Kamis, 18 April 2013

Setelah RIS Habis

Usia Republik Indonesia Serikat tidak sampai setahun. Semua negara bagian bubar dan kembali membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hendri F. Isnaen 

Penandatanganan Piagam Konstitusi RIS
PADA 27 Desember 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) sesuai kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB). Sukarno terpilih sebagai presiden RIS dan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri.

Pascapenyerahan kedaulatan tersebut, gerakan menuntut pembubaran negara-negara bagian menguat, bukan saja di kalangan elite, tetapi juga di akar rumput. Dengan Keputusan Presiden RIS, tak lama setelah terbentuknya RIS, Negara Jawa Timur, Madura, Pasudan, Sumatera Selatan, daerah Kalimantan Timur, Banjar, Dayak Besar, Kalimantan Tenggara, Bangka, Riau dan Belitung dibubarkan serta bergabung dengan Republik Indonesia.

Sampai 4 April 1950, RIS tinggal terdiri dari Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Sumatra Timur (NST), dan Kalimantan Barat. Kurang lebih seminggu kemudian, Kalimantan Barat dibubarkan, setelah kepala daerahnya, Sultan Hamid II menjadi pesakitan.

Menurut Ide Anak Agung Gde Agung dalam Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat, pembubarkan dan penggabungkan negara-negara bagian dan daerah-daerah ke dalam Republik Indonesia diatur dalam UU Darurat RIS. Prosesnya dengan cara plebisit (pemilihan umum) atau keputusan dewan yang dipilih khusus untuk kepentingan itu. Dengan demikian, pembubaran dengan Keputusan Presiden RIS tak demokratis sebagaimana ditetapkan dalam UU darurat itu.

Akan tetapi pemerintah RIS menyatakan bahwa demonstrasi rakyat sudah dapat dianggap sebagai suatu pernyataan demokratis keinginan rakyat untuk menggabungkan dalam negara Republik Indonesia. Sehingga, perdana menteri NIT JE Tatengkeng melarang demonstrasi. Namun kaum republiken tetap turun ke jalan. Tuntutan keras juga datang dari dalam. Sehari sebelum demonstrasi, sejumlah fraksi mengajukan mosi pembubaran NIT. Fraksi yang profederalis menandinginya dan menang dalam pemungutan suara.

Upaya mempertahankan NIT mendapat dukungan dari Kapten Andi Azis, bekas ajudan presiden NIT. Pasukannya menghalau kedatangan Batalyon Worang serta menangkap komandan, perwira pembantu, dan anggota APRIS (Angkatan Perang RIS). Peristiwa ini memakan banyak korban jiwa –dikenal dengan Peristiwa Andi Azis. Terdorong peristiwa ini, para pemuda unitaris bergerilya dan bergabung dengan pasukan APRIS untuk melawan KNIL. Pecahlah Peristiwa Makassar yang memakan ribuan korban jiwa.

Temuan dokumen berisi dorongan untuk membubarkan NIT membuat pemerintah NIT mengirim surat protes kepada pemerintah RIS. NIT bahkan ingin memisahkan diri dari RIS dan mendirikan Republik Indonesia Timur. Namun kelompok federalis di Parlemen tak sampai dua pertiga sehingga upaya itu gagal. Soumokil, jaksa agung NIT yang mendukung pemisahan NIT, pergi ke Ambon dan memproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS).

Gerakan menuntut pembubaran juga terjadi di NST. Pada 31 Januari 1950, sekira 8000 rakyat Deli Hulu akan bergerak ke Medan untuk unjuk rasa menuntut pembubaran NST. Polisi dan Barisan Pengawal NST hanya mengizinkan perwakilan demonstran yang pergi berunding dengan Wali Negara di Medan. Perundingan buntu. Massa kemudian membentuk Aksi Tuntutan Rakyat (ATR) dan menggelar beberapa kali demonstrasi. Gerakan anti-NST juga muncul dari internal pemerintahan. Beberapa pejabat NST mengundurkan diri.

Pada 3 April 1950, dalam sidang parlemen RIS, Natsir mengusulkan Mosi Integral: semua negara-negara bagian mendirikan negara kesatuan melalui prosedur parlementer, tidak ada satu negara bagian menelan negara bagian lainnya, dan masing-masing negara bagian merupakan bagian integral dari negara kesatuan yang akan dibentuk. Dalam sidang Kabinet RIS, Hatta menyatakan akan menjadikan mosi Natsir sebagai dasar penyelesaian.

Pada 3-5 April 1950 diadakan konferensi antara RIS, NIT, dan NST. Keputusannya: untuk membentuk negara kesatuan, Republik Indonesia juga harus dibubarkan. Kedua negara bagian memberikan mandat kepada Hatta untuk berunding dengan Republik Indonesia. Pada 19 Mei 1950, Hatta dan perdana menteri Republik Indonesia Abdul Halim menyepakati pembubaran Republik Indonesia untuk membentuk negara baru: Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada 15 Agustus 1950, Sukarno menandatangani UUD Sementara Republik Indonesia (UUDS 1950). Dua hari kemudian, bertepatan dengan peringatan lima tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, RIS secara resmi dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan.

  ● Historia™  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.