Sabtu, 19 Januari 2013

Cerita Seorang Prajurit Dari Tapal Batas (2)


Saya kurang tahu, apakah ini "Kisah Nyata" atau "Fiksi" semata-mata, namun apa salahnya dishare juga. Mungkin bisa menjadi bahan bacaan menjelang tidur.



 

Ilustrasi
Pandangannya menerawang jauh ke arah ujung langit. Mungkin kata-kataku tadi menyentakkan nuraninya. Di hatinya masih terpatri kenangan tiga tahun silam. Ya, teringat dengan istrinya yang waktu itu baru saja dinikahinya. Belum genap seminggu bergaul, dengan sangat terpaksa ia harus meninggalkan istrinya itu, untuk kembali menjalankan tugas, lebih cepat dari permintaan cutinya. Sebab ada tugas mendadak, ia kembali dipanggil masuk barak. Hingga kini ia hanya memendam kerinduan yang mendalam terhadap istrinya. Terakhir ia sempat ke Medan pulang kampung menengok istrinya itu yang kini sudah tinggal di rumah ibunya. Ya, cuma sekali itu dalam kurun tiga tahun terakhir ini, sebab tugas demi tugas terus memanggilnya.

“Istriku sehat, ia senang mendengar kabarku. Wah aku sudah jadi ayah, Yung. Tak terasa sudah tua juga kita sebentar lagi. Tak terasa, sudah kakek-kakek saja kita. Makanya kau cepat-cepat menikah, Buyung, sebelum kau terlambat, nanti tua kau tak ada lagi gadis yang mau he… he…,” tuturnya dengan logat Medan kental yang selalu menyapaku ketika ia menceritakan kabar istrinya kepadaku.

Aku kadang hanya senyum kecil membalasnya. Setidaknya di tempat tugas ini aku masih memiliki seorang sahabat. Mungkin ia beruntung memiliki istri yang memahami kondisi dan pekerjaan suaminya. Memang harus begitu menjadi istri seorang tentara. Apalagi masa-masa perang dan keamanan negara terancam, sang istri pun harus siap dengan risiko apa pun. Doa restu dan dukungan moral istri adalah sebuah kekuatan yang tak terkira kuatnya membantu tegarnya semangat sang suami dalam menjalankan tugas negara.

Cerita tentang Ramses, aku teringat dengannya di Secaba dulu. Dia adalah temanku sesama pendidikan dulu. Aku satu kompi dengan-nya, malahan aku satu kamar dengannya. Ia mudah bergaul dan aku sangat akrab dengannya. Senasib sepenanggungan. Ia sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Di barak aku seperti mendapatkan seorang kakak laki-laki yang dulu selalu kuimpikan. Jika ada kesempatan, aku selalu mengajaknya pulang ke kampung halamanku di Bukittinggi, karena jarak Padangpanjang dengan kampungku tidak terlalu jauh. Ia juga akrab dengan keluargaku, dengan ayahku. Ia termasuk tentara yang disiplin. Di antara kami ia yang paling kuat. Tubuhnya tegap dan tinggi kekar. Segala lomba adu kekuatan stamina di barak mulai adu panco, push-up, sampai lomba lari, ia nomor satu. Tak ada yang mampu mengalahkannya. Kami sering memanggilnya Letnan Samson. Tapi masalah cewek dia paling apes. Setiap kali dia naksir cewek, cintanya selalu kandas. Dalam pertemanan ia termasuk orang yang sangat setia dengan yang namanya kawan. Pernah suatu kali kami sama-sama jatuh cinta dengan seorang perawat di rumah sakit tentara. Karena ia lebih menghargai pertemanan ia malah mengalah dan melepaskan sang perawat itu menjadi pacarku.

Aku bangga dengannya, punya sahabat dan saudara seperti Ramses. Semenjak tamat Secaba kami memang tidak lagi bersama-sama, cuma kebetulan kami disatukan kembali dalam tugas di tapal batas ini. Jadilah kami senasib sepenanggungan sambil reunian. Bedanya cuma ia lebih laku dibandingkan denganku, ia sudah beristri dan malah sudah menjadi ayah, sementara aku masih betah menjadi lajang.

Cerita itu turun seperti air hujan yang tercurah dari langit dan terus mengalir menuju ceruk, kanal dan sungai-sungai di tepian bukit menuju muara. Daun yang gugur berganti dengan tunas-tunas baru yang mendesak. Musim hujan yang sembab berganti dengan kemarau yang kering. Siklus hidup terus berjalan seperti roda yang berputar. Waktu demi waktu telah kulalui di setiap tempat tugas dengan penuh rasa tanggung jawab meski jemu kadang meraja. Hari-hari berganti, siang menjadi malam, pagi menjelma, musim demi musim bergulir, seperti air mengalir tetapi pemandangan yang kulihat masih tetap sama.


Rutinitas yang aku lalui masih sama, tak ada yang berubah. Kehidupanku sebagai prajurit di tapal batas tak jauh berubah. Masih sama seperti tahun sebelumnya. Yang berubah mungkin aku tak lagi bersama Ramses, temanku itu, saudaraku itu, si Letnan Samson. Ia sudah tak lagi satu tim denganku, tidak lagi bersamaku di sini di pos jaga ini. Setengah tahun yang lalu ia ditarik ke sebuah pos jaga baru di wilayah timur laut. Lebih jauh ke arah timur provinsi ini. Aku sudah tidak lagi berkomunikasi dengannya; aku sudah kehilangan kontak dengannya. Tetapi itu semua sudah aturan. Lagi aku tegaskan, inilah kehidupan tapal batas. Sewaktu-waktu keadaan dapat berubah. Kemarin aku masih dapat berkumpul dengan sahabat lama tetapi mungkin besok kami sudah digilirkan, berpisah bahkan tak bertemu lagi. Aku masih tetap di pos jaga ini.

Memasuki bulan ketiga keadaan cukup berubah. Ancaman wilayah tapal batas mulai meningkat. Untuk itu kami mesti meningkatkan penjagaan dan kewaspadaan. Ini bermula dari semakin memanasnya situasi di beberapa tempat di Papua. Aktivitas orang-orang bersenjata tak dikenal mulai berani menyerang kawasan vital milik pemerintah.

Beberapa waktu yang lalu terjadi penembakan demi penembakan terhadap tim penjaga aset pemerintah di Papua. Belum dipastikan pihak mana yang bertanggung jawab. Disinyalir pihak Tentara Pembebasan Papua Barat (TPN) atau pihak OPM. Belum lagi ulah residivis bersenjata yang memanfaatkan masyarakat pribumi. Mereka mengeruk untung di tapal berbatasan. Mereka kadang melakukan penyelundupan dan perdagangan gelap. Persoalan lebih berat lagi, ada sinyalemen yang mengatakan di balik aksi itu semua ada oknum tentara yang membeking. Lagi-lagi rumor tidak sedap itu aku dengar. Beberapa minggu yang lalu pos jaga TNI di distrik Skamto kembali diserang oleh OPM. Meski tak ada korban jatuh di pihak TNI, ini menandakan aktivitas kelompok bersenjata itu sudah kembali berani main petak umpet dengan TNI.

Desember yang sembab di penghujung tahun. Lagi kuncup-kuncup hujan menyumbul di antara ceruk-ceruk kabut langit kelam Papua. Dingin dan sembab bertahta di mana-mana. Pohon- pohon tinggi menjulang di kaki-kaki bukit dan jurang-jurang yang dalam. Kabut menyelinap dalam-dalam. Kami satu regu baru saja melakukan patroli. Kami melewati sebuah sungai dan terus menyusuri pinggirannya dengan senjata laras di tangan, dengan sikap siaga kami terus bergerak. Beberapa kali kami berpapasan dengan penduduk pribumi. Tidak ada hal-hal yang mencurigakan dari mereka. Mereka bukan OPM atau TPN. Kali ini ada hal ganjil rasanya, ya ganjil bagiku karena memang sama sekali aku tak mendapati Ramses di sampingku. Aku merasa kehilangan dia, bagaimana kabarnya, entahlah.

Kami melewati sebuah tebing yang curam, tebing itu kuyakini merupakan tapal batas dengan negara tetangga Papua Nugini. Dengan sangat hati-hati kami menyelidiki keadaan sekitar masih sepi, hanya suara gemericik air sungai. Aku selaku pimpinan regu memerintahkan Serka Bambang untuk mengamati suasana dari atas puncak tebing. Entah mengapa tiba-tiba saja ada hal aneh yang aku rasakan, bukan karena tidak ada Ramses di reguku tetapi sebuah hal lain. Naluri prajuritku menuntunku untuk waspada. Aku memberikan aba-aba agar semua anggota regu yang kupimpin tetap dalam kondisi waspada........


Benar saja di atas tebing ini kami memperhatikan gerak-gerik beberapa warga pribumi, senjata mereka lengkap. Kami yakin mereka bukanlah kelompok sembarangan, sebab di antara mereka juga terdapat beberapa orang berbadan tegap dan memakai sepatu laras dan berseragam layaknya tentara dan terlatih. Tapi siapa mereka, belum dapat kupastikan apakah dari pihak TNI atau kelompok separatis bersenjata.

Dari atas tebing kami masih terus memperhatikan dengan sangat hati-hati. Jelas mereka tengah melakukan sesuatu, tapi apa, belum bisa kami pastikan. Butuh jarak lebih dekat lagi agar kami dapat mengamati gerak-gerik mereka dengan leluasa.

“Bang, kamu arah samping, sisir sebelah selatan. Aku dan yang lain menyisir sebelah utara, dan kamu Rob, tetap berjaga dari atas sini. Lindungi kami. Kita akan amati apa yang mereka lakukan,” tegasku setengah berbisik.

Semuanya paham akan maksudku. Kami menyisir pelan-pelan, menyelinap di antara semak belukar, mendekat ke arah kelompok yang mencurigakan itu. Darahku berdegup kencang. Meski hal semacam ini sering kualami, namun aksi pengintaian kali ini sungguh sangat mencemaskan dan dramatik. Sebab, aku tahu hal ini berisiko tinggi dengan terjadinya kontak senjata.

Ternyata mereka berasal dari kelompok bersenjata, tapi di antara mereka ada yang mengenakan atribut prajurit TNI. Siapa mereka, dan apa yang mereka lakukan? Belum hilang rasa penasaranku,

Tang!.Tang!..Tang!! Retetet...! Retetet...! Retetet...!

Tiba-tiba bunyi tembakan memecah keheningan hutan ini. Aku berlindung dan memerintahkan anggotaku untuk berlindung. Aku yakin keberadaan kami sudah diketahui oleh mereka.

Tang!.Tang!..Tang!! Retetet...! Retetet...! Retetet...!

Tang!.Tang!..Tang!! Retetet...! Retetet...! Retetet...!

Rentetan tembakan kembali menyalak, aku membalas. Beberapa yang lain juga membalas. Lama terjadi kontak senjata. Posisi kami di atas tebing; mereka di bawah. Jelas kami sangat diuntungkan. Ditambah dengan latihan perang yang kami miliki, dengan mudah kami dapat memukul mundur serangan demi serangan dari kelompok itu.

Beberapa anggota kelompok itu tertembak. Beberapa orang terkapar tak bernyawa, luka tembak di kepala. Satu orang lagi masih bernyawa sementara dua orang anggota berhasil kabur. Keberuntungan berpihak kepada reguku. Sama sekali tak ada anggota reguku yang terluka. Kami menyisiri keadaan sekitar untuk memastikan aman, mengumpulkan korban.


Sungguh aku tak menyangka, sungguh aku tak menduga temanku Ramses, sahabatku si Letnan Samsonku itu, orang yang aku banggakan, orang yang menyulut semangatku menjadi TNI, ternyata kini terlibat dalam aksi yang memalukan ini. Ia yang kini berada di depanku dengan satu luka tembak di kakinya. Ia ternyata diam-diam terlibat sebagai anggota TNI yang membeking aksi perdagangan gelap ini.

“Munafik, jadi selama ini kata-katamu kepadaku hanya kedok semata,” ujarku.

Ia tak berkata lagi. Pandangannya jauh terhunus ke langit sesak. Hujan masih menggelegar. Sore menjelang gelap itu semua begitu lembayung dalam lembab. Entah rasa apa yang muncul dan bergejolak di benakku. Ia yang kini terkapar di hadapanku adalah lawanku yang juga sahabatku.

“Kenapa, Ram, kenapa kaulakukan semua ini? Kenapa?”

Aku mengangkat kerah bajunya, aku emosi, aku kalut, aku marah padanya. Ia tersenyum kecut.

“Kau tahu, Yung, aku tak tahan lagi, Yung. Aku bosan hidup bersemedi dengan segala kesengsaraan dan sama sekali aku tak mendapatkan apa-apa. Ah persetan dengan pengabdian. Hidup tetap tak punya apa-apa. Gaji kecil itu yang kuharapkan, aku muak aku bosan,” ujarnya dengan nafas sesak.

“Kini kau bukan sahabatku, Ramses. Aku baru sadar ternyata selama ini kata-katamu padaku hanyalah dusta semata.”

“Alah persetan dengan janji di barak dulu, persetan dengan segalanya, dengan tanah Pertiwi ini. Apa lagi yang kita harapkan, Yung? Menjadi tentara dengan gaji kecil hidup sengsara di tapal batas ini? Ingat, Yung, istri kita, anak kita, keluarga kita butuh uang, butuh biaya. Jika cuma mengandalkan gaji seorang tentara mana mungkin kita bisa memenuhinya semua. “Hehe… hehe… di tapal batas ini memangnya ada sahabat, Yung? Dasar prajurit idealis kere kau, Yung,” ujarnya mengejek.

Aku marah, aku panas dengan perkataan Ramses tadi, aku tampar ia dua kali. Ia sama sekali tak membalasnya. Pipinya pecah darah segar membasahi mulutnya, lalu bercampur dengan air hujan membasahi bajunya. Aku menatapnya dalam-dalam. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya lagi dalam kondisi seperti ini, saling berhadapan dengan senjata laras berhadapan. Pilu, hancur hatiku hilang seorang sahabat di hatiku. Aku betul-betul telah dikhianati oleh seorang sahabat yang nyata-nyata dulu aku kagumi. Aku sadar dari peristiwa itu, kehidupan di tapal batas memang bisa memutarbalikkan semua yang ada. Termasuk arah dan jalan pikiran seorang prajurit.

Peristiwa itu telah terjadi dua tahun silam. Hujan demi hujan di tapal batas telah menghanyutkan segala kenangan yang baik dan buruk. Yang baik menjadi kenangan, yang buruk biarlah tersimpan atau terkubur dalam-dalam, tidak lagi untuk diingat. Semenjak peristiwa itu aku tidak lagi mendengar kabar dari sahabatku itu yang sudah aku anggap sebagai musuhku. Ia tidak hanya menjadi pengkhianat dari persahabatanku, tetapi juga telah berkhianat atas negara dan bangsa ini. Harusnya ia kubunuh saja dulu sewaktu di hutan pinggir sungai perbatasan dulu. Akan tetapi nyatanya aku tak mampu. Aku tak tega melihat bayangan istrinya dan anaknya yang masih mengharapkannya.

Aku dan anggota reguku menyimpan rahasia tentang kejadian baku tembak itu. Membungkus rahasia peristiwa baku tembak itu dalam-dalam di palung hati kami masing-masing. Dalam hati aku berniat akan melupakan Ramses dalam hidupku. Aku tak mau lagi mengingat si pengkhianat itu dalam hidupku. Semenjak itu Ramses pun tak lagi aku dengar kabarnya. Ia sudah menghilang seperti ditelan bumi.


Hujan semakin menjadi-jadi, petir menggila, menebarkan lidah api menjilat-jilat ke beberapa pohon. Suaranya bergemuruh hebat menyentakkan setiap indra pendengaran makhluk hidup. Barangkali ini misi terakhirku di tanah Cendrawasih ini. Sesudah keadaan aman aku berencana akan meminta izin untuk menjenguk keluargaku, ayah dan ibuku. Aku rindu mereka. Sudah beberapa hari aku di kota Jayapura. Keadaan sudah dapat dikatakan aman. Aktivitas gangguan keamanan sudah tidak sering lagi terjadi. Meskipun ada letup-letup kecil namun sudah dapat diredam oleh TNI dibantu oleh Polda setempat.

Siang menjelang sore itu, itulah misi terakhirku sebelum aku cuti pulang menuju kampung halaman. Misi patroli udara dan menjemput beberapa personil TNI di beberapa distrik di kabupaten Keerom sekaligus mengantarkan beberapa peralatan radar dan alat komunikasi yang sudah diperbaiki untuk beberapa pos jaga. Dengan menggunakan heli TNI AU jenis super puma SA330 kami berangkat dari landasan terbang milik TNI di Jayapura. Heli yang dikendalikan oleh pilot dan copilot, masing-masing Mayor Pnb. HXXX dan Lettu Pnb.GXXXXX terbang dengan kondisi normal. Cuaca sedikit mendung tetapi tidak mengisyaratkan akan memburuk. Selain aku, memang ada beberapa awak yaitu teknisi alat radio, sementara tugasku memastikan pengiriman barang sampai tepat waktu sekaligus mengangkut beberapa personil untuk dibawa ke Jayapura. Entah mengapa di perjalanan tiba-tiba aku teringat dengan mimpiku, mimpi yang sangat menakutkan, mimpi tengah menaiki heli yang sama dan mengalami kecelakaan. Tidak hanya itu. Aku juga teringat dengan kata-kata Ramses bahwa dalam kurun waktu 18 tahun terakhir sudah tercatat 45 pesawat TNI yang jatuh. Ah, lagi-lagi apa peduliku terhadap si pengkhianat itu. Aku mencoba mengelak dari pemikiran dan petakut ini.

Bunyi mesin heli meraung-raung. Beberapa saat heli yang dikemudikan mulai sedikit oleng. Hujan yang tadi gerimis tiba-tiba berubah menjadi lebat. Kabut gelap dan angin ribut memaksa heli terbang dengan kondisi tak stabil. Ada rasa kuatir menyelinap di hatiku paling dalam. Pilot dan copilot masih berusaha menghubungi landasan dan markas, tapi lagi-lagi hubungan terputus.

Tiba-tiba kepanikan terjadi. Mesin heli mendadak mati. Di ketinggian ini jelas sebuah hal yang sangat menakutkan telah terjadi. Tubuh heli seperti di sedot alam. Inilah gaya gravitasi itu. Kami ditarik kuat dan akan jatuh terhempas.

Prakkkkk....!!

Tubuh heli gaek buatan Prancis tahun 78 itu menghempas sebuah pohon besar. Baling-balingnya menyebat apa saja lalu berhenti dan patah. Tak lama kemudian tubuh heli ringsek dan lagi terhempas ke tanah. Dua teknisi terlempar keluar. Copilot GXXXX tetap berada di bangkunya namun tubuhnya terjepit di antara kerangka heli. Ah, tubuh Pilot HXXX. Dia terlempar menghantam kaca heli dan jatuh ke tanah. Tubuhnya terhimpit oleh heli, sangat mengenaskan. Aku gamang di antara sadar dan tak sadar. Di manakah kami, aku tidak tahu. Yang jelas belum memasuki wilayah distrik Asro, barangkali masih di perbukitan. Ah, jangan tanya bagaimana keadaanku, aku sungguh tak tahu, tiba-tiba saja pandanganku gelap dan semuanya hilang. Aku sadar telah mendapati diriku berada di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Aku tengah menjalani perawatan intensif di rumah sakit pusat itu. Setelah berhasil dievaluasi oleh Tim SAR dan anggota TNI saat itu juga aku langsung dirujuk dan diterbangkan dari Papua menuju Jakarta dengan pesawat khusus.

Setelah mengetahui secara pasti heli super puma SA330 milik TNI hilang dan jatuh, tim SAR langsung melakukan penyisiran di wilayah yang diduga kuat sebagai tempat jatuhnya heli. Tak lama Tim SAR menemukan puing heli dan mengevakuasi korban. Satu-satunya korban yang selamat dalam peristiwa itu adalah aku. Selebihnya ditemukan dalam kondisi yang sudah tak bernyawa.

Aku ditemukan dalam kondisi kritis di antara sadar dan tak sadar. Tapi dalam ingatanku jelas salah seorang Tim SAR yang memapah tubuhku itu adalah Ramses, temanku dari Medan yang juga anggota TNI itu. Di ruangan itu aku terbujur tak berdaya. Tubuhku masih lemah, lengan dan kakiku dibalut perban dan baru saja selesai dioperasi. Di sampingku sudah berdiri ayahku yang sengaja didatangkan pihak TNI dari kampung halamanku. Ia sama sekali tidak memperlihatkan raut sedih. Ia terlihat tegar dan mengusap keningku.

“Ayah harap kau tegar, Yung!”

“Terima kasih, Ayah. Ibu di mana, Yah?”

“Ia di kampung tidak bisa ikut. Ia sehat-sehat saja. Jika kau pulih nanti kita pulang ke rumah. Ia rindu sama kamu, Nak,” ujar ayah.

Entah mengapa aku melihat ada mendung di wajah ayah. Aku seperti berdosa pada diriku sendiri. Wajahnya, meski ia berjuang menutupi kegundahan di hatinya akan apa yang menimpaku, keadaan hidupku kini, tetapi aku jelas sekali melihat ada kegalauan di matanya. Membaca sebuah kegetiran pada dirinya. Semangatnya, jiwa nasionalismenya yang dulu menggebu-gebu, kini kian pudar seiring raut wajahnya yang semakin senja.


Tak lama, di sela perbincangan itu muncul sosok kekar dan tegap. Pandanganku tertuju pada lelaki yang baru saja masuk ke ruangan itu. Ia membalas menatapku. Ia Ramses si sahabatku, si pengkhianat itu.

“Gimana kabar kau, Buyung. Aku sengaja datang kemari hanya untuk melihat sahabatku, Yung,” ujarnya.

Dalam hatiku berkecamuk antara benci dan rindu. Berani-beraninya ia mengatakan aku sahabatnya. Jika aku sehat ingin rasanya aku tembak dia sekarang juga. Tanpa merasa berdosa ia menampakkan diri lagi di hadapanku. Tak punya rasa malu. Pelan aku menarik nafas. Mata kami beradu. Ia memelukku. Matanya berkaca-kaca.

“Kita impas, Yung. Maafkan aku, Yung,” ujarnya.

Aku paham kata-katanya, ia sudah membayar hutangnya, atas kesalahan masa silam dengan menyelamatkan nyawaku dengan ikut sebagai Tim SAR dalam pencarian heli yang jatuh itu. Penghujung tahun itu hujan menderas, menggila menyetubuhi bumi dengan segala rintiknya. Di penghujung Desember yang sendu dan sembab ini semuanya tiba-tiba berubah menjadi mendung lalu berat dan menggugurkan bayi-bayi gerimis. Jika kuingat hujan aku selalu teringat posku di tapal batas; aku teringat aroma tanah Cendrawasih; aku teringat peristiwa di pinggiran sungai di perbatasan itu. Aku sungguh belum bisa memaafkan Ramses. Ia lebih dari sekedar sahabat yang berkhianat. Ia adalah pengkhianat bangsa dan negara ini.


*** END

Diposkan Erwin Parikesit (Kaskuser)

2 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.