Senin, 11 Februari 2013

☆ Memoar Ventje H.N. Sumual (11)

Artikel dikutip sebagian teknis militer berserta sejarahnya dari Buku Memoar Ventje H.N. Sumual.
Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009.

Warouw Mendukung Karena Menyesal Pernah Tantang Kawilarang Duel

Reaksi Kolonel Joop F. Warouw itu sungguh diluar dugaan banyak kalangan. Ia langsung terdepan membela Kawilarang, padahal sebelumnya semua tahu, Warouw sangat erat dan sejalan dengan Bung Karno. Warouw dulunya selalu berseberangan dengan Kawilarang, imbas daripada peristiwa 17 Oktober, Warouw mendepak Panglimanya sendiri, Gatot Subroto dan mengenakannya tahanan rumah. Pemihakan Bung Joop pada Kawilarang ini sangat mengguncang kubu pihak Soekarno. Dan sebaliknya, sangat membesarkan moril kubu penetang kelompok Nasution dan Soekarno, seperti Lubis, Sukanda, dan Abimanyu. Tapi mengapa Joop Warouw bisa bersikap demikian? Ini faktor perasaan pribadi Joop Warouw berkenaan dengan Kawilarang, dan saya sangat tahu itu.

Kisahnya sekitar 6 tahun lalu, saat Kolonel Kawilarang menjabat Panglima Indonesia Timur. Joop Warouw Komandan Pasukan Sulawesi Utara (Kopas SUMU), kemudian diangkat oleh Kawilarang menjadi Komandan Operasi Penumpasan RMS. Ada hal-hal yang tidak disukai Joop Warouw pada cara-cara Kawilarang. Dan Joop Warouw rupanya sudah terlalu marah, sehingga sudah tidak perduli dengan disiplin tentara serta kewajiban mematuhi atasan. Ia bahkan mengirim surat tantangan untuk duel kepada panglimanya, tidak tanggung-tanggung, surat tantangan untuk berkelahi itu ditulisnya dengan tinta merah!

Waktu itu saya sudah menggantikan Warouw di Kopas SUMU. Panglima Kawilarang menemui saya dan mengeluhkan hal ini. Saya diperlihatkan surat tantangan bertinta merah tersebut.

“Tje,.....lihat..Masak dia menantang saya duel....?!”

Lex Kawilarang betul-betul kaget. Bahkan heran, bukan takut, Lex tidak takut. Dia heran bukan main, bagaimana bisa ada tentara menantang duel berkelahi dengan Panglimanya sendiri. Lex memang orang Manado tapi lahir dan besar di Jawa, sehingga ia belum mengenal betul kelakuan dan sifat orang Manado seutuhnya. Meski dikalangan teman-temannya diluar lingkungan Kawanua dirinya sendiri terlihat mirip seperti pribadi Warouw, pemberani dan cenderung nekat. Ya, di front manapun, di Jawa Barat, Sumatera, Maluku, Kawilarang selalu dilihat para stafnya sebagai pemimpin dengan nyali besar. Selalu mau tampil di depan, di front, turut mengangkat senjata bersama anak buahnya.

Perang dingin Warouw dan Lex masih berlangsung sampai Lex meninggalkan Makassar dan menjadi Panglima TT-III/Siliwangi. Masing-masingnya tidak mau bersikap ramah. Warouw keras kepala, tak pernah mau minta maaf. Atau mungkin Warouw sudah merasa menyesal atas tindakannya, tapi malu untuk minta maaf kepada Lex. Saya kemudian meninggalkan Kopas SUMU untuk masuk SSKAD di Jakarta. Setamat SSKAD menjabat Kepala Seksi I Inspektorat Infanteri di Bandung, sekota dengan Lex Kawilarang.

Waktu saya di Bandung itulah sering bertemu Lex maupun Warouw, bila Warouw sedang urusan dinas di kantor saya ataupun di Jakarta. Jadi saya mulai dorong Warouw untuk berbaik dengan Kawilarang.

“Baku bae jo ngoni dua........malu kwa kita liat pa ngoni dua” saya bilang ke Warouw beberapa kali.

Begitulah, suatu hari datang utusan Warouw dari Makassar, yaitu Nun Pantouw, Staf Intelijen TT-VII. Warouw minta tolong pada saya agar bisa mengatur perdamaiannya dengan Lex Kawilarang. Warouw sudah Panglima TT-VII/Indonesia Timur, Kawilarang juga Panglima Siliwangi. Begitulah akhirnya, dua seteru ini akhirnya bisa saya damaikan, dan dikemudian hari, kami bertiga sama-sama bahu membahu membela tanah kelahiran kami yang dibom sepihak oleh tentara pusat.


Menjadi Panglima Daerah Bergolak

Ditengah pergolakan politik yang terus meruncing ini, saya diangkat oleh Nasution dan Gatot Subroto menjadi Panglima Indonesi Timur menngantikan Warouw, sebelumnya sejak Mei 1956 saya lebih dulu ditempatkan menjadi Kepala Staf TT-VII/Indonesia Timur.

Pergantian panglima daerah militer ini merupakan perjuangan yang sangat tidak mudah bagi Nasution. Meski ini telah menjadi programnya sejak awal menjabat kembali sebagai KSAD pada November 1955, terlebih Panglima Siliwangi Kolonel Kawilarang, dan Panglima Sumatera Utara Kolonel Simbolon. Karena sedari awal, menurut Nasution, ia merasakan sikap ketidaksukaan mereka terhadapnya. Sebetulnya bukan hanya mereka, masih ada WKSAD Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Sukanda Bratamanggala, Abimanyu, dan banyak lagi.

Akhirnya Nasution dapat akal. Ia melakukan pendekatan langsung sambil mengajukan pertanyaan taktis: Siapa yang panglima masing-masing usul untuk menggantikan mereka? Rupanya cara ini secara prikologi terbukti ampuh, karena yang diganti tetap merasa berdaulat, bahwa penggantinya dialah yang menentukannya. Dan mereka pun merasa bahwa orang yang akan menggantikannya adalah tetap “orangnya”. Simbolon akan digantikan oleh Zulkifli Lubis yang dianggap satu kubu. Lubis mau, karena memang sejak dari dulu ia berniat membereskan DI/TII di Aceh. Abimanyu, juga orang sekubu mejadi Panglima Kalimantan. Hanya Askari yang diusulkan oleh Kawilarang tidak disetujui oleh Nasution. Sampai akhirnya terpilih Suprayogi untuk TT-V/Jawa Timur dan TT-IV/Jawa Tengah-Brawijaya dan Diponegoro pun tidak lancar, sebelum akhirnya pilihan jatuh kepada Surrachman dan Soeharto.

Namun demikian, pergantian Panglima Siliwangi pada pertengahan Agustus berlangsung tegang, karena sebelumnya telah terjadi penangkapan terhadap Menlu Ruslan yang menggegerkan itu. Ditambah, pemerintah pusat mendapat laporan analisa intelijen tentang kemungkinan PM Ali akan dikudeta bila menghadiri acara serah terima Panglima Siliwangi di Bandung. PM Ali takut datang, ia hanya mewakilkan Menteri Moh. Roem dari Masyumi. Sedangkan serah terima Panglima Sumatera Utara batal terus, karena Kolonel Lubis tidak pernah datang. Ia sibuk dengan gerakan politik di Jakarta, sampai akhirnya dinyatakan sebagai buron dan dipecat dari TNI-AD.

Ketika menentang tindakan KSAD Nasution dan PM Ali yang akan membebaskan Menteri Ruslan dari tahanan, Warouw mengancam tidak akan melepas jabatan Panglima, yang kedati secara resmi dijadwalkan akan diserahkan ke saya antara tanggal 23-25 Januari 1926. Tapi ternyata kemudian Bung Joop menyerahkan juga Komando Indonesia Timur pada saya, malahan lebih cepat dari jadwal semua. Serah terima jabatan di Makassar dipimpin KSAD Mayjen Nasution berlangsung dibawah guyuran hujan deras.

Reuni SSKAD, Soemitro Tulis : Sumual Ganti KSAD Nasution


Sejak memimpin TI-VII, mata hati saya selalu tertikam saban kali menyaksikan kondisi prajurit dan keluarga mereka di tangsi-tangsi kami. Betul-betul menyedihkan......kumuh. Mereka hidup dalam asrama yang amat sempit, lembab, gampang kena penyakit. Anak-anak dan ibunya terlihat sangat kekurangan gizi, apalagi soal kebutuhan mental, sungguh sangat menusuk perasaan sanubari saya.

Rakyat sipil, dikampung-kampung pedalaman lebih parah lagi, banyak pemuda dengan masa depan yang sangat tidak jelas, hingga banyak dari mereka memutuskan ikut gerombolan Kahar agar bisa seenaknya merampok apa saja dari rakyat. Kalau di Sulawesi Selatan ada gerombolan Kahar, di Sulawesi Utara/Tengah ada gerombolan Jan Timbuleng. Keduanya sama saja, orang-orang yang merasa sangat berjasa dalam perang gerilya melawan penjajah, kemudian sakit hati dan melakukan petualangannya. Mereka selalu seenaknya merampok dan memeras milik penduduk bila tidak ada petugas keamanan.

Kemiskinan dan kemelaratan berlaku dimana-mana, bukan di Indonesia Timur saja, tapi umumnya seluruh Indonesia. Ini adalah diakibatkan tidak seriusnya pemerintah pusat membangun perekonomian. Mereka hanya sibuk dengan politik...politik dan, saling sikut merebut kekuasaan, dan itu terjadi terus menerus. Pemilu 1955 yang begitu lama ditunggu-tunggu sebagai jembatan emas menuju perubahan dan kesejahteraan, ternyata tidak membawa apa-apa. Kecuali persaingan konflik politik dengan peta yang baru. PKI tampil dengan kekuatan besar.

Soekarno dan Nasution bukannya tidak sadar akan kondisi ini, mereka sadar...sangat sadar, tapi bukannya melakukan perbaikan sistem demokrasi, sebagaimana yang terus menerus diupayakan Hatta, Soekarno malah terus over-kompensasi. Soekarno merasa harus meninggalkan demokrasi seperti ini. Soekarno sudah dirasuk luar biasa oleh semangat anti-imperialisme, anti-kolonialisme, anti-kapitaslime, mulai berpaling pada jalan-kalan revolusi sosialisme. Ini sangat menguntungkan PKI dan Komunisme.

Penentangan terhadap rezim Soekarno-Ali-Nasution oleh para politisi seperti Hatta, Syafruddin Prawiranegara, Natsir, Sjahrir, Soemitro Djojohadikusumo, dan sejumlah intelektual, termasuk intelektual dikalangan perwira militer, berpangkal daripada sikap Soekarno yang ingkar pada prinsip-prinsip demokrasi, pembangunan dan pengesejahteraan rakyat, Demokrasi menurut Soekarno harus terpimpin, dan dia yang memimpin.

Saya sudah mengambil keputusan melepas label “anak emas” untuk berada dalam posisi menentang rezim Soekarno-Ali-Nasution yang anti demokrasi dan pembangunan. Apapun resikonya. Untuk membela serta memperjuangkan apa yang harus diperjuangkan, yaitu pembangunan daerah yang sangat terbengkalai, dan pembangunan kesejahteraan para prajurit yang sudah amat menyedihkan dan berada dititik nadir.

Pergolakan politik di kalangan perwira TNI-AD terus berkecamuk. Tapi karena para penetang Nasution tidak melakukan aksi yang berarti sejak pergantian panglima-panglima dan beberapa staf MBAD yang pro-perubahan dan pembangunan, maka aksi dari pihak Nasutionlah yang maju terus. Memang ada rencana aksi sejumlah batalyon Siliwangi untuk bergerak menyerbu Jakarta pada pertengahan Oktober 1956 tapi tidak jadi. Sukanda, Lubis dan Sapari mendapat panggilan ke MBAD. Tanggal 7 November, proses hukum atas mereka segera dimulai. Sukanda dan Sapari ditahan, Lubis yang menolak datang selanjutnya menjadi buron.

Kolonel Zulkifli Lubis memprotes penahanan dua rekannya, dan mengancam bahwa daerah militer Sumatera Utara dan Kalimantan akan memutuskan hubungan dengan pusat. Dan betul, Panglima TT-I Kolonel Simbolon mengeluarkan pernyataan kecaman terhadap KSAD Nasution. Panglima Kalimantan, Kolonel Abimanyu mengeluarkan perintah tangkap semua pejabat dari pusat, sipil maupun militer, yang masuk ke wilayahnya.

Tanggal 16 November terjadi aksi penyerbuan ke Jakarta oleh RPKAD dipimpin oleh komandannya Mayor Jaelani. Sebelum masuk Jakarta, Resimen Cirebon yang dipimpin oleh Mayor Kemal Idris akan bergabung. Begitu juga dalam kota, KMKB Jakarta yang dipimpin Mayor Juhro akan bergabung. Mereka akan menangkap Nasution dan PM Ali.

Tapi ternyata terjadi miss komunikasi, RPKAD yang sudah terlanjur bergerak dan menunggu di pinggiran tenggara Jakarta, di daerah Kranji, terdampar disana. Resimen Cirebon yang ditunggu-tunggu tidak datang, begitu juga batalyon Siliwangi. Setelah lama menunggu yang ditunggu tidak ada yang muncul, RPKAD akhirnya balik kanan kembali ke Batujajar. Ternyata.....kontra-aksi dari pihak Nasution telah bekerja efektif. Mengacaukan komunikasi para pimpinan.


Tanggal 19 saya ke Bandung untuk menghadiri Reuni SSKAD. Pertemuan ini sedari awal sudah memperdengarkan tuntutan perubahan kepemimpinan TNI-AD. Sasaran konkritnya, terutama ganti Nasution. Bahkan sebelum acara reuni, tanggal 17 November, utusan SSKAD yang terdiri dari Sutarno, Yunus, dan Rusman telah menghadap SSKAD di Jakarta. Mengajukan kritik secara terang-terangan, disamping mengajukan pelbagai perbaikan solusi.

Teman-teman korps SSKAD mengkritik keras cara-cara Nasution menyelesaikan setiap masalah. Sukanda dan Supari sudah menjadi tahanan rumah. Abimanyu dipanggil ke Jakarta lalu ditahan. Kawan seperjuangan sendiri pun dijebak.

Ditengah acara reuni kami yang sangat akrab, seorang rekan alumnus, Soemitro, maju kedepan menulis di papan. Ia Alumnus SSKAD Angkatan I, sekarang Asisten Operasi TT-V/Brawijaya (kelak menjadi Pangkopkamtib dan Pangab). Dengan kapur, dipapan tulis ia membuat bagan struktur kepemimpinan TNI-AD menurut versinya, yang ia mau jadikan rekomendasi Korps SSKAD ke Pemerintah. Dipuncak bagan struktur itu, untuk jabatan KSAD, ditulisnya nama.........saya!

Dari dulu, memang teman-teman sering mengangkat saya untuk memimpin kegiatan macam-macam, tapi yang diutlis Soemitro itu sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh kami, mungkin karena sekarang saya sudah Panglima. Macam-macam saja!

Saat kami semua sedang tertawa-tawa, karena menganggap tulisan Soemitro itu hanya gurauan, dan teman-teman lain bertepuk tangan karena setuju dengan pemikiran Soemitro, tiba-tiba ada kilatan blitz kamera dari luar jendela. Ternyata seorang CPM memotret papan tulis di depan kami itu. Memotret bagan struktur personalia pimpinan TNI-AD yang ditulis Soemitro itu. Rupanya, ia mata-mata yang ditugaskan Nasution untuk memperhatikan kami, tapi kami tenang-tenang saja, toh hanya bergurau dan tidak dari kami yang mencemaskannya.

Tanggal 21 November, acara puncak Reuni SSKAD dihadiri oleh Presiden Soekarno dan KSAD Nasution. Terjadi keributan, ternyata CPM hendak menangkap Mayor Djaelani, Komandan RPKAD yang pada 5 hari sebelumnya memimpin aksi penyerbuan ke Jakarta. Perintah penangkapan dikeluarkan oleh KSAD Nasution dan Komandan Garnizun Bandung, Mayor Rukman (yang kemudian hari diketahui ternyata perwira binaan PKI). Sedangkan kami mendukung tindakan Djaelani, Kemal Idris, dan kawan-kawan tersebut. Kami harus membela Djaelani.

Saya memarahi pasukan CPM yang hendak menangkap Mayor Djaelani. Saya bilang, Djaelani adalah tamu saya. Selama ia menjadi tamu resmi kami, maka ia tanggungjawab kami. Tetapi saya dan teman-teman sadar bahwa Djaelani tetap tidak akan aman bila acara SSKAD telah selesai nanti. Maka kami mendatangi Nasution, waktu itu, selesai acara SSKAD, KSAD Nasution dan Presiden Soekarno pergi ke Gubernuran.

Kami mendesak Mokoginta untuk langsung memimpin kami menyampaikan protes kepada KSAD. Mokoginta pun ikut, saya yang pimpin rombongan, tapi resminya dia. Saya dapat memahami konflik perasaan Mokoginta, karena ia memihak Nasution, tapi sekarang ia terpaksa memimpin delegasi yang menentang Nasution.

Di Gubernuran, saya bicara keras menyalahkan Nasution. Karena rupanya, dalam emosi, saya sudah menjalankan tindakan menghadapi Nasution ini sebagai wujud aksi gerakan mengalahkan kubu politiknya. Sehingga, tentu saja, terlalu lemah sebagai aksi non-fisik.

Alasan kami hanya mempermasalahkan penangkapan tamu kami itu sebagai pelanggaran atas kehormatan Korps kami. Nasution menangkis dengan dalih, bahwa perintah penangkapan atas Djaelani sudah sejak beberapa hari lalu, tidak ada hubungannya dengan acara kami. Waktu saya sedang mengajukan protes kepada Nasution, saya lihat Mayor Rukman menangis. Saya ndak mengerti apa artinya.

Mayor Djaelani, Komandan RPKAD akhirnya dapat ditangkap, karena didalam jajaran RPKAD sendiri telah ada yang dapat dipengaruhi oleh pihak Nasution. Ada yang bilang melalui Letkol Kaharuddin Nasution, perwira dari angkatan I RPKAD, yang kemudian diangkat menggantikan Djaelani.


Bersambung ...

Diposkan Erwin Parikesit (kaskuser)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.