Jumat, 04 Januari 2013

Mencermati Dinamika Kawasan

Warga Marinir
Presiden SBY memberikan orasi lugas di hadapan civitas akademika dan Rektor Universitas Utara Malaysia yang sekaligus juga Raja Malaysia di Kuala Lumpur ketika menerima gelar Doktor HC tanggal 19 Desember 2012. Beliau mengatakan tidak ada jaminan tidak ada perang di kawasan ASEAN di masa mendatang. Ini merupakan statemen yang memiliki nilai diplomasi tinggi. Pernyataan ini sekaligus kuat pesannya untuk mengantisipasi prakiraan cuaca kawasan yang bisa saja memburuk akibat konflik perbatasan darat dan laut di kawasan ini.

Bargaining untuk mengedepankan peran diplomasi high profile yang sewaktu-waktu diperlukan ukurannya adalah memiliki kekuatan militer yang disegani setidaknya untuk ukuran kawasan Asia Tenggara. Jalan ke arah itu sedang dijalani. Sampai tahun 2014 dengan kedatangan gelombang alutsista untuk mengisi persenjataan kesatrian TNI, meski sejatinya baru dalam tahap memulihkan kekurangan gizi alutsista setelah sekian lama berpuasa dan hanya menikmati sajian alutsista tua yang jumlahnya terbatas.

Titik tumpu menuju kekuatan gahar itu ada di ruang lima tahun berikutnya setelah tahun 2014. Di ruang waktu itu jika kita konsisten dengan rencana strategis untuk memperkuat militer, disitulah kita mulai berhitung dengan menghadirkan kekuatan alutsista untuk menambah daya gempur yang lebih bergetar. Di ruang waktu itu sudah pasti akan ada penambahan minimal 3 kapal selam baru hasil dari kesepakatan dagang dan magang tahun 2012 antara Korsel dan RI. Dengan asumsi kapal selam ketiga selesai tahun 2017 diharapkan PT PAL dengan supervisi Korsel mampu membuat 2 kapal selam lagi sehingga tahun 2019 ada 5 kapal selam baru.

Pertanyaannya untuk apa sih kita memperkuat alutsista militer kita. Jawabnya adalah untuk mencermati situasi kawasan yang dinamis dengan berbagai konflik teritorial. Perkuatan militer RI menuju kekuatan nomor satu ASEAN atau setidaknya setara dengan negara ASEAN yang lain misalnya Singapura dan Thailand adalah dalam upaya menggagahkan diri untuk tampil percaya diri dalam setiap urusan diplomasi dengan sedikit menggeretakkan geraham. Cara ini tentu bisa dilakukan jika background kekuatan militer ada di belakangnya. Bukan bermaksud untuk mengajak berkelahi tetapi bukankah setiap urusan sengketa tapal batas bisa diselesaikan dengan dialog kesetaraan.

Persinggungan teritorial dengan Malaysia misalnya, mestinya bisa diselesaikan dengan cara diskusi dan perundingan walaupun serialnya bisa mencapai 1000 kali diskusi. Tak mengapa asal suasananya dengan sikap bertetangga yang baik. Blunder Angkatan Laut Malaysia di Ambalat adalah melakukan show of force, lalu menangkap pekerja Mercu Suar Karang Unarang sambil memukulinya. Ini yang memicu kemarahan militer Indonesia termasuk Presiden SBY yang langsung datang ke wilayah itu dengan kawalan kapal perang. Kehadiran seorang Kepala Negara ke kawasan sengketa membawa pesan diplomatik yang kuat, jangan bermain api dengan kami.

Mengapa Malaysia melakukan itu, karena dia merasa sudah lebih kuat militernya dari Indonesia. Inilah poin penting yang kemudian menjadi pemicu bangunnya macan tidur bersama kemarahan rakyat Indonesia. Pelajaran dari mata kuliah Ambalat adalah ternyata dia bukanlah tetangga yang baik, dia bukanlah jiran yang ramah, menggunting dalam lipatan. Padahal selama tiga puluh tahun lebih cara gaul yang diperlihatkan RI selalu mengedepankan ruang harmoni dan tutur sapa diplomatik yang santun dan hangat. Kasus terakhir adalah tulisan seorang mantan menteri Malaysia yang menghina Habibie dan Gus Dur untuk komoditi kampanye UMNO di pilihan raya Malaysia tahun 2013 ini.

Dengan Australia, sikap yang ditunjukkan padanya sebaiknya adalah bergaul dengan bahasa santun tetapi tidak dalam rangka mudah mendikte kita atau tidak mudah bersepakat sesuai hasrat dia. Begitu hasrat itu sudah ganti warna, dia tinggalkan kita. Contohnya ketika Timor Timur hendak dikuasai ideologi kiri pada era perang dingin dulu, Australia dan AS setuju dengan pengerahan militer RI yang nota bene ongkos militernya ditanggung sendiri oleh RI. Tetapi setelah perang dingin usai, negeri Kanguru itu balik kanan lalu melakukan manuver “serangan balik” hendak melepaskan Timtim dari NKRI dengan alasan HAM dan keinginan masyarakat setempat.

Untuk masalah Papua sejatinya Australia bermuka dua terhadap kita. Di satu sisi mereka berikrar bahwa Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari RI tetapi di sisi lain juga dengan alasan HAM dan kehendak rakyat Papua, Australia memberikan ruang ambigu dalam cara bergaul dengan RI. Negeri yang dijuluki Samuel P. Huntington sebagai negara asing di kawasan Asia, a torn country, geoculturally torn country, selalu merasa asing di lingkungannya, membuat dia merasa tidak nyaman dengan lingkungannya. Ketidaknyamanannya itu memberikan rasa gerah pada dirinya lalu dengan gaya kultur Barat yang selalu merasa lebih dominan, pintar dan cerdas. And then mendikte tetangganya yang nota bene selalu menampilkan cara gaul yang low profile, sebagaimana kultur Asia Timur Tenggara pada umumnya.

Keputusan Kemhan dan Mabes TNI untuk memagari Papua dan Indonesia Timur dengan menggelar secara bertahap 15.000 Marinir merupakan “serangan balasan” terhadap arogansi Australia yang secara sepihak bersedia menerima kedatangan 5.000 Marinir AS di Darwin. Jelas sepihak karena dilakukan tanpa mengajak diskusi terlebih dahulu pada tetangganya. Menlu Marty sempat melontarkan “kemarahan diplomatik” atas kepongahan Australia yang paranoid itu.

Jawaban dengan cara pandang militer diniscayakan menjadi jalan gentar yang lebih bergema. Maka rencana menempatkan secara permanen 1 divisi pasukan Marinir di Papua adalah langkah tepat untuk menunjukkan pada tetangga kulit putih itu bahwa kita bisa melakukan strategi militer secara mandiri dan terukur. Tidak pakai sekutu-sekutuan sebagaimana model keroyokan yang dilakukan oleh AS dan Australia terhadap musuh politik hegemoninya. Papua adalah bagian tulang dan daging NKRI yang tak terpisahkan. RI berhak melakukan kawalan militer terhadap seluruh wilayah teritorinya termasuk Papua. Apakah kita pernah meributkan ketika Aborigin menyampaikan unjuk rasa kekecewaannya pada Pemerintah Australia. Lha mengapa dia mesti repot-repot menjadi pahlawan kesiangan ngurusin soal Papua.

Mencermati dinamika perkembangan kawasan di sekeliling kita salah satu upaya yang dilakukan adalah memperkuat “infrastruktur” militer. Oleh sebab itu upaya Pemerintah bersama DPR yang seia sekata untuk membangun alutsista TNI harus terus kita kawal dan kumandangkan. Perkuatan militer adalah untuk menambah bobot kewibawaan dalam setiap diplomasi disamping memagari teritori dari setiap upaya untuk mengganggu apalagi melecehkannya. Sudah saatnya kita menampilkan kewibawaan diplomasi dengan kekuatan tawar yang minimal setara. Bobot kekuatan tawar itu ada pada kekuatan militer. Sekali lagi bukan untuk mengajak berkelahi melainkan sebagai bagian dari kelengkapan postur diri yang tegap berwibawa tetapi tetap santun dalam bersikap dan bertutur sapa. Bukankah selama ini kami tidak pernah memulai perkara. Makanya jika anda ramah kami hormat, anda marah kami lumat.


Jagvane / 03 Jan 2013

1 komentar:

  1. Jika anda marah, kita ramah. Dengan ramah tamah, anda akan lemah, akhirnya tangan anda segan menjamah. Tapi kalau anda nekad, kita akan lumat, dan anda hancur seperti tomat. Wah beruntung dong dapat saos tomat, ya......

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.