhitungan biaya yang kelak harus dibayarkan oleh negara pembeli. Secara ringkas, filosofi ini dikenal dengan konsep “no-loss” (secara legislatif) dan kebijakan “no-gain” (secara administratif).

  • Setiap LOA dalam konteksnya sebagai “kontrak” antara Pemerintah AS dengan pemerintah negara pembeli, selalu mencantumkan besaran biaya yang dikenakan untuk tiap case FMS (dalam hal ini tiap kontrak). Nilai nominal yang tercantum meliputi: estimated cost (perkiraan besarnya biaya kontrak); initial deposit (pembayaran awal—semacam uang muka/down-payment); unit cost dan total cost tiap item; packing, crating and handling; administrative charge; dan transportation cost. Selain itu, dalam LOA juga diuraikan jadwal pembayaran perkiraan (estimated payment schedule) yang berbasis “quarter” (per tiga bulan).
Aliran Dana FMS
  • Pemerintah negara pembeli melakukan pembayaran berdasarkan nilai initial deposit dan payment schedule yang tercantum dalam LOA. Bila program atau case tersebut berada di bawah pembiayaan Pemerintah AS, maka pembayaran akan dilakukan Pemerintah AS sendiri melalui Foreign Military Financing (FMF) Program. Selain itu, Pemerintah AS juga bisa memberikan kredit (pinjaman lunak/soft loan atau dana hibah) untuk membiayai case FMS (dengan perjanjian tersendiri). Dalam mekanismenya, Pemerintah AS terlebih dahulu akan memberikan surat tagihan (FMS Billing Statement) mengacu pada format DD Form 645, dan pemerintah pembeli mempunyai waktu 60 hari untuk menyelesaikan kewajiban membayar sesuai tagihan tersebut.

  • Pembayaran oleh pemerintah negara pembeli dapat dilakukan melalui dua jalur:

    • langsung ke dana perwalian (Trust Fund), yang dapat dilakukan dengan wire transfer atau check setiap tiga bulan sesuai payment schedule. Dana yang dikirim pemerintah pembeli ke Trust Fund disimpan dalam sebuah akun atas nama negara yang bersangkutan. Sifat dari akun dalam Trust Fund ini adalah zero-interest (tidak berbunga), namun relatif lebih aman karena dijamin oleh Pemerintah AS dari gejolak apapun yang terjadi dalam dunia moneter nasional maupun internasional.

    • melalui Interest Bearing Accounts (IBA)[1], baik di Federal Reserve Bank New York (FRB NY) atau bank komersial lainnya. Pembukaan akun di FRB NY harus melalui persetujuan antara Dephan/Kemhan negara pembeli, bank sentral negara pembeli, DSCA, dan FRB NY sendiri. Sedangkan untuk membuka akun di bank komersial, harus ada dua persetujuan terpisah antara pemerintah negara pembeli dengan bank yang bersangkutan, serta antara pemerintah negara pembeli dengan DSCA. Akun dalam IBA mendapatkan bunga, namun tentu saja rentan terhadap gejolak finansial/moneter yang dapat terjadi sewaktu-waktu[2]. Dana yang dikirim melalui IBA akan ditarik setiap bulan oleh Defense Financial and Accounting Service-Indianapolis Center (DFAS-IN)[3] untuk dimasukkan dalam akun FMS negara bersangkutan di Trust Fund.
  • Di internal DOD, dana yang telah dibayarkan tersebut akan berimplikasi pada implementasi case FMS yang bersangkutan, dengan diajukannya Obligation Authority (OA) dan Expenditure Authority (EA) dari IA kepada DFAS-IN. OA adalah kewenangan finansial bagi IA untuk mengimplementasikan FMS dalam batas/marjin yang sesuai dengan dan tidak melebihi dana yang telah dibayarkan. Yang dimaksud ‘obligation‘ di sini mengacu pada upaya pemesanan yang diajukan (baik kepada pabrikan atau internal DOD-bila barang bersumber dari stok), jasa yang diberikan dan sebagainya.

  • Kewenangan IA yang lain adalah EA, yang merupakan karakterisitik unik dalam akuntansi FMS. ‘Expenditure‘ sebagaimana harfiahnya mengacu pada ‘pembayaran’ atau ‘pengeluaran’, baik berupa reimbursement kepada IA (bila barang dipenuhi dari stok DOD) maupun berupa direct cite kepada kontraktor/pabrikan (bila barang dipenuhi dengan procurement). Oleh karenanya, EA baru dapat diimplementasikan bila dana dari negara pembeli telah dimasukkan dalam akun di Trust Fund.
Secara grafis aliran dana dalam pembiayaan FMS adalah sebagai berikut:

Elemen-elemen Harga Dalam FMS
Salah satu hal menarik dari FMS adalah mengenai “biaya” atau “harga” yang harus dibayar oleh negara pembeli. Pada dasarnya, biaya FMS terdiri atas dua bagian besar yaitu:
  • Base Price. Harga dasar adalah harga produk yang ditawarkan dalam LOA, baik itu berupa barang, jasa, maupun pelatihan. Untuk pelatihan, DOD menetapkan lima kategori (rate) mulai dari A untuk negara-negara non-NATO sampai dengan E untuk IMET[4]. Untuk jasa personel (engineering services, technical services dan sebagainya) ditetapkan standar biaya seperti yang dikeluarkan Pemerintah AS untuk membiayai personel tersebut sesuai tugas, kualifikasi, jarak perjalanan serta standar akomodasinya[5]. Untuk secondary items atau non-major inventory yang diambil dari stok DOD, harga yang ditetapkan adalah harga beli barang tersebut (saat dibeli oleh DOD) ditambah biaya pemeliharaan selama item tersebut menjadi inventaris DOD.

  • Authorized Charges.Authorized charges” adalah biaya-biaya di luar harga dasar produk, namun berdampak langsung pada pemenuhan produk yang dikontrakkan dalam LOA. Biaya-biaya ini ada yang dimasukkan dalam harga produk (item-price incorporated), ada pula yang berada di ruang tersendiri (standalone) dalam LOA. Rinciannya adalah sebagai berikut:
  • Incorporated to item price:
  • Nonrecurring cost (NC). Ini berlaku untuk major defense equipment, yaitu produk-produk yang biaya R&D-nya mencapai lebih dari atau sama dengan USD 50 juta, atau yang total biaya produksinya mencapai lebih dari atau sama dengan USD 200 juta. Besaran NC diatur dalam DODD 2140.2 dan Security Assistance Management Manual (SAMM) appendix 1. Negara pembeli dapat menegosiasikan pengurangan NC (waiver) dengan Pemerintah AS.

  • Contract Administration Services (CAS). Biaya ini meliputi seluruh pengeluaran untuk memenuhi kontrak secara khusus, yang meliputi: quality assurance and inspection (0.65% dari nilai kontrak), contract administration/management (0.65%), contract audits (0.2%), dan overseas CAS (0.2%). Ketentuan yang mengatur ini adalah SAMM Chapter 9 dan FMR Chapter 7.
  • Standalone. Biaya yang berdiri sendiri dalam LOA meliputi:
  • Administrative charges. Biaya administratif ini dalam case FMS yang umum adalah sebesar 3.8% dari nilai kontrak (berlaku sejak 2006). Khusus untuk case yang benilai kurang dari atau sama dengan USD 400,000, ditetapkan biaya administratif sebesar USD 15,000[6].

  • Packing, Crating and Handling (PC&H) costs. Biaya PC&H adalah biaya untuk tenaga manusia (labor), materiil maupun jasa dalam penyaluran produk dari gudang penyimpanan, penyiapan untuk pengapalan (shipment), dan pemrosesan dokumen. Besaran yang dikenakan adalah 3.5% untuk USD 50,000 pertama dari harga satuan ditambah 1% dari kelebihan harga satuan tersebut. Harap dicatat bahwa biaya PC&H hanya berlaku untuk produk yang dipenuhi dari stok DOD, dan tidak berlaku untuk pemenuhan produk dari procurement (SAMM Chapter 9 dan FMR Chapter 7).

  • Transportation costs. Biaya transportasi dikenakan untuk jasa pengiriman di bawah Defense Transportation System (DTS) baik menggunakan moda transportasi (mobil, pesawat atau kapal) milik DOD maupun non-DOD. Biaya ini tidak diberlakukan bila barang langsung diambil pembeli dari tempat asalnya (pabrikan, atau gudang DOD). Selain itu, biaya ini berlaku untuk USD 10,000 pertama dari harga satuan, dan ¼ dari persentase yang diberlakukan untuk kelebihan harga satuan tersebut. Persentase biaya ini sendiri bergantung ke mana produk tersebut akan dikirim sesuai permintaan pembeli dalam LOA Delivery Term Code/DTC (apakah hanya sampai pelabuhan keluar di wilayah AS, atau sampai ke pelabuhan masuk di wilayah pembeli, atau hingga ke tempat penyimpanan pembeli).

Tagihan Pembayaran (FMS Billing)
  • Sesuai dengan apa yang tertera dalam LOA, negara pembeli wajib membayarkan initial deposit untuk menutup semua pengeluaran sejak tanggal case FMS diimplementasikan sampai dengan batas waktu pembayaran per tiga bulan (quarterly payment) pertama. Pembayaran per tiga bulan ini didahului dengan surat tagihan (billing statement) dari DFAS-IN, umumnya dua bulan sebelum batas waktu pembayaran (payment due date). Setelah dibayarkan, dana tersebut akan digunakan untuk membiayai pengeluaran tiga bulan berikutnya. Tabulasi tagihan dan pembayaran dapat digambarkan sebagai berikut:
Periode/Kuartal Sebelumnya
Proyeksi Tanggal Pengiriman Tagihan
Batas Waktu Pembayaran ke DFAS-IN
Proyeksi Kuartal Penggunaan Dana
Januari-Maret
April-Juni
Juli-September
Oktober-Desember
15 April
15 Juli
15 Oktober
15 Januari
15 Juni
15 September
15 Desember
15 Maret
Juli-September
Oktober-Desember
Januari-Maret
April-Juni
  • Penentuan kuartal pembayaran paling awal dalam payment schedule diambil berdasarkan batas masa berlaku LOA (LOA expiration date). Sebagai contoh: bila masa berlaku LOA habis di antara tanggal 11 September s.d. 10 Desember, maka initial deposit akan digunakan untuk menutup biaya FMS sejak tanggal ditandatanganinya/disetujuinya LOA hingga 31 Maret. Karena itu, pembayaran per kuartal pertama akan ditagihkan paling lambat tanggal 15 Januari, dan pembayarannya harus dilakukan paling lambat tanggal 15 Maret untuk menutup biaya FMS periode April-Juni. Demikian seterusnya hingga seluruh materiil kontrak terpenuhi, dan case tersebut ditutup.

Tinjauan FMS Dari Perspektif Indonesia
  • Setelah uraian mengenai latar belakang, proses serta mekanisme pembayaran FMS di atas, saatnya untuk meninjau FMS dari perspektif Indonesia secara komprehensif. Hal ini perlu dilakukan mengingat saat ini (dan mungkin hingga beberapa dekade ke depan) keterlibatan Indonesia dalam FMS masih cukup besar (dan AS selalu menyatakan bahwa “Indonesia adalah mitra strategis AS di Asia”), namun Pemerintah RI di sisi lain masih harus berhadapan dengan keterbatasan anggaran pertahanan sehingga pemanfaatan anggaran secara bijak (tepat sasaran, menghasilkan nilai tambah dan berdaya guna) harus terus menerus dilakukan.

  • Tinjauan terhadap FMS dapat dilakukan dari beberapa aspek fundamental, antara lain:
  • Politik. Sebagaimana telah disampaikan terdahulu, FMS merupakan bagian dari program kerjasama internasional AS di bidang pertahanan, dan subsistem dari portofolio kebijakan luar negeri AS. Norma hakiki dari kebijakan luar negeri negara manapun selalu bermuara pada “kepentingan nasional”, termasuk apa yang dilakukan AS melalui FMS. Artinya, apapun ide, konsep serta filosofi yuridis formal Pemerintah AS, FMS tetap merupakan salah satu upaya Pemerintah AS mewujudkan kepentingan nasional negaranya. Ini bukan sesuatu yang salah karena siapapun akan melakukan hal yang sama. Pemerintah RI yang harus cermat membaca hal ini. There’s no such thing as a free lunch. Indonesia juga memiliki kepentingan nasionalnya sendiri melalui kebijakan luar negerinya, dan inilah yang harus bisa diperjuangkan semaksimal mungkin dalam setiap kontrak FMS.
  • Ekonomi. Dari perspektif ekonomi, ada beberapa tinjauan yang dapat dilakukan:
  • FMS bukan impelementasi bisnis murni antara ‘penjual’ dengan ‘pembeli’. Dalam bisnis murni, selama pembeli menyerahkan sejumlah uang dan menerima sejumlah barang yang sepadan dengan nilai uang itu dari penjual, maka pembeli bebas melakukan apa saja dengan barang tersebut karena pembeli merupakan pemilik barang. Tidak demikian dengan FMS (seperti diuraikan di bagian 1 tentang legislasi dan kebijakan AS dalam FMS). Pembeli tetap terikat dengan sejumlah ketentuan yang membatasinya dalam menggunakan setiap item yang dibeli melalui FMS, termasuk memberikan ijin kepada otoritas AS dalam melakukan end use monitoring[7].

  • Secara kualitas, produk FMS dapat dijamin “kelas satu”. Ini mengingat semua produk FMS harus melalui standar yang sama dengan apabila produk tersebut dijual kepada US DOD sendiri. Artinya, dapat dikatakan bahwa tidak ada istilah “membeli kucing dalam karung” pada proses FMS[8], dan sepintas terlihat bahwa segalanya memenuhi asas “value for money“. Namun demikian, seperti diulas pada poin 1), ada satu hal yang tidak dapat diperoleh dengan uang yang dibayarkan dalam FMS, yaitu freedom of use (kebebasan dalam penggunaan). Siapapun layak untuk mempertanyakan ini: sepadankah semuanya dengan sekian ratus ribu atau juta USD yang telah dikeluarkan?

  • Selain FMS, ada bentuk akuisisi yang lain dalam kerangka “G-to-G” dengan AS, yaitu Direct Commercial Sales (DCS). Dalam hal ini, Pemerintah RI langsung berkontrak dengan industri AS, dan Pemerintah AS hanya terlibat dalam penerbitan export license (EL) kepada industri yang bersangkutan. Dari sisi waktu pemenuhan materiil kontrak, DCS umumnya lebih cepat. Namun demikian, terdapat opsi berikutnya berupa mekanisme hybrid antara FMS dan DCS, yang tentu saja harus didahului dengan perhitungan soal waktu dan nilai ekonomis (mana yang dipesan melalui FMS, mana yang melalui DCS)[9].
  • Pertahanan. Dari aspek pertahanan, beberapa trade-off studies juga layak diangkat:
  • Dari perspektif pembangunan kekuatan, khususnya untuk non-major items atau non-major defense equipment (non-MDE), FMS menawarkan solusi yang cukup menjanjikan. Untuk item-item ini, rentang waktu realisasi kontrak (LOA) relatif pendek dan Indonesia dapat menerima barang yang dipesan secara cepat, karena Pemerintah AS dapat langsung merespon dari stok DOD (tentu saja selama pembayaran telah dilaksanakan). Namun untuk MDE, Indonesia harus memperhitungkan dengan cermat soal lead time ini, hingga tetap selaras dengan rencana strategis pembangunan kekuatan pertahanan[10]. Untuk MDE, sangat kecil kemungkinan Pemerintah AS akan merealisasikan FMS dari stok DOD, melainkan akan mengkontrakkan materiil tersebut kepada pabrikan sehingga delivery time akan lebih lama.

  • Masih dari perspektif pembangunan kekuatan, mekanisme ‘grant‘ atau hibah juga harus disikapi Pemerintah RI secara arif. Hibah selalu berfilosofi “as is where is” atau apa adanya. Yang pasti, produk hibah adalah materiil-materiil yang sudah tidak digunakan lagi oleh DOD (excess defense articles atau EDA). Pertanyaan yang layak dikemukakan adalah: mengapa mereka tidak digunakan lagi? Ada beberapa kemungkinan antara lain:
    • teknologi materiil tersebut sudah dinilai outdated, dan sudah tergantikan dengan produk baru yang lebih modern;
    • materiil tersebut dipandang tidak ekonomis untuk dipelihara dan dioperasikan;
    • materiil tersebut dipandang tidak mampu menjawab kebutuhan tempur/pertahanan baik di tingkat strategis maupun taktis.
    Pada saat materiil-materiil ini dinon-aktifkan dari DOD, apakah kondisinya masih seperti kondisi terakhir mereka (yang masih operasional tetap bisa dioperasikan, peralatan pendukungnya masih lengkap, dan sebagainya)? Pada saat menuju disposal site, apakah kondisi fisiknya masih standar? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan beberapa bahan untuk mengkalkulasi biaya yang kelak harus dikeluarkan Indonesia untuk membangun kembali materiil tersebut hingga kondisi siap pakai. Kita juga tidak perlu naif terhadap kemungkinan bahwa ada sebagian kelengkapan dari materiil tersebut yang diambil dan digunakan oleh AS untuk kepentingan yang lain (disimpan sebagai stok atau dipasang di alutsista lainnya), sehingga kita harus membeli baru item tersebut untuk melengkapi sesuai standar.

  • Dari perspektif doktrin pertahanan, Indonesia juga harus menjamin adanya kesamaan persepsi dengan Pemerintah AS (DOD) tentang beberapa kata kunci seperti “pertahanan nasional” (national defense), “bela diri” (self-defense), “penyerangan” (offensive), “angkatan bersenjata” (armed force) dan “HAM” (human rights). Itu adalah beberapa kata kunci yang dapat menjadi penghalang (barrier) bagi Indonesia untuk menggunakan produk-produk AS dalam upaya mempertahankan kedaulatannya sendiri. Kedaulatan yurisdiksi bukan semata-mata persoalan menghadapi musuh eksternal, karena kedaulatan dan keutuhan yurisdiksi negara juga bisa tergerogoti oleh internal negara yang bersangkutan. Separatisme bersenjata misalnya, bukankah itu upaya untuk menggerus kedaulatan dan menghilangkan sebagian wilayah yurisdiksi NKRI? Bila itu terjadi, bolehkah TNI menggunakan kapal, pesawat tempur, atau senapan buatan AS?[11] By rule, the answer is NO. Contoh lain, bila ada penyusupan udara oleh pesawat militer asing yang merupakan produk AS (seperti kasus Bawean tahun 2003), bisakah TNI menyergap dan menyerang pesawat tersebut dengan pesawat tempur yang juga produk AS? Sepakatkah AS dengan RI bahwa itu adalah pelanggaran kedaulatan dan RI hanya melakukan “self-defense“? Bila tidak, lalu untuk apa sekian ratus juta USD kita keluarkan bila kedaulatan kita tetap terancam dan tidak bisa kita tegakkan? Lebih jauh lagi, berguna atau cukup efektifkah produk-produk AS itu untuk mengaplikasikan doktrin pertahanan Indonesia (termasuk Operasi Militer Selain Perang/OMSP) secara riil?

Penutup
  1. Kesimpulan. Dari uraian dalam tiga bagian mengenai FMS ini, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil:
    1. FMS adalah bagian dari sebuah konsep besar kebijakan luar negeri AS, yang berimplikasi pada muatan-muatan politis di samping norma-norma ekonomi (untung-rugi) di dalamnya. Hal ini sangat jelas terlihat dari berbagai legislasi dan platform kebijakan Pemerintah AS terkait kerjasama (pertahanan) internasional, termasuk FMS.
    2. FMS meliputi serangkaian proses yang dimulai dari identifikasi kebutuhan (preliminary) hingga implementasi. Negara pembeli dan penjual (AS) memiliki batas-batas tanggung jawab/kewajiban serta hak yang tegas yang dituangkan dalam LOA.
    3. FMS bukan solusi untuk semua persoalan pengadaan alutsista atau suku cadang Indonesia (one size fits all), melainkan hanya salah satu opsi yang dalam hal tertentu memiliki keuntungan (terutama dalam hal kualitas produk), namun untuk hal yang lain wajib diperhitungkan dengan cermat implikasinya terhadap kelangsungan pertahanan Indonesia (lead time dan keselarasan dengan doktrin).
  2. Apapun kerangkanya, kerjasama internasional dalam bidang pertahanan memiliki banyak nilai positif bagi Indonesia. Selain memenuhi berbagai kekurangan yang dimiliki Indonesia (alutsista, pembinaan SDM, pengembangan doktrin), kerjasama internasional adalah sarana memperkokoh diplomasi Indonesia di forum dunia. Namun demikian, filosofi ini hendaknya tidak merupakan pembenaran untuk mengabaikan berbagai potensi dasar yang dimiliki Indonesia guna mewujudkan kemandirian. Bagaimanapun, berdiri di atas kaki sendiri serta bebas dari ketergantungan kepada negara lain tetap merupakan norma terbaik. Oleh karenanya, kebijakan nasional dalam hal revitalisasi industri dalam negeri diharapkan dapat dijabarkan secara lebih luas dan multidimensional, dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan. Industri nasional merupakan aset bangsa, dan negara bertanggungjawab dalam memeliharanya. Selain injeksi dana segar untuk menjamin cash flow industri-industri tersebut, perlu campur tangan yang lebih jauh dari Pemerintah RI untuk menata industri agar lebih mampu bersaing dengan professional conduct yang tinggi. Juga, Pemerintah RI diharapkan dapat menjadi “garda depan” dalam menjual kemampuan industri-industri ini kepada dunia, yang berarti harus ada portofolio khusus baik dari Kementerian (Luar Negeri, Pertahanan, Perdagangan dan BUMN) serta lembaga negara lainnya dalam memasarkan kemampuan bangsa ini. Lebih jauh lagi, komitmen penggunaan produk (pertahanan) dalam negeri juga perlu berimplikasi yuridis formal serta mengikat, sehingga tidak terkesan “setengah hati”.
Referensi:
  1. Tidak berlaku untuk Program FMF.
  2. Inilah sebabnya, dari 13 ribu lebih case FMS yang ada saat ini, hanya 35 case yang pembayarannya melalui IBA. Selebihnya dilakukan langsung ke Trust Fund.
  3. Dalam FMS, DFAS-IN adalah badan yang berwenang dalam setiap transaksi finansial, termasuk dalam penerbitan Billing Statement kepada pembeli (setiap tiga bulan).
  4. Kebijakan ini berimplikasi pada berbedanya biaya pelatihan dalam kerangka FMS untuk tiap negara, sekalipun paket pelatihan yang diberikan sama.
  5. Inilah sebabnya perbantuan personel AS dalam rangka FMS pembiayaannya ditagihkan kepada negara pembeli. Pembiayaan ini mengacu pada Financial Management Regulation (FMR) Chapter 7.
  6. Ini dikenal sebagai Small Case Management Line.
  7. End Use Monitoring (EUM) Program adalah kegiatan-kegiatan verifikatif oleh Pemerintah AS dalam menjamin bahwa seluruh produk AS yang telah berada di tangan pembeli digunakan sesuai dengan legislasi dan kebijakan Pemerintah AS (termasuk tidak digunakan untuk kegiatan ofensif, tidak diduplikasi tanpa ijin AS, dan tidak dipindahtangankan kepada pihak lain tanpa ijin AS).
  8. Kalaupun terdapat kelainan/malafungsi/cacat, pembeli dapat mengajukan klaim garansi berupa Supply Discrepancy Report (SDR) dalam rentang satu tahun sejak barang diserahkan.
  9. Contoh praktis adalah akuisisi Boeing 737 AEW&C “Wedgetail” oleh Australia. Pesawatnya dibeli dengan FMS, sementara kelengkapan AEW&C-nya diakuisisi dengan DCS.
  10. Pemerintah RI dapat belajar dari case FMS pada akuisisi JSF F-35 Lightning II oleh Australia, yang mengalami keterlambatan dalam delivery saat Australia sudah terlanjur mempensiunkan F-111, yang berimbas pembelian F/A-18E/F Super Hornet sebagai ‘bridging capability‘ yang penuh polemik.
  11. Pemerintah RI dapat belajar pada larangan Pemerintah Inggris dalam penggunaan pesawat Hawk 109/209 dalam Darurat Militer di NAD tahun 2003.
© Lembaga Keris

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.