Sabtu, 12 Januari 2013

Pengalaman Misi di Georgia

Oleh : Kolonel Mar Sulthon Hasanudin

Ilustrasi Kontingen Garuda (Formil Kaskus)
Georgia adalah tujuan misi pertama saya ke luar negeri. Mereka yang pernah melaksanakan misi pemeliharaan perdamaian, perasaan saat-saat menjelang keberangkatan pertama ini mungkin tidak akan jauh berbeda dengan apa yang saya rasakan waktu itu. Dalam hati selalu timbul pertanyaan, apa yang harus saya hadapi di daerah misi. Terlebih lagi, situasi dunia sedang tidak menentu. Saya ingat betul sebelum berangkat misi ini, dunia sedang dihebohkan dengan runtuhnya menara WTC di New York pada bulan September 2001.

Georgia adalah suatu nama yang sebenarnya tidak asing lagi bagi saya waktu itu. Kalau disebut nama itu, ingatan saya langsung tertuju pada salah satu negara bagian di Amerika Serikat. Sungguh keliru pandangan saya waktu itu, karena memang yang dimaksud Georgia ini adalah salah satu negara di Eropa Timur bekas bagian dari Uni Soviet. 

Permasalahan Di Negara-Negara Bekas Uni Sovyet

Keruntuhan Uni Soviet menjadi negara-negara yang lebih kecil dan berdiri sendiri serta musnahnya sistem komunis yang dulu terkenal tertutup, telah membuka mata penduduk di bekas wilayahnya tentang adanya kebebasan berekspresi dan adanya istilah demokrasi dalam kehidupan mereka. Di samping hal-hal yang indah nan menjanjikan itu, ternyata timbul hal-hal lain. Permasalahan-permasalahan muncul menyertai kemunculan negara-negara baru di bekas wilayah Uni Sovyet.

Demokrasi tentu saja berbeda dengan komunisme. Pada masa Uni Sovyet, segala perikehidupan rakyat diatur oleh negara. Hak inisiatif rakyat sangat terbatas. Efek dari itu, rakyat menjadi pasif yang hanya bergerak atas komando atau diatur menurut kemauan negara.

Ketika komunisme bubar, rakyat menjadi kebingungan. Rakyat harus menentukan hidupnya sendiri. Mereka memang merdeka, punya kebebasan. Tapi kemiskinan tersebar di mana-mana. Ini akibat sistem politik demokrasi yang belum diadaptasi menurut karakteristik masyarakat. Krisis multidimensi terjadi, baik politik, ekonomi, sosial budaya maupun masalah pertahanan keamanan negara-negara itu. 

Misi PBB Di Georgia-Abkhazia

Misi PBB di Georgia, dilatarbelakangi oleh konflik di wilayah Abkhazia. Georgia berpendapat Abkhazia adalah bagian dari Georgia. Namun orang Abkhazia menganggap bukan. Mereka merasa bukan sebagai bagian dari etnis Georgia.

Sepintas lalu, antara orang Georgia dengan Abkhazia sepertinya tidak ada perbedaan. Tetapi bila dilihat lebih detail, secara budaya ternyata mereka memang berbeda. Secara agama, orang Georgia pada umumnya penganut Kristen Ortodoks, sementara mayoritas orang Abkhazia beragama Islam.

Meskipun kedua etnis ini menganut agama, kalau diamati lebih dalam, sebagian besar mereka bukanlah penganut agama yang taat. Bahkan boleh dikata, tidak mengerti apa itu agama. Ini terjadi mungkin karena mereka sudah terlalu lama meninggalkan praktek beragama akibat tindakan represif Pemerintah Uni Sovyet menerapkan ideologi komunisme yang ateis di masa lalu.

Misi PBB di Georgia, Abkhazia tepatnya, adalah misi yang relatif aman. Kami yang bertugas di sana, hanya menghadapi permasalahan-permasalahan sosial saja, khususnya akibat kemiskinan. Kami tidak banyak mengalami kendala dalam melaksanakan tugas pokok misi.

Patroli yang kami lakukan adalah untuk mendapatkan informasi keberadaan pasukan bersenjata, baik dari pihak Georgia ataupun pihak Abkhazia. Selama penugasan saya, tidak pernah ada tanda-tanda adanya pertikaian di antara keduanya. Secara de facto, Abkhazia sudah menyelenggarakan pemerintahannya sendiri. Pada sektor keamanan, Abkhazia sudah membentuk kesatuan polisi, walaupun senjata yang digunakan polisi Abkhazia ini adalah AK-47, jenis senjata militer.

Ancaman keamanan bagi personel Milobs justru datang dari dampak kemiskinan itu sendiri. Perampokan, pencurian dan pembajakan bersenjata terhadap patroli Milobs, dilakukan hanya dengan motif meminta uang. Para pelaku menganggap Milobs memiliki banyak uang.

Perampokan US$ 50

Untuk menghadapi ancaman ini, saat melakukan patroli Milobs di Georgia hanya membawa uang sebanyak US$ 50. Ini dilakukan sebagai antisipasi saat menghadapi perampokan. Bila dihentikan dan dimintai uang oleh perampok, uang ini bisa kita berikan kepada para perampok itu sehingga mereka melepaskan kita.

Saat dirampok, tidak membawa uang sama sekali merupakan kondisi yang berbahaya. Pernah terjadi sebelumnya, perampokan terhadap patroli Milobs yang personelnya tidak membawa uang sama sekali. Para perampok menduga korbannya berbohong dan menyembunyikan uangnya. Hal ini berakibat penyiksaan terhadap personel Milobs dan interpreter yang menyertainya. Sejak kejadian itu, saat melakukan patroli, para Milobs hanya membawa uang sebanyak USD 50 saja. 

Chacha Ambush

Mereka yang pernah melaksanakan misi di Georgia, mengenal istilah Chacha Ambush. Istilah ini sangat populer, karena hampir semua team patroli pernah mengalami penghadangan penduduk yang menawari minuman khas mereka "chacha", untuk diminum bersama. Awalnya, kita bisa mengelak dengan mengatakan bahwa kita muslim, atau sedang mengemudi. Lama-lama, mereka menjadi kelihatan kurang bersahabat. Bila Komandan Patroli tidak punya alasan kuat untuk menghindar, dengan halus mereka bisa membujuk untuk minum hanya satu gelas. Lalu membujuk lagi menjadi dua gelas, begitu seterusnya. Ini pernah terjadi sampai ada Komandan Patroli yang kembali ke markas dalam keadaan tidak sadar. Ini sungguh suatu pelanggaran terhadap prosedur tetap yang ada, yaitu dilarang minum alkohol dalam jam kerja. Situasi ini menjadi dilema. Di satu sisi, kita sangat ingin menghormati tradisi mereka dalam rangka merebut simpati masyarakat, di sisi lain kita harus mematuhi peraturan yang ada. 

Konflik Kepentingan 

Dalam sebuah misi PBB, pelaksanaan mandat adalah suatu hal mendasar yang harus betul-betul dipedomani. Sebagai Milobs, dituntut netralitas dan imparsialitas serta menghindari konflik kepentingan di antara mereka yang bertikai.

Seperti halnya misi PBB lainnya, personel PBB antara lain terdiri atas military observer (Milobs) dan peacekeepers. Di Georgia, sekitar 19 negara berpartisipasi mengirimkan tentaranya sebagai Milobs maupun Milstaf di UNOMIG (United Nation Mission in Georgia). Sesuai mandat PBB yang tertuang dalam Moscow Agreement, yang bertindak sebagai peacekeepers adalah tentara Rusia, walaupun sangat nampak bila Moskow sangat menginginkan Abkhasia menjadi negara yang terpisah dari Georgia. Langkah ini penting bagi keamanan regional Rusia, karena Georgia didukung oleh kelompok barat, terutama Amerika Serikat. Ini sungguh sangat ironi, bagaimana suatu pasukan perdamaian yang ditugaskan di daerah misi, tapi terlibat dalam konflik kepentingan. Ini sungguh jauh dari prinsip netral dan tidak memihak.

Apa yang terjadi dan saya alami di Georgia ini, merupakan gambaran bahwa berbagai kemungkinan bisa terjadi dalam suatu misi perdamaian di seluruh dunia. Walaupun segala sesuatu telah dipersiapkan dengan baik atau telah diatur dengan baik, selalu masih ada kemungkinan terjadinya penyimpangan, ketidaksesuaian, hambatan bahkan ancaman. Oleh sebab itu, seorang prajurit TNI harus selalu siap menghadapi kemungkinan terburuk yang harus dihadapi dalam menjalankan misi pemeliharaan perdamaian dunia di manapun ia bertugas.

PKC-Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.