Kamis, 01 November 2012

☆ Nuning Kertopati, Pengkritik dan Pembela Intelijen RI

Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati (Dok. INTELIJEN)
Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati
KONFLIK horisontal (antar masyarakat) termasuk dengan mengatasnamakan agama, sepertinya masih menjadi persoalan pelik di Indonesia. Tiga kasus terakhir, pada Februari lalu, membuktikan hal ini. Bentrok warga dengan pengikut Ahmadiyah di Pandegelang, pembakaran gereja di Temanggung, dan penyerangan pondok pesantren di Pasuruan.

Selain menimbulkan korban jiwa, materi, dan situasi trauma di masyarakat, kasus-kasus itu kembali mengusik semangat keberagaman (pluralisme) yang dimiliki bangsa ini. Sebelumnya, kasus-kasus serupa (terutama bentrok warga dengan pengikut Ahmadiyah), sudah beberapa kali terjadi di wilayah yang sama maupun di wilayah lain.

Menariknya, negara selalu terlambat mengantisipasi persoalan tersebut. Ketika bentrok atau amuk massa terjadi, negara seperti “menghilang” begitu saja. Negara baru “muncul” kembali setelah peristiwa terjadi.

Dalam kasus Pandegelang, misalnya, aparat keamanan terkesan tidak sigap bersikap. Kedatangan massa dari luar, baik kelompok warga maupun pengikut Ahmadiyah, dibiarkan begitu saja. Ketika bentrokan antar kedua kelompok massa tidak bisa dihindari, aparat keamanan kewalahan.

Di Temanggung, juga tidak jauh beda kondisinya, aparat keamanan lamban. Potensi amuk massa karena sentimen peristiwa sebelumnya (kasus penghinaan agama), kurang maksimal dicegah. Ketika pembakaran gereja terjadi, aparatpun tidak berkutik.

Sedangkan untuk kasus di Pasuruan, aparat keamanan terlihat enggan menindaklanjuti laporan kasus serupa sebelumnya. Baru ketika muncul peristiwa lebih besar di Pandegelang dan Temanggung, aparat keamanan merespon kasus penyerangan pondok pesantren yang dikabarkan beraliran Syiah di salah satu daerah “Tapal Kuda” tersebut.

Banyak kalangan kemudian menilai, negara terus kecolongan konflik horisontal ataupun amuk massa, karena lemahnya intelijen. Namun, penilaian ini tidak serta merta disepakati oleh Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati.

Menurut peraih gelar doktor bidang komunikasi intelijen dari Universitas Pajajaran Bandung itu, terjadinya konflik-konflik horisontal ataupun amuk massa, khususnya dalam tiga kasus terakhir, tidak bisa secara enteng dilihat karena intelijen lemah. Petugas-petugas intelijen di lapangan, bisa saja telah memberikan laporan secara detail tentang kondisi yang berkembang, tetapi laporan itu tidak dikaji atau tidak dipakai.

Biodata

Nama:
Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati

Tempat, Tgl Lahir:
Jakarta, 30 Agustus 1964

Pekerjaan:
Anggota DPR RI Periode 2009-2014

Pendidikan:
SD Yasporbi II, Jakrta
SMP Asisi, Jakarta
SMAN 70 Bulungan, Jakarta
S1 FISIP UI, Jakarta
S2 Ilmu Komunikasi UI, Jakarta
S3 Ilmu Komunikasi Unpad, Bandung

Karir:
Anggota DPR RI Fraksi Partai Hanura, 2009-2014
Anggota DPR RI Fraksi PDIP, 2004-2009
Komisaris PT Netwave Maju Abadi, 2008-sekarang
Senior Adviser PT Cipta Busana Jaya, 1999-sekarang
Direktur Komunikasi/Advisor Texmaco Grup, 1997-1999
PR Manager Texmaco Grup, 1996-1997
Marketing & PR beberapa perusahaan dan perbankan, 1989-1996

Kegiatan Sosial:
Wakil Ketua Yayasan Kebun raya Indonesia, 2000-2002
Penulis dan Pengamat komunikasi politik dan intelijen
Kegiatan kesenian
© INTELIJEN.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.