Jumat, 12 Oktober 2012

Peringatan Bom Bali I


 Gories Mere: Ancaman Teror Akan Tetap Ada

Silakan punya pandangan yang berbeda tapi jangan merugikan kepentingan umum.

Kepala BNN Gories Mere. FOTO: ANTARA
Sepuluh tahun telah berlalu sejak ledakan dasyat mengoyak Bali pada 12 Oktober 2002. Ratusan nyawa melayang di Pulau Dewata yang selama ini  tenang.

Sejak itu pula ratusan pelaku telah ditangkap dan dikenai  hukuman dengan sangkaan terorisme. Tapi teror tak jua surut. Ibarat sel, mereka terus mereproduksi dirinya, berubah-ubah bentuk, dan nama. Jaringan teror tak pernah bisa mati.

Inilah wawancara dengan Komjen Gories Mere. Jenderal bintang tiga itu kini secara formal memang duduk sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional. Tapi, dia masih terlibat--meski tidak langsung--dalam penanganan terorisme di Indonesia.

Dia berada di balik layar dan dianggap sebagai "sesepuh" polisi kontra teror di Indonesia. Saat Bom Bali meledak pada 2002, Gories ditunjuk sebagai Ketua Tim Penyidik kasus Bom Bali I.

Dia pun sukses menangkap Amrozi (yang kini telah dieksekusi mati). Penangkapan Amrozi adalah jalan masuk untuk mengungkap kasus Bom Bali I secara keseluruhan.

Berikut petikan wawancara dengan Gories, yang juga pernah menjabat sebagai mantan Kadensus dan juga mantan Kasatgas Bom, minggu lalu.

Ratusan pelaku teror sudah ditangkap baik hidup dan mati, diadili, dieksekusi mati, bahkan sudah ada yang bebas sejak Bom Bali 2002 tapi sel teror terus saja beregenerasi, apa yang salah?

Dari semua ini yang penting adalah deradikalisasi. Kalau ada kelompok, dan mereka berbeda dengan pemerintah kita, sebenarnya ini sah-sah saja dalam konteks demokrasi. Yang masalah itu kan, yang sangat ultra kanan atau kiri, dan mereka jadi crime dengan ngebom-ngebom. Meledakan bom itu crime, jadi di sini perbedaannya.

Lantas bagaimana menghentikannya?

Ideologi radikal itu kan tidak hanya ada di Indonesia saja. Dimana-mana  hal itu terjadi. Sepanjang ideologi radikal masih ada, maka tindakan  radikal masih akan ada. Itu yang dihadapi di seluruh dunia hari ini. Di dalam dunia Islam misalnya ada kelompok radikal yang juga masih belum bisa diberantas, bahkan di Arab Saudi, lalu di dunia Kristen, yakni di Amerika Serikat juga ada radikalisme. Di Irlandia juga. Semua itu paham yang sangat keras yang selalu merasa benar untuk dirinya sendiri. Untuk kelompoknya sendiri.

Jadi apa solusinya?


Ya dengan deradikalisasi. Silakan punya pandangan yang berbeda tapi jangan merugikan kepentingan umum, merugikan orang lain, merusak, dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain.

Kalau berbicara konteks Indonesia, apa kelompok yang kini paling mengancam, setelah Jamaah Islamiah "mati suri" dan banyak muncul kelompok baru seperti yang terakhir kelompok Al-Qaeda Indonesia?

Ini sulitnya. Mereka itu elastis. Kita tidak pernah tahu, sebelum mereka  bertindak dengan menggalang kekuatan seperti menimbun senjata api, bahan peledak, dan kemampuan. Yang jelas kelompok-kelompok itu ada dan tidak bisa kita kecilkan. Kita tidak bisa prediksi kemana mereka akan melakukan aksinya secara tepat. Ini soal pikiran orang yang tak gampang dibaca. Ancaman akan tetap ada dan tiap negara tak bisa menanganinya seorang diri. Kita perlu saling bekerjasama.

 Ideologi Jadi Alasan Sulitnya Memutus Mata Rantai Terorisme

Tindakan keras polisi dalam menangani terorisme malah kontra produktif.

Tak terasa, sudah satu dekade peristiwa memilukan Bom Bali I terjadi. Diketahui, tiga rentetan peledakan bom dasyat karya Amrozi cs menghantam Pulau Dewata pada 12 Oktober 2002 malam.

Dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan Sari Club di Jl Legian, Kuta, Bali. Sementara itu, ledakan terakhir mengguncang wilayah dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat.

Tercatat 202 orang meregang nyawa dan 209 orang luka-luka. Dunia pun berduka. Pasalnya, sebagian besar korban merupakan wisatawan asing yang tengah menikmati pelesiran di Bali. Warga Indonesia juga ikut menjadi korban. Bom membunuh tanpa memilih korbannya. Pascarentetan ledakan itu, peristiwa pengeboman kembali terjadi di Tanah Air. Seperti, Bom  Marriott Hotel (2003), Kedutaan Australia (2004), Bom Bali II (2005), Marriott serta Ritz Carlton (2009), dan lainnya.

Pengungkapan dan penemuan dugaan perakitan bom ikut menghiasi. Terakhir, bahan peledak berdaya lemah memporakporandakan sebuah rumah kontrakan di Beji, Depok.

Rangkaian peritiwa itu, membuktikan mata rantai teroris di Indonesia terus berkembang. Lalu, bagaimana cara memutusnya? Pengamat Terorisme, Al Chaidar menilai, cukup susah mengatasinya.

"Memang agak susah memutus mata rantai kelompok radikal ini, karena mereka sudah tahu caranya memanfaatkan situasi hukum kita yang lemah. Memanfaatkan peluang-peluang yang ada untuk berkembang. Cukup susah  memberantasnya karena ini ideologis," ujar Al Chaidar kepada  Beritasatu.com, kemarin.

Dikatakan Chaidar, membuka ruang diskusi dengan tema Islam menjadi salah satu solusi memutus mata rantai teroris. "Program untuk memutusnya adalah membuka ruang diskusi untuk diperdebatkan  secara terbuka dengan menggunakan tema, misalnya hukum syariat islam,  tema tentang makna penafsiran islam atau sejarah nabi. Intinya tema-tema  krusial.

Selain itu, memberikan universitas atau akademisi untuk mempelajari dan melakukan penelitian terkait memerangi pemberontakan. Seperti penelitian antropologi dan lainnya. Kalau ini tidak dilakukan akan sangat susah," tambahnya.

Chaidar menuturkan, memang untuk melakukan itu tak semudah membalikan telapak tangan. "Untuk memulai itu semua memang tidak gampang. Tapi, kita harus punya pusat studi," katanya.

Sementara itu, Chaidar mengatakan, tindakan keras polisi  dalam menangani terorisme malah kontra produktif dan menimbulkan dendam. "Kesan umum yang muncul adalah tindakan polisi yang keras, police brutality. Menyebabkan dendam dan musuh yang nyata. Di sisi lain jumlah mereka cukup banyak, sedangkan polisi sedikit. Karena itu, sebaiknya ketika tertangkap mereka diberikan fasilitas yang  manusiawi. Bila terlalu keras bisa kontra produktif," ungkapnya.

"Selain itu, intelijen agak susah memasuki wilayah mereka. Karena hanya kerabat dekat saja yang bisa mendekat dan masuk. Sementara, intelijen bukan bagian dari mereka sehingga informasi minim," lanjut Chaidar.

Chaidar memaparkan, antarlembaga juga harus berkoordinasi. Kementerian pendidikan perlu serius menangani masalah ini, BNPT, Pengadilan, dan Kementerian Dalam Negeri ikut bersinergi.

"Kemendagri jangan hanya mengurusi Pemilukada saja. Harus serius dan perlu langkah-langkah  yang diambil. Mencari kelompok atau gerakan ini bukan hanya tugas polisi saja. Pemberantasan kemiskinan dan keterbelakangan juga faktor yang mempengaruhi," tegasnya.

Ketika ditanya apakah perang melawan terorisme ini sudah masuk tahap akhir atau sebaliknya, Chaidar menyatakan, ini baru permulaan.

"Ini baru permulaan saja. Dilihat dari mereka masih kurang cerdas, karena aktivitasnya masih bisa diprediksi. Masih gampang ditelusuri," imbuhnya.

Terkait apakah perlu membubarkan sekolah-sekolah yang diduga mencetak para teroris, menurut Chaidar kalau bisa dibubarkan cukup bagus. "Kalau bisa ada yang bubarkan cukup bagus. Namun, bagaimana melakukan itu di tengah-tengah demokrasi yang berkembang, sementara hukum kita makin lama semakin lemah. Dan mereka memanfaatkan itu."

Sedangkan, kenapa bisa begitu gampang kekuatan asing masuk? Chaidar menyampaikan, pengawasan imigrasi masih lemah. "Selain karena ini merupakan jaringan transinternasional, pihak imigrasi juga masih lemah. Seharusnya, imigrasi punya pengawasan yang tinggi. Kalau menurutnya harus dicurigai ya diikuti, jangan sampai lemah pengawasannya," tandasnya.

 Amankan Peringatan Bom Bali, Polisi All Out di Ring 2 dan 3

Mereka gabungan dari berbagai unsur di antaranya intel, Gegana, Densus 88, dan Brimob.


Petugas mengamankan lokasi Monumen Bom Bali. FOTO: AFP
Polda Bali sepertinya all out dalam mengamankan peringatan Bom Bali 1, 12 Oktober 2012, besok. Sebanyak 2.300 personel keamanan dari unsur TNI/Polri dikerahkan untuk mengamankan peringatan yang dibayang-bayangi serangan  teror itu.

Adalah Wakapolda Bali Brigjen Ketut Untung Yoga yang menyatakan pada Rabu (10/10) jika berdasarkan informasi yang dikumpulkan ada indikasi serangan teror terhadap tamu VVIP yang hadir dalam peringatan itu.

Tamu VVIP itu di antaranya adalah PM Australia Julia Gilard dan mantan PM Australia Jhon Howard. Dalam acara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga berencana untuk hadir.

Seserius apa ancaman itu dan apakah ancaman itu riil? Saat dihubungi, kemarin, Yoga menjawab, "Prinsipnya kehati-hatian dan mengedepankan upaya-upaya pencegahan terhadap hal-hal yang dapat mengganggu keamanan dan kelancaran penyelenggaraan event tersebut."

Lantaran itulah, sebanyak 1.300 personel Polri itu akan ditempatkan di ring 3 dan sebagian di ring 2. "Kalau ring 1 yang harus menjawab Paspampres karena itu wilayah mereka, kalau di ring 3 itu tanggung jawab polisi, maka kami akan melakukan pengaturan, penjagaan, dan pengamanan, sedangkan di ring 2 sesuai koordinasi di lapangan dengan Paspampres," tambah Ketut.

Mereka itu terdiri dari unsur lalu lintas, sabhara, Binmas, intel, gegana, Detasemen Khusus 88, dan Brimob. Juga pecalang (penjaga adat) yang akan turut dilibatkan.

Para polisi itu, menurut Yoga, akan dilengkapi dengan alat bantu berteknologi deteksi, kelengkapan melekat perorangan, dan persenjataan  khusus tergantung dinamika situasi yang dihadapi. Alat bantu berteknologi deteksi itu adalah X-ray, metal detektor, dan mirror.

Ada dua titik lokasi yang menjadi fokus pengamanan, yaitu Garuda Wisnu Kencana Jinbaran dan monumen bom Bali I Ground Zero Legian, Kuta.

Kepolisian fokus pada empat hal pengamanan. Pertama, pengamanan tokoh-tokoh yang hadir pada peringatan itu. Kedua, pengamanan terhadap tempat penyelenggaraan. Ketiga, pengamanan terhadap barang. Terakhir, pengamanan terhadap aktivitas acara yang sedang berlangsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.