Kamis, 28 Maret 2013

☆ Soeharto di Mata 34 Wartawan Istana (I)

 Ada tiga hal penting dengan menghadirkan buku ini kepada masyarakat

Mengenang sejarah kepemimpinan Presiden Indonesia kedua, Soeharto, tentu tak bisa dilepaskan dari pencapaian kesuksesan pembangunan nasional Indonesia. Tapi, tentu perlu juga memahami kegagalannya dalam pemerintahan Orde Baru.

Untuk mengenang itu, 34 wartawan senior yang pernah bertugas di Istana Presiden pada kurun tahun 1968 - 1998 telah berhasil menuangkan kisahnya tentang kenangan dan kesan bertugas meliput kegiatan Presiden Soeharto dalam sebuah buku.

Buku berjudul "34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto" ini diluncurkan oleh Universitas Mercu Buana yang bekerja sama dengan Persaudaraan Wartawan Istana (PEWARIS). Buku ini juga berusaha mengungkapkan hal-hal yang belum pernah diketahui sebelumnya oleh masyarakat tentang Soeharto.

Menurut Rektor Universitas Mercu Buana, Arissetyanto Nugroho, ada tiga hal penting dengan terciptanya buku ini. "Pertama, buku ini mengungkapkan sisi lain Soeharto. Kedua, ada banyak wartawan senior yang menuliskan pengalamannya, Ketiga, para wartawan senior itu menulis dengan tingkat analisa yang baik dan berimbang," kata Arissetyanto dalam peluncuran buku itu di Jakarta, 27 Maret 2013.

Ia menyampaikan, di dalam buku ini ada yang menuturkan suka-duka pengalaman pribadinya dalam menjalankan tugas.  Selain itu, ada juga yang menyoroti, mengenang, dan menimbang kembali apa saja yang telah dilakukan oleh Presiden Soeharto.

"Namun, umumnya mencoba melihat sisi positif yang sudah diwariskan dari masa kepresidenan Soeharto ke masa sekarang," ujar Arissetyanto.

Sementara menurut Johannes Baptista Sumarlin atau lebih kenal JB Sumarlin, Mantan Menteri Keuangan pada zaman Orde Baru, buku ini telah membuat ia bernostalgia dan tersenyum.

"Banyak celotehan para penulis naskah saat berada di lingkungan kepresidenan. Saya terharu membaca perjuangan para kameramen dan fotografer saat mengabadikan momen bersama Presiden Soeharto. Semoga pengalaman para wartawan menjadi kenangan, pengalaman, dan pengabdian jurnalistik yang bermanfaat," kata JB Sumarlin.(eh) 


 Soeharto Sudah Disarankan Lengser di Tahun 1988 

Usul itu disampaikan Kepala BAKIN Yoga Soegama, dan Bu Tien setuju.

Sebanyak 34 mantan wartawan Istana yang pernah bertugas di Istana Negara pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto menuliskan kisah-kisah mereka dalam buku “34 Wartawan Istana Bicara tentang Pak Harto.” Salah satu cerita yang diangkat terjadi menjelang kejatuhan Soeharto pada tahun 1998. Kisah itu ditulis oleh B Wiwoho, wartawan harian Suara Karya.

Wiwoho menceritakan, 10 tahun sebelum kekuasaan Soeharto berakhir, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Yoga Soegomo sesungguhnya telah “memperingatkan” Pak Harto tentang situasi negara yang ia nilai tidak menguntungkan sang Presiden. Dalam pertemuan rutin mingguan di antara keduanya, Yoga menyampaikan empat poin pandangannya.

• Pertama, Pak Harto akan mencapai usia 67 tahun pada Pemilu 1988 dan sudah menjadi kepala negara selama 22 tahun, sehingga ia akan sampai pada tahap jenuh dan lelah.

• Kedua, pemerintahan Soeharto dikhawatirkan akan melemah karena puncak keemasan kepemimpinannya diprediksi hanya berlangsung pada periode 1983-1988.

• Ketiga, bisnis keluarga Soeharto – terutama bisnis putra-putranya – terus membesar dan menggurita sehingga Soeharto rawan menjadi sumber kecemburuan sosial dan sasaran tembak.

• Keempat, informasi yang diterima Soeharto dari orang-orang dekatnya dikhawatirkan akan semakin tidak akurat karena sumber dan jaringan informasi milik Pak Harto semakin menyempit akibat kesenjangan generasi.

Intinya, sang Kepala BAKIN Yoga Soegomo menyarankan Soeharto untuk mundur dari jabatan presiden dengan jiwa besar, dan mempersiapkan suksesi kepemimpinan pada Pemilu 1988. Yoga berjanji akan mendukung penuh dan menjamin keamanan siapapun suksesor yang ditunjuk Soeharto.

Namun usul Yoga tersebut tak ditanggapi oleh Soeharto. Dalam perdebatan yang menegangkan, dua pejabat penting negara menolak saran Yoga mentah-mentah, sedangkan Ibu Negara Tien Soeharto yang diam-diam mengamati diskusi sambil melintas di ruang pertemuan, tampak cenderung menyetujui pendapat Yoga. Soeharto sendiri diam seribu bahasa, sehingga akhirnya usul agar Pak Harto lengser keprabon pada tahun 1988 itu kandas.

Sepuluh tahun kemudian, 1998, pemerintahan Soeharto terbukti di ujung tanduk. Sebelas menteri mundur dari kabinet yang baru berumur 70 hari. Mereka menyatakan keberatan mendukung Pak Harto, terlebih desakan mundur dari rakyat menguat dan demonstrasi besar terjadi hampir di seantero nusantara. Surat pengunduran 11 menteri itu diterima Soeharto pada Rabu malam, 20 Mei 1998, di tengah meningkatnya eskalasi gejolak rakyat. Soeharto pun mengambil keputusan.

Ora dadi Presiden yo ra patekan,” kata Soeharto. Artinya, tidak jadi Presiden pun tidak rugi apa-apa. Kamis, 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden.

Sang penulis kisah itu, Wiwoho, mengatakan terlepas dari berbagai kelemahan Soeharto sebagai manusia, ia adalah orang besar yang pernah memimpin Indonesia tumbuh menjadi negara yang disegani oleh pemimpin dunia.

“Sekuat-kuatnya orang, suatu saat pasti akan lemah juga. Stamina akan turun dan kejenuhan menghampiri,” kata Wiwoho. Inilah yang menurutnya kerap dilupakan para penguasa dunia, termasuk Soeharto.(umi)

 Bila Wartawan Sepiring Berdua dengan Soeharto

Kisah wartawan menikmati hidangan di Istana Negara, 1977.

Presiden Soeharto dikenal sebagai sosok yang angker, karena pembawaannya yang pendiam. Banyak kalangan yang takut atau sungkan saat berhadapan dengan beliau.

Tapi, berbeda dengan Tarman Azzam, Wartawan Harian Terbit, yang menuliskan kisahnya saat melakukan peliputan di Istana Negara. Di dalam buku "34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto", Tarman menceritakan pengalaman berkesannya.

Kisahnya pada akhir tahun 1977, pada waktu itu di Istana Negara digelar hidangan diversifikasi makanan sehat, khususnya penganan daging kelinci.

"Saat itu Pak Harto mengambil tiga tusuk sate kelinci dan membawa piringnya ke kursi kosong. Di sana Pak Harto menikmati tusuk sate pertamanya," tulis Tarzam, dalam buku 34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto.

Tarzam pun mendatangi Pak Harto sambil senyum dan menanyakan, "Apa satenya enak, pak?". Pak Harto pun menoleh, tangannya mengambil setusuk sate dan memberikan kepada Tarzam sambil berkata "Nih, coba sendiri,".

Tak pikir panjang, Tarzam langsung menerima pemberian setusuk sate dari Pak Harto, lalu mengunyah potongan pertama daging sate kelinci. Belum selesai dagingnya tertelan, Pak Harto balik bertanya, "Gimana, enak kan?"

"Belum sempat saya merasakan nikmatnya sate itu, akhirnya langsung mengangguk dan berkata "iya pak, enak" kemudian tertawa. Tak disangka, Pak Harto juga tertawa dan ditimpali oleh undangan yang datang ke acara, terutama para wartawan," tulis Tarzam.

Kejadian ini ternyata terekam oleh kamera Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan disiarkan secara nasional ke seluruh Indonesia.

"Tak lama banyak teman dari berbagai daerah yang menelpon memberikan selamat kepada saya. Itu menjadi kenangan yang sangat indah dan tidak terlupakan," kenang Tarzam.

Ini mengubah kesannya terhadap Presiden era Orde Baru itu. Soeharto ternyata bukan sosok yang menyeramkan. Saat mood-nya sedang baik, ia juga bisa berkelakar dan mau bercanda dengan orang-orang di sekitarnya.(eh) 

 Kisah Soeharto Hendak Ditipu "Guci Wasiat" dari Belanda 

Alat itu diklaim dapat menyuburkan tanah.

Masih ingat proyek blue energy yang bikin heboh pada tahun 2008? Penemuan yang sempat dipresentasikan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu diklaim dapat mengubah air menjadi bahan bakar. Namun di kemudian hari, proyek tersebut ternyata gagal. Nah, penawaran inovasi teknologi yang belum jelas keampuhannya semacam ini ternyata juga pernah terjadi di era pemerintahan Presiden Soeharto.

Ansor Fahim, wartawan harian Berita Yudha yang pernah bertugas di Istana Negara pada era Soeharto, menuliskan kisah tentang “bodem korektor” atau guci wasiat, alat yang diklaim dapat menyuburkan tanah. Kisah itu ia muat dalam buku “34 Wartawan Istana Bicara tentang Pak Harto” yang diluncurkan Rabu, 27 Maret 2013.

Ansor menceritakan, suatu hari Menteri Muda Urusan Transmigrasi pada Kabinet Pembangunan III periode 1978-1983, Martono, mendatangi Presiden Soeharto di kediaman pribadinya di Jalan Cendana, Jakarta. Ia menghadap Soeharto untuk memperkenalkan tamu dari Belanda yang membawa alat “ajaib.” Tamu itu disebut Martono sebagai ahli di bidang kesuburan tanah.

Tamu Belanda itu kemudian mengeluarkan alat yang ia sebut “bodem korektor.” “Bodem korektor bisa menyuburkan tanah. Saya lebih suka menyebutnya “guci wasiat”,” kata Martono. Jika guci wasiat itu diaktifkan, maka tanah tandus dalam radius beberapa ratus meter diklaim dapat berubah menjadi subur. Sungguh menakjubkan.

Namun ketika ditanya apakah Soeharto akan menggunakan guci wasiat tersebut, Martono menjawab tidak. “Pak Harto meminta alat ini diteliti dan dikaji dulu. Kalau memang benar (sesuai klaim), mungkin bisa digunakan di daerah Gunungkidul, Nusa Tenggara Timur, atau daerah-daerah yang kurang subur lainnya,” ujar Martono.

Selang beberapa lama, salah satu lembaga penelitian merilis hasil penelitiannya atas guci wasiat itu. Ternyata teknologi pengubah tanah tandus menjadi subur tersebut hanya tipuan belaka. Isi guci wasiat hanya kumparan kabel biasa yang tidak dapat menyuburkan tanah.

Berkaca dari peristiwa tersebut, Ansor berpikir tidak mungkin Soeharto bisa ditipu atas nama teknologi canggih. “Pak Harto sangat fasih dalam sektor pertanian. Tidak mungkin diperdaya oleh peralatan-peralatan yang berkaitan dengan kebutuhan para petani,” kata dia.(eh)

  ● Vivanews  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.