Selasa, 18 Desember 2012

Kedaulatan Udara RI Masih Lemah

Kedaulatan udara Republik Indonesia masih lemah. Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Kasau) Marsekal (Purn) Chappy Hakim disela peluncuran bukunya "Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia" di Jakarta, Senin (17/12/2012) mengatakan, insiden penerbangan gelap lima jet tempur F-18 Hornet US Navy tanggal 2 Juli 2003 di sekitar Pulau Bawean menjadi pelajaran berharga.

"Ketika itu pilot sipil salah satunya dari maskapai Bouraq mengaku ada pesawat jet terbang jungkir balik dan berguling-guling mengganggu keselamatan penerbangan. Yang dituduh tentu saja penerbang jet tempur TNI AU dari Pangkalan Madiun. Setelah dicek dengan mengirim sepasang F-16 Falcon ternyata ada 5 F-18 Hornet dengan senjata lengkap sedang mengawal kapal induk dari Armada VII AS yang berpangkalan di Pasifik," kata Chappy.

Indonesia harus memberi peringatan dan sebaliknya pihak AS merasa berhak melintas. Padahal, setiap hari ada 1.000 penerbangan sipil domestik dan puluhan penerbangan internasional di ruang udara Indonesia.

Meski mengalami pelajaran berharga tersebut, Chappy menyayangkan sampai kini kemampuan radar Indonesia belum maksimal. Bahkan, kemarin puluhan penerbangan ke Bandara Soekarno-Hatta dibatalkan karena listrik padam yang mengakibatkan radar tidak berfungsi. Selain itu, penerbangan gelap (intruder) juga masih terjadi berulangkali di ruang udara Indonesia. 

Kedaulatan Udara adalah Sumber Uang

Kedaulatan udara akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut diungkapkan Marsekal TNI Purnawirawan Chappy Hakim dalam acara peluncuran buku ketiganya berjudul "Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia?", Senin (17/12/2012) di Jakarta.

Buku tersebut seperti judulnya menguraikan pentingnya pertahanan udara. Chappy mengambil contoh dari pertempuran Laut Aru tahun 1962 yang menggambarkan kurangnya pertahanan udara dan peristiwa Bawean tahun 2003 dimana pesawat F-18 milik AS melakukan manuver membahayakan bagi Indonesia.

Kepada Kompas.com, Chappy mengungkapkan bahwa di tengah zaman dimana perang dianggap usang, upaya pertahanan terhadap wilayah Indonesia tetap penting. Kedaulatan udara akan mendukung pembangunan menuju kemakmuran.

"Kita memang sudah bukan berada di zaman perang. Tetapi, kedaulatan udara kita merupakan sumber uang. Wilayah udara kita ini adalah market kita. Apakah kita mau orang lain yang memanfaatkan market kita," papar Chappy.

Kedaulatan udara sama pentingnya seperti kedaulatan lautan. Kurangnya kedaulatan di laut mengakibatkan praktik perikanan ilegal dan pencurian sumber daya alam yang nilai kerugiannya bisa sampai triliunan rupiah per tahun.

"Di udara kerugiannya juga banyak. Orang akan bebas terbang di wilayah kita, mengangkut barang atau orang seenaknya," kata Chappy yang tepat pada peluncuran buku juga merayakan ulang tahun yang ke 65.

Chappy menggarisbawahi bahwa wilayah udara seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri. Salah satu yang membuat Singapura sejahtera adalah kepandaian untuk mengelola wilayah udaranya. Air security will bring prosperity.

Pulau-pulau Indonesia adalah 'Kapal Induk'

Pulau-pulau di Indonesia adalah "kapal induk" yang dapat menjadi pangkalan pesawat tempur TNI-AU.

Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Chappy Hakim disela peluncuran bukunya "Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia" di Jakarta, Senin (17/12/2012), menjelaskan, pulau-pulau yang tersebar di Nusantara berfungsi ibarat kapal induk.

"Indonesia tidak memiliki doktrin agresi menyerang keluar. Untuk itu tidak diperlukan kapal induk. Pulau-pulau kecil di bagian terdepan Nusantara dapat menjadi pangkalan pesawat tempur Indonesia," kata Chappy.

Pertahanan untuk menangkal itu, dikombinasikan dengan kapal-kapal perang TNI-AL yang berada di pangkalan aju di pulau-pulau terluar.

Namun Chappy menyayangkan, hingga kini belum ada koordinasi yang padu dalam membangun sinergi antar instansi untuk menjaga kedaulatan dari ancaman asing, serta praktik kegiatan ilegal seperti penyelundupan kekayaan sumber daya alam serta perikanan Indonesia.

Anggota Komisi I DPR, Mahfudz Sidik, dalam kesempatan sama menjelaskan, setiap tahun Rp 20 triliun kerugian negara disebabkann pencurian, penyelundupan, dan rangkaian kegiatan ilegal yang lolos dari pemantauan terpadu dari udara dan laut di lautan Indonesia.

Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.