Selasa, 12 Februari 2013

☆ Memoar Ventje H.N Sumual (12)

Artikel dikutip sebagian teknis militer berserta sejarahnya dari Buku Memoar Ventje H.N. Sumual.

Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009.

Hatta Meletakkan Jabatan - Dewan-Dewan Daerah Bergolak!

Konstelasi politik nasional semakin memanas, belum pernah setegang ini. Tanggal 24 November 1956, Reuni Divisi Banteng, pasukan-pasukan yang dulu berjuang di Sumatera Tengah mendirikan Dewan Banteng, yang tak lain sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim penguasa pusat yang dinilai semakin menelantarkan daerah.

Dewan yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Hussein ini pun sebetulnya sudah beberapa bulan berkonsolidasi, antara lain menjalin hubungan dengan Bung Hatta, dalam kebersamaan melawan rezim anti-demokrasi yang bergandeng tangan dengan PKI dan di kawal secara militer oleh KSAD Mayjen Nasution. Beberapa mereka yang hadir di acara Dewan Banteng ini mengatakan, garis politik dan tuntutan mereka jadi tambah keras karena dipengaruhi oleh aksi kami dalam reuni SSKAD di Bandung.

Reuni Divisi Banteng di Padang itu dihadiri oleh dua Panglima Sumatera. Panglima TT-I Kolonel Mahaudin Simbolon, dan Panglima TT-II Letkol Barlian. Letkol Ahmad Hussein memang adalah Komandan Resimen Infanteri 4 dibawah Panglima TT-I Kolonel Simbolon, dan Panglima-nya mendukung langkah Komandan RI-4 itu.

1 Desember 1956, Wapres Mohammad Hatta meletakkan jabatan. Politik negara berguncang luar biasa, terlebih para pemimpin politik dan militer di daerah-daerah, yang selama ini memandang kehadiran Bung Hatta dalam Dwi-Tunggal kepemimpinan nasional sebagai reperentasi aspirasi politik daerah, dan sebagai kutub penyeimbang terhadap kekuasaan Soekarno bersama PKI.

14 Desember 1956, Panglima TT-I Kolonel Mahaudin Simbolon membuat pertemuan besar dengan perwira-perwira di Sumatera Utara. Dalam acara itu, para perwira tamatan SSKAD yang hadir dalam reuni kami di Bandung sekali lagi diminta menjelaskan kepada semua yang hadir tentang apa yang mereka saksikan, mengenai aksi politik kami terhadap KSAD Nasution. Gerakan TT-I Sumatera Utara ini kemudian melahirkan Dewan Gajah. Tanggal 22 Desember, Simbolon menyatakan pemutusan hubungan dengan pusat, tapi pemerintah pusat langsung menindaknya. Simbolon nyaris di tangkap, dan berhasil lolos.

Panglima TT-II Letkol Barlian mencetuskan Dewan Garuda di Sumatera Selatan, dengan sikap dan tuntutan politik yang lebih keras lagi. Panglima TT-II ini memang tidak sampai mengambil alih pemerintahan, sebagaimana yang dilakukan Letkol Ahmad Hussein terhadap Gubernur Sumatera Utara, Ruslan Mulyohardjo.

Di Sulawesi Utara, para politisi dan pemimpin tentara mulai menggalang Dewan Manguni, sementara di Sulawesi Selatan muncul Dewan Hasanuddin. Di Kalimantan ada Dewan Lambung Mangkurat, dan di Jawa Barat wadah bertujuan sama, yang justru lebih banyak jumlahnya dan sudah lebih dulu bergerak, menyatu dalam Dewan Sunda.

Jadi, ini sesungguhnya bukan sekadar pergolakan politik daerah, ini adalah gerakan nasional yang mulai bergolak dari daerah-daerah!

Proklamasi Perjuangan Permesta di terima Musyawarah Nasional

Kemiskinan terus bertambah luas dan makin mendalam. Pemerintah Pusat sama sekali tidak mementingkan pembangunan ekonomi, apalagi pembangunan di daerah-daerah. Penduduk di kota-kota besar di Jawa lebih baik penghidupannya karena tetap berlangsungnya roda perekonomian yang sudah tumbuh sejak jaman kolonial. Sedang didaerah-daerah, yang dulu berkembang, semakin merosot. Pemerintah Pusat, dalam keterbatasan sumber daya maupun perhatian mereka yang tersita besar dalam urusan politik, menjadi sangat sentralistis.

Dalam masa itu, saya dan juga teman-teman, melihat dengan hati sedih semua fakta kemiskinan dan kemelaratan rakyat itu. Hingga kondisi keluarga-keluarga prajurit di barak-barak. Saat itu kami hanya berpikir bahwa penyebab kekacauan politik, terlantarnya pembangunan, daerah-daerah mengalami ketidakadilan, semua itu adalah akibat dari masa-masa sebelumnya dan semakin parah dihari-hari mendatang, karena makin tidak demokratisnya negara. Apalagi ditambah dengan kehadiran PKI dalam pusat kekuasaan, dimana pemerintahan semakin condong ke kiri.

Saya yang semula, sebagai orang yang disayangi Presiden Soeharto dan KSAD Nasution, sebagai orang yang ‘diutus’ untuk menjinakkan Panglima TT-VII Kolonel Joop F. Warouw dan meredam gejala-gejala politik di Indonesia Timur, kini terlihat sebaliknya. Apapun resikonya, saya tidak mau hidup dengan rutinitas jabatan tinggi ini meskipun bergelimang kenikmatan, jika itu berarti merutinkan atau hanya meneruskan kehidupan masyarakat banyak dalam penderitaan.

Perjuangan Kami Jadi Pejuangan Nasional : Soeharto dan Gatot Subroto Terlibat Aktif


Dalam bekerja, saya selalu tidak mau tanggung-tanggung. Sejak bulan-bulan akhir 1956, kemanapun saya pergi, saya mendorong gerakan pembangunan daerah dengan konsekuensi apapun. Tidak kecuali harus lebih dulu menetang pusat kalau menjadi penghalang.

Teman-teman di Sumatera Tengah dan Selatan mulai mengontak saya. Mereka mendengar cerita tentang aksi-aksi kami di Reuni SSKAD pada November 1956 yang sampai mempengaruhi Panglima Sumatera Utara, Kolonel Simbolon untuk segera bergerak. Di Jakarta pun begitu, saya langsung menggerakkan teman-teman di SUAD, di sekitar Nasution sendiri. Bahkan saya menemui WKSAD Brigjen Gatot Subroto.

Semula Pak Gatot masih mau berbantahan, berusaha menjelaskan ini-itu. Dia memang jauh lebih senior. Juga atasan, sejak dulu. Tapi dilihatnya saya sangat yakin dengan apa yang saya sampaikan. Ia jadi lebih serius memperhatikannya. Padahal jelas saya sedang menghantam pihaknya, pihak pimpinan TNI-AD.

Tak disangka-sangka waktu saya pamit dari ruang kerjanya, tiba-tiba Pak Gatot yang mengiringi saya keluar berbisik, “Kita bicara dengan Soeharto di Tawangmangu.”

Saya menghentikan langkah. Karena nadanya terdengar serius, saya menatap Pak Gatot. Dia mengangguk, meyakinkan saya. “Ya, sekalian sudah lama ndak tetirah.”

Wah..., kalau begini, ini sudah gerakan nasional. Indonesia Timur, Sumatera Utara, Tengah, sampai Selatan. Jawa Barat sudah lebih dulu. Mereka pasti. Saya sudah bicara dengan Pak Sukanda, sekarang Jawa Tengah. Juga WKSAD, juga teman-teman SUAD di MBAD!

Sepanjang minggu ke-3 dan ke-4 bulan Januari 1957, saya, juga Pak Gatot, menjadi tamu Panglima TT-IV/Diponegoro Letkol Soeharto di Tawangmangu. Daerah pegunungan, sebelah timur kota Solo, kami menempati sebuah bungalow. Hawa disini sejuk, apalagi musim hujan. Pak Gatot sangat menikmati liburan nya disini.

Kami berunding dan membahas masalah-msalah nasional selama 2 minggu. Kalau kami sedang ngobrol bebas, Pak Gatot banyak memberi nasehat buat kami. Pak Gatot memang sesepuh Diponegoro. Kalau Pak Gatot ngobrol dengan Soeharto, saya lebih banyak diam, karena saking asyiknya mereka ngobrol dalam bahasa Jawa. Sebaliknya, kalau sedang ngobrol santai begini dengan Soeharto, apalagi kalau ngobrol kenang-kenangan kami masa gerilya, Pak Gatot lah yang menjadi pendengar.

Bertiga kami merundingkan kesatuan pandangan kami mengenai masalah-masalah TNI-AD dan politik negara. Dalam hal pergantian pimpinan AD, Pak Gatot mengatakan siap menjadi KSAD, yang penting melalui prosedur yang benar. Jadi, Panglima TT Jawa Tengah, Soeharto bukan saja pendukung perjuangan kami menentang rezim Soekarno-PKI-Nasution, melainkan ia adalah eksponen perjuangan ini juga.

Itulah mengapa dalam Munas bulan September 1957, Soeharto-lah yang justru mendorong saya dan kawan-kawan perwira daerah untuk menuntut secara lebih keras.

“Kita paksakan saja!” kata Soeharto kepada saya dan DJ.Somba berkali-kali.

Sikap posisi Soeharto tesebut, sudah kesepakatan kami di Tawangmangu, bukan hanya ia perlihatkan kepada kami. Ia bahkan sudah menanamkan garis perjuangan kami itu pada jajaran TT-IV Jawa Tengah. Sehingga banyak kalangan di negeri ini sudah tahu posisi Soeharto, termasuk Bung Hatta.

Itulah mengapa ketika pecah PRRI, awal 1958, tak kurang dari Bung Hatta yang, dalam usahanya mencegah operasi militer pusat terhadap kami di Sumatera dan Sulawesi, mengatakan bahwa pasukan-pasukan di Jawa Tengah tak akan mendukung operasi militer pusat untuk memerangi kami. Ketika KSAD memerintahkan Panglima TT-IV untuk menggempur kami, Soeharto beralasan minta waktu untuk mempersiapkan pasukan. Nanti, setelah didekati langsung oleh Presiden Soekarno, baru akhirnya dikirim juga. Karena yang meminta adalah Kepala Negara, dan diingatkan bahwa itu untuk tugas negara, maka para panglima di Jawa itu akhirnya ‘terpaksa wajib’ mengirim pasukan.

Dikemudian hari, Dokter Engelen cerita ke saya kalau bertemu Gatot Subroto di Puncak. Pak Gatot bilang, “Soeharto sudah nunggu-nunggu, ndak dihubungi”.

Ya, memang kordinasi kami payah.

Upaya Nasution Memecah-Belah Kekuatan Indonesi Timur

Bagi Nasution yang orientasinya hanya kekuasaan dan kekuasaan, politik dan politik saja, tidak dapat mengapresiasi upaya pembangunan ekonomi masyarakat yang padahal tidak boleh ditunda-tunda. Proklamasi Permesta segera terlihat sebagai tantangan dan ancaman. Maka, ia berusaha keras dengan segala cara untuk memotong perjuangan kami. Ia memecah belah kekuatan kami di Indonesia Timur. Dan ia berhasil, karena menemukan celahnya, yaitu Mayor M. Jusuf.

Sejak sebelum saya Panglima TT-VII Indonesia Timur, upaya tersebut sudah dilakukan, yaitu dengan mengadakan KoDPSST. Komando Daerah Pengamanan Sulawesi Selatan & Tenggara ini jelas-jelas merupakan pemecah belah komando Indonesia Timur, memotong dan memperkecil komando TT-VII. Ini terlihat dari 21 Batalyon Tempur yang ada di Sulawesi Selatan dan Tenggara, hanya 1 yang dibawah TT-VII. Pembagian itupun hanya berdasarkan suku. Satu batalyon kami, yaitu Yon 702 pimpinan John Ottay yang kebanyakannya orang Minahasa. Sedangkan 20 batalyon lainnya terdiri dari orang-orang dari Jawa dan Sulawesi Selatan. Begitu juga dalam staf KoDPSST, sebagai diangkat para perwira asal Sulawesi Selatan. Letkol M.Saleh Lahade menjadi Kepala Staf, Letkol Andi Mattalatta sebagai Wakil Panglima.

Sejak semuala saya tidak mempersoalkan kehadiran KoDPSST. Kalau alasan Nasution bahwa ini demi efektifitas operasi penumpasan DI/TII Kahar Muzakkar, mungkin karena ia berpikir kami dengan Kahar Muzakkar teman lama, sejak dari KRIS dan revolusi fisik di Jawa, bagi saya terserah saja. Walau pikiran saya itu adalah mengada-ada karena sesungguhnya Nasution sangat mengenal sifat saya yang obyektif dalam bekerja.

Kalau dibilang TT-VII didominasi perwira-perwira asal Minahasa itu prasangka orang yang tidak mengerti persoalan. Semua penempatan berdasarkan keputusan Reuni Brigade XVI, juga sudah sesuai dengan tingkat senioritas dan syarat-syarat lainnya, seperti lulus SSKAD. Reuni dimotori oleh Saleh Lahade dan Andi Mattalatta, jadi semua berjalan fair dan didukung oleh semua pihak berdasarkan semangat persatuan nasional. Mayor M. Jusuf yang baru pulang mengikuti pendidikan di AS, tidak disukai oleh tokoh-tokoh militer di Sulawesi Selatan sendiri, seperti Latkol M. Saleh Lahade dan Letkol Andi Mattalatta. Ia pernah ikut SSKAD, tapi tidak melalui prosedur dan ujian yang layak, Cuma karena membujuk Pak Gatot, karena ia bukan peserta reguler SSKAD, dan hanya berstatus sebagai pendengar saja. Bahkan, banyak rumor yang mengatakan bahwa M.Jusuf membujuk Pak Gatot dengan menyogok sesuatu yang saya rasakan tidak etis untuk diungkap di memoar ini. Begitu juga untuk masuk ke Fort Benning, pendidikan setingkat dibawah Fort Leavenworth, tidak melalui prosedur dari daerah, tidak melalui seleksi yang fair. Menurut Mattalatta, Jusuf langsung mendekati perwira-perwira kunci di MBAD.

Di AS, Mayor M. Jusuf berteman dekat dengan Ahmad Yani. Yani studi di Fort Leavenworth. Sepulang ke Indonesia, Jusuf tetap berhubungan baik dengan Yani yang menjadi Deputi KSAD. Setelah KoDPSST dibentuk, 3 bulan kemudian Jusuf dikasi memegang komando yang kemudian menjadi Resimen Infanteri Hasanuddin, dan mulailah semangat pengkotak-kotakan sukuisme oleh Nasution berjalan.

Begitu Permesta di Proklamirkan, Jusuf langsung melapor ke Ynai dan MBAD, dan minta intruksi militer. Artinya, memberi diri untuk menghantam kami. Padahal kenyatannya bersama M. Saleh Lahade, Dr. Engelen, Bing Latumahina, dia yang paling aktif merancang Permesta, justru sebelum saya ikut serta. Jusuf juga memprakarsai Dewan Hasanuddin, mengikuti jejak Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda di Sumatera. Mungkin tujuan Jusuf cepat-cepat melapor ke MBAD itu hanya sekadar untuk menyelamatkan diri sendiri bila ternyata Pusat menindak kami. Tapi itu sudah cukup menjadi celah penting untuk siasat Nasution bisa masuk, untuk memecah kekuatan inti dari Permesta.

KSAD Mayjen Nasution kemudiannya memanggil panglima-panglima daerah untuk rapat di Jakarta yang akan dimulai pada 15 Maret. Tapi tanggal 14 Maret mereka sudah mengumumkan SOB. Artinya, dalam rapat ia akan menekan kami dan dengan konsekuensi paling kecil yaitu kami akan ditangkap! Ahmad Hussein sampai tidak datang. Seperti itulah gambaran mengenai suasana tegang pada waktu itu, tapi saya tetap datang memenuhi panggilan. Dengan posisi saya yang seperti itu, yaitu sudah mendengar adanya rencana penangkapan, Nasution menjelaskan niatnya membagi TT-VII Indonesia Timur menjadi 4 wilayah militer yang masing-masingnya akan dipimpin oleh seorang Panglima. Sama dengan pembagian wulayah yang kami buat dalam struktur Permesta, namun bedanya kami dalam rangka memperlancar pembangunan disemua daerah, sedangkan Nasution hanya bertujuan untuk memecah belah kami.

Saya menolak keras. Sambil pura-pura tak mau menyinggung tentang tujuan Nasution yang sebenarnya berada dibelakang rencana pembubaran TT-VII itu, saya tetap bicara dalam rangka rasionalitas organisasi militer, efektifitas komando dan efisiensi administrasi sebuah organisasi teritorium tentara. Nasution tidak bisa membantah argumen saya soal-soal organisasi. Saya menyampaikan kesimpulan saya : Membubarkan TT-VII hanya akan memperpanjang dan mengakibatkan kekacauan. Saya bersuara lantang,

“Tolong jangan diteruskan. Karena tuan-tuan akam menimbulkan perang saudara!” saya tegaskan. Semua hadirin terdiam.

Sebenarnya ada juga usaha nasution untuk menyelesaikan masalah kami dengan cara lain. Diluar rapat, saya juga mengadakan pertemuan dengan Nasution dirumahnya. Waktu saya datang, pagi hari, Nasution bilang,

“Saya belum pernah menyediakan minum dan snack untuk tamu lho, tapi untuk Ventje saya harus cari dan beli tadi.”

Dalam suasana yang lebih pribadi ini, saya melihat bahwa dia berharap saya mau minta maaf. Tentu saja saya akan minta maaf kalau memang saya ada salah sama dia secara pribadi. Tapi Permesta adalah perjuangan rakyat, bukan urusan saya pribadi. Dan Permesta pasti bukan kesalahan, tidak mungkin saya akan minta maaf untuk itu! Dalam perbincangan kami itu saya sampaikan kepada Nasution kemungkinan intervensi AS secara langsung lantaran keberadaan PKI yang sudah duduk manis dalam pemerintahan. Keberadaan PKI dalam pemerintahan dimulai berdasar Konsepsi Presiden yang di umumkan pada Februari 1957. Intervensi AS berdasar doktrin resmi mereka, yang terkenal dengan Einshower Doctrine.

Dengan jaminan keamanan dari Resimen Hasanuddin Mayor M. Jusuf, Nasution berkinjung ke Makassar akhir Mei 1957. Nasution berusaha menaklukkan saya, melakukan psywar. Pernah juga Saleh Lahade memperingatkan Ahmad Yani tentang apa yang terjadi. Saleh Lahade mengatakan,

“Pangkal persoalan sebenarnya bukan karena hirarki militer, tidak ada urusan soal itu. Ini soal pembangunan dan sekaligus dengan itu membendung bahaya merah. Ahmad Yani menangkis,“Ah, itu soal politik saja Pak Saleh....... Mendengar jawaban Yani yang seperti itu, Saleh jadi putus asa menjelaskan, maka Saleh hanya berkata berkata,“Kalau begitu, silahkan! Kalau bapak-bapak mau digantung sama PKI!”(Siapa sangka kemudian ucapan Saleh Lahade ini ternyata benar-benar terbukti. Yani dibunuh oleh PKI, Nasution berhasil lolos, namun putrinya menjadi tumbal)Dalam suatu perdebatan sengit di Makassar itu, saya dan Nasution berdebat berjam-jam. Saya lantas bilang,“Saya sebetulnya bisa saja menangkap kamu! Tapi saya pikir, untuk apa coba? Tidak ada gunanya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah!”“Ya, saya pikir juga begitu,” kata Nasution.

Bagaimanapun upaya Nasution berhasil. Ia memainkan terus sentimen perbedaan Suku. Dukungan terhadap Permesta di Sulawesi Selatan tersu menurun. Maulai dari Mayor M. Jusuf, Komandan Resimen Hasanuddin, hingga Gubernur Andi Pangerang Pettarani, semuanya dibakar dengan sentimen kesukuan. Setelah likuidasi oleh Nasution, saya tetap memimpin Permesta. Mayor DJ. Somba kemudian meminta agar saya pindah saja ke Utara. Juni 1957, Markas Permesta saya pindahkan ke Kinilow, Minahasa.

Dikemudian hari, datangkah para menteri-menteri dario Pusat mengunjungi Sulawesi Utara, lengkap dengan segala janji-janjinya tentang pembangunan nasional, serta perbaikan taraf hidup masyarakat. Nmaun, semuanya hannya retorika belaka. Politik memang dengan gampang saja menjanjikan suatu janji yang semu, namun tanpa realisasi sama sekali. Dengan itu, tekad Permesta tetap berjalan terus, bahkan makin merakyat.

Diposkan Erwin Parikesit (kaskuser)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.