Selasa, 13 November 2012

Sekilas Kisah Patih Gajah Mada

 Mengungkap asal usul Patih Gajah Mada yang misterius

Keberadaan dan asal-usul pahlawan yang kondang dengan Sumpah Palapa ini masih menjadi misteri bagi semua orang. Bahkan para ahli sejarah pun belum menemukan kata sepakat dimana dia dilahirkan. Dimana dia dibesarkan sampai bagaimana sosok Patih Gajah Mada menghabiskan masa tuanya sampai saat ini menjadi tanda tanya besar. Serta menjadi teka-teki sejarah yang belum terpecahkan.

Ada bahasan menarik yang disampaikan oleh sastrawan Anuf Chafiddi atau sering dipanggil Viddy AD Daery dalam makalahnya dalam Seminar Sesi II tentang Kontroversi Gajah Mada dalam Perspektif Fiksi dan Sejarah di Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 di Manohara Hotel, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng Senin (29/10).

Secara tegas dirinya memberikan judul dalam makalahnya; "Foklor Mengenai Gajah Mada Lahir di Modo, Lamongan" yang artinya menyatakan dirinya yakin bahwa Gajah Mada dilahirkan, besar dan mati di Lamongan, Jatim.

"Gajah Mada pahlawan maha besar nusantara itu lahir di wilayah Lamongan, Jawa Timur? Untuk menjawab pertanyaan itu akan menimbulkan berbagai macam jawaban kalau ditanyakan ke banyak orang. Namun kalau ditanyakan kepada saya. Jawaban saya adalah betul," ungkap Viddy.

Ada lima alasan yang menjadikan Viddy yakin bahwa Gajah Mada berasal dari Lamongan, Jatim. Alasan itu di antaranya, di daerah Desa Modo dan sekitarnya termasuk Desa Pamotan, Desa Ngimbang, Desa Bluluk, Desa Sukorame dan sekitarnya tersebar foklor atau cerita rakyat. Dongeng dari mulut ke mulut mengisahkan bahwa Gajah Mada adalah kelahiran wilayah Desa Modo.

Kelima desa itu merupakan daerah ibu kota sejak didirikan jaman Kerajaan Kahuripan Erlangga. Bahkan anak cucu raja juga mendirikan ibu kota di situ. Alasanya strategis alamnya bergunung-gunung, bagus untuk pertahanan dan dekat dengan Kali Lamong cabang Kali Brantas. Selain itu ada jalan raya Kahuripan-Tuban yang dibatasi Sungai Bengawan Solo di Pelabuhan Bubat (kini bernama Kota Babat). Ibu kota ini baru digeser oleh cicit Airlangga ke arah Kertosono-Nganjuk.

Kemudian baru di zaman Jayabaya digeser lagi ke Mamenang, Kediri. Selanjutnya oleh Ken Arok, digeser masuk lagi ke Singosari. Baru kemudian oleh R Wijaya dikembalikan ke arah muara yaitu ke Tarik. Namun, anaknya yang akan dijadikan penggantinya yakni Tribuana Tunggadewi diratukan di daerah Lamongan-Pamotan-Bluluk lagi yaitu di Kahuripan alias Rani Kahuripan, Lamongan.

"Ketika Gajah Mada menyelamatkan Raja Jayanegara dari amukan pemberontak Ra Kuti, dibawanya Jayanegara ke arah Lamongan yaitu di Badender (bisa Badender Bojonegoro, bisa Badender kabuh, Jombang, keduanya memiliki rute ke arah Lamongan (Pamotan-Modo-Bluluk dan sekitarnya). Itu sesuai teori masa anak-anak dimana kalau anak kecil atau remaja berkelahi di luar desa pasti jika kalah lari menyelamatkan diri masuk ke desa minta dukungan. Di desanya banyak teman, kerabat maupun guru silatnya. Saya kira Gajah Mada juga menerapkan taktik itu,"ungkapnya.

Sebuah situs kuburan Ibunda Gajah Mada, yaitu Nyai Andongsari juga menjadikan Viddy yakin bahwa patih kerajaan jaman Majapahit itu berasal dari Lamongan. Kemudian juga ada situs kuburan yang sampai saat ini menjadi perdebatan dan kontroversial yang diyakini warga sekitar merupakan kuburan patih Gajah Mada. Namun, kuburan itu dalam posisi dan berkarakter kuburan islam.

"Kuburannya menghadap ke arah persis sebagaimana kuburan orang Islam. Kalau misalnya hal ini benar maka wajar saja masa tua Gajah Mada tidak ditulis di babad-babad atau kitab kuno. Sengaja disisihkan atau dihapus dari sejarah karena Gajah Mada mungkin dianggap 'murtad' atau semacam itu," jelasnya.

Arkeolog sekaligus sejarawan Fakultas Sejarah Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar menyatakan secara arkeologis belum ditemukan data tentang asal muasal dan keberadaan pasti Gajah Mada. Bahkan beberapa temuan prasasti-prasasti yang menyinggung tentang cerita Gajah Mada belum dan tidak bisa digunakan untuk penelitian dan memastikan benang merah sejarah cikal bakal Gajah Mada itu sendiri.

"Beberapa data soal keberadaan Gajah Mada yang belum digunakan. Data Gajah Mada secara arkeologis tidak ada. Yang ada nanti jika digunakan menjadi tafsir di atas tafsir. Prasasti yang terabaikan itu diantaranya: Prasasti Gajah Mada di situs Candi Singosari (Tahun 1351 M), Prasasti Relief Mahameru (Pawitra) yang menjelaskan Mahameru sebagai titik asis mundi.

Kemudian penemuan Candi Tikus di situs Trowulan yang gayanya mirip Candi Singosari. Mungkinkah Candi Tikus diperintah Gajah Mada untuk dibangun.

"Candi Kepung 7 meter di muka tanah sangat dekat dengan Candi Tikus di Kepung Kediri. Ada lagi Prasasti Hemadwalandit, Prasasti Bendodari (Tahun 1360 M),"tuturnya.

Agus Aris menyatakan karena tidak ada bukti arkeologis yang ditemukan terkait keberadaan dan cikal bakal Gajah Mada dan saking menariknya tokoh yang satu ini, banyak sekali daerah yang sampai mengklaim secara lisan bahwa di daerah mereka merupakan asal muasal maupun tempat meninggalnya Gajah Mada.

"Ada yang mengakui bahwa Gajah Mada dari Buton, Gajah Mada dari Wange-wange Bali. Ada yang bahkan mengatakan bahwa Gajah Mada adalah keturunan pasukan Tor-Tor,"ungkap Agus Aris Munandar.

Sampai saat ini, penelitian Arkeologi belum berhasil menemukan jati diri, sosok Gajah Mada yang seutuhnya. Sebab dari arkeologi sejarah, mempunya peringkat validitas data.

"Data primer, data sekunder dan data tertier. Berita- berita dari mulut ke mulut (folklor) itu, menurut Aris itu merupakan data tersier dan bersifat negatif. Data primer prasasti itu mutlak dan dibuat pada jamanya. Prasasti dengan angka tahun dihargai dengan angka tahun. Data pendukung: zaman, bergeser. Negarakertagama lebih falid dari Pararathon. Ada peringkat yang tidak bisa kami tabrak begitu saja. Silahkan multi tafsir nanti akan diperbaiki," kata Agus.(mdk/ian)


 Gajah Mada, kisah perang Bubat dan intrik politik Majapahit

Tak hanya asal muasal Gajah Mada, sosok pahlawan yang kondang dengan Sumpah Hamukti Palapanya (Sumpah Palapa) masih menjadi misteri. Penyebab kematian sang maha patih Majapahit itu meninggal pun masih misteri.

Di kalangan para sastrawan dan sejarawan tersebar beberapa informasi dan beberapa versi bagaimana dan apa penyebab kematian Gajah Mada. Mulai dari mati karena sakit hingga mati karena konspirasi pejabat Majapahit yang sangat terlihat dalam perang Bubat. Kemudian yang terakhir adalah mati karena moksa atau murca yang konon orang bilang mati menghilang tanpa meninggalkan jasad.

Fakta itu muncul dalam acara Seminar Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 bertemakan; "Kontroversi Gajah Mada Dalam Perspektif Fiksi dan Sejarah" di Manohara Hotel, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng.

Sejarawan sekaligus Arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar mengungkapkan banyak versi kematian Gajah Mada.

Di satu sisi, banyak foklor (cerita dari mulut ke mulut) dari masyarakat di sekitar situs Trowulan, Jatim yang menyatakan bahwa Gajah Mada tewas setelah melakukan perang Bubat.

Perang Bubat ini, adalah perang dimana Raja Pajajaran datang untuk membicarakan pernikahan antara Raja Hayam Wuruk dari Majapahit dan Putri Diah Pitaloka dari Pajajaran. Pernikahan ini besar artinya untuk kedua kerajaan. Saat itu hanya Pajajaran yang masih berdiri gagah menentang hegemoni Majapahit. Majapahit merasa lebih baik menjadikan Pajajaran sebagai sekutu daripada negara jajahan.

Namun, karena adanya konspirasi dalam pejabat istana kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk telah dijodohkan dengan adik sepupunya Putri Sekartaji atau Hindu Dewi.

"Konspirasi dalam hal ini yang dimaksud konspirasi pejabat Majapahit pada masanya. Gajah mada itu terlalu cemerlang. Dia ingin dijatuhkan. Konspirasi pejabat Majapahit sendiri. Bukan dari Pajajaran. Itu yang tidak suka pada Gajah Mada. Soal pernikahan itu, teori saya tentang Gajah Mada, Gajah Mada tidak bersalah. Gajah Mada hanya melaksanakan titah sang raja. Gajah Mada hendak menjodohkan Hayam Wuruk dengan Diah Pitaloka. Gajah mada Ingin sekali untuk menyatukan antara Raja Sunda dan Raja Jawa lalu bergabung. Indah sekali," tegas Aris.

Gajah Mada tidak tahu ternyata di balik itu ada perjodohan istana sejak kecil. Dijodohkan dengan sepupunya. Kenapa Gajahmada tidak tahu karena ada rahasia perjodohan istana di dalam. Gajah Mada kan ada di luar dia tidak tahu itu.

"Hayam wuruk dijodohkan dengan adik sepupu Dewi Sekartaji atau Hindu Dewi sejak kecil. Itu Gajah Mada tidak mengerti. Begitu raja dan ratu Tribuana Tungga Dewi datang, ini apa-apaan? Kalau dijodohkan bagaiamana? Batalkan Gajah Mada!" jelasnya.

Usai perang Babat itu, diyakini Gajah Mada meninggal atau mati dengan moksa. Sebab, sampai dimana pun dan kapanpun Gajah Mada tidak akan pernah mau melawan perintah raja Majapahit. Jika Gajah Mada melawan perintah raja, maka akan memotong jalan dan tujuan Gajah Mada mati secara moksa. Yang saat itu disebut sebagai kematian sempurna dan abadi.

"Kalau dia melawan perintah raja maka dia tidak akan sampai pada tingkatan moksa. Begitu dia di puncaknya melawan perintah raja maka dia dikutuk oleh raja. Dalam kitab dan filosofi "Karmaning Jawa Dwipa" sangat kuat dikatakan Gajah Mada dengan kesaktian dan ilmunya sengaja mencari moksa dengan sempurna. Mengabdi kepada Jayanegara dan Ratu Tribuana Tungga Dewi untuk masuk suarga loka," ungkap Aris.

Tapi banyaknya kepentingan pejabat-pejabat di dalam istana Majapahit sehingga mengakibatkan patih Gajah Mada sakit dan kemudian meninggal.

"Saat pemerintahan Raja Hayam Wuruk klimaksnya dan akhirnya di Negarakertagama diceritakan Gajah Mada mengalami proses sakit dan meninggal. Data otentik bagi saya Negarakertagama. Bukan kidung sunda atau kidung sundyana. Saat itu, Gajah Mada sedang pergi. Ke daerah Selatan. Mahapatih mendengar perintah sang raja kemudian kembali ke Majapahit saat kembali dalam perjalanan Gajah Mada sakit. Tidak keburu lalu meninggal,"ungkap Agus Aris.

Sementara Budayawan Yakob Sumarjo yang mendalami Kidung Sundayana (1800 SAKA) dan Carita Parahyangan Abad XVI berkeyakinan bahwa Gajah Mada meninggal dengan cara moksa atau menghilang.

Yakob menceritakan beberapa kidung yang dia pelajari menceritakan banyak orang Sunda pergi ke Jawa dengan perahu Jung dengan iring-iringan pengawal dulu, disusul perahu raja dan bangsawan diikuti perahu memuat logistik bahan makanan dan senjata.

"Sampai disana di Bubat, menunggu. Semula disambut dengan baik. Tetapi tidak dikirim lagi semacam bantuan persembahan karena adanya Medang Gajah Mada. Pangeran Pajajaran datangi rumah Gajah Mada. Masjid besar, belok Timur mereka berdiri digerbang. Melihat gajah mada rapat pernikahan. Gajah Mada melihat rombongan tapi membiarkan. Rombongan Pajajaran masuk ke halaman dan terjadi pertarungan,"tutur Yacob.

Peperangan itupun dilerai oleh pemuka agama Majapahit dan dijanjikan beberapa hari untuk diberikan keputusan. Akhirnya putri Raja Pajajaran Diah Pitaloka itu dinyatakan hanya sebagai persembahan sehingga tidak boleh diperistri. Peperangan pun berkecamuk dan berlangsung sengit.

"Perang raja lawan raja. Pangeran lawan pangeran. Mereka (Pasukan Pajajaran) gugur. Hayamwuruk lakukan pesta besar-besaran. Hayam wuruk marah Gajah Mada mau ditangkap tetapi menghilang dengan cara moksa. Mereka tidak menyalahkan Gajah Mada karena dianggap keturunan Dewa Wisnu. Dalam Kidung digambarkan, laut jadi merah gagak-gagak bertebangan," tutur Yacob.(mdk/ian)


 Sejarah Gajah Mada dan Syekh Siti Jenar 'digugat'

150 Penulis dan pemerhati sejarah se-Indonesia berkumpul di Candi Borobudur, sejak Minggu (28/10) hingga Rabu (31/10) mendatang. Para penulis ini akan mengupas karya-karya baru mereka yang kebanyakan bercerita tentang sejarah yang penuh kontroversi dan bersifat legenda.

"Kami akan mengadili sejarah. Semua akan dikupas dengan mempertemukan para penulis novel dan sejarah," ujar sastrawan Arswendo Atmowiloto Senin (27/10) usai acara pembukaan di Manohara Hotel Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur Magelang, Jateng.

Beberapa hal menarik yang akan dibahas di antaranya Imajinasi ruang kosong sejarah nusantara, kontroversi Gajah Mada, Sriwijaya dalam Prosa dan Arkeologi, kontroversi Syekh Siti Jenar dalam sastra dan agama.

Kegiatan ini berangkat dari makin berkembangnya tulisan-tulisan sejarah dalam bentuk novel-novel bertema silat dan sejarah nusantara. Novel-novel itu umumnya diciptakan oleh pengarang-pengarang baru yang selama ini belum dikenal publik.

Dengan menggunakan latar belakang sejarah kerajaan Mataram, Majapahit, Sriwijaya dan Pajajaran, para novelis itu berusaha menghidupkan tokoh utama bahkan tokoh-tokoh baru untuk memperkuat daya tarik karya-karya.

Berangkat dari keprihatinan akan sejarah yang masih banyak belum dikupas, para sastrawan dan penulis maka dilakukan pertemuan bertajuk Borobudur Writers and Cultur Festival 2012.

Agenda tersebut akan diselenggarakan pada tanggal 29 sampai 31 Oktober di Komplek Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang. Tema yang akan diusung adalah "Musyawarah Akbar Novelis Silat dan Sejarah Nusantara".

Narasumber yang hadir yaitu Arswendo Atmowiloto (penulis Senopati Pamungkas), Seno Gumiro Ajidarma (penulis Nagabumi), Agus Aris Munandar (arkeolog, penulis buku biografi Gajah Mada), Fendi Siregar (fotografer, penapak tilas rute Centhini), Mudji Sutrisno SJ (pengajar studi budaya di Pasca Sarjana UI). Acara ini dimoderatori Seno Joko Suyono (wartawan budaya senior).

Panitia acara, Dorothea Rosa Herliany menambahkan kegiatan ini bertujuan untuk melihat masa silam nusantara dari berbagai sisi. Berbagai perspektif cerita sastra maupun kajian sejarah arkelogis.

"Masih banyak ruang kosong yang belum terungkap dalam sejarah, karena selalu muncul temuan baru dan perspektif baru," ungkapnya.

Dalam kegiatan tersebut juga akan diluncurkan empat novel baru berisi tentang sejarah. Di antaranya Walisongo karya Damar Shashangka. Api Merapi karya Budi Sardjono, La Galigo karya Dul Abdul Rahman, dan "Sabdo Palon dan Noyo Genggong karya Ardian Kresna.(mdk/ian)
© Merdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.