Rabu, 03 Oktober 2012

Senjata Militer Indonesia Kini Lebih Mandiri?

 Biaya belanja persenjataan ke luar negeri bisa Rp 35 triliun per tahun.

Caesar 155 mm TNI AD (ARC)
JALAN menuju kemandirian industri alat utama sistem senjata (alutsista) terbuka lebar. Pada Selasa 2 Oktober 2012, DPR mengesahkan RUU Industri Pertahanan (Inhan) menjadi UU. Sebagian anggota DPR berpendapat, itu artinya TNI sudah tak perlu lagi membeli alutsista dari luar negeri, kecuali produk tersebut tak bisa dibuat oleh pabrik lokal.

Namun, produk asing masih jadi primadona pemenuhan alutsista, yang anggarannya direncanakan naik, dari semula Rp 64,4 triliun di tahun 2012 menjadi Rp 77,7 triliun pada 2013.

Simak apa yang dikatakan Kepala Staf TNI AD, Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo. Dia  mengatakan, pihaknya akan menambah dua Batalyon MLRS (Multiple Launch Rocket System) buatan Brazil, satu Batalyon Mitral Rudal Anti-pesawat Terbang, dan dua Batalyon Meriam 155 mm/Caesar buatan Prancis.

“Seperti kita ketahui, kita juga ingin mendatangkan Tank Leopard. Karena mungkin prosesnya agak panjang, Oktober ini baru bisa tiba 44 unit,” ujar adik kandung Ibu Negara Any Yudhoyono itu di Lanud Halim Perdanakusuma usai gladi bersih HUT TNI ke-67, Rabu 3 Oktober 2012.

Sementara, TNI Angkatan Laut juga berencana mendatangkan enam unit kapal selam masing-masing tiga unit dari Korea Selatan, dan tiga unit lagi dari Inggris(?). “Kita juga mau mendatangkan Helikopter anti-kapal selam satu kuadron dari Amerika Serikat,” ujar Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Soeparno.

TNI Angkatan Udara tak ketinggalan. Kepala Staf TNI Angkatan Udara, Marsekal TNI Imam Sufa'at mengungkapkan, pihaknya saat ini juga akan menambah alutsista. Salah satunya penambahan pesawat Hercules. “Hercules kita cuma punya 13 unit. Kita akan upgrade lagi dan akan membeli 10 unit pesawat Hercules lagi dari Australia,” tambah dia.

 Lalu mengapa tak pakai produk dalam negeri?

Nahkoda Ragam Class
Jenderal Pramono Edhie Wibowo punya jawaban. "Kita tetap mengutamakan produk dalam negeri, andai tidak bisa menyiapkan baru kita datangkan dari luar,” kata dia. Pramono Edhie menambahkan, TNI sudah menggunakan produk dalam negeri sebelum UU Inhan ditetapkan.

Produk lokal yang sudah digunakan misalnya, baju, tas ransel, dan helm milik prajurit. Juga  parasut terjun payung, dan helikopter 412. “Bahkan, penerjun bilang, mereka lebih suka pakai produk dalam negeri, karena lebih enak digunakan dan lebih sempurna,” kata dia.

Tak hanya TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut juga sudah menggunakan produk dalam negeri. Seperti disampaikan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Soeparno bahwa Angkatan Laut sudah menggunakan produk dalam negeri. Misalnya, LPD (Landing Platform Dock), KCR (Kapal Cepat Rudal), dan kapal patroli cepat meski masih perlu disempurnakan.

“Kualitasnya kurang sedikit tapi masih terus disempurnakan,” ujar Soeparno. Selain itu, TNI AL juga menggunakan helikopter, senjata dengan kaliber kecil, sekoci, sekoci karet dan sirine. Sementara, kapal tanker untuk pengisian bahan bakar, masih dalam proses pemesanan.

Bukannya tak mau memakai buatan dalam negeri, Kepala Staf Angkatan Udara, Imam Ma'aruf mengatakan produk-produk baru buatan lokal masih belum sempurna dan perlu dievaluasi kembali. “Misalnya pesawat maritim belum sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tapi kita minta terus sempurnakan,” kata dia.

 Jangan mau didikte

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgh6cKXSPxAJ502ciI7vUfRELN_9Xd4WG1tAwXIaYAaBSF8F9GNg0J8D1s8towLJNGymVMOJksJflbO70trnHJWOQX1uFxnc0OGK47xhnZdJ5103w_zRabPEyOsEErvhRDkKXnjRLvvwYI/s1600/Leopard_MBT_Revolution_main_battle_tank_Rheinmetall_Defence_German_Germany_Defense_Industry_military_technology_001.jpg
Leopard Revolution
Apa implikasi dan bagaimana seharusnya pelaksanaan UU Inhan? Pengamat pertahanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Riefqi Muna mengatakan, pembelian alutsista dalam negeri secara bertahap sangat diperlukan, juga untuk memperkuat teknologinya. “Namun, ini memerlukan waktu, time line mengenai seberapa banyak komponen domestik digunakan harus diperhitungkan dengan baik,” kata dia kepada VIVAnews, Rabu 3 Oktober 2012.

Soal kemandirian, Riefqi menambahkan, bukan berarti diartikan semuanya dihasilkan dalam negeri. “Teknologi apa pun di dunia dalam pengembangannya, negara maju sekalipun, saling tergantung dengan pihak lain, seperti pesawat Boeing atau Airbus, tidak semua bagian dibikin sendiri, ada komponen dibikin perusahaan atau negara lain. Saling komplementer.”

Tentang produk asing yang jadi primadona semua angkatan, Riefqi berpendapat, boleh-boleh saja TNI membeli produk negara lain, terutama yang besar-besar dan berteknologi canggih. Namun, ia menekankan, “Apapun itu peralatan harus didasarkan kebutuhan riil untuk pertahanan. Harus ada di dalam perencanaan pengembangan teknologi, atau akuisisi. Bukan karena dorongan dari pihak lain."

Tidak bisa ada sistem senjata, misalnya tank atau pesawat tertentu, dibeli karena dorongan penjual. Harus mengikuti pola, ada strateginya, dan sistem teknologi (systems of technology) yang jelas mulai dari konsep dengan analisa kebutuhan, manufaktur, servis, hingga pemanfaatan disposal. “Kita belum melakukannya, masih tiba-tiba. Seperti tank Leopard, dari perencanaan anggaran tidak ada menurut sumber, tiba-tiba mau dibeli.”

Pertanyaan lain, apakah produsen dalam negeri sudah mampu memproduksi kebutuhan alutsista dalam negeri? “Pada dasarnya Pindad punya kapasitas, PAL, juga PT DI. Permasalahannya sejauh mana negara memberikan komitmen dukungan pada industri strategis untuk berkembang?," kata Riefqi.

Selain itu, tak kalah penting komitmen dari pimpinan militer dari yang Mabes TNI,  dan masing-masing angkatan, juga Kemenhan. “Juga harus diperhitungkan seberapa kemampuan industri dalam negeri yang sesungguhnya untuk mewujudkan kemandirian,” kata dia. Tak ketinggalan, harus ada tata kelola yang jelas.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin membeberkan beberapa pasal penting yang ada dalam UU Industri Pertahanan. Ada pasal yang mengatur pembiayaan. Misalnya, kata Tubagus, biaya alat utama sistem persenjataan (alutsista) ke luar negeri dapat mencapai Rp 35 triliun per tahun. Pembelian kapal saja, kata Tubagus untuk membeli di luar negeri membutuhkan biaya Rp 150 miliar dan membutuhkan waktu 2 tahun dengan melibatkan 1.500 pekerja. “Ya sudah, kenapa kita bisa kita mampu belanjakan ke perusahaan luar negeri toh kualitasnya juga sama saja,” kata dia di Gedung DPR.

Sehingga, kata Tubagus, TNI sudah tidak lagi membeli alutsista dari luar negeri. "Uang itu tidak perlu dilempar ke luar. Kita boleh membeli dari luar kalau di dalam negeri sudah tidak bisa lagi. Kalau toh membeli dari luar dia harus bekerja sama 80 persen dengan di dalam negeri," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Dalam pasal itu juga, kata Tubagus telah diatur juga untuk produksi persenjataan misalnya, jika di TNI Angkatan Udara pasti dibuat di PT Dirgantara Indonesia, TNI Angkatan Laut dibuatnya di PT PAL, sementara TNI Angkatan Darat dibuat PT Pindad.

Sementara, Anggota Komisi I Bidang Pertahanan DPR, Eddhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), menilai aturan jelas soal industri pertahanan RI itu akan membuat produk-produk alutsista RI semakin diminati negara-negara asing. Apalagi saat ini sudah ada negara yang menjadi pelanggan alutsista buatan Indonesia.

“Timor Leste, Malaysia, dan Korea Selatan sangat meminati alutsista RI. Malaysia belum lama ini bahkan membeli 32 panser Anoa bermesin Benz buatan PT Pindad, sementara Korea Selatan membeli 8 pesawat CN 235 buatan PT Dirgantara Indonesia,” ujar Ibas.(np)
© VIVA.co

" tiga unit lagi dari Inggris "? mungkin maksudnya 3 unit light Fregat Nahkoda ragam Class

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.