Jumat, 15 Februari 2013

Rencana Akuisisi 20 Blackhawk TNI AD

 TNI AD akan Datangkan 20 Unit Helikopter Black Hawk

Jakarta| Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro mengatakan Mabes TNI AD mengajukan permintaan untuk membeli helikopter tempur. Ada dua opsi helikopter yang diinginkan TNI AD, yaitu Apache dan Black Hawk. Pembelian tambahan alutsista itu dipilih dri Amerika Serikat (AS) lantaran sesuai dengan spesifikasi.

Namun, lantaran harga Apache terlampau mahal pilihan bakal dijatuhkan untuk membeli Black Hawk. Menurut Purnomo, pembelian itu diharapkan selesai tahun ini. Pasalnya, dana yang dianggarkan sebesar 200 juta dolar AS atau setara Rp 1,9 triliun lebih sudah disetujui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Perencanaan Pembagunan Nasional (BPPN).

Berdasarkan pembicaraan awal, kata Purnomo, harga satu unit Apache mencapai 45 juta dolar AS dan Black Hawk sekitar 20 juta dolar AS per unit. “Black Hawk pilihanya karena Apache mahal. Ini masih dalam pembahasan pemerintah dan belum diajukan ke Komisi I DPR,” kata Purnomo di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, Jumat (15/2).

Disampaikan Purnomo, jika pilihan dijatuhkan kepada Apache, maka proses pembelian bisa cepat. Itu lantaran pihaknya sudah mengantongi izin dari Pentagon alias Departemen Pertahanan AS.

Purnomo menyampaikan karena TNI AD juga setuju dengan Black Hawk, pihaknya berharap rencana pembelian itu bisa lancar. Dengan begitu, satu skuadron helikopter serang bisa terbentuk.

Alasan lainnya, kata dia, sisa waktu pemerintahan sekarang secara efektif tinggal setahun. Sehingga jika tidak bisa segera diselesaikan maka ditakutkan program yang dirancang tidak bisa berkelanjutan.

Kepala Badan Saranan Pertahanan Kemenhan Mayjen Ediwan Prabowo mengatakan, dana alokasi yang sudah disetujui sebesar 200 juta dolar AS untuk pembelian Black Hawk. Hasil diskusi dengan perwakilan Pentagon, kata dia, dengan alokasi dana sekarang hanya dapat delapan helikopter Apache, sedangkan untuk Black Hawk bisa didapat 20 unit.

 Kemhan akan Beli Helikopter Black Hawk

Kementerian Pertahanan tengah mengkaji untuk membeli helikopter tempur Black Hawk dari Amerika Serikat guna menambah kekuatan alat utama sistem senjata atau autsista TNI Angkatan Darat.

"Pilihannya adalah kalau gak helikopter serbu Black Hawk, ya helikopter serang Apache. Itu termasuk dalam alutsista tambahan yang kami ajukan untuk dapat melengkapi kekuatan TNI AD," kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro seusai sertijab pejabat Eselon I di Kantor Kemhan, Jakarta, Jumat (15/2).

Menurut dia, pembelian helikopter Apache sebenarnya sudah mendapatkan izin dari pemerintah Amerika Serikat. Hanya, Kemhan menginginkan jumlah yang banyak.

"Kalau kita tidak bisa mendapatkan Apache yang cukup banyak, maka kita ingin Black Hawk. Terpenting helikopter tempur kita itu cukup banyak dan bisa untuk membangun kekuatan," kata Purnomo.

Namun begitu, Kemhan belum bisa memutuskan akan memilih helikopter jenis apa. Saat ini Kemhan sedang menghitung dari dana yang sudah disediakan Kementerian Keuangan dan Bappenas. Ditargetkan, pembelian helikopter serang bisa terlaksana tahun ini.

"Kita sedang mengejar waktu karena masa bakti kita kan tinggal tahun depan," ujarnya.

Sebelumnya, TNI Angkatan Darat menginginkan pembelian helikopter Apache. Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo mengatakan bahwa Apache merupakan helikopter serang paling andal di kelasnya.

Menhan juga mengatakan bahwa Apache merupakan helikopter serang tercanggih saat ini, tapi TNI AD juga menyatakan tak masalah jika diganti dengan Black Hawk.

Target TNI AD, tambah dia, adalah membuat satu skuadron helikopter untuk membantu mengamankan wilayah.

Sementara mantan Kepala Badan Sarana Pertahanan (Kabaranahan) Mayjen TNI Ediwan Prabowo menjelaskan pemerintah mengalokasikan 400 juta dollar AS untuk pembelian helikopter serang.

"Jika dibandingkan, uang sebesar itu mampu untuk membeli 8 unit Apache karena kisaran harganya mencapai 45 juta dollar AS per unit. Jika untuk membeli Black Hawk lebih banyak lagi, mencapai 20 unit," kata Ediwan.

Perbedaan mendasar dari kedua helikopter itu, terang Ediwan, Apache merupakan helikopter serang yang bisa menghancurkan tank, kendaraan lapis baja, hingga bunker, sementara Black Hawk merupakan helikopter serbu yang memiliki kelebihan bisa mengangkut pasukan dan bisa dipersenjatai, meskipun kemampuan daya hancurnya tak sekuat Apache.(ant/hrb)

  ● Republika | Investor  

3 komentar:

  1. gawat ini.. program yang udah disusun bertahun tahun.. harus terancam karena pergantian penguasa ...

    BalasHapus
  2. Kedua2 nya dibeli saja, jumlahnya sama2 20-nya, anggaran dinaikkan menjadi Rp.
    4 trilyun, dah.. beres!... rakyat seneng liat tentaranya gagah, naik black hawk down dan apache...

    BalasHapus
  3. Quo Vadis MenHan dan TNI AD
    Berita tentang rencana permintaan TNI AD untuk membeli helikopter tempur. Ada dua opsi helikopter yang diinginkan TNI AD, yaitu Apache dan Black Hawk. Pembelian tambahan alutsista itu dipilih dari Amerika Serikat (AS) lantaran sesuai dengan spesifikasi. Ini aneh karena helikopter Apache dan Black Hawk adalah dua jenis yang berbeda. Apache adalah jenis helikopter berawak 2 (dua) spesialis serangan darat (ground attack) terhadap kendaraan lapis baja atau kendaraan lain serta pasukan musuh, sedangkan Blackhawk adalah jenis helikopter transport serbaguna yang juga dapat dipasangi senapan mesin. Kalau sekarang belum sanggup beli Apache, mengapa tidak menunggu sampai dananya cukup, mengapa malah dipaksakan beli Black Hawk? Bukankah TNI AD sudah punya dan mengoperasikan helikopter transport serbaguna Bolkow 105, Bell 412 dan Mi-17 yang juga bisa dipersenjatai ? Bahkan yang dua pertama itu sudah dirakit oleh PT DI. Apakah tidak dipikirkan tentang pelatihan pilot dan teknisi pemeliharaan dan perawatannya untuk sesuatu yang baru karena mulai dari nol? Apakah tidak dipikirkan pengalaman embargo senjata dari AS?

    Dalam kurun waktu 2 tahun terakhir, dalam rangka menambah kekuatan militer yang telah menjadi sangat lemah dalam satu dekade terakhir akibat embargo militer Barat, Indonesia telah membeli dan akan membeli secara besar-besaran berbagai macam alutsista matra udara, laut dan darat. Namun sepertinya pembelian ini jor-joran antara ketiga matra pertahanan, tidak berdasarkan prioritas, dan tidak memperhatikan pengalaman insiden masa lalu ketika Indonesia mengalami pelecehan kedaulatan akibat kekuatan militer yang lemah, dan melenceng dari doktrin Sistem pertahanan nasional.
    Sistem pertahanan nasional Indonesia adalah Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Total Defense), dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki ALKI - Alur Laut Kepulauan Indonesia (Andi Widjajanto, GELAR PERTAHANAN INDONESIA). Strategi pertahanan Indonesia adalah Strategi Pertahanan Berlapis (Layered Defense) :
    1. Zona Pertahanan I : zona Penyangga. Berada di luar batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia hingga wilayah musuh.
    2. Zona Pertahanan II: zona Pertahanan Utama. Zona ini meliputi wilayah antara garis pantai kepulauan Indonesia dan batas ZEE, termasuk ALKI.
    3. Zona Pertahanan III: zona Perlawanan mencakup seluruh wilayah darat Indonesia namun diprioritaskan kepada pulau-pulau besar di Indonesia.

    Zona Pertahanan I meliputi operasi militer bersifat seluruhnya ofensif preventive dan preemptive. Zona Pertahanan II meliputi operasi militer ofensif defensif, sedangkan Zona Pertahanan III adalah langkah terakhir pertahanan daratan. Bila musuh menyerang maka usaha pertama adalah menangkal serangan di luar batas ZEE sampai wilayah musuh. Bila ini gagal harus dilanjutkan dengan operasi militer di wilayah antara garis pantai kepulauan Indonesia dan batas ZEE, termasuk ALKI. Bila ini gagal lagi, maka tinggal perlawanan di wilayah darat diprioritaskan kepada pulau-pulau besar di Indonesia. Namun setelah kekuatan udara dan laut kita dihancurkan, musuh dengan leluasa dapat melakukan blokade baik laut dan udara, sehingga tidak sampai 1 (satu) bulan kita terpaksa minta gencatan senjata.

    Bagaimana kalau musuh menyerang lewat darat? Perbatasan darat Indonesia dengan negara lain ada 3 (tiga) yaitu : di Kalimantan dengan Malaysia, di Papua dengan Papua Niugini, dan di Timor dengan Timor Leste. Rasanya untuk 25 tahun ke depan sangat kecil kemungkinan ini terjadi.

    Dari skenario di atas, jelas bahwa skala prioritas (ini juga tersirat di dalam dokumen MEF) adalah Pertahanan Udara dan Laut, baru Pertahanan Darat. Perencanaan alutsista seharusnya mengikuti skala prioritas tersebut.

    Berita di atas adalah contoh dugaan bahwa rencana pembelian alutsista telah melenceng dari doktrin Sistem pertahanan nasional.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.