Kamis, 07 Februari 2013

☆ Memoar Ventje H.N. Sumual (7)

Artikel dikutip sebagian teknis militer berserta sejarahnya dari Buku Memoar Ventje H.N. Sumual.
Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009.

Kompas SUMU dan SSKD

Struktur Komando diseluruh wilayah Indonesi Timur telah tersusun. Panglima Tentara & Teritorium Indonesia Timur dijabat Kolonel A.E. Kawilarang, Kepala Staf Letkol Sentot Iskandardinata, Staf I Mayor Dolf Runturambi, Staf II Mayor Leo Lopulisa, Staf III Mayor Sanyoto, Staf IV Mayor Suprayogi, dan Staf V Mayor M. Saleh Lahade. Mereka adalah perpaduan dari staf dan pimpinan pasukan Brigade Seberang. Sedang Letkol Soeharto tetap memimpin Brigadenya, Brigade Garuda Mataram yang berkedudukan di Makassar dan sekitarnya. Beberapa bulan kemudian struktur Staf terjadi perubahan. Kepala Staf dipegang Letkol Kosasih, Staf II Mayor Lendy Tumbelaka, dan Staf IV Mayor Pattimana. Yang lainnya tetap.

Setelah Slamet Riyadi gugur dalam penumpasan RMS, Kawilarang mengangkat Warouw untuk menggantikannya sebagai Komandan Operasi Penumpasan RMS. Saya menggantikan Warouw sebagai Komandan Kompas-B. Nah, pada saat saya menjabat ini datang Edi Gagola menemui saya. Dia dulu staf Brigade XVI SWK 103A yang saya pimpin. Sebetulnya Edi sudah desersi dari TNI, ketika menghadapi Agresi II Belanda, waktu ada konvoi pasukan Belanda lewat dekat sektor kami, Edi malah menyerah kepada tentara Belanda untuk ditawan, saya sampai marah waktu itu. Walau sering ragu akan kesetiaannya kepada RI, sebagai staf ia amat pintar. Makanya dia saya pakai lagi.

Belum lama menduduki jabatannya di Makassar, Panglima Kawilarang berkunjung ke Sulawesi Utara. Disamping kunjungan dinas sebagai Panglima, dia menyempatkan untuk bertemu sanak keluarganya di Tondano dan Remboken. Saya, sebagai pimpinan APRIS di daerah ini mengawalnya kemana-mana. Walau Alex orang Minahasa, dia tidak banyak tahu tentang daerah ini. Kawilarang lahir dan tumbuh besar di Pulau Jawa.

Pertama bertemu, Panglima Kawilarang bilang,
“Tje, ada salam dari Overste Soeharto”.

Rupanya Soeharto sudah menceritakan kepada Panglima tentang kerjasama erat kami dalam perang gerilya di Yogyakarta. Mungkin Soeharto ingin menyatakan bahwa dirinya sudah tidak asing lagi bekerjasama dengan para perwira dan pasukan Brigade Seberang yang sekarang berperan besar di Indonesia Timur. Sekarang, Letkol Soeharto memimpin Brigade Garuda Mataram yang menjadi bagian dari ekspedisi APRIS untuk Indonesia Timur yang dipimpin Kawilarang. Brigade ini memang sangat diandalkan oleh Kawilarang. Mereka ditempatkan disektor kota Makassar dan ditebar hingga ke Sungguminasa dan Maros.

Panglima Kawilarang sering memuji-muji Soeharto. Katanya,

“Tje,.. Soeharto itu kerjanya bagus, tenang, selalu memperhitungkan segala situasi dengan matang.”
“Ya, dia memang begitu orangnya. Selalu sangat tenang dalam menghadapi masalah besar.” balas saya.
“Tapi Tje, kamu tau nda? Ada persamaan antara kamu dengan Soeharto.”

“Apa dia Panglima?” tanya saya heran.
“Sama-sama suka diam, nda banyak omong! susah bercandanya.." Jelas Panglima Kawilarang.


Kawilarang lantas bercerita bagaimana Soeharto mengatasi pemberontakan KNIL pada pertengahan Mei 1950 di Makassar. Itu pertempuran yang lebih besar dibanding peristiwa Andi Azis sebulan sebelumnya.

“Overste Soeharto itu disiplinnya luar biasa, terhadap dirinya, juga terhadap anak buahnya,” puji Kawilarang berulang-ulang.

Peranan Batalyon 3 Mei

Republik Maluku Selatan (RMS) diumumkan berdiri pada tanggal 24 dan 25 April 1950. Proklamasinya dibacakan oleh Manuhutu, Kepala Daerah Maluku Selatan. Disponsori oleh Dr. Soumokil dan Mayor Nanlohy, Nanlohy adalah komandan pasukan KNIL di Ambon. Presiden RMS Manuhutu, Perdana Menteri Dr. Soumokil merangkap Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan A. Nanlohy. Setelah proklamasi, pasukan KNIL di Ambon langsung bergerak, menolak kedatangan APRIS diwilayahnya.

Pemerintah Jakarta bertindak tegas. Gerakan pemecah belahan wilayah negara Indonesia tersebut dipadamkan secara militer. Panglima Wilayah Indonesia Timur, Kolonel AE. Kawilarang ditunjuk memimpin operasi. Meski Kawilarang mengangkat Letkol Slamet Riyadi sebagai Komandan Operasi Penumpasan RMS, namun Kawilarang pun terjun langsung ke front. Sehingga pasukan APRIS lebih bersemangat.

Segera saja Kawilarang menghitung bahwa tidak cukup pasukan yang sudah dikirim pertama di Sulawesi Selatan, dan sudah tidak bisa ditambah lagi dari sana, karena harus juga tetap berjaga-jaga di sana, karena pasukan KNIL di Sulawesi Selatan masih besar, dan dengan perlengkapan kuat. Jadi, hampir seluruh pasukan kami yang ada di Sulawesi Utara dikerahkan, termasuk Batalyon Worang dan Batalyon 3 Mei. Letkol Joop F. Warouw dan saya mengatur pasukan-pasukan yang akan menyerbu dari utara.

Peranan Batalyon 3 Mei amat besar. Karena ke-3 Kompi besar mereka adalah bekas KNIL, sedangkan lawan yang kami hadapi juga sesama KNIL. Jadi mereka kenal betul taktik-taktik maupun sifat-sifat dari gerakan, dan juga senjata yang digunakan lawan.

Ada cerita lucu. Suatu hari, kebetulan saya sedang berada di dekat alat Telegraf di Markas saya, masuk kawat dari Makassar, ternyata dari Panglima Kawilarang. Saya langsung ambil dan baca sendiri. Saya memang sedikit mengerti pekerjaan telekomunikasi ini karena pernah sekolah pelayaran di Makassar. Isinya : SEGERA DISIAPKAN PASUKAN ‘BARET HIJAU’ UNTUK SEGERA DIKIRIM KE FRONT MALUKU!

Pasukan KNIL yang dalam RMS itu memang banyak personilnya yang berasal dari Baret Hijau dan Baret Merah. Mereka sangat kuat dan taktis. Pasukan-pasukan APRIS sering kelabakan dibuatnya, dan menderita banyak korban. Mereka juga penembak yang jitu dan jempolan. Salah satu korbannya adalah Slamet Riyadi yang menjadi Komandan Operasi Penumpasan RMS. Untuk menghadapi mereka, Panglima Kawilarang minta dikirimi “Pasukan Baret Hijau” dari Manado. Nah, justru disini masalahnya.

Bung Lex tidak tahu kalau jumlah personil “Baret Hijau” mantan KNIL di Manado sudah sangat sedikit sekali. Cuma sekitar 20 orang yang masih aktif, banyak yang sudah pensiun dan keluar. Lainnya sudah masuk kedalam Yon 3 Mei yang sudah dikirim lebih dulu.

Tapi saya lantas punya pikiran lain, saya panggil Empie Kanter, saya ungkapkan rencana saya. Bikin saja Depo Batalyon yang dipimpin Mamengko menjadi pasukan “Baret Hijau”! Ini pasti akan memperlancar diterimanya mereka semua secara resmi sebagai APRIS. Mereka sebenarnya sedang terancam tidak diterima dalam APRIS, soalnya MBAD, Kolonel Nasution menerapkan syarat-syarat teknis kemiliteran yang terlalu ketat, dan Kawilarang pun menjalankan intruksi MBAD itu. Padahal, pasukan Mamengko ini hanya terdiri dari umumnya laskar pemuda yang pemberani, masalah ini sudah cukup memusingkan saya. Saya mengkonsolidasi pasukan-pasukan di Sulawesi Utara ini untuk masuk APRIS, tapi sekarang, setelah misi politis strategis RI berhasil, ternyata tidak semua dari mereka akan dipakai terus.

Sebagai kesatuan, Batalyon 3 Mei ex KNIL Alex Mengko dan Lexy Anes, Depo Batalyon Frans Mamengko, dan 3 Kompi lainnya sudah diresmikan sebagai APRIS. Tapi lantas ada program APRIS yang disebut Restrukturisasi, yang antara lain berwujud penyaringan kembali semua pasukan secara individu. Individu yang dinilai tidak memenuhi syarat, tidak boleh terus sebagai TNI, mereka akan disalurkan keberbagai bidang-bidang pekerjaan lain melalui Badan Restrukturisasi Nasional (BRN). Sekarang proses penyaringan itu masih berjalan, dan pasukan anak-anak dibawah Mamengko ini banyak yang kena. Sering kali saya merasa tidak enak pada mereka, namun alasan-alasan pemerintah pun memang logis. Kebijakan sama juga diterapkan kepada bekas laskar-laskar di Sulawesi Selatan.

Nah, kali ini saya mendapat kesempatan untuk menolong para bekas laskar yang tidak jelas nasibnya itu. Saya menyuruh Empie Kanter ke tukang jahit, pesan topi Baret Hijau 800 buah. Padahal, Panglima Alex hanya minta, “biar beberapa peleton saja”. Latihan secara intensif pun langsung saya mulai untuk mereka, siang malam, tidak perlu sampai mendekati kualitas pasukan komando atau Raiders, yang penting sudah ditingkatkan jauh lebih baik daripada biasanya.

Dan ternyata, fakta dilapangan membuktikan. Para pemuda “Baret Hijau” gadungan ini, yang bahkan tidak masuk Yon 3 Mei luar biasa beraninya di medan front menghadapi pasukan KNIL Baret Hijau dan Merah asli. Bahkan, teman-teman mereka di Batalyon 3 Mei sampai terkagum-kagum. Sedemikian hebatnya Green Barret gadungan ini, sehingga tidak ada yang mempertanyakan kesahihan “Baret Hijau” mereka. Pasukan KNIL Baret Hijau dan Merah kocar kacir dibuatnya, banyak yang tewas oleh mereka, sisanya menjadi tawanan. Mungkin KNIL Green Barret asli yang tertawan terheran-heran, karena merasa tidak mengenal mereka, merasa tidak pernah bertemu dalam latihan komando.

Selesai operasi di Maluku Selatan, pasukan yang kemudian dikenal dengan nama Detasemen Mamengko ini tidak langsung kembali ke Minahasa. Mereka selanjutnya ditugaskan di wilayah Kendari Sulawesi Tenggara. Komandannya, Frans Mamengko hanya murni laskar pemuda, tapi luar biasa beraninya dan sangat cerdas. Baru berumur 20 tahun sudah dipercayakan menjadi Komandan Depo Batalyon. Tidak sedikit yang lebih senior dan berpengalaman diantara pasukan yang dipimpinnya. Frans Mamengko pernah bertugas sebagai Komandan Kodim di Minahasa dan terakhir bertugas sebagai Direktur Penelitian dan Pengembangan Intelijen TNI-AD dengan pangkat terakhir Kolonel Inf.

Saya dengar MBAD akan menyelenggarakan pendidikan latihan khusus untuk perwira di Jakarta. Semacam pendidikan dan latihan insentif peningkatan profesionalisme para komandan tentara. Saya sangat tertarik, apalagi saya dengar para pelatih teknis kemiliterannya didatangkan dari luar negeri. Mereka yang memang sudah berpengalaman sebagain instruktur, saya sangat antusias sekali, ini yang saya butuhkan dari dulu!. Lembaga Pendidikan Tinggi TNI-AD itu kemudian dinamakan SSKD, Sekolah Staf & Komando Angkatan Darat.

Ketika Panglima TT-VII Kolonel Gatot Subroto berkunjung ke Manado, langsung saya sampaikan niat saya untuk masuk SSKAD itu. Saking inginnya, saya sampai “setengah minta tolong”, bukan sekadar usul. Tapi Pak Gatot malah balik minta tolong,

Ventje tolonglah saya, jangan kemana-mana dulu. Saya masih baru disini, dampingi saya dulu, saya perlu banyak belajar. Nanti kalau sudah beres, saya pasti atur!..pasti!”

Niat saya tertunda, tapi saya tidak berhenti melangkah, saya tetap bertugas dan bekerja sebaik-baiknya, sehingga Pak Gatot sebagai Panglima menjadi sangat senang. Banyak yang kami kerjakan, merintis ini itu, disamping menjaga dan mengembangkan apa yang sudah ada.

Ketika kemudian sampai waktunya, Panglima, Pak Gatot sendiri yang langsung bertanya,

“Siapa ya kira-kira yang pantas memegang komando menggantikan Ventje disini?”


Dia tanya begitu saya sempat bingung. Soalnya, saya dengar-dengar Pak Gatot menghendaki Subroto Kusmardjo yang akan naik menggantikan saya, sedang saya sendiri sudah pernah bicara dengan Hario Kechik, dan saya menilainya sebagai seorang komandan yang pintar dan profesional. Sementara, kalau ikut “kewajaran hirarki” dari Brigade Seberang untuk perwira asal Sulawesi Utara yang ada di Manado, setelah Joop Worouw dan kemudian saya, maka yang seharusnya adalah Kembi Worang. Belum lagi bicara tentang prestasi Worang akhir-akhir ini, sejak mendarat di Makassar dan kemudian Operasi Penumpasan RMS. Pada Pak Gatot saya menjawab,

“Siap.! Mayor Worang Pak!”

Pak Gatot diam, lantas mengangguk-ngangguk perlahan. SK Panglima TT VII kemudian terbit, Mayor HV. Worang diangkat sebagai pengganti saya di Manado, bukan Broto maupun Hario.

Saya sudah di Jakarta ketika mendengar munculnya gerilya Pasukan Pembela Keadilan (PPK) di Minahasa. Pemimpinnya tak lain adalah Sam Mangindaan dan No Korompis, pemimpin-pemimpin dalam pasukan Gagak Hitam di Makassar. Sam Mangindaan maupun No Korompis merasa sakit hati, karena merasa sudah berjasa secara militer maupun politik bagi kepentingan RI tapi diturunkan pangkatnya oleh Panglima Kawilarang. Kapten No Korompis diturunkan menjadi Sersan, begitu juga teman-teman mereka yang lainnya. Termasuk Goan Sangkaeng yang lantas desersi. Gerilya PPK ini menjadi pasukan liar bersenjata, pengganggu keamanan masyarakat. Setelah Sam Mangindaan meninggal, tempatnya digantikan oleh No Korompis, wakilnya Jan Timbuleng yang kemudian terkenal dengan petualangannya di Sulawesi Utara.

Kelompok ini boleh dibilang sama dengan Kahar Muzakkar, korban dari proses transisi. Ketika pucuk pimpinan TNI berupaya membangun organisasi militer negara, proses restrukturisasi, reorganisasi, rasionalisasi, penegakan disiplin, selalu akan ada individu-individu ataaupun kelompok tertentu yang merasa dirugikan, merasa sangat berjasa dan di tidak adil. Penanganan masalah seperti ini memang harus benar-benar bijaksana.

Diposkan Erwin Parikesit (kaskuser)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.