Minggu, 04 November 2012

Jalan Terjal Menuju Kemerdekaan Maritim

Catatan 67 Tahun Kemerdekaan RI

Sejarah kebesaran bangsa kita adalah ketangguhan sebagai bangsa maritim. Tercatat berbagai kerajaan pernah tumbuh dan besar karena kekuatan maritimnya, seperti Sriwijaya, Singasari, Majapahit, Demak, Makassar, Ternate Tidore, Malaka, Samudera Pasai, Banten, Cirebon dan yang lain. Kelemahan di sektor maritim juga yang menyebabkan kerajaan-kerajaan itu menyurut dan akhirnya hilang berganti cerita dan legenda. Namun hal itu tidak menafikan bahwa kegemilangan masa lampau adalah fakta.

Berbagai prasasti, artefak-artefak kuno, catatan peninggalan sejarah dan catatan-catatan para pengelana dunia yang pernah singgah atau bersinggungan dengan bangsa Nusantara menjadi bukti tentang hal itu semua. Dalam bukunya Ta T‘ang siyu- ku-fa-kao-seng-chuan dan Nan-haichi- kuei-nei-fa-chuan, I-tsing, seorang pengelana yang pernah berkunjung dan tinggal di Sriwijaya menuliskan bahwa Sriwijaya adalah kerajaan yang berperadaban tinggi.

Terdapat lebih dari 1000 pendeta yang menjadikan Sriwijaya sebagai pusat pengajaran agama Budha. I-tsing bahkan menterjemahkan kitab agama Budha dari bahasa Sansakerta ke bahasa China. Catatan Cina menyebutkan bahwa utusan Sriwijaya secara rutin ke Cina sampai tahun 988 M. Mas‘udi, sejarawan Arab yang berkunjung ke Sriwijaya tahun 955 M, menuliskan Sriwijaya sebagai kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.

Pada masa ini Sriwijaya pernah mengirimkan utusan ke Timur Tengah ketika zaman Bani Abasyiah. Posisi Sriwijaya kemudian digantikan Singasari. Catatan China klasik menuliskan kegagalan bangsa Mongol melakukan invasi ke tanah Jawa (Singasari) pada tahun 1293. Tercatat dalam sejarah itu bahwa hanya ada tiga invasi yang gagal dilaksanakan bangsa Mongol, yaitu ke Jepang, Mameluk (Mesir) dan ke Tanah Jawa (Singasari). Kejayaan Singasari diteruskan Majapahit.

Mattiussi, seorang Pendeta Odorico da Pordenone asal Italy dalam perjalanan keliling dunia sempat singgah ke Majapahit dan menceritakan pengalamannya dalam bukunya “Perjalanan Pendeta Odorico da Pordenone”. Dalam buku ini Mattiussi menulis

“.... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Khan Agung dari China beberapa kali berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya."


Gambaran Mattiusi tentang Majapahit tersebut belumlah menggambarkan Majapahit yang sesungguhnya, karena tarikh kunjungan yang menunjukkan tahun 1318, Majapahit masih masa Jayanegara yang menggantikan Raden Wijaya. Kejayaan Majapahit mencapai puncak kegemilangan pada masa kekuasaan Tribuwana Tunggadewi dan Hayam Wuruk dengan Perdana Menteri Mahapatih Gajahmada.

Robert Dick- Read dalam bukunya The Panthom Voyagers: Evidence of Indonesia Settlement in Africa in Ancient Times (2005), menyimpulkan bahwa era Imperium Majapahit adalah puncak kejayaan peradaban bahari Nusantara yang jejak pelautnya terlacak hingga Afrika Barat (ada bukti artefak di Ghana), tinggal selangkah lagi menuju Eropa. Bahkan berbagai penelitian dan temuan juga menyatakan bahwa kehidupan maritim nusantara telah berlangsung jauh sebelum berdirinya Sriwijaya dan Majapahit.

Dalam kitab Han Shu Di Li Zhi (Kepustakaan Dinasti Han-Catatan Geografi) dan Hou Han Shu (Kepustakaan Dinasti Han Lanjutan), kitab yang diterbitkan masa Dinasti Han (206 SM- 220 M), tertulis bahwa Tiongkok dan Ye Diao (dari kata Sanskrit, Javadvipa) telah terjadi hubungan dagang antar dua kerajaan.

Temuan terbaru ahli biologi molekuler Universitas Massey Selandia Baru, Murray Cox, yang dimuat dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B (21/3/2012), menyimpulkan bahwa nenek moyang penduduk Madagaskar berasal dari Indonesia yang bermigrasi pada 1.200 tahun silam. Penelitian DNA ini memperkuat analisis sebelumnya yang mendasarkan temuan arkeologis seperti perahu bercadik ganda, peralatan besi, alat musik xylophone atau gambang, dan makanan tropis.

Temuan terbaru lainnya, dalam pengangkatan harta bawah laut di Cirebon beberapa waktu lampau, ditemukan artefak agama Islam dari dinasti Fatimiyah yang masa keberadaannya bersamaan dengan kerajaan Kalingga dan Medang di Jawa Tengah. Temuan ini menjadi penunjuk baru bahwa zaman kerajaan Medang dan Kalingga yang selama ini dianggap belum mempunyai tradisi maritim ternyata salah.

Kini, kebesaran sejarah lampau sebagai bangsa maritim yang disegani, justru banyak menjadi bahan olok-olokan. Sering kita dengar, terutama dari kalangan muda dan remaja, jika mengatai atau mancaci orang akan mengumpat, ke laut aja loe … !!. Makian ini setara dalam bahasa Inggris ‘go to hell’, artinya laut bagi sebagian generasi saat ini diidentikan sebagai neraka. Adapula ungkapan yang sangat sempat populer, “cewek matre ke laut aje”, yang kurang lebih dapat diterjemahkan ‘cewek mata duitan buang aja ke tempat sampah’. Laut diidentikan dengan tempat sampah.

Ada lagi istilah dari anak-anak tongkrongan yang membuat geli, ‘melaut’ adalah kode mereka untuk pesta minuman keras. Jadi ‘melaut’ dalam bahasa mereka adalah acara mabuk-mabukan. Jika di lingkungan ada beberapa anak-anak yang reseh usai ‘melaut’, orang-orang sekitar akan memaklumi dengan mengatakan, “maklum angkatan laut”, yang artinya tidak ada gunanya menanggapi ulah para berandalan yang sedang mabuk.

Di kampung-kampung di Jawa, kata laut merupakan kode yang digunakan untuk penunjuk waktu tanda selesainya jam kerja. Jika ada juragan atau mandor berteriak‚ laut… laut …, itu merupakan tanda jam kerja selesai. Laut dalam arti ini adalah kata ganti untuk ‘batas’, laut menjadi batas bagi warga untuk menghentikan aktivitas. Kerancuan ini sekilas nampak sederhana, namun secara antropologis dan sosiologis berdampak luar biasa.

Ini menunjukkan bahwa dunia laut telah terdegradasi teramat dalam. Laut bukan lagi bagian dari kehidupan mereka, tapi telah menjadi dunia lain yang jauh dari jangkauan mereka. Jika realitasnya saja tidak lagi dikenali, bagaimana mengisikan roh untuk menghidupkan spirit maritim kepada mereka. Hal ini tentu saja menjadi pekerjaan yang berat ditengah upaya membangkitkan kehidupan maritim di negara ini.

Sejarah Yang Menyesatkan

Pudarnya budaya maritim menjadi sebab surutnya jiwa maritim bangsa Indonesia. Akan banyak muncul sebab kenapa budaya maritim Indonesia memudar, namun yang paling mudah adalah mencari kambing hitam.

Belanda adalah pihak pertama sasaran kesalahan. Karena terlalu lama dijajah Belanda maka kita bodoh dan terbelakang. Karena kebijakan Belanda yang mengusir warga pribumi ke pedalaman untuk memenuhi kebutuhan perdagangan hasil pertanian dan perdagangan Belanda sehingga masyarakat nusantara lupa dengan laut.

Sinyalemen ini mungkin benar namun tidak sepenuhnya tepat. Indonesia dijajah selama 350 tahun adalah literatur sejarah yang banyak diajarkan dan tertanam kuat dalam pikiran masyarakat. Literatur ini juga tidak sepenuhnya benar. Kerajaan Belanda sendiri secara de jure memasukkan Indonesia sebagai wilayah kolonial sejak tahun 1814 berdasarkan UU Kerajaan Belanda yang kemudian diamandemen tahun 1848, 1872, dan 1922. Belanda mendapatkan Jawa yang dikuasai Inggris pasca Kongres Wina 1815.

Sebelumnya kiprah Belanda di wilayah nusantara dilakukan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie), sebuah kongsi dagang yang berdiri 20 Maret 1602 dan memiliki hak Ooctroi dari Ratu Belanda. Setelah VOC dinyatakan bangkrut pada tahun 1800 karena korupsi dan kalah bersaing dengan Inggris, seluruh properti VOC diambil alih Kerajaan Belanda.

Jika ditarik dari moment kedatangan dan penguasaan Belanda atas wilayah Nusantara, Ambon adalah wilayah yang pertama dan terlama dalam kekuasaan kolonial. Belanda menguasai Ambon Tahun 1605 setelah berhasil mengalahkan Portugis. Tahun 1619 Belanda kemudian membangun benteng di pelabuhan Sunda Kelapa setelah merebut Jayakarta dan menggantikan namanya menjadi Batavia.

Dibawah Jan Pieterzoen Coen, Batavia berkembang menjadi pelabuhan strategis namun tetap tidak dapat diklaim Belanda telah menguasai Jawa karena di sebelah barat dan timur, Kerajaan Banten dan Cirebon masih eksis. Keberhasilan Belanda melakukan blokade laut mengakibatkan kemunduran ekonomi di kedua kerajaan dan akhirnya jatuh dalam kekuasaan Belanda.

Jawa Tengah dan Jawa Timur yang merupakan wilayah kekuasaan Mataram belum tersentuh oleh Belanda. Bahkan dua kali (tahun 1628 dan 1629) Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia melalui darat dan laut. Walaupun berakhir gagal, pasukan Mataram berhasil membendung sungai Ciliwung, menyebarkan penyakit kolera dan menewaskan pimpinan VOC, JP Coen.

Jawa efektif dikuasai Belanda setelah berakhirnya perang Diponegoro tahun 1830. Sumatera dikuasai Belanda setelah melakukan tukar guling dengan Inggris tahun 1824 dengan menukar wilayah Malaya yang dikuasai Belanda dengan Sumatera yang dikuasai Inggris. Namun Aceh yang diluar kekuasaan Inggris tidak ikut serta sehingga Belanda harus mengusahakan sendiri. Setelah melalui perang yang melelahkan, Aceh jatuh ke Belanda tahun 1904. Kalimantan total dapat dikuasai setelah Belanda mematahkan perlawanan terakhir Kesultanan tahun 1912. Belanda menguasai Papua tahun 1828 melalui perjanjian dengan Kesultanan Tidore. Bali dikuasai pada 12 Juni 1849 setelah jatuhnya Kerajaan Bangli dan Buleleng namun pada tahun 1900 Raja Gianyar kembali melakukan perlawanan. Nusa Tenggara Timur di kuasai tahun 1904 setelah mengalahkan Kerajaan Larantuka. Sulawesi Utara dapat dikuasai Belanda pada Agustus 1614 setelah mengalahkan Spanyol di Manado. Sulawesi Selatan dikuasai setelah Makassar ditaklukan tahun 1667 menyusul kemudian penghancuran Benteng Sombaopu Gowa tanggal 12 Juni 1669. Sulawesi Tengah dikuasai tahun 1905 untuk kemudian digabung dengan karesidenan Minahasa. Nusa Tenggara Barat sepenuhnya dapat dikuasai Belanda tahun 1882 dengan menggabungkannya dengan keresidenan Bali dengan Ibu Kota Buleleng.

Sepanjang kurang lebih 300 tahun, wilayah Nusantara telah menjadi area perang (proxy war) yang silang menyilang antar berbagai pihak: kerajaan - kerajaan Nusantara, Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris. Pemahaman sejarah bahwa selama 350 tahun Indonesia tunduk terjajah adalah kesesatan. Yang benar adalah bahwa Belanda perlu waktu 300 tahun untuk menguasai wilayah Indonesia dan mereka sepenuhnya tidak berhasil. Sejarah nusantara adalah sejarah keberanian dan perlawanan tanpa henti. Memang dalam setiap masa selalu ada pecundang dan pengkhianat, namun secara umum sejarah bangsa nusantara adalah bangsa yang gigih mempertahankan harkat dan martabatnya.

Bangkitnya Semangat Maritim Dalam Wawasan Nusantara

Sepanjang masa kolonial tersebut, nyaris Belanda tidak bisa tidur nyenyak dikarenakan masyarakat tidak pernah bersedia tunduk sepenuhnya. Perlawanan senantiasa dilakukan meskipun bersifat sporadis dan terus berkembang seiring perkembangan politik global. Menginjak tahun 1900-an perlawanan tidak lagi dilakukan oleh bangsawan lokal, tetapi oleh kalangan kelas menengah dengan membangkitkan spirit nasionalisme kebangsaan. Disisi lain, meski hidup dalam suasana represi dan upaya de-maritimisasi sistematik, tidak serta merta membunuh spirit maritim anak bangsa.

Banyak kalangan muda ketika itu yang pergi berlayar, terutama untuk belajar di Timur Tengah dan Eropa. Sepulang dari Timur Tengah mereka mendirikan lembaga pendidikan (pesantren) yang dalam sejarahnya menjadi tempat efektif untuk melakukan perlawanan terhadap kolonial. Sementara yang pulang dari Eropa, mereka terdidik menggerakkan perlawanan yang lebih terorganisir dan ideologis. Kalangan inilah di antaranya yang menjadi pilar perjuangan untuk mencapai kemerdekaan.

Ketika para founding fathers menyusun konsep tentang negara Indonesia, mereka mendasarkan pada filosofi dan sejarah panjang bangsa-bangsa nusantara. Kejayaan Sriwijaya dan Majapahit adalah literatur penting yang menggiring imaginasi para founding fathers tentang negara Indonesia.

Simbol kenegaraan yang digunakan adalah simbol-simbol yang telah melekat dan berakar kuat dalam sejarah nusantara. Bendera merah putih merupakan bendera yang digunakan zaman Majapahit yang dikenal dengan bendera dwiwarna gula kelapa. Warna sama juga digunakan Diponegoro, Sisingamaraja (dengan tambahan gambar pedang), Aceh (dengan tambahan gambar bulan sabit), dll.


Ketika membahas lambang negara, Bung Karno teringat Garuda Wisnu Kencana tunggangan Raja Airlangga. Garuda sendiri sebenarnya burung imaginer yang lebih dekat dengan rajawali atau di Jawa dikenal sebagai elang. Slogan Bhineka Tunggal Ika juga merupakan kutipan dari kakawin Jawa Kuna (kakawin Sutasoma) karangan Mpu Tantular yang lengkapnya berbunyi Bhinnêka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa.

Ketika membicarakan wilayah Indonesia, Muh Yamin secara lantang berbicara bahwa wilayah Indonesia bukan saja bekas jajahan Belanda tetapi seluruh wilayah yang dahulu merupakan wilayah Sriwijaya dan Majapahit. Ini untuk menghilangkan kesan Indonesia sebagai pewaris dan penerus Hindia Belanda, tetapi sebagai penerus jaman kejayaan kerajaan nusantara masa lampau (Sriwijaya dan Majapahit). Ketika membahas sebutan untuk negara dan bangsa, dipilihlah Tanah Air untuk menegaskan kesatuan wilayah negara antara wilayah darat dan laut. Sebutan yang lazim berlaku biasanya hanya menyebutkan tanah (land), Seperti England, Ireland, Scotland, Netherland, Poland dll.

Pada masa awal kemerdekaan, para pimpinan nasional sangat bergairah untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Soekarno, Chairul Saleh, Muh Yamin sangat antusias mengusulkan penutupan laut Jawa dan menghapus wilayah perairan bebas di wilayah Indonesia. Saat itu masih berlaku UU ZMKO (Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie) Tahun 1939, di mana setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai.

Tahun 1957, lahirlah Wawasan Nusantara, yang juga dikenal dengan Deklarasi Juanda. Konsep Wawasan Nusantara memandang bahwa wilayah laut di antara pulau-pulau Indonesia adalah satu-kesatuan wilayah nusantara, sehingga wilayah laut tersebut merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang ada di bawahnya serta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan konsep ini wilayah Republik Indonesia bertambah 2,5 kali lipat dan wilayah laut antar pulau sejauh 3 mil bukan lagi perairan bebas.

Tahun 1960 dibentuk Dewan Maritim yang tertuang dalam Perpres No. 19 Tahun 1960 tentang Pembentukan Dewan Maritim. Dalam konsideran Perpres itu diantaranya berrbunyi: Indonesia sebagai negara maritim memiliki nilai yang unik dan sangat penting sehingga segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan masalah maritim harus diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh.

Dalam pembukaan National Maritime Convention (NMC) tahun 1963 Bung Karno menegaskan‚ untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan national building bagi negara Indonesia, maka negara harus dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan kita harus menguasai armada yang seimbang. Saat membuka Lemhanas tahun 1965 Bung Karno kembali mengingatkan bahwa “Geopolitical Destiny” Indonesia adalah maritim. Konsep wawasan nusantara ini kemudian mendapat pengakuan dunia dengan ditetapkannya UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) pada konferensi PBB tentang Hukum Laut III tahun 1982 di Montego Bay, Jamaica. UNCLOS tidak saja menguntungkan Indonesia, tetapi juga negara-negara kepulauan seluruh dunia.

Bangsa Maritim Yang Tersesat Di Laut

Segala usaha untuk membangkitkan kejayaan maritim pada akhirnya berhenti pada wacana. Begitu banyak konsep tentang negara maritim hanya menjadi dokumen yang teronggok di perpustakaan tanpa mampu berbicara banyak. Pada masa Orde Baru, pemerintah bahkan memutar arah sejarah hingga 360° dan dengan bangga mendeklarasikan sebagai negara agraris. Pelaksanaan GBHN yang dilaksanakan dalam strategi pembangunan lima tahunan (Pelita) kesemuanya berorientasi ke darat, Land Base Oriented Development. Kebijakan ini tidak saja telah menjauhkan dari sejarah kegemilangan nusantara sebagai bangsa maritim namun juga bentuk pengkhianatan terhadap pendiri bangsa yang telah menetapkan Indonesia sebagai negara maritim. Lebih dalam dari itu, Indonesia juga telah mengingkari takdir Tuhan yang menciptakan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan 70% luas wilayahnya berupa laut.

Dengan penetapan kebijakan ini, Indonesia kemudian lebih berorientasi kedalam (inward looking) daripada keluar (outward looking) dengan memprioritaskan stabilitas nasional dengan standar keberhasilan rakyat bisa makan. Tahapan Pelita dilaksanakan mulai upaya swasembada pangan, penyediaan bahan mentah, mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi, mengolah bahan setengah jadi menjadi bahan jadi, untuk kemudian menyosong masa yang disebut era tinggal landas yaitu kesiapan menjadi negara industri. Pada masa itu kredit perbankan untuk sektor perikanan hanya 0,02% dan investasi domestik untuk sektor ini hanya 1,37% dan investasi asing hanya 0,31 % selama 32 tahun (1967-1999).

Mimpi menjadi negara agraris akhirnya sirna ketika sejak tahun 1989 Indonesia menjadi pengimpor bahan pangan terbesar di dunia. Pada tahun 2003, Indonesia mengimpor sekitar 2 juta ton beras (pengimpor terbesar di dunia); 1,6 juta ton gula (terbesar kedua di dunia); 1,1 juta ton kedelai; 4,5 juta ton gandum; 1,2 juta ton jagung; 500.000 ekor sapi; dan 1 juta ton garam (Deptan, 2004).

Mimpi tinggal landas juga hanya tinggal cerita, karena industri yang dikembangkan hanya industri ‘tukang jahit’ yang sebagian besar bertumpu pada order tanpa upaya penguasaan pasar. Industri tekstil dan alas kaki yang tumbuh karena keunggulan buruh murah serta diuntungkan dengan sistem quota, perlahan surut seiring munculnya negara-negara sejenis yang menawarkan upah lebih murah dan situasi nasional lebih stabil.

Cukup sulit saat ini untuk mengkategorikan Indonesia dalam negara jenis apa. Negara agraris jelas bukan, karena di luar karet dan CPO jumlah impor Indonesia untuk komoditas pertanian lebih besar. Hanya bangsa yang tidak punya malu yang berani mengklaim sebagai negara agraris sementara menjadi pengimpor bahan pangan terbesar di dunia. Negara industri juga kurang pantas, menilik Indonesia lebih banyak konsumsi daripada produksi (data BPS; ekspor Indonesia rata-rata US$ 137,10 Miliar/tahun, sedangkan impor rata-rata US$ 153,58 Miliar/tahun). Negara maritim apalagi, jauh panggang dari api, Indonesia bahkan masih mengimport garam dan ikan asin. Negara gado-gado atau negara setengah-setengah mungkin agak tepat. Dan akibat dari serba setengah ini, Indonesia kini menghadapi masalah serius terutama kemiskinan, pengangguran dan merosotnya daya saing ekonomi.

Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin pada Maret 2012 sebanyak 29,13 juta jiwa atau turun sedikit dibanding tahun 2011 sebanyak 30,03 juta jiwa. Sementara menurut Menakertran jumlah pengangguran bulan Januari 2012 mencapai 7,5 juta orang, sebanyak 493.000 orang adalah sarjana. Pada bulan ini angka tersebut dipastikan naik karena adanya angkatan kerja baru sebesar 3 juta orang.

Namun beberapa pihak menyangkal data-data yang dirilis tersebut karena BPS menetapkan garis kemiskinan berdasar penghasilan minimal Rp. 5000,-. Jika patokan ini dinaikkan dengan mengacu pada garis kemiskinan versi Bank Dunia (US$2/orang/hari), jumlah penduduk miskin Indonesia akan mencapai 109 juta atau 49% dari jumlah total penduduk. Lebih ironis lagi angka kemiskinan terbanyak berada di pulau Jawa yang merupakan pusat ekonomi nasional. Di Jakarta jumlah penduduk miskin pada Maret 2012 sebesar 363.200 orang, turun sedikit dibanding pada Maret 2011 yang berjumlah 363.420 orang. BPS (2004) memperkirakan jumlah penduduk Indonesia tahun 2035 akan mencapai 400 juta orang. Jika masalah pangan tidak tertangani maka ancaman krisis pangan bukan isapan jempol. Kemiskinan, pengangguran dan kelaparan adalah ancaman mengerikan bagi keberlangsungan negeri ini.

Menghadapi ancaman ini, pemerintah bukannya melakukan tindakan progresif untuk memutuskan mata rantai ketertinggalan. Bahkan geostrategis Indonesia sebagai negara kepulauan tak luput menjadi kambing hitam. Bagi mereka keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan dan maritim adalah penghambat kemajuan. Dalam beberapa kasus misalnya ketika terjadi disparitas harga yang mencolok antar daerah, pemerintah selalu beralasan jarak dan geografi kepulauan sebagai penghambat distribusi. Padahal problemnya bukan disitu, masalahnya adalah sistem dan manajemen logistik yang tidak berorientasi maritim. Dan ini merupakan dampak dari kebijakan yang tidak mendasarkan pada kondisi obyektif Indonesia sebagai negara kepulauan.

Beberapa contoh untuk menjelaskan hal ini adalah tidak memadainya jumlah pelabuhan, dengan panjang garis pantai 81.000 kilometer hanya terdapat 694 buah pelabuhan yang artinya satu pelabuhan untuk 115 kilometer panjang pantai. Bandingkan dengan Jepang, yang dengan garis pantai 34.000 kilometer memiliki 3.000 pelabuhan, atau satu pelabuhan per 11 kilometer panjang pantai. Thailand dengan garis pantai 2.600 kilometer punya 52 pelabuhan, atau satu banding 50 kilometer panjang pantai. Kondisi ini menyebabkan biaya logistik menjadi sangat tidak efisien. Menurut Kadin, biaya logistik di Indonesia tertinggi di dunia (mencapai 24 % dari PDB atau sekitar Rp.1.820 triliun/tahun). Sebagai perbandingan biaya pengapalan kontainer dari Padang ke Jakarta mencapai $ 600,- (sekitar Rp.5,4 juta), sedangkan dari Singapura ke Jakarta hanya $ 185,- (sekitar Rp.1,6juta). Dan bagi pemerintah solusi termudah untuk memecahkan masalah ini adalah import dari Singapura, simple dan murah.

Pada HUT Kemerdekaan ke 67 kali ini adalah moment strategis bagi bangsa ini melakukan refleksi tentang sejarah kejayaan bangsa nusantara, mengenang kembali perjuangan para founding fathers yang telah membangun bangsa maritim Indonesia dan lebih penting menguatkan identitas kita sebagai bangsa maritim dengan berpijak pada bumi obyektif kita, ocean maritime.

Begitu banyak teori-teori, konsep-konsep, temuan-temuan, hasil-hasil research, data-data statistik, yang dapat menjadi pijakan bagaimana mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Begitu banyak konklusi ilmiah yang meyakinkan bahwa apabila kita serius menggarap sektor kelautan akan menjadi solusi bagi segala ketertinggalan bangsa saat ini.

Jika kesemua itu belum cukup menggugah para pemegang kebijakan untuk tergerak, artinya perjuangan kemerdekaan maritim memang masih sangat panjang. Namun yang patut disyukuri dari bangsa ini adalah kemampuan untuk selalu punya harapan dan senantiasa mampu keluar dari situasi sulit. Dirgahayu Indonesia, Tanah Air Beta. (mz/Jalasena).
© Jalasena * Edisi No. 08 * Agustus Th . II 2012 ©

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.