Minggu, 20 Januari 2013

Pengalaman Bertugas Bersama Indoengbatt Di UNPF Yugoslavia

Oleh : Letkol Czi IGBN Tedjasukma Eka Putra

Yugoslavia merupakan sebuah negara di Eropa yang sekarang tinggal kenangan dalam sejarah dunia. Negara ini pernah mengalami masa keemasan di bawah pemerintahan Presiden Josef Broz Tito yang membawa Yugoslavia pada hubungan yang sangat erat dengan Indonesia.


Negara yang terkenal dengan keindahan pantai di sepanjang Laut Adriatic dan Pegunungan Mount Igmant ini, mengalami proses disintegrasi sejak awal tahun 1990-an, sehingga tercerai berai menjadi beberapa negara kecil, yaitu Slovenia, Kroasia, Serbia, Bosnia-Herzegovina dan Macedonia. Proses disintegrasi yang berjalan tidak mulus telah menyebabkan pertikaian bersenjata, konflik berdarah dan pembersihan etnis, sehingga PBB merasa perlu untuk melaksanakan operasi pemeliharaan perdamaian di sana. Upaya resolusi konflik dan pemeliharaan perdamaian PBB di Yugoslavia diselenggarakan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan No 743 tanggal 21 Februari 1992 di bawah misi United Nation Protection Force (UNPROFOR), yang bermarkas besar di Zagreb.


Seiring dengan perkembangan situasi, misi UNPROFOR berganti menjadi nama menjadi United Nation Peace Force (UNPF). UNPF membawahi dua badan PBB lainnya, yaitu United Nation Confidence Restoration in Croatia (UNCRO) di Kroasia, United Nations Preventive Deployment Force (UNPREDEP) di Macedonia. Sedangkan UNPROFOR khusus menangani Bosnia Herzegovina. Pada tahun 1995, tanggung jawab UNPROFOR dalam memelihara perdamaian di Bosnia Herzegovina diserahkan kepada International Force (IFOR) di bawah NATO.


Keterlibatan Indonesia dalam misi perdamaian di Yugoslavia meliputi pengiriman Military Observer, Batalyon Kesehatan, dan Batalyon Zeni, yang di daerah operasi lebih dikenal dengan sebutan Indoengbatt. Dalam misi di Yugoslavia inilah untuk pertama kalinya Indonesia mengirim kontingen zeni berdiri sendiri dalam operasi perdamaian PBB, dan pertama kali pula Indonesia mengirim pasukan ke daerah operasi di Benua Eropa. Dalam penugasan ini banyak pengalaman yang diperoleh karena perbedaan iklim, budaya dan bahasa, baik yang bermanfaat maupun kejadian konyol dan lucu yang tidak disadari oleh pelakunya sendiri.


 Keramahan Dan Kegembiraan Di Tengah Permasalahan 


PENGALAMAN BERTUGAS BERSAMA INDOENGBATT 1
Saat kedatangan pertama kali di Yugoslavia, Indoengbatt mendarat di Kota Split sebelum bergerak ke Markas Batalyon di Kota Zenica. Split merupakan salah satu pelabuhan besar di Kroasia. Kota ini dijadikan pangkalan Unit Logistik UNPF, yang memiliki semboyan “We Support You From The Beach”.

Di Kota Split inilah para prajurit Indoengbatt mulai berinteraksi dengan prajurit UN yang berasal dari negara lain. Kisah pertama ini bermula dari para pengemudi dump truck yang menurunkan mobil dari kapal dan membawanya ke areal penampungan sementara. Di sepanjang jalan mereka merasa banyak di-shooting oleh para polisi. Dengan santainya mereka tertawa tawa dan melambaikan tangan dengan gembira tanpa menyadari bahwa kamera yang digunakan para polisi men-shooting tersebut adalah “speed gun” untuk mengetahui kecepatan kendaraan yang sedang melaju kencang.


Dengan kondisi jalan di Kota Split yang lebar, mulus dan tidak macet seperti di Jakarta, para pengemudi dump truck ini tancap gas dan bergembira ria karena kendaraannya yang besar itu bisa melaju dengan kencang. Suatu kesempatan yang sangat jarang mereka dapatkan di Indonesia. Kegembiraan itu bercampur aduk dengan euforia perasaan menjadi artis baru karena kendaraan mereka di-shooting oleh polisi di sepanjang jalan, tanpa menyadari bahwa kamera yang digunakan itu adalah speed gun.


Keesokan harinya, datanglah UN Military Police (MP) membawa surat peringatan ke markas Indoengbatt tentang pelanggaran batas kecepatan yang dilakukan para pengemudi Indoengbatt tersebut. Lucunya, MP ini disambut dengan gembira oleh para anggota yang menganggap ada “bule” yang datang berkunjung. Para “bule” itu dijamu dengan keramahan khas Indonesia, lengkap dengan berfoto ria tanpa menyadari situasi yang sebenarnya terjadi. Hanya Liaison Officer (LO) Indoengbatt di Split saja yang stress dan dengan terbata-bata berusaha menjelaskan tentang duduk persoalannya kepada MP serta berjanji tidak akan terulang lagi di kemudian hari. Setelah kejadian itu, prajurit Indoengbatt menjadi terkenal di Kota Split sebagai prajurit yang selalu tertawa gembira walaupun harus menghadapi persoalan dengan MP.


 Indonesian Way 


PENGALAMAN BERTUGAS BERSAMA INDOENGBATT 2Salah satu tugas Indoengbatt adalah menyiapkan lahan dan merakit kontainer akomodasi bagi pasukan Multi National Brigade (IFOR) di Kota Mostar. Pekerjaan ini bukanlah masalah sulit bagi para operator alat berat dan para tukang Indoengbatt, sehingga dengan mudah saja mereka menyelesaikan semua tugas yang diberikan.

Suatu ketika seorang perwira Zeni Prancis datang meminta tolong untuk meratakan tanah yang biasanya dikerjakan dengan grader. Sayangnya, saat itu mesin grader ini sedang mengerjakan banyak pekerjaan lain. Untuk mengatasi hal ini, Komandan Peleton Alat Berat (Danton Alber) mengambil inisatif dengan mengerjakannya dengan dozer.


Menurut ukuran TNI, pekerjaan yang diminta perwira Prancis itu masih bisa diselesaikan dengan dozer. Namun, perwira Perancis tersebut langsung protes karena menurut teori yang dipelajarinya, pekerjaan itu hanya bisa diselesaikan dengan grader.

Tanpa menghiraukan protes tersebut, dozer kita langsung bekerja. Setelah beberapa lama, si Perancis melongo keheranan karena tidak menyangka dozer kita mampu menyelesaikan pekerjaan perataan tanah yang seharusnya dikerjakan dengan grader. Setelah peristiwa ini pihak MNB memuji kemampuan para operator Indoengbatt dan selalu pasrah kepada “Indonesian Way” untuk menyelesaikan semua pekerjaan.


Ketika kita mulai memasang kontainer akomodasi, semua pondasi beton dasarnya harus dipasang sama tinggi. Prajurit Zeni dari Perancis mempergunakan theodolite untuk mengukur ketinggian semua pondasi. Ketika mereka melihat prajurit Indoengbatt bekerja menggunakan selang air, yang tentu saja jauh lebih cepat, mereka pun terheran-heran. Kemudian mereka mempergunakan theodolite untuk memeriksa “hasil kerja selang air”-nya Indonesia dan ternyata tepat dan sama semua. Setelah diberi penjelasan tentang prinsip kerja “bejana berhubungan”, prajurit Perancis manggut-manggut memahami apa yang sedang dilakukan prajurit Indoengbatt dengan selang air mereka. Rupanya teknologi sederhana tempo dulu menggunakan selang air bekerja jauh lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan theodolit yang modern.


 Pohon Tak Berdaun Belum Tentu Mati 


Kontingen Indoengbatt datang pertama kali di Yugoslavia pada bulan September 1995. Saat itu sudah memasuki musim gugur, sehingga suhu udara sudah semakin dingin dan pohon-pohon sudah merontokkan daunnya.


Ketika sedang bekerja dengan pasukan IFOR di Mostar, akomodasi para prajurit Indoengbatt berada di dekat pepohonan yang sudah tidak berdaun lagi. Di sela-sela waktu senggang dalam kesibukan bekerja, beberapa prajurit Indoengbatt berinisiatif membuat almari, meja dan kursi sederhana dari kayu yang ditebang dari pohon-pohon di sekitar tempat mereka tinggal.


Suatu ketika, seorang perwira Perancis mendatangi LO Indonesia dan bertanya mengapa prajurit Indonesia menebangi pohon, padahal di daerah itu, untuk menumbuhkan pohon di sana membutuhkan waktu yang cukup lama. Setelah ditanyakan kepada para prajurit, jawaban yang diterima sungguh mengagetkan, “Itu pohon sudah mati semua, Komandan. Lihat saja, sudah kering dan tidak ada daunnya”. Rupanya, prajurit TNI berasal dari wilayah di kawasan tropis itu tidak memahami bahwa pada musim gugur di Eropa pohon-pohon menggugurkan daunnya sehingga terlihat seperti pohon mati yang sudah kering.


Semua kisah di Yugoslavia ini hanya segelintir pengalaman yang sering terjadi di berbagai misi perdamaian di seluruh dunia. Perbedaan budaya ternyata bisa menimbulkan permasalahan yang harus disikapi dengan bijaksana untuk mencari penyelesaian yang paling baik. Pengalaman-pengalaman semacam kisah-kisah di atas antara lain melatarbelakangi upaya PMPP TNI saat ini dalam memberikan pembekalan yang tepat bagi pasukan yang akan bertugas dalam misi pemeliharaan perdamaian, di mana para prajurit akan berinteraksi dan bekerja sama dengan prajurit lain dari berbagai negara dengan budaya yang beraneka ragam. Bagaimanapun, prajurit TNI harus mampu melaksanakan tugas dalam misi perdamaian, seperti yang dikatakan Dag Hammarskjold, “Peace Keeping Is Not A Job For A Soldier, But Only Soldier Can Do It”


PKC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.