Sabtu, 08 Desember 2012

☆ Cut Nyak Dien (1850-1908)

Perempuan Aceh Berhati Baja 

Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.

Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1850, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.

Ketika Lampadang, tanah kelahirannya, diduduki Belanda pada bulan Desember 1875, Cut Nyak Dien terpaksa mengungsi dan berpisah dengan ayah serta suaminya yang masih melanjutkan perjuangan. Perpisahan dengan sang suami, Teuku Ibrahim Lamnga, yang dianggap sementara itu ternyata menjadi perpisahan untuk selamanya. Cut Nyak Dien yang menikah ketika masih berusia muda, begitu cepat sudah ditinggal mati sang suami yang gugur dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di Gle Tarum bulan Juni 1878.

Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.

Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda. Teuku Umar telah dinobatkan oleh negara sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.

Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.

Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.

Tapi seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan.

Melihat keadaan yang demikian, anak buah Cut Nyak Dien merasa kasihan kepadanya walaupun sebenarnya semangatnya masih tetap menggelora. Atas dasar kasihan itu, seorang panglima perang dan kepercayaannya yang bernama Pang Laot, tanpa sepengetahuannya berinisiatif menghubungi pihak Belanda, dengan maksud agar Cut Nyak Dien bisa menjalani hari tua dengan sedikit tenteram walaupun dalam pengawasan Belanda. Dan pasukan Belanda pun menangkapnya.

Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya. Dia lalu ditawan dan dibawa ke Banda Aceh.

Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Di tempat pembuangan itulah akhirnya dia meninggal dunia pada tanggal 6 Nopember 1908, dan dimakamkan di sana.

Perjuangan dan pengorbanan yang tidak mengenal lelah didorong karena kecintaan pada bangsanya menjadi contoh dan teladan bagi generasi berikutnya. Atas perjuangan dan pengorbanannya yang begitu besar kepada negara, Cut Nyak Dien dinobatkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Penobatan tersebut dikuatkan dengan SK Presiden RI No.106 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.



Nama :
Cut Nyak Dien
Lahir:

Lampadang, Aceh, tahun 1848
Wafat:

Sumedang, Jawa Barat, 6 Nopember 1908
Dimakamkan:

Sumedang, Jawa Barat
Suami:

- Teuku Ibrahim Lamnga (pertama), meninggal di Gle Tarum, Juni 1878
- Teuku Umar (kedua), meninggal di Meulaboh, 11 Pebruari 1899
Pengalaman Perjuangan:

- Bergerilya di daerah pedalaman Meulaboh
- Dibuang ke Sumedang, Jawa Barat
Tanda Penghormatan:

Pahlawan Kemerdekaan Nasional

DI SUMEDANG tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.

Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.


Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.

Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.



Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12). Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet Njak Dhien yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.

TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.

Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.

Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Perlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.

Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.

Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.

Keterlibatan Tjoet Njak Dien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia, "Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?" (Szekely Lulofs, 1951:59).

Bertahun-tahun peperangan kian berkecamuk. Karena keunggulan Belanda dalam hal persenjataan dan adanya pengkhianatan satu per satu benteng pertahanan Aceh berjatuhan, termasuk Kuta (benteng) Lampadang. Karena terdesak Tjoet Njak Dien beserta keluarganya terpaksa mengungsi. Pada sebuah pertempuran di Sela Glee Tarun, Teuku Ibrahim Lamnga gugur, yang konon karena penghianatan Habib Abdurrahman.



Rumah kediaman menjadi Museum
MESKI kematian suaminya menimbulkan kesedihan yang dalam bagi Tjoet Njak Dien, tapi ini tak membuatnya murung dan mengurung diri. Sebaliknya, semangat juangnya kian berkobar. Sebagai seorang janda yang masih muda dengan seorang anak, ia tetap ikut bergerilya melawan Belanda. Menurut orang yang dekat dengannya, Tjoet Njak Dien pernah bersumpah hanya akan menikah dengan orang yang turut membantunya melawan Belanda.

Kehadiran seorang figur seperti Teuku Umar yang juga adalah pemimpin perjuangan yang gagah berani, sangatlah berarti bagi rencana perjuangan Tjoet Njak Dien. Meski masih saudara sepupu, dia baru bertemu dengan Teuku Umar saat upacara pemakaman suaminya. Karena sama-sama terikat dalam Sabilillah maka pasangan ini kemudian menikah pada 1878.

Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.

Selanjutnya Tjoet Njak Dien terpaksa meninggalkan Montesik, karena kepala Mukim menyerah pada Belanda. Pada saat itulah Tjoet Njak Dien melahirkan putrinya yang diberi nama Tjoet Gambang yang kemudian dinikahkan dengan Teungku Di Buket, anak laki-laki Teungku Tjik Di Tiro (ulama dan pejuang Aceh, juga merupakan salah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia). Anak dan menantu Tjoet Njak Dien ini pun gugur sebagai syuhada melawan Belanda.

Peristiwa menggegerkan yang dinamakan "Sandiwara Besar" terjadi ketika Teuku Umar melakukan sumpah setia pada Belanda. Ketika sudah mendapatkan berbagai fasilitas, Teuku Umar justru berbalik melawan Belanda. Kemarahan Belanda membuat Tjoet Njak Dien dan Teuku Umar beserta para pengikutnya yang setia terpaksa memasuki hutan rimba. Dari belantara inilah Teuku Umar memimpin perlawanan.

Dalam sebuah serangan ke Meulaboh Teuku Umar tertembak pada 11 Februari 1899. Dengan tabah dan tawakal Tjoet Njak Dien menerima berita duka ini. Sepeninggal Teuku Umar, Tjoet Njak Dien memimpin langsung perlawanan.


Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Lama-lama pasukan Tjoet Njak Dien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian menurun. Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Tjoet Njak Dien menjadi sangat marah. Pang Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia menghianatinya. Kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.

Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, "Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir".

Tjoet Njak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya.

Penempatan Tjoet Njak Dien di Kutaraja mengundang kedatangan para pengikutnya. Karena khawatir masih bisa menggerakkan semangat perjuangan Aceh, Tjoet Njak Dien terpaksa dijatuhi hukuman pengasingan ke Pulau Jawa, yang berrati mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.

Perjuangan Tjoet Njak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.

Menjelang akhir hidupnya, di Sumedang, di daerah yang sangat asing baginya, Tjoet Njak Dien masih juga berperang dalam pertempuran lain, yakni perlawanan terhadap penjajahan kebodohan


Sumber dari :
- juka-atur (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
- sluggers (kapanlagi)


  Garuda Militer  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.