MESKI masih berbentuk rancangan, beleid soal keamanan nasional sedang
dibahas Dewan Perwakilan Rakyat sudah menuai protes. Banyak kalangan
khawatir militer bakal kembali ke dalam kehidupan politik dan warga
sipil.
Menurut Connie Rahakundini Bakrie, analis
pertahanan keamanan dari Institute for Defense and Security Studies,
undang-undang itu nantinya tidak hanya berfokus pada keamanan, tapi juga
mengenai sistem pertahanan nasional.
Dia menepis
kecemasan pelbagai pihak jika Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional
jika disahkan. Berikut penuturannya kepada Islahuddin dari merdeka.com
saat ditemui di sebuah kafe di Mal Pondok Indah 2, Jakarta Selatan,
Kamis (1/11) siang.
Sejauh mana pentingnya Undang-undang Keamanan Nasional untuk Indonesia saat ini?
Kalau
pertanyaan untuk saat ini, itu salah, harusnya dari kemarin. Kita
menjadi satu-satunya negara di dunia tanpa memiliki sebuah undang-undang
pertahanan. Kalau saya menyebut Undang-undang Pertahanan Keamanan
Nasional.
Kenapa saya bilang begitu, karena saat
reformasi 1998 dengan memisahkan polisi dan tentara. Kita dengan sengaja
atau tidak memilah antara pertahanan dan keamanan. Padahal dalam
konteks bahasa internasional, keamanan mencakup pertahanan. Kita harus
konsekuen, kalau bicara undang-undang pertahanan keamanan nasional harus
dirumuskan ulang namanya.
Namanya harus Undang-undang
Pertahanan Keamanan Nasional, kenapa ini perlu? Ini untuk mengantisipasi
segala bentuk ancaman, baik geologi, geografi, demografi, perdagangan
tradisional, malah bahkan perdagangan transnasional yang terkait
politik, sosial, hukum, keamanan, budaya dan lainnya.
Jadi
tanpa undang-undang itu, negara kita berjalan tanpa peta, tanpa
navigasi jelas. Pertanyaan kemudian sekarang ini menjadi isu politik.
Saya baca kemarin di sebuah media, dipaparkan dalam dua halaman penuh,
undang-undang keamanan itu dianggap digunakan oleh beberapa orang atau
untuk kepentingan segelintir orang. Pertanyaannya begini, kalau kita
melihat pada 23 Oktober lalu di DPR, sebenarnya siapa paling protes?
Kontras, Imparsial, Komnas HAM. Sekarang saya tanya balik apa
kekhawatirannya?
Misalnya, tentara akan kembali ke politik seperti pada zaman Orde Baru?
Hari
ini, pengertian mengembalikan tentara ke barak itu adalah membuat TNI
menjadi profesional. Sekarang jangan lihat Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara. Profesionalnya Angkatan Darat, Laut, dan Udara
itu ada di mana coba? Udara dan laut setidaknya mampu melindungi di Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) keluar. Itu profesionalisme militer yang benar.
Itu
berarti 200 mil laut. Artinya profesionalisme udara dan laut harus bisa
menghadapi ancaman memasuki area itu. (Kemudian dia mengilustrasikan
zona itu dalam kertas sambil mencoret-coret dengan tangan kirinya dan
menjelasan tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE 200 mil laut). Jangankan
memenuhi profesionalisme itu, sipil kita sendiri tidak memenuhi
undang-undang mereka buat.
Apa contohnya?
Apakah
sekarang Angkatan Laut dan Angkatan Udara kita bisa tersebar dan
menyebar ke seluruh Indonesia sepanjang wilayah ZEE itu? Tidak. Apakah
sipil mampu membelikan berapa banyak kapal cepat. Saya baru bicara kapal
cepat saja ini, belum kapal perang, pesawat tempur, radar sesuai untuk
melindungi 5,2 juta kilometer. Itu pekerjaan rumahnya sipil. Sekarang
saya balik, hitungan hari ini, anggaran belanja tentara mulai kemarin Rp
7,7 triliun untuk 2012/2013. Anggaran ini tidak ada artinya
dibandingkan anggaran untuk pemilihan umum.
Anda tahu
tahu berapa dana untuk pemilu? Dalam lima tahun itu Rp 35 triliun, dalam
setahun sekitar Rp 7 triliun. Pertanyaannya saya balik, apakah itu
melalui komisi untuk mengeluarkan dana pemilu? Tidak. Terus melalui apa?
Pertanyaannya, sipil kita tidak memenuhi komitmen mereka sendiri
terhadap profesionalisme militer.
Jadi sekarang saya
balik pertanyaannya, kalau Komisi Nasional Hak Asasi bilang
undang-undang ini berpeluang melanggar hak asasi, HAM yang mana? Saya
manusia bukan? Kalau saya dianggap manusia kenapa hak saya dilanggar,
kenapa uang negara bisa keluar sampai Rp 35 triliun untuk menghasilkan
para koruptor, bupati dan segala macamnya. Ingat, 60 persen bupati kita
itu statusnya koruptor atau berkasus, tapi tidak membangun TNI dengan Rp
7 triliun per tahun.
Kenapa pemerintah tidak menjelaskan tujuan RUU Kamnas itu seperti Anda jelaskan tadi?
Pemerintah
dalam hal ini berfungsi sebagai apa dulu. Lembaga Swadaya Masyarakat
Imparsial, Kontras uangnya dari mana coba? Jadi kita meski lihat, ini
akan dilemahkan terus. Tanpa undang-undang ini, negara ini seperti tanpa
navigasi tadi, tanpa punya peta terbang. Itu baru dari hak asasi
manusia.
Kita bicara apa saja kekhawatiran lainnya,
karena kekhawatiran itulah yang bikin selama ini macet. Selain HAM,
polisi khawatir undang-undang ini akan mengurangi fungsi mereka. Iya,
memang harus dikurangi. Polisi kita hari ini sudah kebanyakan tugas,
sudah ngaco tugasnya.
Saya balik lagi, dengan kita
memecah tugas pertahanan dan keamanan. Kalau kita sederhanakan, TNI
pengamanan ke luar dan polisi pengamanan ke dalam. Sekarang saya tanya,
apakah ini berarti dalam ZEE yang 200 mil laut, saya melihat itu bagian
dalam kedaulatan kita. Jadi sekarang, polisi apa harus bangun sampai
punya segala macam sampai kapal cepat, sementara Angkatan Laut tidak
punya. Polisi punya Datasemen Khusus 88 yang canggih, TNI punya Komando
Cadangan Strategis (Kostrad) yang senjatanya di bawah Densus 88.
Terus seperti apa Anda melihat perjalanan rancangan undang-undang ini?
Saya
melihat begini, siapa pun menganggap undang-undang ini tidak perlu,
dalam rangka melemahkan negara. Bayangkan, kita sekarang menjadi negara
tidak normal. Satu-satunya negara tanpa undang-undang pertahanan
keamanan nasional. Sekali lagi namanya harus undang-undang pertahanan
keamanan nasional.
Undang-undang TNI kita turunannya
Undang-undang nomor 22. Induknya saja sudah salah, menurut saya. Semua
itu lahir dari konsep 1998 sampai saat ini. Sekarang pertanyaannya,
undang-undangnya dianggap bertabrakan dengan undang-undang lain. Apakah
kita harus berpacu pada undang-undang sudah keluar tetapi tidak sesuai
Undang-undang Pertahanan Keamanan atau kita balik, Undang-undang
Pertahanan Keamanan harusnya membetulkan undang-undang dianggap salah.
Kalau
sekarang bertentangan dengan undang-undang lama barang kali yang salah
adalah undang-undang lama. Saya mau kita balik ke undang-undang dasar
1945 dulu.
Anda tahu kejadian di Lampung kemarin. Itu
kan gila, ini juga bagian dari pertahan keamanan. Mengeluarkan
undang-undang otonomi daerah, lalu mendorong dengan cepat dalam 1,5
tahun setelah otonomi daerah terjadi. Ditambah ide gila undang-undang
tentang putra daerah. Itu melahirkan kebhinekaan kita yang dibangun oleh
Soekarno pecah langsung berantakan. Anda bayangin saja, kejadian orang
Bali dibunuh di Lampung, bupati malah ke mana? Saya bantu cari bupatinya
sekarang, dia lagi di Jatinangor. Bukannya di tempat, eh malah keluar.
Mau saya lempar itu orang. Akhirnya menghasilkan putra daerah karbitan,
saya tidak bilang mereka jelek, mereka punya gelar macam-macam dan itu
terjadi.
Selain itu, undang-undang itu (Undang-undang
nomor 22 tentang Otonomi Daerah) melahirkan kroni, kerajaan-kerajaan
kecil, kita lihat Banten, kalau kita urut dari bupati sampai gubernur
bersaudara semua. Jadi saya bilang, ini kita berurusan dengan hal-hal
seperti ini. Belum lagi dengan undang-undang provinsi kepulauan.
Kita
negara kepulauan disatukan oleh Dekalarasi Juanda, kemudian menerapkan
United Nations Convention On The Law of The Sea (UNCLOS). Dengan
menerapkan undang-undang provinsi kepulauan, kita itu negara dalam
negara. Saya contohkan, saya ke Belitung, gubernurnya bilang, "Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung adalah luas lautnya sekian, kemudian batas
pulau terluar Pulau A dan Pulau B, sampai seterusnya." Kemudian dia
turun panggung, datang bupati Bangka, dia bilang Kabupaten Bangka seluas
sekian, dengan pulau terluar pulau ini dan itu. Saya bilang ini gila,
ini kacau-balau dipecah-pecah. Nah undang-undang pertahanan dan keamanan
harus meluruskan ini semua.
Ada kekhawatiran saya
ingat dengan adanya undang-undang ini. Presiden sejak BJ Habibie, sudah
bisa dipecat sebenarnya tanpa harus demontrasi atau lainnya. Dengan
hanya satu pasal saja, yakni tidak melakukan perintah undang-undang
mendirikan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional. Itu undang-undang
terhadap presiden. Jadi sekarang, kalau malah terbalik berpikirnya,
dengan adanya Dewan Pertahanan Keamanan Nasional dianggap membahayakan
negara. Kalau saya jadi presiden akan ngomong, "Tanpa itu gue bisa
turun."
Selanjutnya, kenapa tidak terjadi sinergitas
antar departemen atau kementerian. Coba kita jujur, laut diurus oleh
berapa departemen? Ada 13 departemen. Jadi kita tidak usah diserang
orang, antara Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), TNI, Polri, Badan
Koordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakorkamla), apapun namanya
itu akan berkelahi duluan. Jadi, sebenarnya kuncinya ada pada Dewan
Pertahanan Keamanan Nasional.
Analoginya seperti ini.
Buku putih pertahanan itu turun kepada TNI, terus turun ke Mabes, terus
turun ke operasional. Buku putih pertahanan itu dari mana? Buku itu
harus lahir dari Presiden bersama Dewan Pertahanan Keamanan Nasional.
Nah, itu diramaikan dalam undang undang-undang ini. Terus jangankan
nama, intinya saja tidak mengerti. Kalau presiden tanpa ini, bagaimana
mengkoordinir semua itu. Karena dalam Dewan Pertahanan Keamanan Nasional
itulah sebenarnya terjadi, ada Kementerian Pertahanan dan Kementerian
Luar Negeri saling bersinergi.
Hari ini, titik pandang
Marty Natalegawa terhadap kebijakan pertahanan tentunya ada. Luar negeri
ini sangat erat, demikian juga dengan kebijakan Kementerian Pertahanan
tidak sinkron dengan Kementerian Luar Negeri. Padahal kalau melihat di
negara mana pun, Amerika Serikat, Inggris, atau tidak usah jauh-jauh,
Malaysia, Singapura, dan Australia itu dalam Dewan Pertahanan Keamanan
Nasional mereka ada sinkronisasi dalam dua bagian itu. Jadi sekarang
saya menganggap buku pertahanan kita sekarang ini turunnya dari langit
karena dikeluarkan Kementerian Pertahanan.
Biodata
Nama:
Connie Rahakundini Bakrie
Pekerjaan:
● Pengajar Ilmu Politik, di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia
● Direktur Eksekutif Institute for Defense and Security Studies
Pendidikan:
● S-1, S-2, dan kandidat Doktor, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia
● Executive Course di Asia Pacific Security Studies (APCSS), Honolulu Hawaii, Amerika Serikat (2008 -2009)
● International Humanitarian Law Advances Proffesional Training, di Universitas Harvard (2009)
● Peneliti tamu di INSS (Institute of National Security Studies), Tel Aviv, Israel (2009 - sekarang)
● CCSD Chevening Fellow, Universitas Birmingham, Inggris (January-April 2010)
● Anggota Sea Lanes of Communication and Choke Poinst (Sloc)- (Sejak 2010)
● Fu Shing Kang War Academy, NDC 106, R.O.C (Maret-April 2011)
● The Future Leaders Programme Batch III IDEAS , MIT Cambridge, Amerika Serikat (2011- 2012)
(mdk/fas)