Senin, 24 Desember 2012

☆ Ben Mboi : Dokter, Prajurit Para Komando (4)

Artikel dibawah ini seluruhnya dikutip dari Buku Biografi Ben Mboi - Dokter, Memoar Prajurit, Pamong Praja. Suntingan Sdr. Candra Gautama & Sdr. Riant Nugroho - Terbitan KPG Desember 2011.

Sampai Jumpa Irian Barat


Hari untuk pulang, kembali ke Jakarta sudah ditetapkan. Di RSU. Hollandia ada seorang Kelasi KRI Macan Tutul dengan luka bakar hampir 100 persen dan sudah satu tahun menjalani perawatan. Kelasi Wayan seorang putra asli Bali. Dia akan turut dievakuasi ke RPAD di Jakarta. Oleh Lettu Dr. Liem Tjing Ham semua sudah diatur untuk evakuasi. Kami akan menggunakan kroonduif di Biak, dan dari sana dengan pesawat Electra Garuda ke Jakarta. Tugas saya menjaga pasien sepanjang perjalanan.

Dalam perjalanan Biak-Makassar saya duduk dengan -tidak tanggung-tangung- Panglima Mandala Mayjen Soeharto. Tetapi paling berkesan buat saya, seorang Panglima Mandala bersedia duduk berdampingan dengan hanya seorang Letnan Satu di pesawat, sepanjang perjalanan. Pak Harto bertanya macam-macam tentang pengalaman saya, dan saya menceritakan apa adanya.

Pak Harto turun di Makassar, markas Komando Mandala, dan kami meneruskan penerbangan ke Jakarta. Pukul 15.00 sore kami mendarat di Bandara Udara Kemayoran. Datang menjemput dengan ambulans dari RSPAD untuk menerima pasien Macan Tutul. Pacar saya juga ada disana, ditemani teman lama saya, Sdr. Lim Bian Kie.

Saya mengantar dulu pasien ke RSPAD dan barang-barang saya ke Mess Dokter di Gedung Kebidanan. Di RSPAD Dokter Jaga meminta kelengkapan surat-surat pasien terlebih dulu, baru diterima. Celaka dua belas, 6 bulan dalam hutan kita tidak mengenal birokrasi, sekarang pertanyaan pertama penyambutan adalah :
"Mana surat-surat?"
Saya bilang, "Tahu tidak, saya terjun ke Merauke tanpa surat perintah? Kalau kau perlu surat-surat, ini suratnya!" Saya todong si Dokter Jaga dengan pistol dari pingang saya. Dia sangat kaget dan langsung mengurusi pasien tersebut. Sesungguhnya, surat-surat lengkap semua, tapi masih dalam plujezak saya!

Memang sejak keluar dari hutan, saya menjadi trigger-happy, cepat tersinggung kalau ada orang yang sok-sokan. Kemudian masih ada cerita lagi dimana saya todongkan pistol karena sangat marah, entah apa sebabnya. 

Menjadi Kapten 10 Hari

Saya tinggal di Mess Dokter RSPAD, lantai 2 di Gedung Kebidanan. Besoknya saya melapor ke direktorat Kesehatan AD sebelah Gedung Kebidanan RSPAD. Ternyata Kedatangan saya itu tidak menimbulkan sesuatu yang luar biasa. Bayangkan, saya satu-satunya dokter AD, combatant dan airbone yang diterjunkan di Irian Barat, membawa nama Korps Kesehatan AD dan Korps Kedokteran Indonesia. Tidak satu emosi pun menyambut saya, tidak ada kegembiraan, tidak ada kebanggan bahwa Dinas Kesehatan AD telah ambil bagian dalam suatu historical action, passion and moment dari bangsa Indonesia. Kalau ketika mau diterjunkan sampai-sampai ada malam tumpengan segala!, ketika kembali dari Irian Barat disalami saja tidak pernah!.

Saya hanya diterima oleh Kepala Urusan Personalia, Kapten Harjono. Dia melihat saya, lalu mengatakan,
"Ben Mboi, kamu sudah berpangkat Kapten. Ini, pakai ini!" sambil menyodorkan dua epolet tanda Kapten.
Saya berangkat ke Merauke sebelum saya mengerti seluk beluk protokol ketentaraan, apalagi perihal naik turunnya pangkat. Jadi saya terima epolet itu dan saya pakai!. Maka jadilah saya Kapten. Beres!. Begitu sederhana sekali!. Tetapi dalam hati saya timbul keragu-raguan. Maka diluar saya selalu memakai jaket.

Ketika suatu hari Mayor Benny Moerdani menjemput Raiders Yon 530 di Tanjung Priok, yang datang dengan kapal laut, dia lihat saya sudah memakai tanda pangkat Kapten. Dia nyelutuk,
" Dok, Dok, naik pangkat itu ada pakai upacaranya. Tidak main pasang sendiri-sendiri!"
Bukan main malunya saya. Sudah tidak disambut, disuruh lagi pakai tanda pangkat Kapten tanpa upacara. Perlahan-lahan dalam Jeep Gaz Komando Pak Benny, saya tanggalkan pangkat Kapten, dan ganti dengan Letnan Satu yang sudah saya lepaskan 10 hari lalu.

Empat tahun kemudian baru saya menemukan dimana kesalahannya. Masih ingat ketika saya meminta dimilsukan kepada Kapten Harjono, setelah melamat terjun pada bulan Mei sebelumnya? Ternyata ketika saya masih didalam hutan, datang telegram dari Markas Besar AD, memilsukkan saya dengan Nrp.19503, sehingga kalau ditelusuri, saya sudah dua kali dinaikkan pangkat menjadi Kapten. Pertama dengan radiogram dari MBAD bulan November 1962. Kedua, dengan kenaikan istimewa yang dilantik oleh Jenderal Nasution bulan Maret 1963. Untuk upacara itu, pasukan-pasukan yang kembali dari Trikora ditampung dipenginapan para atlet di Senayan.

Setelah upacara diparkir barat Senayan itu, menyusul upacara penyematan Bintang Sakti yang tengelam dibalik pemberian Pending Emas kepada Herlina, seorang gerilyawati di Irian Barat. Saya dapat Bintang Sakti, yang kesaktiannya baru akan terbukti beberapa tahun kemudian.

Dinilai Tidak Cakap Jadi Tentara

Suasana batin bangsa Indonesia bisa dikatakan aneh. Kalau kita bandingkan dengan gegap gempitanya segala rapat raksasa merebut Irian Barat, maka begitu sunyi senyapnya penerimaan para pejuang yang telah mempertaruhkan jiwa raganya merebut Irian Barat itu. Itu tampak pada sambutan kerumunan orang yang menonton pawai kemenangan setelah penyematan Bintang Sakti di Istana Merdeka. Dan di seluruh Indonesia pun tidak ada upacara apa-apa. Papua, si anak yang hilang telah kembali!. Tapi tidak ada sorak sorai, The life goes on as usual.

Tentang nasib saya sendiri, tidak jelas. Setelah berbagai upacara dan pulang cuti ke Kupang, saya bersama Lettu Dr. Liem Tjing Ham diperintahkan ke Pusat Psikologi AD untuk diperiksa apakah pantas menjadi Militer Sukarela. Saya protes dalam hati. Betapa tidak, saya baru pulang dari gerilya di Irian Barat, suatu perjuangan yang saya lamar sendiri. Bukan atas perintah. Eh, saya masih harus diuji pantas atau tidak untuk menjadi tentara! Saya pergi berjuang dengan pasukan elite yang dimiliki oleh Tentara Nasional Indonesia. Bukankah itu membuktikan kelaikan saya jadi tentara? Saya bertanya dalam hati apakah dokter PDAD yang menolak terjun dengan pasukan itu sudah lulus dari Pusat Psikologi AD? Dalam hati saya punya jawaban! This is not fair! Tidak adil!

Saya diuji disana, saya tidak mau memperhatikan pertanyaan-pertanyaan penguji. Saya menjawab sesuka saya. Kesimpulan para Psikologi AD: Saya tidak cukup cakap untuk menjadi Tentara, sedangkan teman saya Lettu Dr. Liem Tjing Ham lulus. Bayangkan, saya bukan ikut berperang bersama-sama mereka, prajurit-prajurit biasa, saya ikut berperang bersama prajurit-prajurit dengan atribut dan kualifikasi Komando!, dan saya dinyatakan tidak cukup cakap menjadi Tentara. Saya tidak perduli lagi!. Inilah balasan yang saya terima dari AD. Tetapi menunggu dan menunggu tidak kunjung keluar keputusan apakah saya dibebaskan dari Wamil. 

Membubarkan Resepsi Kenegaraan Di Istana Negara

Suatu hari dibulan Oktober tahun itu, saya menjadi Dokter Jaga di RSPAD. Dokter Jaga adalah dokter (seorang diri) yang bertanggungjawab terhadap berfungsinya seluruh rumah sakit sesudah jam 14.00 siang - pukul 07.00 besoknya. Dia juga bertanggung jawab terhadap pasien dari semua bagian. Dokter-dokter bagian adalah konsultan on-call.

Pada hari itu terjadi keanehan di Poliklinik Bedah RSPAD. Silih berganti masuk diangkut pasien prajurit KKO yang luka tusuk, luka bakar, luka sayat, lalu prajurit RPKAD dengan luka-luka lebih kurang sama. Saya tidak bertanya tentang keanehan itu, karena kebetulan itu pekerjaan saya sehari-hari. Maka saya tidak memperhatikan bahwa akan ada masalah dengan eskalasi lebih besar bakal terjadi sebentar lagi.

Kira-kira pukul 16.00 sore, sementara saya mau melakukan ward round dibagian kebidanan di seberang kantor pusat, saya memergoki beberapa prajurit RPKAD merayap-rayap menuju Asrama KKO, tetangga RSPAD. Ternyata mereka adalah prajurit yang ikut terjun dengan saya di Irian Barat 16 bulan yang lalu.
"Eh, eh..mau kemana kalian?" saya teriak.
"Anu Dok, kepengen sesekali berkelahi didalam kota Dok!. Bosen, kita kan selalu disuruh berkelahi dalam hutan."
"Busyettt!", saya jawab.
Saya pikir lagi bergurau mereka, Tapi saya ternyata salah sangka!

Pukul setengah tujuh malam, Mayor Benny Moerdani dalam pakaian olahraga dengan raket tenis datang berlari kearah STOVIA. Kami bertemu dipelataran RSPAD.
"Dok, lihat anak buah saya?" Ternyata mereka-mereka itu anak buhnya Pak Benny di Group Satu.
"Tadi kira-kira pukul empat sore, Mayor! Ada apa?"
"Mereka mau berkelahi dengan prajurit KKO Cakrabirawa," Pak Benny menjawab lalu menghilang dalam kegelapan maghrib.
Perlu diketahui, pada masa itu ada semacam kecemburuan antara RPKAD dengan pasukan Cakrabirawa. Sebab musababnya sederhana, karena Cakrabirawa memakai Baret yang mirip Baret Merah yang menjadi trademark nya RPKAD.

Begitu mulai malam, mulailah terdengar tembakan-tembakan. Mula-mula satu dua, makin lama makin gencar. Tembak menembak seru meletus disamping RSPAD!

Lewat pukul setengah delapan malam, pasien mulai mengalir masuk. Diantaranya seorang gadis dari Mess Kesehatan AD di Komplek Siliwangi. Begitu dia diperiksa, sudah meninggal. Tertembak dibagian dagu menembus leher. Pasien-pasien yang lain saya tangani sendiri. Dalam keadaan kacau dan hiruk pikuk serta masih diluar tembak menembak masih berlangsung seru, tiba-tiba Kopral Piket Rumah Sakit menghadap, berdiri 4 meter didepan saya.
"Hormat! Mulai saat ini Kapten adalah Karumkit. Kepala Rumah Sakit, selanjutnya mohon petunjuk!"
Anda harus bayangkan, seorang Kopral Piket melantik seorang Kapten, menaikkan pangkatnya menjadi Brigjen! dengan jabatan Karumkit!
"Mari sini Kopral!" saya perintahkan dia sambil mengambil dua kertas resep stensilan yang masih kosong."Kopral, ini ada dua pengumuman: Yang pertama kepada Protokol atau Rumah Tangga Istana. Yang satu lagi berupa pengumuman kepada Kepala RSPAD Brigjen Dr, Pratomo, Dokter-Dokter bagian bedah dan kebidanan agar segera kembali ke RS secepatnya. Siapapun yang sedang pidato, suruh berhenti dan membaca pengumuman ini. Kau Kopral, keluar dari sini pergi ke Istana bawa ambulans ini. Nyalakan lampu dan sirene dari sini, tembus pertempuran itu!. Hanya tentara gadungan yang menembaki ambulans yang sedang bertugas!"
Sebagai catatan, pada saat itu di Istana Negara ada resepsi penutupan Kongres Ikatan Dokter Indonesia yang dihadiri Bung Karno.

"Siap, kerjakan!" kata Kopral Piket dan berangkat menembus gencarnya tembakan melalui jalan Kathedral sampai Istana Negara dengan sirene meraung-raung.

Tidak tanggung-tanggung yang sedang pidato Bung Karno sendiri!. Presiden diminta berhenti sebentar untuk membaca, membaca pengumuman saya yang kedua. Bung Karno marah.
"Dasar tentara gadungan," katanya kesal, tapi tetap membiarkan para dokter RSPAD meninggalkan ruangan resepsi yang memang sudah kacau setelah kedatangan si Kopral!

Karumkit dan para dokter sampai di RSPAD pukul sembilan malam. Saya sudah mengumpulkan seluruh staf kamar bedah, dan tindakan pembedahan menggunakan seluruh kamar bedah yang ada sampai pukul sembilan pagi keesokan harinya.

Pada saat saya menulis memoar ini, pikiran saya tertuju pada Kopral itu, yang mempunyai sense of hierarchy of duty, sense of leadership, dan sense of crisis!. Dia tahu ada krisis. harus ada pemimpin yang mengatasi krisis itu, dan pemimpin itu adalah Kepala Rumah Sakit, dan de facto adalah Dokter Jaga. "Mungkin Dokter Jaga tidak sadar. Maka biar saya angkat dia." Itu kira-kira pikiran Kopral Piket tersebut.

Kopral itu sesungguhnya prajurit berkarakter Jenderal! Cuma sekarang dia telah menjadi the unknown corporal, kecuali dalam memori dan hati saya sendiri.

Peristiwa RPKAD vs KKO Cakrabirawa kemudian diselesaikan dengan perdamaian di Gedung Olahraga Senayan. Solidaritas dan comradeship adalah dua unsur penting dalam pembentukan seorang prajurit. Seorang prajurit, apalagi seorang perwira, harus tahu dan sadar akan the law of relationship, hierarchy, responsibility and crisis: the law of duty and obedience: the law of relationship, loyalty and sacrifice: the law of discipline, fear and courage: the law of victory and defeat, and last but not least, the law of heroism. Saya belajar dari seorang Kopral Piket yang terlupakan itu, disuatu sore bulan Oktober 1963. 

Berkelahi Dengan Komandan Kodim

Sepulangya dari Ganefo, Komandan Kodim Ende, Mayor Inf. Ajawaila membawa suatu klipping koran, katanya terbitan Suara Merdeka, berisi cerita tentang kolonialisme Portugis di Timor Portugis. Tulisan itu yang katanya berasal dari Harian Suara Merdeka, dimasukkan oleh Dandim kedalam majalah bulanan Dinas penerangan Kabupaten Ende, Kelimutu. Edisi pertama dan kedua tulisan ini mengandungi cerita klasik tentang kebusukan dan kekejaman kolonialisme. Edisi ketiga menghebohkan, karena mengandung Sara. Cerita tentang Imam Katolik, yakni tentang rahasia pengakuan dosa atau confessio.

Menurut cerita itu, di Timor Portugis ada seorang Pastor yang tiap hari sabtu menerima pengakuan dosa dari umat. Dosa-dosa yang ada hubungannya dengan polisi dan kriminal dicatat nama pendosanya dan dilaporkan kepada polisi setempat. Karena tahu tulisan itu berasal dari Dandim, saya meminta menghadap sang Komandan. Disana sudah menunggu Dandim Mayor Ajawaila, didamping Dadespom seorang Letda.

Saya langsung bertanya,

"Mayor apa berita dimajalah Kelimutu itu hasil intelijen atau ulah seorang wartawan yang kepengen mendramatisasi kolonialisme?"
"Kapten jangan ikut campur!" jawab Dandim.
"Tidak Mayor, saya akan ikut campur, karena menyangkut agama saya sendiri."
"Tidak. Kapten tidak boleh ikut campur!" Dandim tegaskan.
"Ini agama saya, dan saya harus bela. Kalau berita ini adalah hasil intelijen, siapa Pastor itu, siapa pendosa-pendosa yang dilaporkan, siapa polisinya, serta dimana dan kapan terjadinya kasus ini. Sebab Pastor itu telah melanggar sumpah imamatnya. Kami umat Katolik sendiri yang akan meminta Vatikan memecat Pastor tersebut. Tetapi apakah benar hasil intelijen atau hanya ulah wartawan, sama-sama sangat tidak bijaksana sekali tulisan itu diedarkan di Flores atau Kabupaten Ende, daerah yang 90 persen Katolik, dan tiap hari sabtu pergi membuat pengakuan dosa ke gereja. Bayangkan akibat tulisan itu, kepercayaan umat terhadap imam akan hilang, dan ini menimbulkan keresahan. Jadi dengan tegas saya menolak isi tulisan itu!"
Tidak ada kesimpulan dari pertemuan itu, dan masyarakat mulai resah. Suatu delegasi ummat yang dipimpin oleh Pak Louis Manteiro, mantan Kepala Derah Flores, mau menemui Bupati. Saya ikut dalam pertemuan, berpakaian Dinas.

Pertemuan dipimpin sendiri oleh Bupati Ende, Pak Winokan. Bupati didampingin Dandim Mayor Ajawaila, Danres Mayor Pol. Chayat Sumitaatmadja, dan Kajari Suprono. Saya duduk dibelakang mereka mengamati hasil pertemuan. lama-lama saya gatel kepengen angkat bicara. Saya angkat tangan minta izin bicara.

"Silahkan, Pak Dokter," kata Bupati Pak Winokan.
Saya ke depan Bupati, dan secara mendadak saya gebrak meja Bupati, sambil berkata,
"Kekuasaan bapak-bapak saya junjung tinggi diatas kepala saya. Tetapi kalau mau mengganggu ketenteraman agama saya, tembak saya dulu sekarang juga!, disini di depan rumah jabatan ini!".
Keheningan menyergap seluruh ruangan Bupati terdiam. Dandim terdiam. Akhirnya keheningan dipecahkan oleh Danres, "Kami minta Pak Dokter tenang, sebagai Pemegang Bintang Sakti bantu kami menjaga ketenangan di Ende".
Saya jawab, "Ketenangan masyarakat terganggu akibat ulah pimpinan daerah. Tadinya rakyat tenang!".

Tidak ada dialog lagi. Pertemuan bubar. Danres menemani saya pulang berjalan kaki ke rumah sakit yang cukup dekat dari situ.

"Kalau saya Dandim saya tangkap kamu tadi!" Chayat berkomentar. "Kok tangkap!" saya jawab, "Kan tadi saya katakan, tembak saya didepan rumah jabatan!".
Beberapa hari kemudian, saya mendapat surat pribadi dari Pangdam Udayana Mayjen Sjaifuddin. Dia meminta saya sebagai pemilik Bintang Sakti, membantu menjaga ketenteraman di Flores, dan Ende khususnya.

Tapi untuk saya sendiri, saya temukan kesaktian Bintang Sakti saya, yang diangkat Pangdam sebagai rujukan. Tindakan saya tempo hari di rumah jabatan Bupati rupanya berbuntut panjang, dan ramai sekali. Saya dilaporkan ke Korem di Kupang dan ke Kodam di Denpasar. Intinya, saya dituduh menghasut umat Katolik di Flores untuk memberontak. Solusinya saya dipecat dari kedinasan AD dan dikeluarkan dari Nusa Tenggara. "Flores eksplosif, umat Katolik mau memberontak dibawah pimpinan Kapten Dr. Ben Mboi," Begitu bunyi radiogram Dandim kepada Danrem dan Pangdam. Saya dapat perintah menghadap Danrem di Kupang, selanjutnya Pangdam di Denpasar yang akan menentukan nasib saya.

Kasus lain lagi, yang membuat saya bertindak kasar, adalah ketika telpon ke rumah jabatan dikter disadap, sehingga telepon-telepon dari pasien di intercept. Saya pergi ke kepala kantor telepon dan menodongkan pistol.

"Ada pasien mati karena gagal dapat dokter, saya tembak kamu!" bentak saya. Penyadapan berakhir.
Hari untuk diperiksa dan melapor ke Korem tiba. Semua orang di Ende bertaruh bahwa saya akan dipecat, paling tidak dipindahkan keluar dari Nusa Tenggara. Saya ke Kupang, diinterogasi di Seksi Intel, Teritorial. Dan kepala Seksi Teritorial adalah Mayor El Tari, seorang putra Sabu NTT, pejuang angkatan 45. Pembicaraan berkisar sekitar tidak banyaknya putra-putra NTT dalam TNI. Saya bilang kepada Pak Tari,
"Sudahlah Mayor, tidak usah susah-susah periksa. Bebaskan saya dari AD. Saya sudah mengambil keputusan keluar dari AD.
"Jangan, kita tidak banyak di TNI, bertahan saja. Lu ke Denpasar menghadap Panglima. Pasti ada jalan keluar".
Saya pun ke Denpasar menghadap Panglima. Saya diterbangkan ke Denpasar. Pada saat itu saya merasa benar-benar diperlkakukan seperti pesakitan. Semua orang melihat saya sebagai pemberontak. Untunglah saya masih boleh memakai fasilitas-fasilitas perjalanan militer, termasuk hotel dan pesawat terbang.

Begitu saya sampai, pertama-tama saya melapor kepada Kakesdam. Rupanya Kakesdam sama sekali tidak mempunyai minat terhadap masalah yang menimpa bawahannya. Dia menganggap ini politik. Kasihan saya! Tapi Kakesdam melaporkan ke Kodam, "Kapten Ben Mboi sudah ada di Denpasar dan siap menghadap Panglima!

Sampailah pada hari saya diterima menghadap Panglima, Mayjen Sjaifuddin. saya berpakaian lengkap dengan pita Bintang Sakti dan Bintang Dharma saya. Panglima sangat sopan, mengajak saya duduk berhadap-hadapan di sofa. Setelah bicara basa basi sebentar, dia mulai omong tentang kasus saya di Ende.

"Bapak Panglima, sebelum saya ceritakan tentang kasus saya di Ende, bolehkah saya mengajukan 4 pertanyaan kepada Panglima?"
"Silahkan", dia menjawab.
"Pertama, apakah Panglima tahu di Ende ada komandan yang menggerebek persediaan jagung penduduk dan menjual kepada anak buahnya dengan harga lebih mahal daripada di pasar? Notabene jagung tidak termasuk barang timbunan?" saya tanya.
"Tidak tahu!" jawab Panglima.
"Kedua, Panglima tahu di Ende ada komandan yang menyita bensin di Pulau Ende dan menjualnya sendiri kepada masyarakat?"
"Tidak tahu!" jawab Panglima.
"Ketiga, Panglima tahu di Ende ada komandan yang membiarkan tentara-tentara yang pulang bercuti membom ikan di Pantai Ende, notabene ondermijning wewenang Kepolisian?"
"Tidak tahu!" jawab Panglima.
"Keempat dan terakhir, Panglima tahu di Ende ada komandan yang memberi pelajaran 2x seminggu pada kursus kader PKI?"
"Pun Tidak tahu!" jawab Panglima.
Saya langsung gebrak meja didepan Panglima. "Kalau begitu Panglima tidak tahu apa-apa tentang situasi di Ende. Panglima hanya tahu masalah saya saja!".
Anda harus membayangkan seorang Kapten menggebrak meja Panglima. Panglima pucat dan kaget. Saya sendiri juga kaget setelah gebrakan itu. Tapi yang lebih mengangetkan, Panglima tidak tampak marah dengan tindakan saya yang jelas-jelas diluar aturan kemiliteran.
"Ya Kapten, tetapi Kapten sekarang telah menjadi masalah nasional dan Kapten harus menghadap Menpangad di Jakarta."
"Oh ya, kenapa kenapa tidak menghadap Bung Karno?" tanya saya, tidak perduli apapun nasib saya.
"Tidak, cukup Menpangad Achmad Yani."
"Kapan, Panglima?"
"Segera Kapten berangkat ke Jakarta," kata Panglima.
Itu terakhir kalinya saya bertemu Mayjen Sjaifuddin, sampai sesudah G30S/PKI tahun 1966, ketika dia mengeluh kepada saya bahwa dia diisolasi dari semua informasi Angkatan Darat. 

Ahmad Yani, The General of General

Sementara di Denpasar saya bertemu dengan keluarga Mayor Kodiowa, orang pertama NTT yang menjadi perwira TNI. Kapten Kodiowa-lah yang memimpin serah terima fasilitas-fasilitas militer Belanda kepada TNI pada 1950. Dia Komandan KMK (Komando Militer Kota) Kupang sejak tahun 1950, dan berpangkat Mayor ketika peristiwa Permesta meletus. Dia dituduh oleh lawan-lawannya sebagai pengikut/simpatisan Permesta, tapi tidak pernah terbukti sampai meninggalnya tahun 2000an. Mayor Kodiowa, korban fitnah, pemegang Bintang gerilya, meninggal dan dimakamkan dalam kesunyian tanpa upacara militer. Apakah kasus saya juga nantinya sama dengan beliau? Padahal jasa-jasa saya tidak ada apa-apanya dibanding beliau.

Akhirnya saya dapat tiket pesawat untuk berangkat ke Jakarta. Besoknya saya langsung ke MBAD dan bertemu dengan Mayjen Pranoto Reksosamudro, Asisten Personalia Menpangad. Menpangad sendiri sedang keluar negeri.

"Kapten, pesan dan perintah Manpangad, kami boleh putuskan segala urusan berkaitan dengan AD. Tapi urusan Kapten Dr. Ben Mboi merupakan urusan Menpangad pribadi. Jadi Kapten harus menunggu sampai beliau kembali."
Jadi saya harus menunggu! Sampai kapan? Tidak tahu!

Saya pergi menghadap Pangkostrad Mayjen Soeharto. Dia juga termasuk pejabat MBAD. Beliau ditemani Brigjen Kemal Idris dan Brigjen Wahono.

"Ben Mboi, pesan Pak Yani kami tidak boleh mengurusi kamu. Tunggu sampai beliau kembali ketanah air. Tapi supaya kamu tahu, kamu itu adalah Maskot Mandala. Tidak ada sarjana lain atau dokter lain yang mempunyai prestasi seperti kamu. Kami takut kau dikotori oleh politik!""Politik apa, Jenderal?" tanya saya, setelah melihat Pak Harto dan pembantu-pembantunya ada kepedulian terhadap masalah saya."Sudahlah, jangan tanya macam-macam, urusan kamu adalah urusan Menpangad pribadi. Kami dilarang campur. Tapi asal kamu tahu Ben, seluruh slogarde Mandala prihatin dan kepingin kamu tidak menjadi korban.""Terima kasih, Jenderal," dan sayapun meninggalkan ruangan.
Berbeda dengan di Kostrad, di Direktorat Kesehatan AD suasananya lain. Saya diperlakukan sebagai seorang penjahat, entah penjahat apa. Saya dituduh kepingin jadi Bupati, kemudian Gubernur. Tidak ada orang yang menaruh simpati terhadap diri saya atau menaruh perhatian terhadap masalah saya. Jadi saya harus hadapi sendiri. "Apa artinya Korps?" dalam hati saya bertanya. Dan sesudah perang semangat korps berkurang, hilang? Kalau begitu buat apa saya tinggal di Angkatan Darat?" Saya buat Surat Pengunduran diri dari AD.

Akhirnya, 28 Agustus, Kakesdam Jaya, Kolonel Dr. Abdullah, sebagai dokter pribadi Menpangad mengabarkan saya dapat diterima Pak Yani pada 29 Agustus pagi. Tibalah saatnya untuk bertemu Menteri/Panglima AD, Letjen Achmad Yani. Saya diantar oleh Kolonel Dr. Amino mengambil tempat disofa sebelah kanan saya.

Tiba-tiba Pak Yani berdiri lagi dan datang mendekati saya, berlutut disebelah kanan saya.

"Kamu salah pakai bintang ini! Bintang Sakti ini adalah bintang tertinggi seorang prajurit untuk keberanian. Dia harus ditempatkan paling atas dan paling kanan."
Dia lepaskan pita jasa saya dan menempelkan Bintang Sakti di kanan, sementara Bintang Dharma dikiri.Dia berdiri, kembali duduk ke sofanya dan langsung berbicara,
"Ben Mboi, ada laporan tertulis tentang kamu begini, begini, begini. Bahwa kamu sebabkan Flores eksplosif dan bahwa kamu pimpin umat Katolik untuk memberontak. Pertanggungjawabkan!""Jenderal, saya menjawab," Pertama saya mengucapkan terima kasih kepada Panglima berkenan menerima dan mengurusi saya ini, yang seyogyamya tidak pantas diperhatikan oleh YM Menteri/Pangad."Kedua saya tidak tahu soal apa yang menghebohkan di Ende menyangkut keterlibatan saya. Tetapi kalau ada kondisi di Ende dimana saya terlibat, maka itu berawal dari suatu tulisan di majalah Kelimutu."
Selanjutnya secara kronologis saya menceritakan kembali kasus Ende itu.

Pada akhir uraian saya, Pak Yani seperti membentak,

"Kenapa kau tidak pukul Komandan Kodim itu? Dari awal saya bertanya apakah di AD ada dua Kapten Dr. Ben Mboi, dan salah satunya di RPKAD. Oleh karena itu saya membuat dua hipotesis. Kalau Ben Mboi Ende ini bukan Ben Mboi Merauke, laporan ini mungkin benar. Tapi kalau Ben Mboi ini adalah Ben Mboi Merauke, maka laporan ini tidak benar. Tanggal 31 Desember 1962, ketika saya bertemu kamu di polder Merauke, tidak sedikitpun tanda-tanda politik di dalam wajah kamu, dan sebab itulah saya melarang pembantu-pembantu saya menangani masalah kamu."
"Ben Mboi, kau coba ke Stasiun Gambir, kau coba ke Stasiun Senen, ke bioskop Metropole, Garden Hall, betapa prajurit-prajurit kita berkelahi untuk mencatut kacis bioskop, karcis kereta api, tapi tidak berani berkelahi untuk membela agamanya?
"Ben, baju hijau ini dibuat untuk berkelahi, Siapa yang takut untuk berkelahi, jangan pakai baju hijau ini!
"Kamu perwira yang baik, kamu peringatkan atasan kamu tentang kesalahan yang dia perbuat! Kupang jauh, Denpasar jauh, Jakarta jauh. Sesama perwira ditempat terpencil itu harus saling mengingatkan."
Kolonel Amino nyelutuk,
"Panglima, Kapten Dr. Ben Mboi sudah mengajukan surat minta keluar dari AD.""Oh, ya?" Pak Yani menjawab, dan dia merenung!"Apa betul?" dia memandang saya."Panglima, saya bukan berasal dari angkatan 45, saya bukan pejuang. Saya bersekolah secara normal dan menjadi dokter secara normal. Kemudian mereka suruh saya masuk Wamil, saya tidak mau. Saya melamar Milsuk dan pergi terjun ke Irian Barat. Syukur kepada Tuhan Allah saya masih hidup. Saya kepingin jadi tentara, karena terlanjur basah oleh lumpur Irian Barat, dan saya sangka AD akan lebih baik, tapi ternyata saya salah! Justru kehormatan agama saya tidak dilindungi oleh AD. Mengapa saya harus tinggal?""Betul, betul, kamu betul!" Pak Yani menjawab dengan serius."Sebelum kamu memutuskan keluar dari AD, saya berikan kamu dua renungan: Pertama, berapa orang perwira Flores dalam TNI?""Tiga orang," saya jawab, menghitung Saudara Saidu dari Lembata, Sylvester Fernandez dari Sikka yang saya tidak tahu pangkatnya, dan saya."Bukan main Ben Mboi, betapa bangganya orang Flores mempunyai perwira seperti kamu. Saya kepingin menjadi orang Flores, karena mengetahui ada perwira seperti kamu. Saya bosan menjadi orang Jawa, dimana-mana ada Jenderal Jawa."
(Saya harus bersumpah demi Tuhan Allah, bahwa cerita saya ini otentik!)
"Ben Mboi, tugas kamu di Flores adalah menunjukkan kepada orang Flores bahwa TNI bukan orang Jawa punya, bukan orang Sunda punya, bukan orang Manado, Bugis, Makassar, Batak, Ambon, atau Padang saja, dan bahwa tanda pangkat TNI disandang oleh orang Flores tidak hanya dilengan atas, tetapi orang Flores pantas memikul bintang tanda pangkat TNI diatas bahu mereka! Kau telah buktikan itu."
Dia melanjutkan,
"Renungan kedua, Ben, adalah saya kirim anak-anak sekolah dokter, beri mereka pakaian tentara, beri mereka pangkat, beri mereka makan, beasiswa, tetapi ketika anak-anak saya pergi bertempur, mereka menolak ikut. Tetapi kamu, yang pergi sekolah dokter atas usaha sendiri, mungkin belum sempat membalas jasa orang tua kamu, justru melamar ikut serta. Tidak Ben Mboi, sampai kiamat pun TNI tidak akan pernah melupakan kamu! Dan kalau kemudian hari ada orang yang menulis tentang sejarah perjuangan pembebasan Irian Barat, dan nama kamu tidak ada disana, sejarah itu palsu!""Saya dengar kamu merangkap Dokabu (Dokter Kabupaten)?" dia bertanya."Siap, panglima!" saya jawab."Apakah Satrio, Menteri Kesehatan itu, akan menerima seorang Dokabu? Kamu adalah Kapten pertama yang saya urus. Ada ratusan Kapten disekitar sini yang mengurus saya. Kamu satu-satunya Kapten yang diurus Menpangad. Saya bisa saja memerintahkan Pangdam di Denpasar dan Danrem di Kupang untuk mengurusi masalah kamu. Tidak! Saya putuskan untuk mengurus sendiri. Kenapa? Karena kamu adalah seorang Kapten yang seorang Jenderal harus beri hormat!"
Saya jatuh di lantai dan menangis tersedu-sedu didepan Pak Yani.

"Sekarang kamu bangun dan kembali ke Flores, laksanakan perintah saya tadi. Dan siapa itu Dandim Ende," sambil berbalik kepada Mayjen Pranoto Reksosamudro disampingnya.
"Ajawaila," jawab Pak Pranoto.
"Ajawaila? Kok saya tidak ingat nama itu!"
Konon Pak Yani ingat semua nama-nama Komandan Kodim di seluruh Indonesia.
"Pecat dia per 1 September dari seluruh tugas dan tanggungjawab AD. Timbang terima langsung, tidak boleh ada kekosongan!" perintah Pak Yani kepada Pak Paronoto.

Dandim Ende, Mayor Ajawaila dipecat dari Angkatan Darat!

Bersambung ...

profile picutre
Diposkan oleh Erwin Parikesit (Kaskuser)
Abimanyu Dj

3 komentar:

  1. Terima kasih Pak Ben Mboi Pahlawan Mandala. Jend. Yani itu org hebat. Kalo beliau hormat pada anda berarti anda jg org hebat.

    BalasHapus
  2. Luar biasa..Cerita Hidup yg sangat luar biasa..Terima kasih dikau pahlawan..Hormat Gerak..

    BalasHapus
  3. Makasih atass jasa jasamu pak ben mboi ,bela nkri tampa pamrih .kami tidak akan pernah melupakan para pejuang .!

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.