Jumat, 04 Januari 2013

CIIA : Polri Enggan Akui Pelanggaran Kode Etik 14 Brimob di Poso

http://m.itoday.co.id/timthumb.php?src=http://www.itoday.co.id/http://www.itoday.co.id/images/stories/itoday-images/Razia_Warga_Sipil_di_Poso.jpg&h=auto&w=140&a=tlTindak lanjut proses dugaan pelanggaran kode etik 14 anggota Brimob, yang menganiaya 14 warga sipil di Poso, terkesan diperlambat. Bahkan ada kesan pihak kepolisian enggan mengakui pelanggaran anggota polisi di lapangan.

Penegasan itu disampaikan Direktur The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, kepada itoday (04/01) menanggapi pernyataan Kapolres Poso AKBP Eko Santoso soal kelengkapan saksi yang diperlukan dalam pengusutan pelanggaran kode etik 14 anggota Brimob.

Kapolres Poso, menyatakan, proses dugaan pelanggaran kode etik 14 Brimob harus menunggu kelengkapan saksi sebanyak 14 orang. "Ini aneh dan terkesan enggan mengakui pelanggaran anggotanya yang di lapangan. Apa saksi sembilan orang tidak cukup untuk memproses pelanggaran itu? Mengapa harus nunggu lima saksi lainnya," tegas Harits.

Menurut Harist, saksi yang babak belur setelah keluar dari Polres Poso sudah cukup untuk menjadi bukti, bahwa aparat Brimob telah melakukan penganiayaan terhadap warga sipil di Poso. "Syarifudin, seorang guru SMPN I Kalora-Poso yang babak belur setelah keluar dari Polres apa masih tidak cukup untuk dijadikan bukti aduan atas tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh aparat Brimob?" kata Harist.

Harist mengingatkan, pola tindakan aparat kepolisian yang membabi buta dan main tangkap, akan melahirkan kebencian dan dendam baru masyarakat terhadap aparat. " Pengerahan pasukan Brimob plus Densus 88 dalam jumlah yang besar, untuk kemudian main tangkap orang hanya karena sangkaan ikut pengajian terduga teroris, tidak akan melahirkan solusi," ungkap Harist.

Lebih jauh, Harits meminta aparat kepolisian harus serius mengedepankan humanisme untuk mereduksi kekerasan. "Jika itu tidak dilakukan, justru akan melahirkan siklus kekerasan yang tidak berujung. Sekalipun punya kewenangan dalam penegakan hukum, bukan berarti polisi boleh arogan atas nama hukum dan menjungkirbalikkan hukum menurut selera aparat di lapangan," pungkas Harits.

Diberitakan sebelumnya, pihak Propam Polda Sulawesi Tengah mengaku telah memeriksa 14 anggota Brimob terkait dugaan penganiayaan terhadap warga Kabupaten Poso. Warga sipil yang mengalami penganiayaan itu berasal dari Desa Kalora. Warga ditangkap polisi setelah terjadi penembakan enam anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah pada 20 Desember 2012.

itoday

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.