Minggu, 10 Februari 2013

☆ Memoar Ventje H.N. Sumual (10)

Artikel dikutip sebagian teknis militer berserta sejarahnya dari Buku Memoar Ventje H.N. Sumual.
Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009.

Menjadi Kepala Staf TT-VIII - Untuk Ganti Panglima Indonesia Timur 

Saya dibatalkan ke Fort Leavenworth US karena ditugaskan oleh pemerintah pusat, juga dibujuk oleh WKSAD Gatot Subroto untuk menjadi Panglima Indonesia Timur. Waktu itu saya sedang dalam hari-hari yang sangat bahagia, karena sudah diumumkan menjadi juara-1 dalam seleksi untuk studi ke Command & General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas.

Suatu sore, Pak Sukanda bilang ada telepon dari Jakarta, saya diminta menghadap ke MBAD. Isi perintahnya “Penting!”. Saya tanya Pak Sukanda, ada apa? Atasan saya ini bilang tidak tahu, tapi ia menduga 2 kemungkinan : soal persiapan keberangkatan saya ke AS atau realisasi usulan jadi Ajudan Presiden.

Jadi Ajudan Presiden? Wah, saya sudah hampir lupa soal itu. Saya ndak tahu lagi, ndak pernah mau tau, apa sebab pengusulan tersebut masuh terbengkalai. Saya ndak ingin tahu, apalagi ketika ikut seleksi buat studi ke Fort Leavenworth. Perhatian dan harapan saya sepenuhnya sudah tercurah disini. Saya ingin belajar banyak, buat bisa membangun tentara negara ini. Pengalaman di SSKAD, dan kemudian selama bekerja di Seksi Penelitian dan Pengembangan Inspektorat Infanteri, semuanya telah menumbuhkan kesadaran penuh saya mengenai pentingnya pengetahuan untuk membangun TNI, bukan melalui politik!. Fort Leavenworth! Disitu Jenderal Einshower pernah belajar, dan disitu pula sekarang Ahmad Yani sedang belajar. Saya mau sekali kesana.

Sore itu juga dari Bandung saya langsung ke MBAD di Jakarta. Saat sedang di ruang tunggu KSAD, ajudan WKSAD datang menjemput.

“Overste, ditunggu Pak Gatot,” katanya.

Rupanya urusan penyampaian ke saya, Nasution menyerahkannya kepada Pak Gatot. Pak Gatot Subroto pernah Panglima Indonesia Timur, atasan langsung saya. Tapi saya sama sekali tidak berpikiran lain, tidak ada rasa curiga. Bagi saya tidak ada yang aneh, Nasution memang sering mempercayakan pada Pak Gatot segala urusan. Pak Gatot memang jauh lebih senior dari Nasution.

Begitu masuk ruang kerjanya, Pak Gatot langsung menyambut hangat. Dengan suara keras khasnya, penuh keakraban,

”Hai Kawanua! Sudah tahu kenapa harus melapor?”
“Untuk menerima perintah keberangkatan Pak?”

Karena suasana gembira yang ia bawakan, saya langsung pikir ini tentu sesuatu yang menyenangkan buat saya. Yaitu segera ke Fort Leavenworth, makanya saya jawab begitu.

“Betul! Berangkat.....,” katanya
“Duduklah dulu Ven.”

Saya duduk didepannya, Pak Gatot mulai ancang-ancang ubah sedikit bicara menjadi serius. Ia bicara perlahan,

“Ventje, kamu memang sudah harus berangkat. Tapi jangan kaget..kamu tidak jadi ke Amerika...”

Sampai disitu saya kaget. Masak diminta jangan kaget?!

“Kenapa tidak jadi Pak...?! Ada apa ini...?!
“Ven, kami telah memutuskan mengangkat Ventje sebagai Kepala Staf TT-VII. Ventje harus bantu Joop, sekarang ini, Joop sangat membutuhkan bantuan Ventje, kan untuk membangun daerah kamu sendiri juga Ven....”

Pak Gatot bicara terus. Saya diam terus. Nada nya semakin lama semakin membujuk dan memberi dorongan. Dibukakan pada saya bahwa semua Panglima sudah pasti akan diganti, dan setiap Panglima diminta usulannya tentang siapa yang dikira layak menggantikannya, dan Panglima Joop memilih nama saya. Nasution juga setuju, dan makin dikuatkan oleh Pak Gatot bahwa “itu pilihan terbaik, jangan sampai lepas!”. Sedangkan usulan paanglima-panglima lain masih dipertimbangkan.

“Bagaimana Ven?” tanya Pak Gatot tiba-tiba.
“Siap Pak! “ 
“Terimakasih, Ven! Terimakasih,” kata Pak Gatot sambil berdiri dari kursinya dan menepuk-nepuk bahu saya.
“Kesediaan Ventje sangat penting bagi kami saat ini, sangat-sangat menolong kami. Kami sangat yakin Ven, kamulah orang yang kami perlukan.”

Yang selalu disebut dengan “kami” oleh Pak Gatot itu, saya tahu, bukan hanya dia dan KSAD Nasution beserta para staf dalam posisi mereka sebagai pengambil kebijakan pucuk pimpinan AD, melainkan kubu politik yang didalamnya ada Presiden Soekarno, PM Ali Sastroamidjojo, dan lain-lain. Kubu-kubu ini memang sudah mulai terbentuk, mulai terpolarisasi.

“Ventje, “ tambah Pak Gatot lagi, 
“Ini adalah kesempatan baik buat kamu menunjukkan kemampuanmu. Selama beberapa tahun ini kamu sudah maju luar biasa, tapi baru saya dan Pak Nas yang merasakannya, baru kami yang tahu, juga Pak Sukanda. MBAD mendapat banyak dari majunya kemampuan Ventje, sekarang...daerahmu juga harus mendapatkan itu.”

“Tapi, Pak Gatot,....kalau sewaktu-waktu saya akan ikut pendidikan di Fort Leavenworth itu, saya ndak perlu ikut ujian lagi, kan?” tanya saya.
“Ahh, ..itu soal gampang!” jawab Pak Gatot setelah mengangguk.
“Pokoknya ke Makassar dululah.”

Akhir Mei 1955 saya sudah mulai bertugas sebagai Kepala Staf TT-VII di Makassar. Sejak awal Joop Warouw menerima saya dengan tangan terbuka, betul-betul sangat terbuka...tanpa reserve. Saya sungguh-sungguh merasakan sikap tulusnya itu.

“Pokoknya apa yang Ventje sudah atur, pasti saya setuju!” kata Bung Joop.

Saya diminta Bung Joop untuk buat apa saja yang saya pandang baik buat membangun TT-VII Wirabuana, dan itu katanya juga terbaik baginya. Kami, saya dan Bung Joop selalu bicara dalam bahasa Belanda campur Melayu, campur Manado.

Persahabatan saya dengan Bung Joop sudah bermula dari Brigade Seberang masa revolusi dulu. Waktu Markas Brigade dikepung dan dilucuti senjatanya oleh Kahar Muzakkar, Bung Joop sebagai Komandan Brigade, dan dia tidak bisa berbuat apa-apa...saya yang kemudian membereskannya.

Tak disangka seperti pengulangan sejarah saja. Semuanya sama, antara saya dan Bung Joop, lalu antara Bung Joop dan Kahar. Memang salah satu program yang nyaris sudah menjadi rutin di TT-VII ialah menghadapi gerombolan yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Gerombolan anak buah Kahar ini menguasai wilayah pedalaman selatan dan tenggara Pulau Sulawesi. Kami bertanggungjawab menjaga keamanan masyarakat daripada gangguan mereka.

Ini sungguh ironi sejarah. Ketika kami mengadakan Reuni Brigade XVII di kota Makassar, saya, Warouw, Saleh Lahade, Andi Mattalatta dan teman-teman lainnya, justru Kahar pada saat itu berada dalam hutan dalam daerah teritorium kami. Padahal Kahar adalah salah satu perintis utama KRIS, cikal bakal Brigade XVI....ia perintis Pasukan Seberang.

Dalam rangka penyegaran didalam jajaran perwira TT-VII Indonesia Timur, mutasi-mutasi kami laksanakan. Mutasi-mutasi para perwira ini adalah untuk pengembangan karir mereka kedepannya, disamping juga untuk memperjuangkan para perwira ex-Brigade XVI mendapatkan jabatan di pusat atau daerah-daerah lain. Mayor Andi Rivai diangkat menjadi Komandan Resimen Infanteri 23 untuk Sulawesi selatan dan Tenggara, Letkol Herman Pieters menjadi Komandan Resimen Infanteri 25 di Maluku dan Irian, Letkol Minggu menjadi Komandan Resimen Infanteri 26 di Nusa Tenggara dan Bali, Mayor DJ. Somba menjadi Komandan Resimen Infanteri 24 yang meliputi Sulawesi Utara dan Tengah, menggantikan Worang. Sedangkan Worang menjadi Komandan Resimen Infanteri di Sumatera Selatan. Letkol Andi Mattalatta menjadi Komandan KMK Makassar.

Begitu juga perwira-perwira lainnya, namun ada juga posisi-posisi tertentu yang ditentukan oleh panglima sendiri. Misalnya, Asisten Intelijen TT-VII bahkan pejabatnya tidak saya ganti. Tetap Mayor Bing Latumahina. Banyak pertimbangan saya buat untuk tidak memutasi perwira intelijen yang cerdas ini, meski Bing belum mengikuti SSKAD.

Awal Pergolakan - Menjurus Ke Perang Saudara

Menurut Jenderal Besar Purn. AH. Nasution, awal pergolakan yang meletuskan pemberontakan-dalam arti perlawanan konseptis dan politisi terhadap kepemimpinan politik nasional, perlawanan yang sudah dengan konsekuensi tindakan fisik yang kemudian membesar menjadi perang saudara. Dimulai dengan penangkapan Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani oleh Kolonel Kawilarang, Panglima daerah militer yang menguasai ibukota negara, menangkap politisi andalan Presiden Soekarno ditengah-tengah suasana konflik politik yang sudah eksplosif.

Pendapat Nasution ini disimpulkan sesudah pergolakan PRRI/Permesta, berdasar sudut pandangnya sendiri, sebagaimana diakuinya, maupun ia sebagai sejarahwan yang banyak menuangkan pengalaman dan perenungannya mengenai masa lalu dalam sejarah-selanjutnya menjadi pendapat resmi pemerintah, juga oleh umumnya sejarahwan.

Peristiwa penangkapan Menlu Ruslan Abdulgani tersebut jelas bukanlah suatu awal yang sama sekali berdiri sendiri. Itu hanya kelanjutan dari serangkaian panjang konflik politik yang sedang berkecamuk lama. Didalamnya, para politisi dari berbagai kubu saling bertarung, termasuk tak kurang dari Bung Karno dan Bung Hatta, Presiden dan Kepala Negara berhadapan justru dengan Wakil Presiden sendiri, jadi bukan hanya para pimpinan AD.

Dalam pergolakan yang memanas lagi sejak 1956 ini, oleh banyak kalangan dinilai sebagai konflik besar yang bisa menjurus pada perang saudara. Bung Hatta sendiri dalam banyak penyampaiannya pada waktu itu berulang kali memperingatkan tentang kemungkinan bahayannya pecah perang saudara.

‘Anak Manis’ Menjadi Pemberontak! 

Saya sendiri pada saat peristiwa itu terjadi, Agustus 1956, masih dipandang sebagai ‘anak manis’ oleh Nasution maupun Bung Karno. KSAD Nasution sendirilah yang meluluskan ujian saya dengan nilai tertinggi untuk melanjutkan studi perwira komando di Leavenworth AS. Meskipun kemudiannya tidak jadi ke AS, itupun karena Nasution dan Gatot Subroto pula yang mengangkat saya sebagai Kepala Staf TT-VII untuk dipersiapkan menjadi Panglima.

Joop Warouw juga sama dengan saya, dipandang sebagai Sukarno’s good boy. Warouw adalah kesayangan Bung Karno sejak lama. Antara lain tentang peristiwa di Surabaya 1945, Joop dinilai telah menyelamatkan nyawa Bung Karno, dan makin bertambah sejak peristiwa 17 Oktober 1952. Tetapi kemudian Joop menjadi penetang rezim Soekarno-Ali-Nasution. Juga saya. Bahkan sayalah yang kemudian jadi simbol tipikal “pemberontak”, jadi penentang yang justru bertindak paling tegas dan keras. Memproklamirkan Permesta, mengumumkan SOB, dan kemudian jadi seorang pemimpin PRRI yang paling terakhir menghentikan perlawanan bersenjata. Baru berhenti setelah dibujuk secara resmi oleh pucuk pimpinan PRRI Mr. Sjarifudin Prawiranegara dan Moh. Natsir.

Akhir 1956 saya memutuskan bahwa adalah langkah yang benar untuk secara tegas menentang rezim Soekarno-Ali-Nasution yang semakin meninggalkan prinsip-prinsip demokrasi, pemerintah pusat yang semakin menyibukkan diri dengan segala gelora politik yang menelantarkan rakyat, menelantarkan pembangunan daerah-daerah, serta menyuburkan kekuasaan komunis.

Panglima Siliwangi Kawilarang Tangkap Menteri Ruslan, Panglima Indonesia Timur Warouw Bela Kawilarang

Tanggal 13 Agustus 1956, atas perintah Panglima Siliwangi, Kolonel AE. Kawilarang, garnizun Jakarta menangkap Menteri Ruslan Abdulgani. Ruslan dituding telah melakukan perbuatan korupsi dalam kasus yang menyangkut pengusaha Lie Hok Thay. Penangkapan ini dipimpin oleh KMKB Jakarta sendiri, Mayor Juhro.

Penangkapan terhadap Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani merupakan pukulan besar terhadap Soekarno-Ali. Ruslan Abdulgani, yang pula tokoh separtai dengan Soekarno dan PM Ali adalah politisi yang sangat diandalkan oleh Soekarno. Juga sebagai Menteri Luar Negeri ia diandalkan untuk gerakan politik internasional yang sedang digalakkan oleh Soekarno. Sejak Indonesia dinilai sukses menggalang politik solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika yang ditandai dengan terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun lalu. Soekarno sedang menikmati gelombang pasang politik luar negeri yang mengangkat namanya menjadi pemimpin besar dikelas dunia. Saat ditangkap pun, Menlu Ruslan Abdulgani sedang siap-siap berangkat ke London untuk sebuah konferensi internasional dimana Indonesia diundang sebagai andalan negara Asia yang sedang bersengketa, yakni Mesir.

Nasution dengan cepat membebaskan Ruslan Abdulgani dari tahanan garnizun. KSAD menggunakan alasan: menangkap seorang Menteri harus melalui prosedur khusus, bukan seperti menangkap maling biasa.

Tapi dipihak penentang politik Soekarno-Ali-Nasution, tindakan membebaskan Ruslan Abdulgani itu segera menyulut api yang cepat menjalar meluas, karena Panglima Indonesia Timur Joop F. Warouw langsung bereaksi keras, berpihak kepada Kawilarang.

Kolonel Zulkifli Lubis menuding PM Ali dan Mayjen Nasution mlindungi kejahatan kolar putih, berkomplot dengan pencoleng negara. Kolonel Sukanda Bratamanggala, tokoh yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Pasundan dan Jawa Barat pada umumnya, pun mendukung Kawilarang. Sukanda bahkan mengontak Panglima Kalimantan, Abimanyu yang juga asal Siliwangi untuk turut mendukung Kawilarang.

Bersambung ...

Diposkan Erwin Parikesit (kaskuser)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.