Kamis, 20 Desember 2012

Serangan 19 Desember 1948

Serangan Pengecut Belanda merebut Yogya

http://klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2012/12/18/128635/250x125/19-desember-1948-serangan-pengecut-belanda-merebut-yogya.jpg
Dini hari 19 Desember 1948, kehidupan di Yogyakarta baru saja menggeliat. Tiba-tiba sekitar pukul 05.00 WIB, rakyat dikejutkan deru belasan pesawat tempur meraung-raung di atas Yogya. Lima menit kemudian, ledakan keras terdengar dari Lapangan Udara Maguwo. Pesawat pembom B-25 Mitchell, F-51 Mustang dan P-40L Kitty Hawks menghujani Maguwo dengan bom dan tembakan senapan mesin.

Setelah itu, dua kompi pasukan elite Korps Speciale Tropen (KST) diterjunkan dari belasan pesawat Dakota. Pasukan baret merah andalan Belanda ini diterbangkan dari Lapangan Udara Andir Bandung. Pasukan baret merah ini dipimpin Kapten Eekhout. Tugas mereka sebagai pasukan pendobrak. Mengamankan wilayah Maguwo dan sekitarnya agar pesawat angkut Belanda bisa mendarat dengan aman.

Serangan di pagi hari tersebut merupakan pembuka Operatie Kraai atau operasi gagak. Dalam buku Doorstot Naar Djokja yang ditulis Julius Pour terbitan Kompas, dijelaskan secara detil soal serangan Belanda ke Yogya ini.

Adalah Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor, panglima Koninklijk Nederlands Indisch Leger, pemimpin dan otak seluruh serangan yang kelak dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda kedua ini. Belanda menyebut aksi ini sebagai aksi polisionil untuk mengamankan para perusuh di wilayah kekuasaannya.

Serangan Spoor ini melanggar perjanjian Renville 17 Januari 1948 yang menyebutkan Belanda mengakui wilayah Indonesia yang meliputi Jawa Tengah, Yogya dan Sumatera.

Tapi bukan sekali ini saja Belanda melanggar perjanjian. Saat Agresi Militer Belanda I tahun 1947, mereka juga melanggar Perjanjian Linggarjati. Agaknya melanggar hasil perjanjian memang sudah jadi kebiasaan Belanda. Belanda tak malu menjajah Indonesia yang sudah merdeka. Mereka lupa pahitnya dijajah Jerman saat Perang Dunia II.

Sama seperti Agresi militer Belanda I, pihak Republik pun tak siap menerima serangan Belanda. Indonesia terlalu mempercayai kesepakatan di atas kertas.

Indonesia sama sekali tidak menyangka akan ada serangan, apalagi ada perwakilan Komisi Tiga Negara (KTN) dari Australia dan Amerika Serikat yang mengawasi hasil perundingan Renville di Yogyakarta. Tapi ternyata Belanda nekat menyerang saat Indonesia tengah disorot dunia.

Belanda juga tidak mengumumkan perang. Mereka mengumumkan perang setelah pasukan komandonya menyerbu Maguwo. Maka saat ada serangan di Maguwo, Indonesia baru sadar lagi-lagi Belanda mengkhianati perjanjian.

Pertempuran tidak seimbang terjadi antara KST dengan prajurit Angkatan Oedara Republik Indonesia di Maguwo. 150 Tentara Indonesia dengan persenjataan seadanya bukan tandingan KST baret merah yang punya kemampuan tempur tinggi. Apalagi persenjataan berat milik TNI sudah diangkut dari Maguwo sebelumnya untuk keperluan latihan perang.

40 Tentara republik gugur dalam waktu singkat. Di pihak lawan, tak ada seorang pun tewas. Belanda juga menghancurkan beberapa pesawat warisan Jepang yang diparkir di hanggar.

Setelah menerjunkan pasukan baret merah, pesawat Dakota Belanda terbang ke Lapangan Udara Kalibanteng, Semarang untuk menjemput pasukan baret hijau. Operasi militer Belanda ini bisa dibilang sempurna. Dalam waktu singkat pesawat C-47 Dakota secara terus menerus mendaratkan pasukan baret hijau Belanda di Maguwo. Total ada 126 sorti penerbangan untuk menghubungkan Kalibanteng dan Maguwo. Sekitar dua batalyon pasukan komando ini dipimpin Letnan Kolonel Van Beek. Komandan Brigade Tijger, Kolonel Van Langen juga ikut dalam penyerbuan yang melibatkan 2.600 pasukan ini.

Selain pasukan elite baret merah dan baret hijau, Belanda juga mengerahkan tank ringan, panser dan kendaraan lapis baja lain. Dipandang dari segi militer, Jenderal Spoor boleh bangga akan keberhasilan pasukannya yang dalam waktu singkat merebut Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia saat itu.

"Setidaknya, Tentara Belanda punya sekitar 3 divisi KL, 23 Batalyon Infanteri KNIL yang didukung Kaveleri, Artileri, Zeni, Pesawat Tempur dan lain-lain. Kita bisa perkirakan tentara Belanda punya persenjataan yang lengkap. Jauh lebih lengkap ketimbang TNI," kata sejarawan militer Petrik Matanasi kepada merdeka.com.

Selain itu, TNI belum terlatih untuk menghadapi serbuan pasukan para komando yang mengandalkan unsur pendadakan dan kecepatan. TNI mungkin menang jumlah, tapi sistem organisasi TNI belum serapi sekarang.

"Jumlah TNI jika digabungkan dengan laskar saya kira banyak. Namun, pasukan TNI yang minim peralatan tentu sulit digerakan secara mobil. Pasukan TNI menyebar di banyak daerah.

Maka tanpa perlawanan berarti, para penyerang langsung ngebut menuju Istana Presiden. Sebelum hari beranjak petang mereka menguasai Yogyakarta.

Jenderal Spoor mengacungkan jempol atas prestasi pasukannya. "Republik tinggal cerita," kata panglima perang andalan Belanda ini.

Tapi Spoor tidak tahu kalau kisah ini justru baru dimulai.(mdk/ian)

Soekarno ditangkap Belanda, Soedirman tak mau menyerah


http://klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2012/12/18/128645/250x125/soekarno-ditangkap-belanda-soedirman-tak-mau-menyerah.jpg
19 Desember 1948, dalam waktu singkat pasukan Belanda berhasil menguasai Kota Yogyakarta. Tujuan utama mereka menangkap Presiden RI Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta, membubarkan pemerintahan dan menghancurkan TNI. Belanda ingin menghapus Republik Indonesia dari peta dunia dan berkuasa kembali di tanah jajahannya.

Menit-menit saat negara genting akibat serangan Belanda, Panglima TNI Jenderal Soedirman menemui Presiden Soekarno. Soedirman menghadap dalam balutan mantel dan sandal. Sudah berminggu-minggu panglima tentara ini tidak bisa bangun karena sakit.

Soedirman meminta Soekarno ikut gerilya, sementara Soekarno bersikeras tetap tinggal untuk selanjutnya berjuang melalui jalan diplomasi.

Soedirman berpendapat Belanda sudah ingkar janji, tak ada gunanya diplomasi. Sementara Soekarno yakin hanya dengan jalan diplomasi Indonesia bisa mendapat dukungan internasional guna menekan Belanda. Keduanya teguh pada pendapat masing-masing.

Soal perbedaan sikap dan siasat ini wajar terjadi antara pemimpin sipil dan militer. Sejarawan Petrik Matanasi menilai apa yang dilakukan Soedirman bukanlah sebuah pembangkangan militer pada presiden. Lagipula jika Soekarno ikut bergerilya justru akan mempersulit peperangan.

"Soekarno pun bisa kita yakini tak sanggup hidup dalam medan gerilya dan sangat mengandalkan diplomasi. Jika Soekarno ikut gerilya, gempuran militer Belanda di bawah Jenderal Spoor akan lebih gila kerasnya. Spoor begitu ingin Soekarno tewas dalam serangan," ujar Petrik kepada merdeka.com.

Dalam biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams, pertemuan Soekarno dan Soedirman itu dilukiskan dengan dramatis.

"Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan perang bersama pasukanmu. Tempatmu bukan pelarianku. Aku harus tinggal di sini dan mungkin bisa berunding untuk kita serta memimpin rakyat kita."

Soedirman memperingatkan Soekarno, tentara Belanda mungkin akan mencari dan membunuh presiden RI. Tapi Soekarno mengaku tak takut. Menurut Soekarno akan sangat memalukan jika seorang presiden tertangkap di tengah hutan belantara. Kedua pemimpin ini bertolak belakang soal gerilya atau bertahan di Yogya dan berdiplomasi.

"Jangan adakan pertempuran di jalan-jalan dalam kota. Kita dengan cara itu tidak akan mungkin menang. Akan tetapi, pindahkanlah tentaramu keluar kota. Dirman, berjuanglah sampai mati. Aku perintahkan kepadamu untuk menyebarkan seluruh tentara ke desa-desa. Isilah seluruh lembah dan bukit. Tempatkan anak buahmu di setiap semak belukar. Ini adalah perang gerilya semesta," pesan Soekarno pada Jenderal Soedirman.

Sementara itu Belanda sudah menguasai Lapangan Udara Maguwo. Sekitar pukul 11.00 WIB, pasukan baret hijau Belanda bergerak memasuki kota. Tujuan mereka menangkap Soekarno-Hatta dan para pejabat RI lain.

Tak butuh waktu lama untuk mencapai Istana Negara. Pertahanan TNI yang tersisa terlalu lemah untuk menghentikan gerak maju pasukan komando Belanda pimpinan Letkol Van Beek. Demikian ditulis dalam buku Doorstot Naar Djokja yang ditulis Julius Pour terbitan Kompas.

Setelah melumpuhkan pengawal presiden, baret hijau Belanda mengepung istana. Soekarno keluar menemui pasukan penyerang itu. Overste Van Beek memberi hormat.

"U staat onder huisarrest." Artinya anda sekarang menjadi tahanan rumah. Saat itu tentara Belanda juga menahan Mohammad Hatta, dan hampir seluruh menteri RI.

Belanda merasa menang saat itu. Mereka mengira sudah melumpuhkan pemerintahan Indonesia. Tapi mereka tak berhasil menangkap Jenderal Soedirman. Sebelumnya Kolonel Van Langen mengira Soedirman masih berkumpul di istana bersama Soekarno dan pejabat lain.

Ternyata saat pasukan baret hijau mengepung Istana, Soedirman telah berangkat untuk memulai perang gerilya. Jenderal yang sakit-sakitan itu pantang menyerah. Soedirman menolak permintaan Soekarno untuk bersembunyi di dalam kota dan menunggu sakitnya sembuh. Dengan paru-paru hanya sebelah, Soedirman menunjukkan tekadnya sebagai panglima pemimpin pasukan.

Pada Soedirman republik yang masih muda ini berharap. Soedirman tak kenal kata menyerah. Dari atas tandu dia membuat pasukan lawan frustasi. Soedirman berjuang hingga Belanda terusir dari Indonesia selamanya.(mdk/ian)

Overste Soeharto gagal pertahankan Yogya dari Belanda


http://klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2012/12/18/128656/250x125/overste-soeharto-gagal-pertahankan-yogya-dari-belanda.jpg
Agresi militer II Belanda tanggal 19 Desember 1948 merebut Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia kala itu. Kurang dari 12 jam, pasukan Belanda berhasil menguasai Kota Yogya, menangkap Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan pejabat lain. Komandan Brigade X Wehrkreise III Overste Soeharto gagal mempertahankan Yogyakarta.

Kegagalan ini diakui Soeharto sendiri. Saat itu memang banyak tentara di Yogya, tetapi sesuai konsep perang gerilya, masing-masing satuan sudah memiliki tugas sendiri-sendiri. Pasukan dari Divisi Siliwangi misalnya, harus kembali ke Jawa Barat begitu Belanda melanggar perjanjian dan menyerang Yogya. Mereka harus kembali ke daerah asalnya untuk mengobarkan perang gerilya di sana.

Selain itu TNI telah menggeser pasukan untuk latihan perang di luar kota Yogyakarta. Ditambah lagi fokus TNI lebih menjaga sebagian garis demarkasi, daerah Republik Indonesia yang berbatasan dengan kekuasaan Belanda. Sesuai perjanjian Renville, kekuasaan Republik Indonesia hanya Yogyakarta, Jawa Tengah dan Sumatera.

Maka ketika Belanda menyerang lewat udara, dengan menerjunkan pasukan payung, TNI kaget. Mereka sama sekali tidak siap mengadakan perlawanan.

Dalam buku Doorstot Naar Djokja yang ditulis Julius Pour dan diterbitkan Kompas, Soeharto mengaku hanya mempunyai kekuatan 100 orang atau satu kompi untuk mempertahankan Yogya. Sisa pasukannya berada di Purworedjo dan Gombong.

Satu kompi ini tentu bukan tandingan 200 personel pasukan para komando baret merah Korps Speciale Troepen (KST), ditambah 2.600 pasukan baret hijau Belanda serta pasukan pendukung lain yang dilengkapi dengan panser dan bantuan serangan udara.

Maka Overste Soeharto hanya berusaha menahan laju pasukan musuh agar pemerintah RI bisa membumi hanguskan Yogyakarta dan memusnahkan dokumen penting. Dia sadar satu kompi pasukan tak akan bisa lama menahan pasukan komando Belanda yang terlatih dan bersenjata lengkap.

"Pada saat saya melakukan penghambatan, hati saya sangat prihatin, karena seolah-olah Ibu Kota Perjuangan bisa direbut tentara Belanda begitu saja. Tetapi, apa boleh buat? Oleh karena saya tidak punya pasukan. Dengan demikian saya bisa ikut merasakan betapa kecewanya rakyat Djokjakarta waktu itu terhadap Brigade X, Brigade yang saya pimpin," aku Soeharto.

Sejarawan Petrik Matanasi juga mengaku heran mengapa Yogyakarta bisa dengan mudah direbut Belanda. Tapi memang saat itu kekuatan sangat tidak berimbang. Selain itu faktor serangan dadakan Operatie Kraai juga menjadi salah satu kunci sukses.

"Tapi jika disatukan pun seluruh kekuatan TNI yang ada tak akan mampu menghadapi gempuran dari tiga jurusan, utara, barat dan timur. Serangan ini tak diduga oleh Republik yang percaya dengan perjanjian Renville. Ini yang membuat republik seolah kurang waspada," kata Petrik.

Soeharto menyimpan dendam atas kekalahannya di 19 Desember 1948.

Kelak Soeharto juga yang akan memimpin serangan balasan TNI dalam Serangan Oemom 1 Maret 1949. Serangan mendadak itu berhasil membuka mata dunia kalau TNI masih ada dan terorganisir. Mendobrak propaganda Belanda yang menyatakan Indonesia sudah bubar. Overste Soeharto berhasil membalas dendam kekalahannya.(mdk/ian)

Merrdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.