Sabtu, 19 Januari 2013

Drama Penyanderaan di Aljazair, WNI Sudah Dibebaskan

 Apa akar persoalan ini. 

http://us.media.viva.co.id/thumbs2/2013/01/18/188498_kilang-gas-amena-di-aljazair_209_157.JPG
Kilang gas Amena di Aljazair
Pemerintah negara-negara Barat tengah harap-harap cemas menunggu kabar resmi dari Aljazair. Warga negara mereka tengah disandera gerombolan bersenjata yang berafiliasi dengan al-Qaeda di negeri itu. Informasi memang masih simpang siur. Korban tewas dilaporkan mencapai lebih dari 30. 

Insiden ini bermula pada Rabu pagi, menjelang subuh pekan ini. sekitar 20 orang militan bersenjata yang dipimpin Mokhtar Belmokhtar menyerbu kilang gas alami di In Amenas, sekitar 1.600 kilometer dari ibukota Alger.  Nama kelompok penyerbu ini memang masih belum jelas. Sejumlah media menulis namanya sebagai "brigade bertopeng". Beberapa media lain menyebutnya "brigade darah."

Meski nama kelompok ini simpang siru, Mokhtar Belmokhtar sesungguhnya bukan nama asing di dunia milter Barat. Pria yang matanya buta sebelah ini telah malang-melintang selama dua dekade di dunia penculikan, penyelundupan, dan pembunuhan orang Barat di Afrika Barat dan Utara. Oleh intelijen Prancis dia dijuluki sebagai "the uncatchable" atau Yang Tidak Bisa Ditangkap.

Berlatih tempur di Afganistan sejak usia 19 tahun, pria yang kini berusia 40-an tahun ini adalah salah satu komandan tinggi di al-Jama'ah al-Islamiyah al-Musallaha atau Kelompok Bersenjata Islam. Dia juga dijuluki Mr. Marlboro karena memonopoli penyelundupan rokok di wilayah Sahel untuk membiayai jihad versi dia.

Kelompok bersenjata ini kemudian menyandera 41 orang pekerja berkewarganegaraan asing dan sekitar 200 pekerja Aljazair. Kedutaan Besar Republik Indonesia dalam pernyataannya resmi Kamis kemarin menyampaikan bahwa sebanyak 105 orang dibebaskan oleh penyandera, termasuk di antaranya seorang WNI berinisial AA yang kini tengah kembali ke tanah air.

Warga asing yang ditahan di antaranya berasal dari Amerika, Inggris, Jepang, Prancis, Norwegia, dan Irlandia. Sejak penyerbuan kelompok Mokhtar, kilang gas itu dikepung bala tentara Aljazair. 

Sebelumnya, pemerintah negara tersebut menegaskan bahwa mereka tidak akan melakukan negosiasi apapun dengan para teroris itu. "Kami katakan di hadapan para teroris kemarin, sama seperti sekarang, tidak akan ada negosiasi, pemerasan, tak ada ampun untuk teroris," kata Menteri Komunikasi, Mohamed Said.

Benar saja, tidak ada basa-basi. Baku tembak terus terjadi antara kubu pemerintah dan kelompok teroris ini. Kelompok ini lantas meminta untuk memindahkan para sandera ke luar negeri. Melihat gelagat hendak kabur, pasukan Aljazair menghajar.

Empat dari lima mobil Jeep dihancurkan, ternyata di dalamnya ada para sandera. Sumber pemerintah Aljazair yang tidak disebutkan namanya kepada Reuters, mengatakan bahwa 30 sandera tewas terbunuh. Beberapa di antaranya adalah warga Jepang, Inggris dan Prancis. Sebelas anggota kelompok itu dibunuh.

Akibat peristiwa ini, PM Jepang Shinzo Abe memutuskan untuk tidak berlama-lama berada di Indonesia, yang menjadi salah satu tujuan kunjungan kenegaraan ke Asia Tenggara. Beberapa acara pidato dan pertemuan terpaksa dibatalkan.

Masih simpang siur informasi soal jumlah korban tewas. Beberapa media internasional mengabarkan jumlah berbeda, seperti Daily Mail yang mengumumkan 35 sandera yang mangkat. Para kepala negara pusing tujuh keliling, was-was warga negaranya menjadi korban.

Perdana Menteri Inggris, David Cameron, memperingatkan rakyatnya untuk bersiap pada kemungkinan terburuk. Sampai saat ini, Inggris belum mendapatkan informasi bahwa penyanderaan telah berakhir. Dia berpendapat, seharusnya Aljazair merundingkan dulu dengan mereka sebelum menyerang. Sampai saat ini, Cameron mengaku belum dapat kabar apapun dari Aljazair.

Keberatan yang sama disampaikan oleh kepala negara Amerika Serikat, Jepang, dan Norwegia. Diduga saat ini masih ada 22 sandera lainnya di kilang gas. Tentara Aljazair masih terus mengepung lokasi tersebut.

 Karena Mali 

Drama penyanderaan ini buah dari penyerbuan pasukan Prancis ke Mali, negara tetangga Aljazair, untuk mengusir al-Qaeda. Mokhtar menuntut hengkangnya pasukan Prancis dari Mali yang ikut dalam operasi pemberantasan al-Qaeda di negara tersebut.

Agresi Prancis bermula saat Presiden interim Mali Dioncounda Traore meminta bantuan pada pemerintahan di Paris, setelah ribuan pasukan al-Qaeda merebut kota Konna dari tangan pemerintah.

Sebelumnya antara pemerintah Mali dan kelompok separatis Gerakan Nasional Pembebasan Azawad (MNLA) bertempur sengit sejak Januari 2012. Tuntutan MNLA sendiri adalah kemerdekaan atau otonomi penuh utara Mali.

MNLA awalnya didukung oleh kelompok Islam Ansar Dine, kelompok yang disebut radikal oleh pemerintah setempat. Namun belakangan kedua kelompok ini pecah setelah adanya perbedaan visi soal pembentukan negara Islam. MNLA kalah dalam bentrokan senjata dengan Ansar Dine yang dibekingi oleh kelompok Jihad Afrika Barat (MOJWA) yang merupakan sempalan Al-Qaeda di negara Islam Maghreb (AQIM).

Kini, perang berubah menjadi antara Mali dan AQIM. Al-Qaeda cabang Maghreb (Libya, Aljazair, Maroko, Tunisia, Mauritius) adalah yang paling kuat dan paling kaya di antara "waralaba" al-Qaeda lainnya.

Merasa punya utang masa kolonial -Mali pernah dijajah Prancis-akhirnya Presiden Francois Hollande menyetujui permohonan tersebut.

Konflik kali ini sebenarnya adalah hasil dari keacuhan pemerintah Mali. Sebelumnya selama berbulan-bulan, para diplomat dan politisi Barat, termasuk Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton dan Presiden Prancis Francois Hollande telah mendesak Mali untuk melakukan serangan militer terhadap kelompok ini.

Namun, anjuran ini tak dihiraukan. Mali mengaku enggan terseret dalam pertempuran yang dipimpin Barat dan terjadinya pertumpahan darah di tanah air.

Pemerintah Aljazair awalnya malas meladeni kelompok ini dan tidak mengusik mereka, namun terus mendorong mereka ke wilayah selatan Sahara. Sebagai gantinya, kelompok Ansar Dine yang juga terdapat di negara ini tidak menyerang fasilitas energi yang vital bagi Aljazair.

Namun, "mesranya" hubungan kedua pihak terusik saat pemerintahan Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika memberikan izin bagi pesawat tempur Prancis melintasi wilayah mereka untuk menggempur kelompok militan di Mali. Bouteflika juga menutup perbatasan selatan dengan Mali Utara, sekaligus juga menutup penyaluran bahan bakar dari Aljazair kepada kelompok ini. .

"Hal ini menunjukkan bahwa Aljazair tidak akan lagi membiarkan para teroris berbuat semau mereka," kata Francois Heisbourg, ahli di International Institute of Strategic Studies di London, Inggris, dilansir TIME.

Hal inilah yang membuat kelompok Mokhtar geram dan menyerang fasilitas energi di negara tersebut. Banyak pengamat yang mengatakan bahwa kemungkinan kelompok Mokhtar ini berasal dari Mali Utara yang mencoba cara lain memenangkan perang. 

Kemampuan kelompok Mokhtar ini luar biasa, menguasai medan dan taktik tempur. "Mereka memiliki aset yang luar biasa dengan mobilitas komando yang ekstrem. Mereka bergerak di malam hari tanpa lampu, dengan kecepatan tinggi, tanpa terdeteksi," kata Jean-Pierre Filiu, ahli soal Aljazair 
dari Institute of Political Studies di Paris.

Perjanjian untuk tidak menyerang fasilitas energi juga batal. Kelompok Mokhtar menyerang kilang minyak di In Amenas. Fasilitas ini sangat penting bagi Aljazair, karena menyumbang 60 persen pemasukan negara dan 95 persen ekspor di sektor gas.

Fasilitas yang memompa sekitar seperlima gas alam Aljazair ini adalah penyuplai gas terbesar ketiga ke Eropa dan penyalur utama gas ke Amerika Serikat. Menurut Departemen Energi AS, Aljazair juga memiliki 12,2 miliar barel cadangan minyak bumi, ke tiga terbesar di Afrika setelah Libya dan Nigeria.

Segelintir kelompok perlawanan ini masih terus bertahan di lokasi tersebut. Puluhan sandera yang ketakutan masih dalam cengkeraman mereka. Belum jelas identitas dan dari negara mana saja sandera berasal.

Pemerintah Aljazair menolak berunding, sesuai dengan larangan untuk membayar tebusan kepada yang disebut pemerintah Mali sebagai teroris itu. Sebelumnya PBB memang mencanangkan larangan membayar itu tahun 2010. Larangan ini didukung penuh oleh Aljazair yang melihat kekuatan dan kekayaan AQIM yang semakin besar.

Dari komplek kilang gas, sandera mengisahkan horor yang terjadi. Beberapa sandera mengaku diikatkan kalung bom yang bisa meledak sewaktu-waktu. Mereka juga harus berlindung dari peluru yang berdesing di atas kepala mereka. 
"Situasinya semakin memburuk. Kami khawatir karena baku tembak terus terjadi," kata seorang sandera asal Irlandia pada Al Jazeera.

© VIVA.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.