Selasa, 30 Oktober 2012

Pasokan Energi dan Kekuatan Maritim

Hermawan Agustiawan
Anggota Dewan Energi Nasional (2009-2013)
KOMPAS, 17 Oktober 2012
 


Sejarah membuktikan, sejak krisis minyak 1973 di negara-negara Barat, energi menjadi komoditas yang mampu memicu suhu politik dan keamanan dunia.

Dengan pergeseran kekuatan ekonomi dunia dari Barat ke Timur, peran Indonesia di Asia Pasifik sebagai tempat berinvestasi jadi sangat menarik. Sumber daya alam dan energi yang relatif banyak, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia menjadi faktor-faktor pendukungnya.

Keunggulan komparatif ini tak bisa maksimal manfaatnya jika infrastruktur dan pasokan energi belum memadai. Sementara lokasi dan kondisi geografi Indonesia yang rentan ancaman keamanan dan bencana, penanganannya pun terkait erat pemenuhan energi domestik.


 Kekuatan Maritim
 

Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai kedua terpanjang di dunia, dan tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI: PP No 37/2002), ancaman terhadap keamanan maritim Indonesia cukup banyak dan beragam. Ancaman bisa dari dalam dan luar, seperti perompakan, terorisme, penyelundupan, pencurian ikan dan kekayaan laut lainnya.


Salah satu tolok ukur dari kekuatan maritim Indonesia adalah penguasaan terhadap ALKI I (Selat Malaka-Karimata-Sunda), ALKI II (Selat Makassar-Lombok), dan ALKI III (Selat Leti- Ombai). Setiap tahun, Selat Malaka dilalui 60.000 lebih kapal, mengangkut seperempat perdagangan dunia. Selat ini juga dilalui muatan strategis berupa 15 juta barrel minyak per hari, memasok energi ke negara-negara maju Asia Timur seperti China, Korea Selatan, dan Jepang.


Karena perannya yang strategis, keberadaan ALKI dapat dijadikan bargaining chip dalam diplomasi. Ini bisa terwujud jika didukung kekuatan maritim yang tangguh. Namun, di kawasan Asia Tenggara sendiri masih ada perbedaan cara pandang terkait keamanan maritim bersama. Indonesia dan Malaysia menolak kehadiran kekuatan asing menjaga Selat Malaka, sedangkan Singapura mengharapkan Jepang atau Amerika ikut campur dalam penanganan keamanan selat ini.


Ada dugaan, jika suhu geopolitik di kawasan Asia Tenggara memanas, Selat Malaka berpeluang jadi ajang kekuatan negara- negara besar. Artinya, peningkatan kekuatan maritim di ketiga ALKI merupakan unavoidable destiny. Hal ini mengingat pada masa lampau pengembangan TNI belum sepenuhnya untuk kekuatan maritim.


Menurut ICC International Maritime Bureau (2012), jumlah pembajakan, termasuk percobaan, di Asia Tenggara terus meningkat, terutama di perairan Indonesia, yaitu 21 pada 2011 dan 32 pada 2012. Ke depan, peluang ancaman terorisme terhadap tanker BBM dan LNG/LPG di kawasan Selat Malaka masih terbuka, baik dengan cara memasang bom di kapal atau langsung menabrakkan tanker ke target.


Kondisi di atas menggiring Indonesia untuk memperkuat armada lautnya. Penguatan armada tak hanya jumlah dan jenis peralatan militer, tetapi juga pasokan energi dan infrastruktur pendukungnya. Kapal perang TNI AL mengonsumsi energi terbesar ketimbang peralatan militer yang dimiliki oleh matra AD dan AU. Pangkalan utama TNI AL sering menghadapi kendala dalam memenuhi kebutuhan BBM-nya, termasuk dalam kondisi normal.


Simulasi yang dilakukan oleh Universitas Pertahanan Indonesia menunjukkan, untuk operasi penutupan sebuah ALKI—dan pengamanan perbatasan laut dengan negara tetangga dalam waktu 24 jam—dibutuhkan paling tidak 1 juta liter solar per hari. Ini belum termasuk saat keberangkatan sehingga operasi pengamanan maritim butuh pasokan energi yang besar.


 Penanganan Bencana 


Di sisi lain, wilayah Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar (Indo- Australia, Eurasia, Pasifik) dan bagian dari cincin api Pasifik juga merupakan ancaman bagi ketahanan ekonomi dan pada akhirnya ke keamanan nasional. Ancaman bisa terjadi setiap saat berupa aktivitas gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami.


Bencana berskala besar pernah terjadi di Indonesia, seperti tsunami di Aceh 2004 dan gempa bumi di Sumbar 2009. Bencana pun bisa terjadi karena ulah manusia, seperti kebakaran, banjir, dan longsor. Bencana seperti ini akan berulang dan integral dengan kehidupan manusia.


Menyadari hal-hal di atas, Pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan mitigasi berupa peringatan dini, rute dan latihan evakuasi, serta peningkatan pemahaman masyarakat tentang risiko bencana. Sebagai wujud nyata, BNPB kini tengah berupaya membangun 26 shelter di Pariaman dan Agam untuk menampung sekitar 30.400 jiwa.


Upaya mitigasi bencana berjangka pendek memang perlu, tetapi itu saja tidak cukup. Pada kondisi nyata, evakuasi tanpa korban dari jumlah penduduk sebanyak dan dalam waktu sesingkat itu tidaklah mudah. Terlebih jika bencana terjadi pada dini hari. Guna menekan jumlah korban dan atau upaya mitigasi jangka panjang, maka akar masalah harus teratasi. Bagaimana?


Banyak sebab masyarakat pesisir pantai ”enggan” meninggalkan habitatnya meski sadar nyawanya terancam. Terbatasnya lapangan pekerjaan di kawasan aman penyebab utamanya. Ini titik awal timbulnya lingkaran kemalangan bencana.


Ciri dari masyarakat yang demikian adalah konsumsi energi per kapita (BBM dan listrik) yang rendah. Sementara larangan pemerintah kepada masyarakat untuk tidak bermukim di daerah rawan bencana pada radius tertentu juga krusial. Oleh karena itu, peran energi dalam mendongkrak roda perekonomian dan menciptakan lapangan kerja jadi mutlak. Ketersediaan infrastruktur, pasokan, dan daya beli energi masyarakat menjadi solusi jangka menengah-panjang dalam mengatasi lingkaran kemalangan bencana.


 Benang Merah Keamanan 


Ada benang merah antara peran energi dengan penanganan masalah keamanan maritim dan bencana. Sudah saatnya pembelian peralatan militer TNI AL dibarengi dengan anggaran yang memadai untuk infrastruktur, energi, dan pengembangan SDM. Diversifikasi energi
untuk peralatan TNI AL dari solar (HSD) ke biodiesel krusial karena armada laut harus selalu siap dikerahkan pada kondisi darurat.

Penggunaan korvet untuk penangkapan pencurian ikan dan penyelundupan perlu dikaji ulang karena boros energi. Penjaga pantai perlu diberdayakan agar TNI AL lebih fokus dalam melakukan tugas-tugas pokoknya. Sementara itu, bagi terwujudnya sistem pertahanan negara yang kokoh, terutama di wilayah perbatasan utara dan timur Indonesia yang rawan konflik, cadangan penyangga minyak strategis sangat diperlukan.


Terakhir, pembekalan pengetahuan dan pembentukan karakter kepada calon pemimpin bangsa melalui program studi pascasarjana jurusan keamanan maritim (maritime security). Inisiatif pendirian program ini telah dilakukan Universitas Pertahanan Indonesia, dimulai tahun ajaran 2013/2014. Program Studi Maritime Security berada pada Sekolah Studi Keamanan yang telah memiliki dua program lainnya: Energy Security dan Disaster Management. Ketiga program ini merupakan upaya pelembagaan sekaligus jawaban berjangka menengah-panjang terhadap ancaman kerentanan energi, keamanan maritim, dan bencana nasional.
© Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.