Kamis, 31 Januari 2013

☆ Sepak Terjang Sang Komandan

Naskah Asli oleh : Soesilo Kartosoediro

Kisah ini Untuk Mengenang pak Rudini....
 


Tak urung terkejut juga saat itu ketika mendengar berita tentang wafatnya pak Rudini, walaupun sebelumnya saya sudah mendengar berita tentang kondisi kesehatan beliau yang agak menurun. Di ingatan ini seolah terputar kembali film lama tentang kisah yang saya alami berkaitan dengan beliau. Flashback, begitulah lebih kurang. Kalau kisahnya tentang beliau ketika menjabat sebagai Mendagri, Kasad ataupun Ketua KPU tentu tidak lucu karena segala sepak terjang dan kiprah beliau sebagai pejabat tinggi pastilah telah diketahui secara luas oleh masyarakat. Berikut ini adalah kisah ketika beliau masih menjadi “orang biasa”.

Gombal

Ceritanya dalam masa penggemblengan atau perpeloncoan para calon taruna. Ada salah satu acara di mana para “monyet” dibagi-bagi dalam kelompok @ 3 orang. Setiap kelompok dibawa oleh seorang “hulubalang” menghadap para perwira (komandan, dosen atau pelatih) di rumah di kompleks perumahan Panca Arga. Kebetulan kelompok di mana saya tergabung dibawa menghadap Lettu Rudini.

Biasanya para pelonco ini diperintahkan kerja bakti membersihkan halaman, mengepel dsb. Namun saat itu kami tidak disuruh melakukan apa pun, kecuali duduk mengobrol. Bersama ibu beliau duduk di kursi tamu sedang kami bersila di lantai. Bagi kami kondisi ini cukup nyaman, apalagi tersedia hidangan pisang goreng dan teh manis panas. Mungkin beliau iba melihat kami tampak lelah, kotor dan lumayan bau atau karena memang rumah beliau serta halamannya sudah bersih sehingga andaikata kami bersihkan malah akan makin kotor.

Di tengah obrolan beliau bertanya kepada kami kenapa kami masuk tentara. Beberapa saat kami terdiam dan kemudian secara spontan saya menjawab seolah-olah menjadi juru bicara kelompok.

"Ingin berbakti kepada tanah air dan bangsa",

jawaban lugu, polos dan sedikit bombastis barangkali. Beliau tertawa terkekeh-kekeh dan berkomentar,

“klise, nggombal”.

“Terserah deh”, kata saya, tetapi dalam hati tentu saja.

Mungkin memang klise dan gombal, tetapi mosok iya mau saya jawab, ”Cari sekolah yang tidak bayar”. Jawaban yang jujur tapi kan tidak patrotik kedengarannya. Repot memang, jujur tapi tidak patriotik atau sedikit klise tapi gombal.

Kami mendengarkan nasihat dan canda beliau serta kisah lama ketika beliau sebagai kadet menempuh pendidikan di Akademi Militer Breda, negeri Belanda. Pulanglah kami ke chambre dengan hasil teh manis, pisang goreng serta gombal.

Napoleon

Sejarah perang merupakan salah satu mata kuliah di tingkat Sermatar. Pak Rudini lah dosennya. Ketika itu beliau sudah berpangkat kapten. Cara beliau memberi kuliah khas dan menarik. Sebagai dosen beliau tidak hanya menyajikan data tahun, peristiwa atau tokoh yang terlibat.

Tahun sekian Kartago perang melawan Yunani, tahun sekian Jenghis Khan menaklukkan seluruh benua Asia atau tanggal sekian Montgomery menundukkan Rommel dsb. Bukan sekedar seperti itu, sebab kalau hanya begitu tentu tidak ada bedanya dengan membaca buku sendiri yang belum tentu nyanthel di otak.

Kapten Rudini dapat dengan santainya memperagakan gaya Napoleon saat memberikan instruksi kepada para jenderalnya di lapangan ketika memimpin pertempuran.

“Para jenderalnya berdiri di sekitarnya, Napoleon sendiri berjalan mondar-mandir sambil memberikan perintah. Tangan kiri di belakang dan tangan kanan diselipkan ke dalam mantel di dadanya”, demikian cerita Kapten Rudini.

Beliau pun memeragakan gaya Napoleon berjalan mondar-mandir didepan kelas dengan langkah satu-satu, thok..thok..thok. Tangan kanan diselipkan di balik kemeja. Gayanya itu lho, sok Napoleon .

Kebetulan postur beliau mirip Napoleon, agak kecil tapi kekar. Gaya Napoleon itu pastilah imaginasinya sendiri atau paling-paling terinspirasi dari film atau gambar. Belum lagi kalau menirukan gaya Jenderal Montgomery.

“Setiap bangun tidur Montgomery menatap foto Rommel musuhnya yang sengaja dipasang di dekat tempat tidurnya. Tinju tangan kanannya memukul telapak tangan kirinya dengan keras dan bibirnya terkatup rapat”.

Sambil bercerita itu pun kepalan tangan kanan pak Rudini memukul telapak tangan kirinya. Matanya menatap ke depan dengan tajam dan bibir pun terkatup rapat. Sayang ketika itu sedang tidak ada casting pemeran Montgomery. Masih ingat kan Jenderal Montgomery adalah Panglima Tentara Sekutu yang sedang menghadapi Jenderal Rommel yang memimpin pasukan kavaleri Jerman di medan gurun pasir Afrika Utara dalam Perang Dunia II. Rommel sendiri terkenal dengan sebutan Serigala Padangpasir (Desert Fox).

Correct

Pagi itu seluruh perwira remaja siap mengikuti upacara Prasetya Perwira. Sambil menunggu berkumpulnya teman-teman lain saya sempat ngobrol berdua dengan Kapten Rudini di depan chambre. Waktu itu saya sudah menyandang pangkat letda di pundak. Beliau pun tampak rapi. Tapi ini dia, saya lihat sepatu beliau agak kusam kurang mengkilat. Karena merasa sudah menjadi perwira, timbul sedikit keberanian saya untuk sedikit usil.

“Kep, kok sepatunya tidak mengkilat?”

Dengan ketenangan seperti biasanya, sambil sedikit tersenyum beliau menjawab,

“Kalau letnan dua memang harus mengkilat sepatunya. Kalau kapten tidak harus”.

Bisa saja berkelit. Dialog kami pun terhenti dengan terdengarnya aba-aba berkumpul untuk segera berangkat ke lapangan upacara. Mengapa saya usil menanyakan masalah sepatu ini kepada beliau? Saya ingat, beliau ini orangnya correct.

Suatu hari Sabtu sore tanpa diduga beliau ikut memeriksa kerapian taruna yang akan keluar pesiar. Satu persatu diperiksa dari ujung kaki sampai kepala. Biasanya yang melakukan pemeriksaan ini piket taruna. Namun sebagai danki tentu beliau berkepentingan untuk sesekali memeriksa taruna asuhannya. Beberapa taruna diperintahkan kembali ke kamar karena epolet yang tidak dibrasso, celana panjang yang setrikaannya kurang tajam, kaos kaki yang tidak berwarna hitam atau bahkan bolong misalnya. Sepatu yang kurang mengkilat juga no way. Bukan tidak mengkilat, kurang mengkilat saja pun didiskualifikasi. Itulah Kapten Rudini, tegas dan keras tetapi tidak galak.

Perhatian

Dalam suatu latihan, ketika menyerbu “musuh” dengan tidak sengaja saya tersandung batu sehingga sepatu saya mangap. Tentu saja ini sangat mengganggu gerakan saya. Mana tidak ada tukang sol sepatu yang ikut manuver lagi.

Saat konsolidasi, Kapten Rudini sebagai danki yang sekaligus memimpin latihan melihat kondisi sepatu saya yang saya ikat dengan tali sepatu cadangan yang selalu saya bawa, agar tidak menganga lagi. Atas perintah beliau keesokan harinya saya menghadap bintara administrasi dan 2 hari kemudian saya menerima sepatu baru sebagai pengganti sepatu yang rusak. Proses penggantian yang cepat ini tidak mungkin tanpa instruksi danki yang penuh perhatian. Sebenarnya saya masih punya sepatu yang lain, tapi yang namanya rezeki masa mau ditolak.

Lumayan kan...........

RIP Pak Rudini......

Diposkan Erwin Parikesit (Kaskuser)

2 komentar:

  1. Jd ingt transparancy international dan gg taqwa TNB, Rumornya msyrkt blkg msjd taqwa was was krn tanah yg mrk tempati mo d ambil almrhm saat orde br. Untung itu orba runtuh duluan, gak jd brdosa dan.

    BalasHapus
  2. Masih saya komentar pak Rudini dalam acara di TV Indosiar dulu, jaman sebelum Pak Harto belum lengser, saya lupa nama acarannya, jadi begitu maraknya demostrasi mahasiswa tetapi, nggak lengser lengser kekuasaan pada saat itu, Pak Rudini komentar, yang intinya demostrasi itu tidak bersatu, coba kalau bersatu, tidak berapa lama, nongol kasus tri sakti, tumbanglah kekuasaan itu ketika perlawanan itu terintegrasi. penyiar acara itu sekarang juga nggak pernah nongol, yg sering nongol di tv-tv malah istrinnya.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.